Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Sabtu, 20 Maret 2010

1. Telepon dari Cirebon


Siang ini kami kedatangan tamu dari Pemerintah Kabupaten Tangerang. Mereka sengaja melakukan perjalanan dinas dalam rangka koordinasi penyusunan Perda SOTK terbaru. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, mereka harus sudah melaksanakan format SOTK terbaru bulan Juli ini. Dan berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah itu pula, mereka datang berkonsultasi kepada kami, instansi Provinsi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan pada pelaksanaan PP tersebut. Tugasku pada Biro Organisasi yang berkompeten serta menangani hal ini adalah mengevaluasi dan mengklarifikasi setiap rancangan Perda SOTK yang disampaikan pemerintah Kabupaten/Kota sebelum mereka mengundangkan dan melaksanakan Perda tersebut.

Seperti biasanya sebelum masuk pada pokok bahasan utama, aku melaksanakan tugas pokok yang menjadi kewenanganku seperti penelahaan kelenglapam administratif seperti ; surat pengantar dari pimpinan pemerintah Kabupaten/Kota, Nota kesepahaman antara pihak Eksekutif dan Legeslatif, serta kajian akademis tentang kerangka berfikir mengapa Perda SOTK berbentuk seperti itu. Hal ini penting karena dua kelengkapan terakhir merupakan pondasi awal dari sebuah rancangan Struktur Organisasi dan Tata Kerja. Karena didasarkan atas dua dokumen terakhir tersebut, kita bisa mengetahui berbagai elemen potensi suatu pemerintahan daerah yang menjadi dasar pemilihan besaran organisasi yang dipilih. Seperti luas wilayah, jumlah penduduk, sumber daya alam, PAD, atau permasalahan-permasalahan khusus yang memang membutuhkan penanganan khusus dalam wujud sebuah organisasi perangkat daerah.

“Bagaimana Rist? Mereka sudah membawa draft Perda-nya?” Pak H. Cepi Syafrul Alam, yang menjabat Kepala Bagian Kelembagaan atasanku nampak cermat menyikapi kedatangan rombongan pegawai yang mulai tahun ini dikomandoi ‘H. RanoKarno itu.

“Sudah, Pak. Mereka sudah melengkapi syarat administratif dan mereka juga sudah siap di ruang rapat utama…,” jawabku melaporkan kesiapan proses evaluasi rancangan Perda SOTK Pemerintah Kabupaten Tangerang.

“Kalau begitu, hubungi tim evaluasi Perda Kabupaten/Kota dari Biro Hukum, BKD dan Inspektorat agar dapat hadir di ruang rapat utama,” Pak Kabag nampak sibuk mempersiapkan berbagai bahan dan buku catatan.

“Mereka sudah ada di jalan, Pak. Lima menit lagi mungkin sudah sampai di sini,” kataku seraya membarengi langkahnya menuju ruang rapat utama Biro Organasisasi Setda Provinsi Banten. Ini tugas perdanaku sejak kepindahanku di instansi ini tiga bulan yang lalu. Banyak hal-hal yang baru dan menuntutku untuk dapat beradapatasi dengan cepat.

Tak berselang lama, kami yang tergabung dalam tim evaluasi perda Kabupaten/Kota di Lingkungan Pemerintah Provinsi Banten mulai terlibat beragam pembahasan. Dari besaran lembaga perangkat daerah, kotak jabatan, fungsi lembaga hingga kemungkinan yang perlu diwaspadai ketika Peda SOTK itu benar-benar diberlakukan.

“Yang jadi permasalahan, draft Perda ini sudah sangat lama kami godok Pak, hanya saja dalam mekanisme sharing dengan anggota Dewan selalu menemui beragam kendala menyangkut beberapa item yang tertera pada rancangan perda ini,” Pak Hendra dari Bagian Organisasi Pemkab Tangerang nampak serius memberikan alasan yang melatarbelakangi keterlambatan.

“Pada prinsipnya, kami dari pihak Pemerintah Provinsi hanya membantu dan memfasilitasi berbagai keinginan yang bapak-bapak dari Pemkab Tangerang kehendaki, tapi terlepas dari semua itu ‘rule material’ dari rancangan itu sendiri tetap perlu diseleraskan dengan amanat dan semangat yang terkandung pada Peraturan Pemerintah tentang Organisasi Perangkat Daerah,” Pak Cepi selaku Kepala Bagian Kelembagaan sekaligus pemimpin tim evaluasi nampak memberikan penjelasan dengan serius.

“Apalagi kalau ada beberapa item pasal yang memang bertolak belakang, secara disiplin hukum perundang-undangan, pastinya akan menjadi pembahasan diantara kita. Bukan berarti hanya dari pihak Provinsi akan tetapi juga komparasi tanggapan dari Bapak-Bapak sekalian, “ Pak Samsir yang asli Lampung menambahi. Dari beberapa anggota tim evaluasi Raperda SOTK Kabupaten/Kota, seingatku dialah yang paling semangat dalam menyampaikan beragam koreksi dengan kalimat-kalimat yang lugs dan cenderung blak-blakan. Mungkin karena memang pembawaannya yang serba terbuka dan ekstemporan sehingga segala sesuatu ia sampaikan tanpa tedeng aling-aling. “Ini penting, karena pada akhirnya SOTK yang akan bapak-bapak berlakukan ini akan menjadi acuan hukum selanjutnya dalam menjalankan roda pemerintahan. Seperti uraian tugas pokok dan fungsi, analisis beban kerja serta kinerja yang mungkin akan dihasilkan,” begitu katanya

Selain Pak Syamsir, ada Pak Agusman yang asli Njowo, penampakannya yang tenang dan kalem bukan alasan baginya untuk mengeluarkan statemen yang menukik pada sasaran dan mendasar. Ini terlihat ketika ia mengkritisi adanya pencantuman kembali Dinas Pendapatan Daerah yang menurut PP No. 41 harus sudah berganti dengan nomenklatur DPKAD (Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah). “Yang menjadi permasalahan nantinya adalah, kemana atau pada siapa nanti Dispenda ini akan bertanggung jawab atau melaporkan kinerjanya, mengingat fungsi DPKAD rasanya sudah mengatur lebih luas dari sekedar Dispenda?” Setelah pertanyaan itu pembahasan berpindah pada strategi keorganisasian selanjutnya sehingga selain dapat tetap menampung aspirasi pemerintah Kabupaten Tangerang, juga tetap tidak menabrak pada payung hukum yang seharusnya. Diskusi selanjutnya mengarah pada perlunya aturan tambahan apabila Perda SOTK ini diberlakukan yakni Perturan Bupati Tangerang untuk mengatur lebih lanjut tentang tata kerja atau uraian tugas dari organisasi yang bersangkutan.

