Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Kamis, 18 Maret 2010

03. Selamat Jalan Bu, akan terus kulanjutkan harapanmu...



Mataku terpejam sesaat ketika ayat terakhir dari surat Yasin ini selesai ku lafazkan. Ada rasa tenang dari galau dan resah yang selama ini membelengguku. Setidaknya ayat-ayat surah Yasin ini, membawaku pada penyadaran bahwa Allah Maha Tahu atas segalanya. Ia Maha Berkehendak akan segala sesuatu, dan pasti akan memberikan yang terbaik pada setiap keputusan-Nya. Kudapatkan penyadaran seutuhnya dari istirahat maghrib yang hening ini. Setelah enam jam lebih aku meladangi para tamu restaurant sea food yang selalu padat pengunjung. Suasana maghrib inilah jatahku beristirahat, sebelum aku melanjutkan kembali tugasku hingga pukul sepuluh malam nanti.

Sudah selama sepekan ini, aku mencoba menenangkan kegalauan hatiku akan penyakit lever ibuku yang katanya sudah stadium empat. Banyak kekhawatiran dan kecemasan yang hadir diantara kami, ayahku, lima kakakku dan satu orang adiku. Mereka begitu berharap kalau ibu bisa sehat dan segar kembali, setidaknya dari usianya yang masih kepala empat bagi kami ibu masih terlalu pagi untuk cepat meninggalkan kami. Belum lagi beliau adalah panutan dan pengayom kami selama bertahun-tahun, ketika Bapak bekerja sebagai koki dari sebuah maskapai angkutan laut. Bapak sering pergi dan beberapa bulan baru kembali, tugasnya yang lebih sering di laut dan mengembara ke penjuru dunia membuat ia merelakan kedekatannya dengan kami. Itu pula yang membuat kami seolah anak yatim di lingkungan masyarakat kampung Pesisir ini.

Untuk kelangsungan hidup kami, dan semangat pendidikan yang ingin ia pacukan pada anak-anaknya, bapak rela bekerja menantang badai betapapun bahayanya. Beliau sempat menjadi tukang becak, tukang cat geladak kapal, hingga nasib baik memberinya pekerjaan agak lumayan menjadi koki dari sebuah kapal penghantar barang . Hanya saja konsukuensi yang harus kami tanggung adalah menjadi keluarga yang pincang, ibu menjadi single parent meski ia belum menjanda. Namun darinya kudapatkan semangat hidup dan ketabahan yang sangat luar biasa. Demi mencukupi kebutuhan hidup dan sekolah kami, ibu mengacuhkan penyakitnya dan berjualan sayur keliling dari kampung ke kampung.

Setiap hari tak pernah kulihat peluh dan keletihan terlepas dari ibu. Matanya yang senantiasa redup kadang harus terpejam karena kantuk yang tak tertahankan, dan itu sering terjadi meski ia tengah berjualan sayur keliling kampung. Bagi ibu, kondisinya tidak penting, asalkan bisa membuat kami makan kenyang dan bersekolah seperti anak-anak lain di kampung kami. Ibu tidak bersekolah, karenanya ia juga tak dapat membaca dan menulis. Yang kutahu, ibu memang buta huruf akan tetapi ia tak pernah berhenti memacu kami untuk tetap bersekolah bagaimanapun susahnya kondisi keluarga kami.

Mimi tidak mau, kalau kalian juga nanti akan buta huruf seperti Mimi. Sekolah itu penting, kemana-mana hidup ini harus dijalani dengan ilmu. Dan ilmu bisa didapat melalui sekolah yang rajin dan tekun. Mimi ingin kalian maju, meraih apapun yang menjadi cita-cita kalian.”

Begitu nasehat beliau setiap diantara kami ada yang mulai malas sekolah karena terus menerus dipanggil Guru BP atau petugas TU karena SPP kami yang sering menunggak. Seperti yang pernah kualami dulu, petugas TU SMP tempatku belajar sampai bosan melihat wajah dan beragam alasan keterlambatan pembayaran. Mungkin juga ia sudah mulai malas dengan kondisiku yang seperti hanya numpang belajar dan tidak mau membayar.