Dari beberapa anggota tim evaluasi di atas yang memberikan sentuhan berbeda dari anggota lainnya adalah Pak Furqon. Sebagai anggota tim evaluasi yang paling muda, pemikirannya terkadang lebih kongkrit pada hal-hal kecil yang sebetulnya sangat penting bagi sebuah peraturan daerah. Seperti bagaimana dengan kondisi peralihan ketika peraturan daerah diberlakukan sementara pejabat yang baru belum dipilih atau definitif. Otomatis ini akan melahirkan beragam permasalahan, seperti kewenangan pejabat yang masih berpijak pada aturan hukum SOTK yang lama, adanya perubahan eselonisasi dari sebuah jabatan yang memungkinkan lebih kecil dari sebelumnya, hingga kepastian hukum bagi pejabat pelaksana sementara sebelum ada pejabat baru yang telah ditetapkan melalui dasar hukum yang baru. “Hal ini perlu diterangkan pada salah satu pasal dari Raperda SOTK ini, mengingat jabatan aparatur daerah tidak mengenal istilah demisioner,” demikian paparnya diplomatis.

“Betul, oleh karena itu sebaiknya Raperda SOTK ini ditambah dengan satu pasal yang mengatur hal tersebut seperti yang dikemukakan Pak Furqon. Adapun redaksinya kira-kira bisa berbunyi sebagai berikut ; sebelum dilantik pejabat yang baru, maka pejabat yang ada memiliki wewenang yang sama sampai ada pejabat yang definitif. Sedangkan untuk perubahan eselonisasi yang mungkin lebih rendah dari sebelumnya dapat diterangkan dalam salah satu pasal yang lain dengan redaksi kalimat ; pejabat yang eselonnya berubah menjadi lebih rendah, tunjangan dan fasilitasnya disejajarkan dengan tingkat eselon sebelumnya,” Pak Cepi melengkapi pendapat Pak Furqon.

“Dengan demikian, bagaimana dengan Raperda kami, Pak?” Bu Elfida nampak mengambil inti point pembicaraan. Perempuan asal Aceh yang merupakan leading sector penyusunan Raperda SOTK Kabupaten Tangerang ini terlihat begitu berharap kalau finishing touch dari tugas beratnya segera berakhir.

“Itu dia, Bu. Kalau dari evaluasi tim yang saya catat, pada prinsipnya semuanya its ok. Tim tidak memberikan rekomendasi perubahan yang mendasar, beberapa point permasalahan juga tidak begitu banyak yang harus dirubah. Hanya saja, setelah ini kami belum bisa memastikan tanggal surat rekomendasi yang berisi klarifikasi permasalahan Raperda ini, akan selesai ,” giliran aku yang mencoba memberikan komentar pamungkas dari acara kunjungan kerja Pemerintah Kabupaten Tangerang ke Pemerintah Provinsi Banten. Seingatku kerja Tim evaluasi Raperda SOTK Kabupaten/Kota dapat diupayakan semaksimal mungkin akan tetapi ratifikasi surat tersebut finishing touch-nya tetap pada pimpinan puncak Provinsi. Mengingat kepadatan jadwal tugas mereka, tentunya kita tidak bisa mendikte atau mengatur pimpinan.

Akan tetapi, setidaknya mereka memang tidak bisa menunggu lama untuk hasil akhir pembahasan dan evaluasi Raperda SOTK Kabupaten Tangerang ini, mengingat satu bulan ke depan adalah batas akhir harus berlakunya peraturan Organisasi Perangkat Daerah yang baru di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dengan datang secara rombongan, yakni melibatkan beberapa pejabat dan stake holder yang terlibat dalam pembuatan Raperda, mereka berharap dapat segera mendapatkan titik terang.

“Jadi kapan kira-kira kami mendapatkan surat rekomendasi dari Gubernur Banten, Pak Cepi?” giliran Pak Hendra ingin memastikan

“Itu yang akan kami usahakan secepatnya, Pak,” Pak Haji Cepi terlihat tenang menjawab, “apa yang telah kita lakukan pada hari ini, adalah bahan bagi penyusunan surat klarifikasi tersebut. Dengan berita acara yang lengkap mudah-mudahan akan mempercepat proses persetujuan dari para pimpinan pusat dalam mewujudkan surat rekomendasi Gubernur pada Raperda SOTK Kabupaten Tangerang.

Semua yang hadir nampak tersenyum mendengar penjelasan Pak Haji Cepi , setidaknya finishing dari penyusunan draft Raperda SOTK Kabupaten Tangerang ini, memang surat klarifikasi yang ditandatangani oleh Gubernur sebagai wujud pembinaan pemerintah daerah provinsi terhadap pemerintah kabupaten/kota, dan yang jelas ini juga sesuiai dengan amanat dari PP No. 41 tentang Struktur Oranisasi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota seluruh Indonesia.

Siang menjelang sholat Jum’at itu, rombongan dari Kabupten Tangerang telah mohon diri dari Kantor Biro Organisasi tempatku bekerja sekarang. Udara yang panas makin menambah kurang nyaman kompleks perkantoran pusat pemerintahan Provinsi Banten ini. Letak tempat kerjaku berada pada lantai 2 dari Gedung Bappeda Provinsi Banten, kami memang masih menumpang di sana, hal ini dikarenakan pembangunan gedung-gedung baru bagi perkantoran Pemerintah Provinsi Banten belum sepenuhnya rampung. Bangunan yang prestisius di wilayah Palima ini direncanakan akan sepenuhnya selesai pada tahun 2011 dengan anggaran yang pastinya milyaran rupiah. Aku sangat beruntung karena bisa menjadi salah satu penghuninya. Ini sangat jauh berbeda sekali dibandingkan dengan tempat kerjaku dulu di Ujung Kulon sana. Jangankan bangunan berlantai tiga dan fasilitas kantor yang sangat lengkap, untuk bangunan satu lantai dan listrik saja sudah merupakan kendala bagi kami saat itu. Mungkin karena kondisi yang sangat terbelakang dan perhatian yang rendah dari Pemerintah Jawa Barat saat itulah yang akhirnya membuat daerah ini menuntut kalau Banten pada harus menjadi Provinsi sendiri. Ini dimaksudkan agar apa yang menjadi ketertinggalan Banten dibandingkan daerah-daerah lain dapat terkurangi.

Masih lekat dalam ingatanku, kalau pada tahun 1999 hingga 2000 itu, seluruh element masyarakat Banten bersatu dan ‘mengepung’ Jakarta untuk dapat meluluskan terbentuknya Provinsi Banten dan terlepas dari Jawa Barat. Pada awalnya Pemerintah Pusat memandang kalau hal ini hanya emosional sesaat yang diakibatkan kondisi daerah dan masyarakat yang terberlakang. Ditambah lagi dengan belum dipandang mampunya masyarakat Banten untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan Provinsi sendiri, sehingga demo menuntut pembentukan provinsi Banten seolah menjadi keinginan yang mengada-ada. Namun dengan kekuatan hati dari seluruh elemen masyarakat Banten, yakni para ulama, santri, pengusaha, pemuda, aparat yang ada hingga masyarakat biasa, mampu meyakinkan pemerintah pusat bahwa Banten sanggup berdiri sendiri dan lepas dari administrasi pemerintahan provinsi Jawa Barat.

Pada awal-awal pembentukannya beragam masalah muncul dan membuat penilaian Banten belum siap atau kurang memiliki SDM ini makin menguat. Ini terbukti dengan adanya friksi dan kurang terpadunya antara pemnerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah kekecewaan masyarakat Tangerang yang merasa kurang diperhatikan dan mengusung opsi untuk lepas dari Banten dan bergagung ke Provinsi DKI Jakarta. Namun lambat laun friksi dan emosional sesaat itupun dapat teratasi ketika seluruh elemen ‘daerah seribu pondok pesantren’ ini menyadari akan arti pentingnya menahan diri untuk sesuatu yang lebih maslahat. Jadilah Banten terus berjalan hingga pemilihan Gubernurnya yang kedua setelah sebelumnya dijabat oleh utusan Depdagri untuk mengawal pemilihan Kepala Daerah yang pertama kali.

Adalah Ibu Hj. Ratu Atut Chosyiah, sebagai Gubernur ketiga Banten yang sekaligus gubernur wanita pertama di Indonesia. Ketegaran dan kesabarannya sebagai seorang ibu telah membawa ‘negeri dari masa lampau ini’ pada geliat pembangunan yang mulai terlihat di mata nasional. Beragam kebijakan dirancang sebagai upaya pencapaian masyarakat yang maju mandiri dan sejahtera. Dibantu dengan 42 SKPD serta lebih dari 3000 orang PNS, Beliau berusaha mewujudkan Banten setara dan sebanding dengan Provinsi-provinsi lain di negeri ini. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan Banten memperoleh posisi ke lima pada urutan pengumpulan PAD yang besar di Indonesia pada awal tahun 2008. Ini bukan prestasi yang kecil, setidaknya dari masa berdirinya yang baru menginjak usia tujuh tahun, Banten telah mencapai posisi yang layak diperhitungkan oleh provinsi-provinsi lain yang lebih dulu ada secara administratif.

Aku memang beruntung, sebagai perantau yang tidak memiliki siapa-siapa dapat hadir dan menjadi salah satu aparatnya. Keberuntunganku setidaknya tergambar dari sepuluh tahun sudah aku mengabdi dan menghirup udara tanah para ulama ini. Di tatar ini pula beragam kisah kujalani sebagai mahluk Tuhan yang mengembara pada ladang pencarian jati diri, dan perjuangan untuk tetap hidup sebagai hamba yang sarat keterbatasan. Sejatinya aku sudah merasa lebih baik di usiaku yang menginjak kepala tiga ini dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu. Apa yang kurasakan ini adalah wujud kasih sayang Allah yang tiada batas padaku dan keluargaku. Dan aku takan pernah melupakan itu, aku akan selalu merasakan cukup sebagai ujud syukurku sebagai hamba yang tak pernah sedetikpun lepas dari rahmat-Nya. Meski tinggal di komplek tukang baso, perantau dari Jawa, yang sarat dengan keterbatasan dan ketaknyamanan penataan lingkungan, namun aku benar-benar bisa merasakan kalau Allah telah menganugerahkan rahmat-Nya dalam hidupku.

Istriku perempuan Jawa yang penurut dan pengabdi pada suami. Darinya dua anak laki-lakiku lahir dan mendamaikan setiap helaan nafasku. Senyum canda dan tangisnya merupakan energi dan kekuatan terbesar dalam hidupku kini. Dengan kehadiran mereka rasanya aku mampu menghadapi apapun dalam hidup. Inilah aku sekarang, rasa syukur akan ketenangan hatiku seakan menjadi ujud berhasilku dalam menempa langkah ini. Hari-hari yang kulewati bagaikan menapaki istana kedamaian sebelum kedamaian yang sesungguhnya. Dan itu adalah situasi dimana aku merasa bahwa Allah benar-benar telah menunjukan rahmat dan berkah-Nya bagi hidupku. Hingga suatu saat aku mulai berfikir apa yang seharusnya aku lakukan dalam memaknai kasih sayang-Nya ini, yakni berguna bagi semua orang di sekelilingku. Orang-orang yang telah membantu dan mendukungku menggapai semua ketenangan ini, orang-orang yang telah dengan tulus mendoakan kebahagiaanku, dan itu tentunya keluargaku yang terjarak ratusan kilo meter dari tempatku berdiri.

Berangkat dari semuanya itu, aku berniat melengkapi rukun islamku dengan menunaikan ibadah haji tahun ini. Selain aku juga ingin memunaikan hal ini karena sebuah janji pada almarhumah Ibu, aku ingin merasakan anugerah lain ketika menjadi ‘Tamu Allah’. Sebetulnya aku ingin berhaji dengan orang yang paling setia dan selalu tulus mendampingiku, yaitu istriku, akan tetapi dengan keterbatasan dana tabunganku, aku memutuskan kalau aku berangkat sendiri dulu di tahun ini. Dan yang membuat aku lebih tenang dan mantap melaksanakan rencana ibadah ini adalah, istriku sepenuh hati dan ikhlas membiarkan aku berangkat lebih dulu. Itu yang membuatku merasa kalau Allah benar-benar telah menganugerahkan ‘bidadari dunia’ untuku.

Seingatku aku sudah melaksanakan manasik hingga persiapan pemberangkatan. Beberapa rekan sekerjaku juga sudah banyak yang datang kerumah untuk sekedar mengucapkan selamat jalan atau juga titip doa setibanya aku di tanah para Nabi itu. Beberapa diantaranya ada yang datang dengan kekhusuan sepenuhnya, mereka ini adalah beberapa rekanku yang betul-betul ingin disampaikan doanya. Mereka beranggapan bahwa doa yang disampaikan di depan masjidil Haram memungkinkan untuk cepat dikabulkan. Ah, mudah-mudahan itu memang benar. Setidaknya beberapa doa yang mereka titipkan adalah hal yang sangat penting bagi mereka dalam menjalankan hidup ini secara kaffah.

Mengingat itu, aku jadi terdiam sendiri. Setidaknya, aku juga sering melakukan hal yang sama pada beberapa rekanku yang akan melaksanakan ibadah haji pada tahun-tahun kemarin. Beberapa doa yang begitu sering aku titipkan adalah, agar aku bisa segera menyusul mereka di tahun haji mendatang. Banyak harapan dan doa yang telah terinventarisir dalam hatiku, aku ingin menumpahkan semuanya itu. Aku ingin menumpahkan segalanya ketika langkah kakiku benar-benar telah sampai di tanah para Rasul, dan mataku benar-benar berhadapan lurus dengan Baitullah.

“Ya Allah, izinkan hamba-Mu yang hina dina ini menjadi tamu-Mu. Izinkan langkah kakiku yang penuh dengan dosa ini menapak di tanah suci-Mu, izinkan pula segala duka dan resah hati ini ku tumpahkan di ‘taman kemulyaan-Mu’...”