“Bapak, bisa mengerti dengan keadaan kamu, Rist. Tapi kamu juga mesti tahu dengan kondisi sekolah ini, meskipun sekolah negeri, tetapi operasional sekolah ini sangat tipis. Kami tidak bisa terus-terusan memberikan toleransi kepada kamu, karena hal ini juga berpengaruh pada yang lain…”

“Tapi, Pak. Ibu saya memang…”

“Menyekolahkan anak itu tidak cukup dengan semangat, Rist! Bilang sama orang tuamu, kalau sungguh-sungguh ingin melihat anaknya maju, yang sepaket dengan penunjangnya dong…”

Aku cuma tersenyum getir. Yang jelas, ucapan seperti itu takan pernah kusampaikan pada ibuku. Aku tak mau membebani fikirannya, aku sangat tahu ibuku. Ia bukan tak mau memikirkan kebutuhan sekolah kelima anaknya, akan tetapi memang kondisi keuanganya memang belum memungkinkan untuk itu. Mungkin itu pula yang melatari beberapa kakaku memilih tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD atau SMP, mereka tidak mau kondisi seperti itu terus membenani fikiran ibu. Hanya saja aku dan adikku yang tetap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi setelah kami lulus SD dan SMP. Ibu sering bilang, kalau kami itu laki-laki, jadi harus memiliki semangat yang lebih dibandingkan kakak-kakaku yang perempuan.

Oleh karena itu pula, aku ikut berjuang membantu ibuku dengan bekerja sebagai pembuat es lilin, pengepak asem jawa, atau terkadang berjualan es keliling untuk hanya sekedar beli buku pelajaran atau uang spp. Aku masih ingat, ibu juga menambah usaha dengan berjualan kerupuk keliling atau jajanan ringan setiap sore. Kami semua membantu, Mas Adi dan Mba Atin meracik singkong rebus dengan menggilingnya menjadi jajanan mata roda atau getuk. Sedang aku dan Mba Puji, menggoreng krupuk udang dan membungkusnya menjadi kemasan plastik. Meski begitu, untung dari berjualan seperti itu tetap tidak mencukupi kebutuhan hidup dan sekolah kami.

Ibu tak pernah mengeluh, ia juga tak pernah bercerita kalau begitu banyak beban fikiran yang bergelayut di benaknya. Yang kutahu, ibu cuma sering tidur agak malam, jauh setelah kami semua tidur. Entah apa yang dikerjakannya. Padahal keesokan subuh sebelum adzan berkumandang, ia dan Mba Atin harus pergi ke pasar untuk belanja barang dagangan yang akan ia jajakan keliling kampung. Meski ibu tak pernah mengeluh, atau bercerita tetang segala kesusahannya, aku dapat merasakan kalau begitu banyak beban yang ia tanggung. Setidaknya itu kulihat dari tubuh ibuku yang makin kurus dari hari ke hari. Pernah sekali waktu, karena kelelahan dan jalanan licin setelah hujan, ibu jatuh tersungkur dan semua barang daganganya terserak dari atas kepala dan pinggangnya. Namun ibu tetap tak mengeluh dan tak kehabisan akal, ia dan Mba Atin mengolah barang dagangan yang terserak itu menjadi masakan jadi. Ibu berniat mengurangi kerugian dengan menjual masakan matang.

Kenangan beberapa tahun yang lalu itu rasanya tak pernah lekang dihati ini, betapa besar perjuangan yang telah ia abdikan bagi kami semua. Itu pula yang membuat Mba Maryam pulang dari Semarang, atau Mbak Kartini pulang dari Pariaman. Meski mereka telah jauh merantau demi mendengar ibu sakit keras, mereka langsung pulang dan merawat ibu. Begitu pula Mba Atin yang memutuskan untuk tinggal di rumah sempit kami demi merawat dan lebih dekat dengan ibu. Mereka semua sepakat untuk patungan memasukan ibu ke rumah sakit, karena setelah bapak berhenti berlayar otomatis tidak ada lagi pemasukan bagi kami selain hasil berjualan ibuku.

Ingin sekali rasanya aku dapat membantu biaya berobat ibu yang kata dokter telah memasuki fase yang sangat memprihatinkan. Akan tetapi dengan gajiku sebagai waiter di rumah makan seafood ini, aku tetap tak bisa berbuat banyak untuk kesembuhannya . Meski waktu kerjaku yang sampai sepuluh jam, gaji dan uang makanku sangat jauh dari cukup untuk dapat membiaya perawatan ibu yang semakin mahal.