Sesaat air mataku menggenang di pipiku, ini sholat malam yang paling khusyuk kurasakan. Setelah sekian tahun ku lakukan, meski terkadang bolong-bolong, sholat malam seperti ini masih menjadi jalur ekspressku dalam memohon jalan keluar dari segala permasalahan. Dan salah satu doa yang sering kupanjatkan di setiap bilangannya adalah menjadi tamu-Nya di musim haji. Doa itu telah terpanjat lama sekali, dan mungkin baru tahun ini aku mulai merasakan kalau doa itu akan diijabah-Nya. Aku mampu melunasi biaya perjalanan haji, meski dengan tabunganku yang kupaksakan dan itupun jumlahnya hanya pas-pasan untuk satu orang. Aku juga sudah melaksanakan manasik haji serta telah dinyatakan sehat secara fisik oleh tim dokter. Aku siap untuk berangkat! Tinggal izin-Nyalah yang memastikan semuanya ini. Insya Allah.

Siang itu, seperti biasanya aku menyempatkan diri untuk berdiam sesaat di mushola Gedung Bappeda Provinsi Banten. Aku ingin sejenak meneduhkan kepalaku yang penat dengan segala tugas dan rutinitas kantor. Aku ingin mulai membiasakan kembali dengan amalan Tuanku Imam Hasan al-Bana, mudah-mudahan ini akan menjadi hapalanku. Di usiaku seperti ini, hapalan qur’an atau hapalan dzikir Nabi, adalah sesuatu yang paling sulit kulakukan. Namun aku harus terus mencoba dan ingin mewujudkanya, sesulit apapun itu. Hingga dzikir itu sampai pada doa peneguh hati, aku tiba-tiba merasa mengantuk dengan tiupan angin yang semilir ditubuhku. Kalau saja tidak kudengar dering handphone di sakuku, mungkin rasa itu membawaku terlelap sesaat di mushola yang berukuran 4 x 6 m ini.

“Assallamu ‘allaikum...”

“Wa allaikum sallam, dengan Bapak el Harist?”

“Betul, dengan siapa ya?”

“Ini kami dari Kantor Departemen Agama Kota Cirebon, Pak. Kami tadi mencoba menghubungi nomor telepon rumah Bapak, tapi kata keluarga Bapak, Bapak sedang berada di Serang...,” seru sebuah suara dari ujung handphoneku.

“Betul, saya memang tugas di sini. Nomor telepon yang Bapak hubungi adalah nomor telepon kakak saya. Ada informasi yang penting , Pak?”

“Begini Pak, sebelumnya kami mohon maaf. Saya Samsudin, bagian pelaksanaan ibadah haji, saya ingin menyampaikan pemberitahuan tentang keberangkatan ibadah haji Bapak,” aku menghela nafas sejenak, ketika suara telephone dari Cirebon itu terdiam sesaat, “karena adanya perubahan jumlah kuota yang mendadak dari Departemen Agama Pusat untuk jumlah jamaah Provinsi Jawa Barat, kami bermaksud mengurutkan kembali daftar jamaah yang akan kami ikutkan pada musim haji tahun ini. Dan ini tentunya berpengaruh pada urutan keberangkatan dan kloter jamaah haji Bapak...”

“Maksud Pak Samsudin?”

“Begini Pak, setelah diurutkan kembali, ternyata nama Bapak termasuk pada daftar waiting list yang kemungkinan akan diberangkatkan pada musim haji tahun depan, jadi....”

Seketika pandangan mataku gelap. Aku tak lagi merasakan pijakan kakiku di ruangan mushola ini. Hatiku bergetar lembut, mencoba menerimai kenyataan ini. Ada rasa kesal dan marah yang berkecamuk di hatiku. Ini tidak mungkin! Bukankah aku sudah berusaha melunasi ongkos biaya haji, aku juga sudah ikut manasik, aku...

“Yaa Allah, cobaan apa yang tengah Engkau berikan pada hamba? Apa yang telah hamba perbuat, sehingga hamba harus menerima cobaan seperti ini?” ucapku lirih diantara bulir air mata yang tak kusadari mengalir di pipiku. Begitu pahit rasanya informasi ini kurasakan, setidaknya karena informasi itulah aku seperti terhempas kembali pada kenyataan bahwa Allah masih belum berkenan menerimaku sebagai tamu-Nya di tahun ini.

Dan kekecawaan itu rupanya begitu membekas di wajahku, hingga sepanjang rapat pembahasan Perda SOTK dari Kota Cilegon siang itu, aku hanya diam dan tak begitu berkonsentrasi. Melihat kondisiku yang berbeda dari biasanya, Pak Kabag memanggilku secara khusus ke ruangannya.

“Assallamu ‘allaikum...,” suaraku datar di depan pintu dari taekblok ini.

“Wa allaikum salam...,” Pak Haji Cepi menjawab salamku seraya melambaikan tangan mengisyaratkan aku untuk masuk ke ruangannya lebih dalam. Wajahnya seperti memahami apa yang tengah aku alami. “Ada apa Rist? Kamu seperti yang sedang bingung....”

“Anu Pak, saya... sedang bingung,” kataku ragu-ragu.

“Katakan saja, Rist. Barang kali saya bisa membantu...”

“Anu Pak Haji, saya mendapat khabar kalau saya tidak jadi berangkat haji tahun ini. Tadi baru saja saya menerima telephone dari Cirebon kalau saya masuk daftar waiting list tahun depan...”

Sesaat lelaki berperawakan kurus itu menyunggingkan senyumnya, tatapannya yang tenang seolah berucap kalau itu bukan alasan yang tepat untuk menjadikanku melamun dan tak konsentrasi dalam tugas. “Sabar, Rist,” suara Pak Haji Cepi kemudian, ia begitu tenang, mencoba membawa hatiku yang tengah labil, “ Allah adalah designer dan sutradara hidup sejati. Jangan pernah ragukan setiap keputusan dan taqdir-Nya...”

“Tapi, Pak Haji, saya sudah menunggu lama semuanya ini. Begitu banyak doa dan harapan yang terekap yang ingin saya sampaikan di sana...,” kalimatku bergetar menahan kekecewaan.

“Hakikat berhaji adalah menjadi tamu-Nya untuk membersihkan semua dosa dan kesalahan kita, Rist,” Pak Haji masih mencoba menenangkanku, “dan sekali lagi, kita cuma bisa berusaha dan berencana, sementara keputusan akhir adalah milik-Nya. Insya Allah, tidak ada yang salah dengan semuanya ini, Rist.”

“Tapi Pak Haji....”

“Lebih baik, kamu pulang sekarang. Biar kamu bisa sejenak menenangkan hatimu,” katanya kemudian, “kegiatan evaluasi lanjutan Raperda Kota Cilegon siang ini, biar nanti saya serahkan pada Agus Sulhi.”

“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu Pak,” aku mencium tangan pimpinan yang sudah jauh kuanggap orang tua bagiku itu. “Assallamu ‘allaikum...”

“Wa allaikum sallam...”

Aku masih duduk termangu di meja kerjaku setelah sholat subuh ini. Dengan menyetel radio FM, aku mencoba sejenak menenangkan hatiku yang masih agak kecewa dengan apa yang baru saja berlaku pada keberangkatan hajiku. Rasanya apa yang telah kupersiapkan percuma saja, belum lagi aku merasa sedikit malu dan risih pada setiap pertanyaan rekan-rekanku yang terlanjur tahu kalau aku akan berangkat haji tahun ini. Mereka pasti akan banyak bertanya akan semuanya ini, dan aku masih belum yakin menghadapi kekecewaan seperti ini.

“Assallamu ‘allaikum wr. wb.... ikhwan akhwat di Banten dan sekitarnya... Senang sekali di pagi yang cerah ini kita dapat bertemu kembali dalam acara yang menjadi sarana silahturahmi diantara kita. Seperti biasa kita akan langsung bergabung dengan MQ FM dan mendengarkan tausyiah dari guru kita KH. Abdullah Gymnastiar dari Pondok Pesantren Da’aruttauhid Bandung. Acara ini di relay melalui Muslim FM yang menjadi kebanggaan kita....”

Aku masih tediam dengan pandangan yang tak acuh pada barisan buku-buku yang selalu menjadi temanku setiap subuh. Fikiran kekecewaanku nampaknya membuatku kurang bersemangat menghadapi hari ini. Namun meskipun begitu, telingaku masih cukup baik untuk mendengar dan menangkap acara tausyiah dari Aa Gym di ujung Geger Kalong sana.

“.....jadii pada hakikatnya apapun yang kita lakukan jangan sampai menjadi sia-sia. Setiap perbuatan yang kita lakukan biasakan dengan niat yang tulus karena Allah. Makan karena Allah, minum karena Allah, tidur karena Allah, bekerja karena Allah, mencari nafkah karena Allah, dan pastinya beribadah juga tentunya karena Allah...

Kalau semua sikap dan tingkah laku kita karena Allah, Insya Allah apa yang kita lakukan, keringat yang kita cucurkan, hingga desah nafas yang kita hembuskan akan bernilai ibadah. Oleh karena itu kita harus senantiasa menjaga niat kita kepada Allah, membiasakan diri untuk melakukan apapun hanya karena Allah dan mengharapkan keridhoan Allah...

Sampai di sini ada yang mau bertanya?”

Sesaat suara radio ini hening, menunggu seorang penanya yang kebetulan hadir di majlis tausyiah di Bandung sana.

“Ya, yang di ujung sana. Silahkan Ibu, apa yang ingin Ibu tanyakan?”

“Begini, A... saya seorang istri dengan empat orang anak. Setiap hari saya berusaha menunaikan tugas saya sebagai seorang istri dengan mengurus suami dan merawat keempat anak saya. Akan tetapi sampai dengan jalannya lima tahun perkawinan kami, saya sama sekali tidak dipandang benar oleh suami saya A. Dia selalu saja melihat setiap kesalahan saya tanpa mau membandingkan apa yang telah saya lakukan selama ini. Pertanyaan saya A, bagaimana menghadapi suami saya yang sering hanya melihat jeleknya saya saja? Mohon sarannya dari Aa?”

“Iya, itu pertanyaan saudara kita dari mana..., Bu?”

“Kalimantan Barat, A...”

“Kalimantan Barat? Alhamdulillah, ibu sudah jauh-jauh datang untuk bersilahturahmi ke Da’arut Tauhid, bagaimana perjalannya Bu?”

“Alhamdulillah, lancar A?”

“Baik, kita jadikan perjalanan jauh ibu datang kesini tidak sia-sia dengan belajar bersama menghadapi segala permasalahan yang ada di antara kita. Baik, tadi Ibu bertanya bagaimana menghadapi suami yang hanya melihat jeleknya saja, tanpa mau berfikir dan membandingkan kebaikan yang telah kita lakukan,” suara Aa Gym berhenti sejenak, “sebelum kita mengoreksi orang lain, alangkah lebih baik kalau kita mengkaji dan mengkoreksi diri kita lebih dulu. Apakah sudah benar niat kita, apakah sudah yang terbaik dari apa yang telah kita lakukan? Seandainya belum, perbaiki dahulu niat dan kualitas amalan kita sebagai seorang istri. Setelah itu tingkatkan lagi kualitas yang mungkin bisa kita berikan pada suami kita. Akan tetapi apabila kita merasa sudah memberikan yang terbaik, jaga niat dan ketulusan amalan kita semata-mata hanya mengharap ridho Allah. Kalau hanya mengharap ridho atau pujian dari sesama mahluk atau hanya sekedar menyenangkan suami kita tanpa niat yang benar, niscaya kita akan lebih banyak sakit hati. Karena kita tidak bisa berharap apa yang kita lakukan selalu tepat bagi orang lain. Akan tetapi kalau melakukan sesuatu karena mengharap ridho Allah, Insya Allah kita akan mendapatkan balasan yang terbaik dari Allah.

Andaikan suami ibu memang terus saja begitu, doakan saja setiap sholat malam agar ia mendapat hidayah dan dibukakan hatinya untuk bisa menghargai dan melihat ibu dari sisi yang positif...

Naah, bagaimana Bu? Bisa diterima....” hadirin terdiam, termasuk aku yang mendengarkan setengah hati acara MQ on air ini.

“Selanjutnya kita akan mendengar satu pertanyaan dari layanan telephone A,” moderator pengantar acara nampak memberikan arahan adanya saluran telephon yang masuk.

“Oh, sudah ada telephone yang masuk yah? Yaa sudah kita beri kesempatan saudara kita yang masuk lewat telephone dulu yah...”

“Halo... Assallamu ‘allaikum A,” seru suara dari layanan telephone.

“Wa allaikum sallam wr. wb....”

“Nama saya Annisah A, saya mahasiswi tingkat akhir di Jogjakarta.”

“Ooh... De Annisah dari Jogja, ya,” suara Aa Gym nampak menimpali, “ono problem opo?” Aa Gym seperti biasa mencoba menenangkan penanya dengan humornya.

“Begini A, enam bulan yang lalu, saya sudah dikhitbah oleh seorang laki-laki dan saya juga telah menerimanya. Menurut rencana bulan kemarin kami akan melangsungkan akad nikah. Beberapa persiapan sudah kami lakukan, namun menjelang satu minggu acara tersebut, calon saya tiba-tiba menangguhkan keinginanya dengan alasan ada tugas keluar kota yang tidak bisa ditinggalkan pada hari yang sama. Yang menjadi permasalahan A, calon saya sampai dengan hari ini tidak jelas keberadaannya. Saya dan keluarga merasa dipermalukan, A. Dan karena hal itu pula, seminggu yang lalu Bapak saya pergi untuk selamanya dengan rasa malu yang mungkin masih mengganjal di hatinya. Menurut Aa, apa yang sebaiknya harus saya lakukan? Saya benar-benar tak kuat menanggung cobaan seperti ini” suara di ujung telephone sana sepertinya sangat berat terdengar. Beberapa helaan nafasnya malah terdengar seperti terisak menahan tangis.

Aku sesaat terbawa serius dengan suara wanita yang katanya dari Jogjakarta ini. Ada iba dan simpati yang tiba-tiba menyelimuti hati ini. Begitu berat beban yang tengah ditanggung perempuan yang bernama Annisah ini.