“Sebaiknya ibu anda istirahat total, dan dihindarkan dari pemikiran yang berat-berat. Menurut analisa kami, Ibu Aminah menderita lever dengan kondisi yang sudah sangat kritis. Sudah pada stadium empat! Oleh karena itu, saya berharap kalau Ibu Aminah bisa mendapat perawatan yang lebih intensif lagi. Dan kami sarankan, kalau ibu anda…….”

Demikian percakapan Dokter yang menagani ibu dengan Mba Atin, Mba Atin memang sangat serius dengan perawatan ibu. Mungkin karena diantara kami bertujuh, cuma dia yang sedikit beruntung. Sejak ia dipersunting Om Yopi yang Polisi Militer, kehidupanya agak teratur dengan penghasilan yang tetap setiap bulan. Namun pada puncak perawatan ibu, setelah tiga kali keluar masuk berbagai rumah sakit, ibu memutuskan untuk pulang dan tidak mau di rawat di rumah sakit lagi.

Beberapa dari kami berdebat dengan permohonan ibu, khususnya Mba Atin dan Mba Kartini yang memiliki pandangan berbeda dengan keinginan ibu. Namun apapun itu, ibu tetap pada pendiriannya, dan itu juga menjadi keputusan bapak untuk membawa pulang ibu.

“Bapak mengerti dengan keinginan kalian untuk tetap melanjutkan perawatan mimi , akan tetapi ini juga sudah menjadi keputusan mimi untuk membawa mimi pulang dan berobat jalan saja…” begitu Bapak mencoba menengahi.

“Tapi Pak, apa bisa sembuh dengan hanya berobat jalan?”

“Kesembuhan segala penyakit, pada akhirnya adalah kuasa Allah, nok. Kalau memang Ia berkehendak, insya allah, mimi bisa sembuh…”

“Dan ini sudah menjadi keputusan mimi, Nok,” dengan terbata-bata ibu menyampaikan pendapatnya.

“Apa karena biaya perobatan yang besar, Mi?”

Ibuku menggeleng perlahan. Tatapan matanya menerawang jauh, aku yakin banyak hal yang ingin ibu sampaikan untuk keputusannya ini. Yang jelas ia juga sangat sadar kalau biaya berobat yang sudah beberapa bulan ini telah menguras semua tenaga dan fikiran anggota keluarga. Ibu tak mau kalau penyakitnya terus menambah beban keluarga. Ini yang kutangkap dari keterdiaman ibu.

Ibu memang sangat berkeras hati dalam menentukan pilihan hidupnya. Yang ia tahu bahwa kelahiran, kehidupan dan kematian adalah taqdir yang harus dilewati oleh siapapun. Termasuk ibu, ketiga hal itu adalah kepastian yang akan dialaminya . Oleh karena itu ibu yakin hanya Allah yang Maha menentukan segalanya, setelah kita berikhtiar dan berusaha semampu kita.

“Yang Mimi inginkan hanya melihat kalian ngumpul dan ada di samping Mimi, itu saja….” Desah ibu kemudian, “jadi apapun yang akan terjadi nanti, Mimi akan tetap senang kalau bisa melihat kalian semua ngumpul.”

Tangis haru dan cemas hadir diantara kami semua. Kami seakan tengah menghadapi detik-detik yang paling penting dalam kehidupan keluarga ini. Keputusan membawa pulang ibu dari perawatan rumah sakit membuat sebagian dari kami sedikit putus asa. Akankah ibu mampu melewati semua penyakitnya? Atau apakah kami mampu menghadapi segala kemungkinan terjelek pada keputusan ibu?

%%%%

Aku masih melihat sembab di mata Mba Atin dan Mba Tini dengan keputusan ibu untuk pulang sore ini. Beberapa tetangga yang mengenal akrab dengan ibuku berdatangan menjenguk dan menyampaikan doa untuk kesembuhan ibuku. Beberapa diantaranya ada yang meminta maaf akan segala kehilafan dan kesalahan yang pernah ada diantara mereka. Kami makin miris mendengar semuanya itu. Aku sendiri sempat tak menerima dalam hati, ibu akan sembuh! Mengapa mereka meminta maaf seolah-olah ibu akan segera pergi meninggalkan kami.

Kulirik ibu yang tak pernah berhenti tersenyum untuk menyambut dan menyalami setiap tetangga yang menjenguk. Ekspresinya tak menyiratkan kelelahan sedikitpun meski terkadang aku masih bisa melihat kalau rasa ngilu dan perih masih mendera tubuhnya. Meskipun begitu senyum akrabnya terus menghambur berbarengan dengan permohonan maafnya.