“Yaa baik, De Annisah....,” suara Aa Gym nampak lembut dan mencoba menenangkan, “hidup ini pada akhirnya memang sarat dengan beragam masalah. Ketika kita bangun tidur atau ketika sudah mau tidur semuanya dilengkapi dengan masalah, oleh karena itu sepandai-pandai manusia adalah mereka yang mampu bertahan dalam menghadapi masalah. Seingat Aa bukan masalahnya yang berat, akan tetapi bagaimana kita menunjukan keberanian untuk menghadapi masalah itu. Karena sejatinya permasalahan yang ditimpakan pada kita sudah sesuai dengan kemampuan kita. Masih ingat kuncinya?

Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa...

Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dengan demikian, kita harus yakini bahwa apa yang terjadi dalam hidup kita, pasti merupakan ujian yang akan sanggup kita hadapi dan satu lagi pasti sarat akan hikmah. Jadi, untuk De Annisah bersabarlah... karena Allah akan senantiasa memberikan kemudahan dari setiap kesusahan kita...”

Aku terdiam sesaat, tausyiah singkat di pagi yangmasih gelap itu telah menuntunku untuk kembali bertafakur atas segala lintasan sesal di hati. Betapa masih rendahnya kualitas imanku ketika Allah hendak meningkatkan keimananku dengan ujian-Nya, aku langsung tersungkur pada nikmat yang semestinya tetap harus kusyukuri. Setidaknya masih begitu banyak manusia di dunia ini yang mungkin mendapatkan ujian yang lebih berat dariku, dan mereka semua tetap tegar dan meneguhkan imannya. Sedang aku? Hanya karena informasi waiting list yang menjadikan ibadah hajiku tertunda, aku sudah bersikap ke arah kuffur akan nikmat-Nya.

“Astagfirullahalladziim..., ampuni hamba-Mu yang masih terlalu buta akan arti bersyukur ini Yaa Allah. Tiada maksud dihati ini kalau hamba akan kuffur dari nikmat-Mu, ampuni kekeliruan rasa di hati hamba ini, Yaa Allah... ampuni hamba yang masih terlalu pagi untuk merasa layak menjadi tamu-Mu, dan berharap kemulyaan dari ibadah yang hamba sendiri tidak yakin, apakah ini sepenuhnya hanya karena ingin mengingat dan memohon ampunan-Mu...

Tuntun hati hamba Yaa Allah, lapangkan dan tenangkan hati hamba untuk sesuatu yang belum sepenuhnya hamba fahami Yaa Allah....

Astagfirullahalladziim....”

Pagi yang masih tersaput embun itu seakan menjadi saksi ketakmampuanku untuk tetap istiqomah pada keyakinanku, kalau Allah pasti memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Betapa hati dan jiwa ini kembali pada kondisi ketakmampuanku memahami kembali arti ikhlas dan tawaqal akan segala taqdir dan keputusan-Nya.

Kutarik nafas yang panjang, kubiarkan rongga dada dan paru-paruku ini terisi penuh dengan udara pagi yang masih sejuk kurasakan. Aku ingin mencoba membenahi kembali hati dan jiwaku dari rasa tak nyaman seperti kemarin. Aku ingin belajar kembali dari awal, kalau Allah selalu memberikan hikmah atas segala kejadian dalam hidup ini. Sesaat ingatanku berputar pada sebuah kaset tausyiah KH. Abdullah Gymnastiar yang pernah aku putar tentang kiat-kiat menghadapi permasalahan hidup. Dimana lima kuncinya adalah; Siap menghadapi kenyataan, ridho dengan apa yang telah terjadi , jangan memperburuk keadaan, instrospeksi diri, berikhtiar dan bertawaqal kepada Allah.......

Salah satu kisah yang disampaikan pada tausyiah itu adalah bagaimana menyesalnya seorang Bapak yang sudah manasik, dan selamatan untuk keberangkatan haji akan tetapi batal karena sakit yang ia derita tiba-tiba akibat jatuh terpeleset di kamar mandi. Dan ulasan untuk kisah itu adalah bahwa Allah tengah mempersiapkan rencana yang lain tentang penundaan keberangkatannya tahun itu. SepertI mungkin belum cukupnya ilmu yang dimiliki bagi pencapaian haji mabrur atau akan wafatnya orang tua yang mungkin belum sempat kita urus dengan baik, atau juga kemungkinan lain yang memang membutuhkan si lelaki itu.

Sesaat aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan, ingatan ini seakan mencharge kembali tingkat penyadaranku akan sesuatu yang menjadi hak-Nya.

Sesungguhnya Aku lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Ku, dan manusia pada akhirnya tidak tahu banyak. Apa yang dirasakan jelek bisa jadi malah sesuatu yang baik bagi kita di mata Allah...

Dan itu kudapati pada siang yang makin panas dengan debu yang kian menebal diantara roda-roda Honda Win ini. Dering handphoneku terdengar begitu keras ketika langkah kakiku baru saja meninggalkan halaman Masjid Attsauroh yang terlihat agung dengan arsitektur kunonya. Sebaris nomor yang tak kukenal nampak terbaca di Nokia 3315-ku. Sesaat fikiranku berputar mencoba menerka siapa yang tengah menghubungiku dengan nomor hp yang tak kukenal itu.

“Dengan Harist?”

“Betul, maaf dengan siapa ini?”

“Ini Om Budi, Rist,” sebuah sauara nampak memperkenalkan diri dari ujung handphone sana, “ada yang ingin Om bicarakan, tentang Ruby…”

Ruby? Ada apa dengan Ruby Om?” tanyaku mendadak bergetar mengingat sosok adiku yang kurang beruntung itu.

“Ceritanya panjang, tapi Om harap kamu bisa tenang, dan kalau bisa Om ingin kamu pulang dulu ke Cirebon. Bapak, Mba Maryam dan saudara-saudara yang lain sudah berkumpul di sini…”

“Memang ada apa, Om?”

“Om sepertinya ngga bisa cerita banyak dulu Rist, lebih baik kamu cepat pulang saja ke Cirebon,” suara kakak ipar yang kupanggil Om itu mendadak putus. Mungkin batere hp-nya habis atau mungkin juga pulsanya. Seingatku kakak iparku yang ke lima itu memang lebih sering kehabisan pulsa. Mungkin karena profesinya yang belum tetap dalam mencari nafkah untuk kakak perempuanku dan ponakanku yang kesembilan dan kesepuluh.

Telepon dari Cirebon ini sesaat menghentikan senyum damai yang baru saja kurasakan di siang terik itu. Seperti Jum’at kemarin, aku berusaha untuk bisa ikut dzikir sejenak dengan para jamaah sebelum kembali melanjutkan aktifitasku sebagai seorang pegawai negeri sipil di pemerintahan Banten ini. Berita yang terpenggal karena kesalahan teknis itupun turut membawaku pada ingatan empat tahun lalu ketika khabar yang sama aku terima.

Waktu itu, tepatnya tahun 2003, ketika aku masih hidup sendiri. Seluruh perhatianku hanya tercurah pada pekerjaan. Pagi siang hingga malam terisi oleh beragam kesibukan dan rutinitas kantor. Aku baru masuk dan bergabung di Setda Provinsi Banten sat itu. Ketika kabar yang kudengar dari Om Budi kalau adiku Ruby telah dipulangkan dari satuannya di Langsa Aceh sana karena gangguan phsikis yang dideritanya. Berita yang sangat mengejutkanku itupun membuat kekahwatiranku pada adiku satu-satunya itu semakin tak menentu Terakhir aku melihatnya ketika aku di wisuda dulu, saat itu Bapak bilang kalau ia juga akan berangkat tugas di Timor-timur. Beberapa tahun kemudian setelah negeri loro sae itu merdeka, aku mendengar khabar kalau ia ditugaskan di daerah konflik berikutnya yakni Nangro Aceh Darrusallam, sejak itu aku tak pernah mendengar khabarnya. Baru setelah beberapa tahun kemudian aku mendengar khabar kalau ia menderita halusinasi kuat alias schizoprenia.

Ia dirawat di bangsal Amino, yang notabene bangsal perawatan bagi para tentara yang terkena gangguan jiwa. Setelah berjuang mendapatkan pinjaman mobil dinas akupun segera menyusul berita itu ke arah Senen dimana RS Gatot Subroto berada. Beberapa keluarga katanya baru akan berangkat besok, mungkin menunggu kedatangan Bapaku yang sekarang tinggal di Jawa Tengah. Tiga jam lebih aku terdiam, tiga jam pula aku benar-behar diliputi rasa cemas akan kondisi adiku yang telah lama tak bertemu itu. Sementara Isal dan Pak Erwin yang kebetulan mendampingi perjalanku menuju Jakarta masih terus berusaha menenangkanku dengan berbagai nasihat dan cerita kesabaran. Namun semuanya itu seakan tak berhasil, fikiranku tetap tertuju pada sosok adiku yang katanya sudah Pratu dan pernah menjadi pelatih tembak di satuannya. Bagaimana ujudnya sekarang, kalau dalam berita yang kuterima ia dikembalikan dari satuannya karena gangguan phsikis dan mental. Ya Allah, selamatkan adiku, .…

“Berapa lama lagi, Pak Erwin?” tanyaku tak sabar..

”Sebentar lagi, Pak Harist. Kita hanya tinggal melewati jalan besar ini saja, kita akan sampai di komplek RS TNI Gatot Subroto,” katanya dengan pelan.

“Berapa lama?”

“Kalau tidak macet, paling sepuluh menit lagi…”

“Sabar, Rist. Aku yakin, adikmu ngga apa-apa,” Isal mencoba menenangkanku, ia memang teman terdekatku sejak aku pindah dan bergabung di Setda Provinsi Banten. Dia seusia denganku, hanya saja statusnya masih tenaga kontrak saat itu. Mungkin karena ia cenderung pendiam dan berfikiran sederhana, membuatku cocok bergaul dan akrab denganya.

“Nah, kita tinggal belok kiri,” Pak Erwin menjelaskan kembali rute terakhir untuk memasuki komplek RS tentara itu.

Setelah berputar-putar mencari lahan parkir, akhirnya aku sampai juga di pusat informasi dan segera menanyakan letak bangsal Amino. Seorang perawat laki-laki nampak dengan senang hati mengantar kami ke bangsal yang ditunjukan. Setelah membuka pintu gerbang yang terbuat dari besi dan berjumlah tiga lapis, akupun sampai di salah satu bangsal yang untuk mencapainya aku harus menyebrangi semacam sungai pembatas antara bangsal ini dengan ruangan lainnya. Kondisinya seakan bagian yang sengaja diisolasi, mungkin karena memang diperuntukan bagi pasien yang sikap dan prilakunya tak bisa diduga sehingga bangsal ini dibuat sangat berbeda dibandingkan bangsal lainnya.

“Bisa bertemu dengan adik saya, pak?” tanyaku serak pada penjaga pusat informasi Bangsal Amino ini.

“Siapa, nama adik Bapak?”

Ruby. Pratu Ruby Suwarno dari satuan Infanteri 301 Sumedang,” jawabku masih dengan suara gemetar dan cemas.

“Yang baru dipulangkan dari Aceh, ya?”

Aku mengangguk mewakili jawabanku.

“Mari ikut dengan saya,” lelaki berpakain serba putih itu membawa kami menuju sebuah ruangan yang mirip dengan sangkar burung. Semua bagiannya tertutupi pagar kawat. Beberapa orang yang ada di dalamnya nampak mondar-mandir dengan tatapan yang tak acuh. Ada yang senyum-senyum sendiri, ada yang tertawa-tawa dan ada juga yang terdiam dengan bola mata yang tak jelas menatap kemana. Hatiku mendadak lemas, jiwaku seakan tercabik-cabik perasan galau yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Ini pengalaman bathin yang sangat tak biasa dalam hidupku, memasuki ruangan pasien penyakit jiwa dan aku menuju salah satu penghuninya. Adiku, lelaki yang dulu kukenal ceria dan bungsu di keluargaku.

“Itu, adik Bapak,” lelaki berseragam putih itu menunjuk salah satu dari beberapa lelaki berseragam tentara tak lengkap yang tengah duduk-duduk dan berbaring di sebuah ruangan istirahat. Kermudian tangan lelaki perawat itu nampak memerintahkan salah seorang rekannya untuk membawa lelaki yang ditunjuknya ke arahku.

“Silahkan Pak,” katanya kemudian,” tapi mohon untuk tidak terlalu membawanya jauh keluar…”

Aku hanya bisa mengangguk. Entah apa yang ada dalam benaku, yang jelas sesaat fikiranku melayang merasakan sesuatu yang asing dalam sejarah hidupku. Meski mataku menatap tajam pada lelaki yang berjalan mendekat ke arahku, namun hatiku seakan teraduk-aduk emosi yang sangat tak kumengerti. Ada rasa marah, ada rasa haru, dan yang pasti ada rasa pilu dengan apa yang tergambar jelas di depanku.

Sesaat lelaki yang terlihat sangat kurus dan hanya mengenakan kaos hijau dan celana loreng itu menatap ke arahku, pada jarak tiga meter itu pandangannya masih terlihat kosong. Entah apa yang tengah dirasakan oleh lelaki malang itu, rasa sedihkah? Rasa kecewakah? Atau mungkin marah yang tak bisa lagi ia ungkapkan dengan kata-kata. Rambutnya yang dulu selalu cepak, kini terlihat tak teratur dengan kondisi yang sangat tak rapi. Kumis dan cambangnya juga seakan menceritakan kalau ia sudah tak memperhatikan semuanya itu lama. Kakinya tak beralas, beberapa lumpur kering dan bercak darah masih terlihat jelas diantara tulang-tulang jarinya. Sejenak langkahnya terhenti ketika ia tepat berada di depanku, kemudian dengan perlahan ia menyambut uluran tanganku. Dengan perlahan pula ia membungkuk dan mencium tanganku yang masih bergetar menahan bingung dan ragu, inikah adiku?

Dia mencium tanganku lama, sebelum akhirnya ia menangis sesegukan di pundaku. Banyak ekpresi duka yang ia sampaikan di sana. Banyak isak yang mewakili kegelisahan hatinya, meski ia tak mampu terucap, aku dapat merasakan semuanya itu.