Isak dan air mata tak lepas dari Mba Atin dan Mba Tini, dua orang kakaku itu memang lebih dekat dari siapapun pada ibu. Mungkin karena sejak kecil mereka sudah terbiasa bangun dini hari dan membantu belanja dan berjualan sayur keliling kampung. Mereka berdualah yang selama ini terus menerus mendampingi ibu, sementara aku dan anggota keluarga yang lain bekerja.

“Tin…,” suara ibu lemah memanggil Mba Atin. Mba Atin yang masih nampak kuyu dengan isaknya bergegas menghampiri ibu. Di raihnya tangan keriput ibu karena sudah lebih dari seminggu tak bisa makan secara normal. Ibu hanya minum air dan makanan yang diencerkan itupun tak begitu banyak, karena setiap makanan dan minuman itu masuk ke tubuh ibu tak berapa lama makanan dan minuman itu termuntah lagi dari mulut ibu.

Mimi manggil Atin?”

“Iya Nok, Mimi pengin makan mie…”

Makan mie? Disaat air dan makanan yang diencerkan saja sudah ditolak oleh tubuhnya? Ini tidak mungkin, apalagi mie instant selalu identik dengan pengawet dan beragam bumbu penyedap yang dipantang untuk proses penyembuhan ibu.

“Jangan mie, ya Mi… yang lain aja,” Mba Atin mencoba untuk membujuk.

Ibu hanya menggeleng, matanya menatap penuh harap. Itu membuat kami semua bingung, menentukan pilihan untuk ibu. Mba Maryam mendekat dan menyodorkan roti yang telah dilunakan dengan rebusan daun pandan. Dulu ibu sangat suka dengan makanan seperti itu. Masih ingat sewaktu SD dulu aku juga sering sekali mendapat makanan yang sangat enak itu. Sebetulnya itu berasal dari remah-remah dan sisa-sisa potongan roti tawar dari sebuah toko kue yang sengaja menjual murah kepada kami. Mungkin lebih tepatnya limbah produksi, akan tetapi karena laku dan banyak dicari oleh keluarga miskin seperti kami, pemilik toko kue itu memutuskan untuk menjual dengan harga murah. Saat itu bukan sebagai jajanan atau makanan kecil, akan tetapi sebagai pengganti nasi yang kadang tak terbeli. Itu masih terbilang bagus, karena di musim barat, ketika nelayan berhenti melaut, kondisi di kampung kami banyak yang mengolah aking menjadi nasi.

“Maryam suapin, ya Mi?”

Ibu tetap diam, tak berucap. Ia tetap ingin makan mie rebus instant. Matanya masih menatap penuh harap pada Mba Atin. Melihat itu Bapak mencoba untuk membujuk dan memberikan pemahaman pada Ibu, kalau kami semua berharap untuk kesehatannya. Ibu tetap diam, dan matanya terus berharap untuk dapat dipenuhi. Kali ini ia menatap Mba Tini. Ia berharap kakaku yang bersuamikan orang Pariaman itu mau menurutinya untuk membuatkan mie instant.

Mba Kartini nama lengkap Mba Tini langsung menghambur ke dapur dan mengolah mie rebus dengan potongan cabe rawit seperti kegemaran ibu. Mba Atin dan Mba Maryam yang kurang setuju langsung menyusul mencoba untuk mencegah. “Sudahlah Tin, biarkan saja Mimi makan mie, barangkali ini permintaanya yang terakhir…” suara Mba Kartini lemah menahan tangis, “aku ngga mau menyesal sepanjang umurku hanya karena tak bisa memenuhi permintaan Mimi.”

Begitulah, demi melihat kondisi ibu yang sudah sangat parah. Kami memutuskan untuk memberikan mie rebus dengan potongan cabe rawit seperti keinginan ibu. Ibu terlihat puas sekali, matanya mendadak berbinar, senyumnya mengembang ceria sekali. Kemudian iapun melahap semua mie rebus itu dengan penuh selera, seolah memuaskan sebuah keinginan yang tak pernah terpenuhi lama. Ibu menghirup sisa kuah terakhir dalam mangkok mie rebus dari tangan Mba Maryam. Ibu bergumam seakan menemukan begitu besar kesenangan yang telah lama ia cari. Tangan kurusnya nampak mengelap kuah yang menempel di sudut bibir dan pipinya.