“Assallamu ‘allaikum…” ucapku berat menahan emosi dan tangis di dalam dadaku.

“Wa allaikum salam,” jawabnya terbata-bata dan sangat pelan.

“Sehat Dek?” tanyaku mencoba tenang dan menahan bulir bening yang sedari tadi menganak sungai di kelopak mataku. Lelaki kurus itu hanya mengangguk seraya menyeka beberapa titik air mata yang masih membekas di pipinya yang terlihat kuyu. “Bapak, sama yang lain akan datang sore nanti, sabar yah…”

Ruby kembali mengangguk. Sejak jawaban salamnya, ia tak lagi bersuara kini. Hanya anggukan dan tatapan kosong yang entah sebetulnya mewakili apa. Sementara guratan-guratan wajahnya seakan menceritakan pengalaman yang begitu mencekam dan menakutkan. Dua tahun masa tugas di daerah Serambi Makkah itu telah merubah semua yang dulu kudengar, tentang kegagahan adiku yang terlanjur menjadi tentara karena keterbatasan kami. Beberapa tahun dulu, ia memang bertekad untuk menjadi ABRI demi kondisi keluarga kami yang serba susah. Dengan menjadi tentara ia berharap dapat mandiri dan menjalani semua kesulitan hidup ini dengan tegar. Tiga kali ia gagal masuk Scaba, hingga nasib membawanya untuk masuk jalur Scata. Ruby termasuk anak yang baik, meski bungsu ia tak pernah banyak menuntut. Keinginanya yang keras ingin membahagiakan Ibu membuatnya tegar menghadapi setiap cobaan dan tempaan karirnya.

“Maaf, pak,” seorang berseragam putih nampak menghampiri kami, “sudah saatnya minum obat buat Bapak Ruby.”

“Oh iya, mari biar saya yang minumkan,” kataku seraya mengambil alih gelas dan beberapa butir obat , “dia adik bungsu saya. Sejak dulu, saya yang paling dekat dengannya.”

“Baik kalau begitu, tapi tolong, diminumkan ya Pak. Tadi pagi Pak Ruby membuang semua pil obatnya…” perawat itu nampak memberikan gambaran nyata tentang adiku. Ia memang sudah sangat berubah sekali, sangat berbeda dibandingkan lima tahun sejak kami terakhir bertemu di Jatinangor.

“Saya akan usahakan,” kataku meyakinkan perawat bangsal ini. Sesaat aku memperhatikan butir-butir obat yang beraneka warna itu, jumlahnya ada enam. Aku ngga tahu, seberapa parah adiku, hingga harus minum obat langsung enam. “Diminum dulu obatnya ya, Dek…”

Ruby tak banyak bicara, ia langsung meraih pil yang berjumlah enam itu. Langsung memasukan kemulutnya dan meminum habis air di gelas yang ku sodorkan. Meski begitu tatap matanya masih tak banyak berekspresi, hanya dari sikapnya kuketahui kalau ia agak kesal denganku yang agak memaksanya minum obat.

“Ini, teman-teman Mas Harist. Yang itu Pak Erwin, dan yang ikal itu Isal,” kataku mencoba membangun percakapan. Karena Ruby masih di posisi diam dan tak banyak berbicara, aku jadi bingung harus melakukan apa lagi. Sepertinya ada jarak dan membentang diantara kami. “Ruby mau makan apa? Nanti Mas Harist bawakan?”

Ruby tetap diam, ia hanya menggeleng perlahan.

“Mau rokok Ruby?” tiba-tiba Isal datang menghampiri dan menawarkan rokoknya. Sesaat Ruby melihat ke arah Isal, kemudian perlahan ia meraih rokok yang ditawarkan kepadanya. Segera Isal menyalakan korek api gas ke arah Ruby dan membakar ujung rokok yang sudah terselip di ujung bibir adiku.

Ruby menikmati sekali rokok itu, entah apa yang ia rasakan dari setiap kepulan asap rokok yang mulai menyelimuti wajahnya yang terlihat lebih tua dari umurnya. Ia terlihat sedikit tenang, meski tatapannya masih terlihat kosong. Isal mendekat ke arahku, beberapa kalimatpun terdengar, “Rist, nampaknya pakaian adikmu sudah kotor sekali, mungkin belum diganti sejak kedatangannya dari Aceh. Lebih baik kita cari baju ganti, atau sedikit cemilan untuknya kalau sewaktu-waktu ia lapar.”

“Iya Sal, kamu benar. Rasanya aku belum bisa membangun komunikasi lebih banyak sekarang, setidaknya aku sudah melihat kondisinya. Lebih baik sekarang kita pergi ke pasar terdekat untuk membeli beberapa potong pakaian ganti untuknya,” ucapku kemudian. “Dek, Mas Harist keluar dulu yah, Dek Ruby mau dibawakan apa?”

Ruby tak menjawab, ia hanya mengangguk dan tanpa kalimat apa-apa ia langsung berjalan ke arah kamar bangsal. Aku bingung! Aku benar-benar tak melihat ujud adiku pada sosok lelaki kurus yang berjalan memunggungiku itu. Tak kuasa tertumpah sudah air mata yang sejak tadi kutahan, air mata perih akan kenyataan yang baru saja ku alami. Dan air mata itu menjadi lebih ketika rombongan keluargaku sampai pada sore harinya. Dengan bekal yang diada-adakan, Bapak dan beberapa orang kakakku nampak hadir dan memeluki tubuh kurus adiku. Ada tangis dan isak yang tertahan dari mereka, meski kuyakin banyak jerit pilu di hati keluargaku. Terlebih lagi Bapak, ia dulu begitu sangat menyayangi dan memperhatikan anaknya yang bungsu itu.

Ingatan situasi seperti itu, seakan kembali merasuk dalam jiwaku setelah terlewat empat tahun. Demi mendengar kabar yang kurang baik tentang Ruby, rasanya teduh dan damai yang baru saja kudapatkan hilang tak berbekas kini. Hanya tinggal diam dan bingung tentang apa yang akan aku hadapi. Setidaknya telpon dari Cirebon di siang yang terik ini benar-benar membuatku lemas terduduk dan merenungi kembali tentang tugas dan tanggung jawabku pada keluargaku. Orang-orang yang telah banyak membantu dan memberiku kekuatan menjalani semua lintasan hidupku.

Siang ini terasa makin terik, meski posisi matahari tak tepat lagi di atas kepalaku. Mungkin karena suasana bathinku, yang terlempar jauh pada sosok adiku yang malang, yang belum juga sembuh dari keterasingan jiwanya.

“Yaa Allah, sehatkan adiku… berikan kesembuhan untuk jiwanya yang tengah sakit dan mengembara pada padang kebimbangan. Tuntun kembali langkah dan hatinya untuk bisa berkumpul kembali, Yaa Allah….”

****

2 komentar:

  1. duh......kangen baca lagi nih novel abang.....kapan muji dikirimkan gratis yach ???? he...he....he.....

    BalasHapus
  2. bisa di atur dinda... bagaimana dengan web pamongnya, ada kabar seru apa nih...

    BalasHapus