“Enak sekali, terima kasih yaa…”

Setelah itu, Ibu langsung merebahkan tubuh ringkihnya dan pulas tertidur. Nyaman sekali, itu tidur terpulas yang pernah kami lihat sejak beberapa bulan terakhir ini. Tak pernah ibu tidur sepulas itu, biasanya ia selalu tertidur sebentar dengan nafas tersengal-sengal atau batuk yang terus mengiringi tiap detik hembusan nafasnya. Isak yang tertahan diantara kami mendadak menjadi hening dan menatap ibu lekat-lekat. Kami semua di posisi pasrah, dan hanya bisa berharap kalau semuanya akan berganti menjadi sesuatu yang lebih baik. Untuk ibu kami, mutiara hati kami, juga dian di kehidupan kami.

%%%%%

Aku baru selesai meladangi tiga orang tamu, ketika air soda yang kuminum itu mendadak jatuh dan tumpah membashi seragam waiter-ku. Sesaat suara gelas pecah nyaring terdengar. Beberapa rekan kerjaku langsung menghambur dan mendekatiku, ekspresi mereka nampak penuh tanya. Sedang aku sendiri cuma bisa menggeleng mewakili ketakmengertianku. Seingatku aku memegang erat gelas minuman itu, dan sekelilingku juga sedang tidak terjadi lindu. Mba Saeni dan Mba Sarah supervisorku, langsung menghampiri, wajah mereka nampak kaget dan menyiratkan pertanyaan. Aku benar-benar bingung ketika tiba-tiba saja kecemasan hadir di benakku.

“Kamu sakit, Rist?”

Aku menggeleng perlahan. Degup jantungku berubah menjadi gemetar lembut. Entah apa yang terjadi, aku merasa ada sesuatu yang tengah merayapi tubuhku yang mulai lelah ini.

“Kamu belum makan malam?” Mba Saeni kembali menanyaiku.

“Ngga tahu, Mbak. Badan saya kok tiba-tiba lemes…”

“Memang kamu ngga istirahat tadi?”

“Istirahat…,” kataku perlahan.

“Tapi mukamu pucat, Rist. Badanmu juga menggigil, kamu pasti sakit!”

Aku belum sempat menggeleng dan menjawab pertanyaan Mba Sarah ketika tiba-tiba sebuah motor vespa berhenti di muka restaurant tempatku bekerja. Seseorang terlihat bergegas dan tergesa-gesa menuju ke ruangan dan bertanya pada satpam restaurant ini. Dia Om Surya tetangga samping rumahku, dan Ernida keponakanku. Wajah mereka terlihat cemas sekali.

“Rist, ada yang mencari!”

Sesaat jantungku langsung berdegup semakin kencang. Aku yakin pasti ada yang tidak beres dengan semuanya ini. Kalau sampai aku dijemput oleh orang lain, pasti sesuatu yang besar tengah terjadi di rumahku. Aku segera menghampiri dua orang yang mencariku, nampak jelas di mataku kalau mereka membawa berita yang luar biasa untukku.

Ada apa, Om?”

“Pulang dulu, kamu di tunggu di rumah…”

Ada apa, Ni?”

Mamang pulang dulu, ditunggu Pakde sekarang…”

“Tapi ada apa?”

“Pulang aja dulu, Rist. Barangkali ada yang penting,” Mba Saeni tiba-tiba menyela obrolan kami. Karenanya pula aku langsung memutuskan untuk ikut mereka, menuju rumahku dengan berbonceng tiga. Ini tidak biasa terjadi, degup jantung ini juga tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku seperti sudah menyelam puluhan meter di dasar laut dan muncul kembali ke daratan. Aku seperti terengah-engah dan kehabisan nafas dengan degup jantung seperti itu.

Motor vespa yang dikendarakan Om Surya begitu cepat melaju dan menikung di jalan-jalan Kota Udang ini. Udara malam yang dingin seakan bertambah dingin dengan kecepatan kendaraan vespa Om Surya. Sementara desir angin laut yang berhembus ke daratan malam itu menambah kegelisahan dan cemas di hatiku. Apakah terjadi sesuatu pada keluargaku? Apakah yang terjadi berkaitan dengan ibuku?

Setelah lima belas menit berlalu, motor vespa yang membawa kami sampai di ujung gang Empang V tempat tinggal rumah kami. Degup jantungku semakin kencang, sementara kepalaku yang sedari tadi berputar kencang untuk berfikir makin penat kurasakan. Aku benar-benar tak siap dengan apa yang tengah berkecamuk di hati ini. Dan itu semakin kurasakan ketika kulihat pemandangan yang sangat tak biasa terjadi di depanku. Aku melihat perabotan rumah kami terhampar di depan halaman rumah, beberapa tetangga juga nampak sibuk hilir mudik di depan rumah kecilku. Beberapa diantaranya ada yang membawa baskom-baskom shalawat yang ditutupi kain. Tua muda, besar kecil mendadak tumplek di rumahku yang mojok diantara rumah-rumah besar dan permanent. Ini tidak biasa! Ada apa dengan rumahku? Ada apa dengan keluargaku? Ada apa dengan ibuku? Mimi….

Ikah Harist-e teka…” seseorang berteriak kearahku. Bersamaan dengan itu, Mba Maryam, Mba Kartini, Mba Atin dan Mba Puji menghambur ke arahku. Mereka memeluku dengan isak tangis yang tak terperikan. Isak tangis kehilangan ibu. Isak tangis kehilangan orang yang telah sekian lama begitu lekat dalam hidup kami. Orang yang telah menjadi cahaya dan pandu bagi hidup kami.

Sing sabar ya, Rist… kalimat terkahir itu yang sempat terngiang ditelingaku, sebelum akhirnya pandanganku berat. Mataku berkunang-kunang dan kemudian berganti gelap tak nampak apapun di hadapanku. Tubuhku lemas, kakiku tak lagi kurasakan berpijak di tanah, aku merasa melayang. Entah melayang kemana. Yang jelas gelap dan sepi ini menyergap tubuhku seketika. Aku merasa semakin susah untuk bernafas, hingga seseorang membawaku entah kemana.

“Harist pingsan!”

%%%%%

Pemakaman ibu baru terlewat sepuluh jam yang lalu, para tetangga yang mengiring tahlil juga baru saja usai. Namun hatiku masih tak percaya kalau ibu telah tiada. Aku masih tak percaya kalau ibu telah meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Meninggalkan kami yang masih berusaha pada pembuktian jati diri di belantara kehidupan ini. Sesekali ku tatap wajah kakaku satu per satu, nampak sekali kalau mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku. Hanya saja mereka terlihat lebih tegar, mereka terlihat lebih siap dibandingkan aku, yang menjelang detik-detik kepergian ibu, tak bisa mendampinginya. Mungkin rasa sesal itu yang terus menderaku hingga kesedihanku seakan terus terlarut hingga sehari setelah kepergiannya.

Aku tak ingin bersikap seperti itu. Aku juga tak ingin terlihat cengeng dengan kenyataan yang aku hadapi. Aku anak laki-laki, di usiaku yang menginjak sembilan belas, adalah pengecut untuk menampakan kesedihan seperti itu. Betapa tak bergunanya almarhumah ibu mendidiku untuk tetap tegar dalam mengarungi samudera kehidupan, kalau dengan kenyataan yang pasti terjadi seperti ini saja aku telah jatuh dan kalah. Betapa tak berartinya aku sebagai anak laki-laki bila tak mampu menghadapi kenyataan ini dengan tegar.

Aku menghapus air mata yang masih menggenang di pipiku. Sungguh! Aku siap menghadapi apapun! Aku siap menghadapi kenyataan terpahit dalam hidupku, aku siap menderita, aku siap sengsara! Tapi jangan ambil ibuku, aku belum siap. Aku belum bisa membahagiakanya, aku belum sempat memberikan yang terbaik sebagai seorang anak. Aku juga belum dapat memenuhi janjiku , aku belum mampu membahagiakannya! Aku belum berbuat apa-apa…

Mataku panas, kelopak mataku benar-benar menampung buliran bening yang tak mampu lagi ku tahan. Aku tak peduli dengan pendapat orang, aku tak peduli dengan anggapan cengeng untuku. Aku ingin menangis, aku ingin menumpahkan segala kesedihan dan kegalauan hatiku. Aku ingin dunia tahu kalau aku sangat mencintai ibuku, aku tak mau kehilangan dia tanpa pernah melakukan sesuatu untuk membahagiakannya. Mimi, aku kangen

“Sst..!”

Aku terbangun dari tidur sesaatku. Aku terlalu capek menanggung perih di hatiku. Aku juga terlalu lelah untuk menenangkan hatiku yang terus bergemuruh, menentangi semuanya ini. Meski telingaku tak begitu tuli untuk mendengar suara halus di sekitarku.

“Sst…”

Aku kembali menoleh ke kanan-kiri mencari sumber suara yang terdengar halus di telingaku. Beberapa anggota keluargaku nampak tergeletak diantara klasa pandan yang terhampar di ruangan tengah rumah ini. Wajah pulas mereka sarat dengan kelelahan dengan prosesi berduka yang terjadi sepanjang hari ini. Tak ada satupun yang terbangun, hanya suara beberapa tetanggaku dan Mas Adi yang bermain gapleh di depan beranda. Mereka sengaja begadang menunggui kami. Lalu siapa yang memanggilku?

“Bangun, Rist…”

Aku menoleh ke arah belakangku, nampak olehku seorang wanita kurus yang wajahnya begitu teduh diantara senyum simpulnya. Wajah yang begitu lekat dalam hidupku selama ini. Wajah yang begitu kurindui. Aku mencoba menggerakan tubuhku, aku ingin merengkuh dan memeluknya. Namun entah mengapa, seolah persendianku ngilu dan tak dapat kugerakan sedikitpun. Begitu pula mulutku nampak kelu tak mampu berucap sepatah katapun.

Mimi tahu, kamu sangat sedih dengan kepergian Mimi. Tapi kita takan bisa menghindari semua taqdir kehidupan ini, Cung. Betapapun kuatnya kita menolak dan mengelak, itu pasti terjadi. Kita juga tak perlu menyesali apa yang telah tergaris dalam hidup ini. Mimi tahu, kalau cita-citamu besar sekali untuk membalas dan membahagiakan Mimi. Tapi Allah telah menetapkan semuanya ini, Cung. Tidak perlu kamu sesali seumur hidupmu. Yakini kalau Allah telah memberikan yang terbaik untuk kita. Doakan saja, Mimi! Agar kelak kita bisa berjumpa kembali pada situasi dan keadaan yang lebih baik. Kejarlah apa yang menjadi harapan dan cita-citamu selama ini, Cung. Itu pula yang Mimi harapkan padamu, demi Mimi, demi keluarga ini, demi kita semua…”

Perempuan kurus itu membelai rambutku perlahan sekali. Beribu aliran sejuk menyerbu ke seluruh tubuhku. Teduh dan damai sekali kurasakan. Aku tak pernah merasakan kesejukan dan keteduhan seperti ini sejak belasan tahun yang lalu.

“Sing sabar ya, Cung…” suara halus itu kembali menggema di gendang telingaku, bersamaan sayup-sayup suara angin yang perlahan membawanya pergi. Mataku kembali nanar, tak dapat kulihat kondisi sekelilingku. Kemudian semuanya terwakili gelap yang tiba-tiba menyergapku, aku benar-benar merasa kaku pada posisi tidurku malam ini. Hingga air bening yang hangat kembali mengalir di pipiku…

Samar-samar suara tahrim memenuhi sekitarku. Fajar telah mengganti posisi malam yang gelap dan syahdu ini. Beberapa awan hitam yang sejak maghrib menggantung seakan beranjak dan melepaskan pelukannya pada langit. Sementara burung-burung malam seakan turut menyetujui pergantian peran dunia ini, mereka juga beranjak pergi dari perjuangan malam yang gelap dan panjang. Suara mereka terdengar agak miris seolah menampilkan penyesalan atas tugas yang tersisa.

Temaram perlahan turun, menggantikan posisi gelap. Sinarnya yang redup menghantarkan gema adzan subuh dan mengajak seluruh mahluk untuk kembali khusyuk pada penghambaan dan penghormatan pada Sang Pencipta hidup. Liukan nada yang teralun itu seakan menyadarkanku pada apa yang tengah kusesali sepanjang malam. Membangunkanku pada keputusasaanku dari ujian yang begitu berat kurasakan. Membangunkan denyut syaraf kesadaranku akan taqdir dan kenyataan yang tengah Allah wakilkan dalam hidupku. Merasakan pembelajaran dan ujian yang tengah Ia hadirkan dalam perjalanan pajang langkahku. Astagfirullahalladziim… maafkan atas sesal sesaatku, yaa Allah. Maafkan segala kehilafanku atas pilihan terbaik-Mu padaku…

“Akan terus kulanjutkan semua harapanmu, bu…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar