5.Diantara Jalan Pulang
Pukul
delapan tepat, ketika kantong-kantong ikan mas ini sampai di pelataran rumah
Pak H. Jamil. Aku benar-benar bersyukur, setidaknya janjiku untuk dapat
memenuhi permintaan lelaki terpandang di kampungku ini. Sesekali aku memeriksa
jumlah kantong plastik dan kondisi ikan di dalamnya. Aku ingin memastikan kalau
apa yang kubawa benar-benar masih dalam keadaan fresh. Setidaknya ini jaminanku
untuk memberikan kepuasan dan pelayanan yang terbaik.
“Assallamu
allaikum,” ucapku di depan pintu pagar yang bergaya Victorian ini. Rumah Pak H.
Jamil memang terbilang paling megah dan bagus diantara orang-orang kaya di
kampungku.
“Wa
allaikum salam, nyari Bapak?” seorang wanita berbaju daster yang keluar
dari rumah bergaya Victorian itu.
“Iya,
Bu. Saya mau menyampaikan pesanan Bapak,” kataku seraya menunjukan kantong
plastic yang penuh dengan ikan mas.
“Ooh
iya, lauk pesenan Pak H. Jamil yah?”
perempuan berbaju daster itu nampak bergegas menghampiriku, “mari biar saya
bawa masuk ke dalam…”
“Biar
saya saja Bu, berat. Nanti pinggang ibu
sakit,” kataku seraya meraih ikatan
kantong plastic itu. “Mau di taruh dimana?”
“Lewat
sini aja atuh,” katanya kemudian
seraya menunjukan pintu samping dari rumah gedong
itu. Aku pun dengan segera membarengi langkah perempuan berbaju daster yang
mungkin salah satu pembantu dari rumah paling mewah di kampungku itu.
“Di
sini, Bu?” tanyaku seraya meletakan kantong plastic ikan mas itu di sebuah
sudut area dapur basah. Sekelilingnya
terdiri atas kolam ikan koi dan beberapa tanaman peneduh, jadi meskipun areal
dapur, aku serasa berada di sebuah taman sari yang tertata rapi, mungkin
seperti itu yah rumah orang kaya?
“Yah di
situ aja, Jang. Eh ya, sudah lunas
dibayar?”
Aku
tersenyum menggeleng, jawaban ‘belum’ untuk ukuran orang kaya seperti Pak H.
Jamil mungkin kurang begitu sopan menurutku. “Tinggal sebagian, Bu. Kalau Pak
H. Jamil sedang berada di rumah, boleh kalau beliau dipanggil?”
Tak
berapa lama seorang lelaki muda dengan tampilan yang parlente keluar dari pintu
belakang rumah bagus itu. Terlihat sekali kalau lelaki muda ini sangat
terpelajar dan terpandang. Mungkin ini anak Pak H. Jamil yang baru pulang dari
kota dan menyelesaikan studynya. Aku membungkuk tersenyum memberinya salam dari
jarak dua puluh meter ini. Melihatku begitu, lelaki muda itu berjalan mendekat
ke arahku. Ia menunjukan adab santunnya padaku, meski telah lama merantau di
kota. Kebisaaan di kampungku, siapa yang menyampaikan hormat duluan berhak
mendapat balasan untuk dihormati kemudian. Seperti didekati seperti itu,
sebagai tanda kalau ia juga menghormatiku.
“Assallamu a’allaikum, dengan Jang
Faridz?” tanyanya padaku
“Waallaikum salam, benar Kang. Saya
Faridz…”
“Oh ya,
bapak bilang kamu yang akan menyuplai ikan mas untuk kebutuhan syukuran besok
Kamis?”
“Betul
Kang, itu sudah saya siapkan semuanya 60 Kg.”
“Oya,
berapa lagi yang harus dibayar, Rid?”
“Jumlah
seluruhnya Rp.840.000,- Kang, Pak H. Jamil kemarin sudah memberi panjar sebesar
Rp. 240.000,- jadi tinggal Rp. 600.000,- lagi,Kang,” kataku menjelaskan.
“O … begitu,”
lelaki muda yang berpakaian rapi itu nampak mengeluarkan beberapa lembar uang
kertas dari dompetnya yang tebal, “ini enam ratus ribu lagi yah,” katanya
kemudian.
Aku
menerima uang kertas itu dengan anggukan terima kasih, kemudian menghitungnya
untuk memastikan kalau jumlah yang diberikan itu pas. Aku memang diajarkan
begitu oleh Kang Rusli bila sedang bertransaksi, bukan karena tak percaya, akan tetapi justru menjamin
kepercayaan kedua belah pihak. Karena menyampaikan complain apabila telah terlewat waktu bukan tidak mungkin akan
menimbulkan permasalahan. Seperti saat itu,
ternyata uang pecahan yang ia serahkan padaku tidak sesuai dengan yang
diucapkannya.
“Punten
Kang, ini bukan enam ratus ribu rupiah,” kataku agak ragu.
Lelaki
muda itu tersenyum, “kenapa?”
“Lebih
Kang, lebih dua puluh ribu rupiah…”
“Iya,
memang itu untuk tip mengantarkan
ikan ke sini. Kenapa kurang ya, Rid?”
“Oh
ngga, ngga Kang, ini sudah lebih dari cukup,” kataku dengan segera. Aku jadi
merasa tak enak dengan ucapanku sendiri.
“Oke
kalau begitu, ikannya saya ambil yah?” katanya kemudian seraya mengangkat
kantong plastik berisi ikan.
“Iya,
ya Kang, saya juga mau langsung pamit…”
Lelaki
muda itu tersenyum seraya melambaikan tangan ke arahku yang mulai meninggalkan
areal dapur rumah besar itu. Aku masih menangkap sedikit keramahan dan
keakraban yang tak biasa dari seorang lelaki yang baru aku kenal. Apakah memang
demikian pergaulan mereka yang terpelajar itu. Aku jadi merasa kurang dengan
apa yang ada di hati ini. Ah, andai saja aku juga bisa mengenyam bangku kuliah,
mungkin aku juga bisa seperti lelaki muda ini. Aku terus membathin membayangkan
betapa berharganya sebuah ilmu pengetahuan, hingga mampu membuat penampilan
seseorang seakan lebih terpelajar.
Pemikiran
dan keinginan untuk terlihat seperti anak juragan H. Jamil itu seakan terus
berputar di kepalaku. Setidaknya kalau Bapak masih hidup keinginan seperti itu
bukanlah sesuatu yang mustahil dalam kehidupanku, karena ketika ia masih hidup,
Bapak selalu menyemangatiku sekolah
sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Namun setelah ia pergi, meskipun
aku lulus dengan rangking terbaik di kelas, tak memberiku kesempatan untuk bisa
mewujudkan itu. Sebetulnya jika aku mau, banyak program beasiswa yang mungkin
bisa aku tempuh, namun melihat kondisi ketiga adiku, rasanya itu tidak mungkin.
Ini hanya akan membuat aku terlihat egois dan hanya mementingkan diriku
sendiri.
Dengan
beasiswa itu, mungkin aku tak begitu membutuhkan biaya, namun bagaimana dengan
ketiga orang adiku? ketika mereka masih membutuhkan biaya untuk dapat
menyelesaikan sekolah mereka. Ucu yang baru kelas empat Diniyah, Salam yang
baru masuk Tsanawiyah, hingga Faiz yang sebentar lagi akan menyelesaikan
tingkat SLTA-nya. Ini merupakan beban hidup yang mau tak mau harus aku
tanggung. Setelah kepergian Bapak,
jelas hanya akulah satu-satunya harapan mereka. Dengan berbekal lapak jualan
ikan mas yang diwariskan Bapak, aku berjuang untuk mencoba mencukupi semuanya
itu.
Aku
masih merasakan penat telah menggotong 60 Kg. ikan mas pesanan ke rumah Pak H.
Jamil, dua gelas air putihpun telah membasahi kerongkonganku dengan cepat.
Beruntung, aku bisa sampai ke lapak pasar ikan ini ketika pasar masih ramai,
sehingga aku bisa menjual beberapa ikan yang masih tersisa di lapak dagangku.
Ikan mas memang hampir menjadi kebutuhan lauk harian bagi masyarakat
Pandeglang, mungkin karena tradisi turun temurun mereka yang memang banyak
berternak dan mengkonsumsi jenis ikan ini. Tak heran kalau pada akhirnya jenis ikan mas yang bernilai potensi tinggi
didapat dari daerah kaki Gunung Karang ini, yakni jenis ikan Si Nyonya. Entah mengapa jenis ikan mas yang satu ini begitu
tinggi nilai ekonomisnya, mungkin karena banyak masyarakat Pandeglang yang
begitu mencari dan mengkonsumsinya. Daging ikan ini memang lebih kenyal dan
lebih gurih dari pada ikan mas kebanyakan, jadi tidak begitu lengket bila
dibakar atau digoreng kering. Dan karena banyak dicari tersebut, jenis ikan ini
juga sedikit lebih mahal dibandingkan ikan mas lainnya.
“Laukna Bu, ikan mas-ikan mas…!” teriaku pada beberapa pembeli yang lewat di lapak
daganganku. Beberapa dari mereka ada yang tersenyum meski tak mampir, mungkin
karena teriakanku terlalu keras di telinga mereka. Beberapa di antaranya malah memasang wajah cemberut
karena merasa terganggu. Yaa, harus bagaimana lagi kalau teriakanku tidak
kencang mana bisa bersaing dengan pedagang ikan yang lain?
“Rid,
masih jualan hari ini?” sebuah suara tiba-tiba mengejutkanku.
“Eh,
Kang Rusli, iya kang, masih ada sisa dagangan kemarin, sayang kalau harus
dibiarkan,” kataku pada lelaki jangkung kurus berusia empat puluhan itu.. “Eh,
ya Kang, saya baru saja menganterkan ikan pesanan Pak H. Jamil, dan ini jatah
Kang Rusli.”
Aku
menyerahkan beberapa lembar uang dua puluh ribuan yang pernah aku janjikan
sebagai prosentase keuntungan. Namun Kang Rusli malah tersenyum dan mendorong
uang yang aku sodorkan, “kenapa, hitungannya kurang yah Kang? Bagaimana kalau
saya tambahi….”
“Ngga
usah Rid, akang ikhlas bantuin kamu, kamu simpan saja keuntungan
penjualan ikan pesanan itu untuk kebutuhan adik-adikmu,” Kang Rusli berbicara
dengan, tenang membuatku terharu. Ternyata perteman Kang Rusli dan Bapak masih
begitu jelas tergambar di wajahnya, terima kasih Yaa Allah, Engkau titipkan orang-orang
yang begitu tulus membantuku meniti jalan-Mu.
“Terima
kasih Kang, ini sangat berarti dalam hidup saya..”
“Ngga
usah terlalu jauh mikirnya Rid, saat ini Kang Rusli yang bantu kamu, suatu saat
mungkin aku yang akan minta bantuan kamu,” katanya kemudian, “Eh ya, hari ini
saya jualan setengah hari Rid. Ada keperluan dengan istri, katanya mau
mengunjungi saudaranya yang sakit, dan saya akan mengantarnya…”
“Ooh,
begitu, salam buat Teteh ya Kang…,”
kataku seraya menjabat tangannya.
“Ya,
nanti saya sampaikan. Saya berangkat dulu yah, assallamu ‘allaikum…”
“Wa allaikum salam…,” aku melepas
pandangan pada punggung lelaki baik hati itu. Sejujurnya aku memang telah
berhitung tentang keuntunganku hari ini, andai saja tidak perlu kubagi,
tentunya aku bisa memenuhi kebutuhan sekolah ketiga adiku. Dan Allah nampaknya
telah menuntun hati Kang Rusli untuk menjawab harapanku.
Fikiranku
masih berputar pada besarnya kebutuhan biaya sekolah di akhir tahun ajaran ini,
ketika seorang pembeli dengan halus menegurku. Suaranya begitu nyaring dan
bening meski hampir sekujur tubuhnya terbalut busana muslimah yang terlihat
agak kusut. Dari penampilannya aku bisa menerka kalau perempuan muda di
hadapnaku tergolong wanita yang menjaga akhlaknya meskipun pakaian lusuhnya
menggambarkan banyak kesusahanya. Aku sempat menatap wajahnya sekilas sebelum
akhirnya aku mencoba menundukan pandanganku pada ikan-ikan yang bebas berenang
di kolam lapak daganganku.
“Berapa
ikanya sekilo, Kang?” Tanya perempuan berkerudung lebar itu. Suaranya betul-betul
nyaring dan halus di telingaku.
“Tiga
belas setengah, Teh…”
“Boleh
ngga sebelas ribu saja?”
Sebenarnya
itu hitungan yang paling murah yang bisa aku tawarkan pada setiap pembeli,
keuntungan yang kudapat dari harga segitu juga sangat kecil dibandingkan cost operasionalnya. Tapi aku juga tak bisa menolak ketika
perempuan muda ini menawar dengan kalimat yang ramah seperti itu, ini bahasa
terhalus yang pernah aku dengar sepanjang hari ini dari seorang pembeli.
“Memang
Teteh perlunya berapa kilo?” tanyaku
menyambung percakapan sembari mencuri pandang sedikit lewat ekor mataku.
“Sekilo
aja Kang, untuk pesanan Ummi, sejak kemarin ia ingin makan
ikan…”
“Kenapa
Umminya, lagi sakit…?” tanyaku
terpancing untuk tahu lebih jauh. Mungkin karena keramahan perempuan berkerudung lusuh ini yang membuatku jadi
bertanya lebih jauh, dan sebetulnya ini sama sekali tidak ada hubunganya dengan
standar berdagang ikan mas. Atau
memang sudah pembawaanku yang tidak tegaan dengan kesulitan orang…
“Sudah
seminggu, leveer Ummi kambuh, Kang.
Meskipun sudah dibawa kemana-mana tapi tetap tak sembuh juga?” perempuan
berkerudung lusuh ini berucap ringan meski pandangannya tak sepenuhnya ke
arahku.
“Sudah
ke dokter?”
Perempuan
di hadapanku diam tertunduk, ada kondisi hati yang sungkan dengan pertanyaanku seperti itu. Mungkin juga ia tak
tahu harus menjawab apa. Aku jadi menyesal dengan pertanyaanku, setidaknya
hatiku mengatakan kalau perempuan ini bukan golongan orang kaya yang sering
bergantung pada dunia kedokteran yang nota bene memang mahal.
“Maaf
saya terlalu banyak nanya, oh iya berapa kilo tadi ikannya?” tanyaku kemudian.
“Sekilo
saja Kang, kalau boleh dengan harga segitu…”
Aku
segera membungkus ikan-ikan mas yang ada di hadapanku, hitungannya lebih dari
sekilo karena aku menambahinya dengan beberapa ikan dengan ukuran kecil.
Kemudian dengan senyum yang kupaksakan kuserahkan ikan mas yang baru saja
kubungkus itu…
“Terima
kasih, Kang. Ini uangnya… Assallamua’alikum ..”
Ingin
rasanya kutolak selembar uang puluhan dan seribuan itu, kalau saja perempuan
yang ada di hadapanku itu tidak segera pergi meninggalkan lapak daganganku.
Selintas ucap salamnya terdengar pelan di telingaku…
“Wa allaikum salam,” jawabku seraya
menatap langkah perempuan yang perlahan menjauh dari tempatku berdagang. Hingga
tubuhnya menghilang diantara para pembeli dan pengunjung pasar yang lain, ada
sesuatu yang tertinggal di kepalaku. Aku mencoba mencari tahu, namun tetap saja
seperti processor computer yang
kehilangan salah satu filenya. Hingga ketika tanganku menyentuh dinding pagar
yang terbuat dari bambu ingatanku itu tiba-tiba hadir di kepalaku.
“Astagfirullah, bukankah dia wanita yang
pernah jatuh tersungkur beberapa hari yang lalu karena bertabrakan denganku?”
kataku seketika menyadari kealpaan daya ingatku. Andai aku ingat sejak pertama
kali dia datang, pasti akan menggratiskan ikan-ikan mas ini sebagai permohonan
maafku…
Matahari
sudah bergeser dari tepat tegak lurusnya terhadap bumi, mungkin sekitar pukul
dua siang. Ini menandakan aktifitas Pasar Badak Pandeglang mulai sepi dari para
pengunjung baik yang menjual atau membeli. Seperti juga aktifitas di lapak ikan
mas ini, beberapa pedagang telah meninggalkan kolam-kolam ikannya yang tinggal
menyisakan ikan. Tinggal tiga atau empat orang saja yang tersisa dan itupun
tengah berkemas untuk pulang ke rumah mereka. Salah satu dari mereka adalah
aku, aku memang tengah berkemas untuk pulang ke rumah. Aku bersyukur karena
hari ini semua daganganku habis, beberapa ikan mas yang matipun ada yang
membeli meski dengan harga separuhnya.
Setelah
semua perlengkapan dagangku aku kemas, akupun berniat langsung pulang. Di hari
Sabtu ini, adik-adiku pulang lebih awal. Ucu biasanya pulang dari pondokan H.
Mamad, sedangkan Faiz dan Salam dapat izin pulang dari pondokan H. Jamaksary.
Setelah lima hari aku tak bertemu mereka, dua hari terakhir itulah saat aku
bertemu dan berkumpul dengan ketiga adiku. Ada kebahagiaan yang tak pernah bisa
kulukiskan ketika tawa dan canda mereka hadir di keseharianku. Setidaknya
memang tinggal mereka yang tersisa dari
keluargaku yang dapat berbagi suka dan duka denganku, sekaligus amanat Bapak
yang harus aku pegang penuh.
Aku
berniat jalan kaki dari Pasar Badak ini untuk menuju ke rumahku di kampung
Kadupandak, aku ingin sedikit berhemat dengan keuanganku. Jalan menuju
kampungku dari pasar ini memang tidak seberapa jauh, meskipun juga tak bisa
dibilang dekat. Hanya berjarak 3
kilometer, dan bisa kutempuh dalam waktu dua puluh lima menit berjalan kaki
kalau aku sedang tak bawa tandu ikan. Apalagi di cuaca yang tidak terlalu panas
seperti hari ini, mungkin aku bisa mempercepat langkah menuju rumahku. Aku sudah tak sabar ingin segera memasak cap
cay kesukaan mereka, sejak Bapak pergi aku memang mendadak jadi senang memasak.
Apalagi kalau masakanku dipuji oleh ketiga adiku, bukan apa-apa, pujian mereka
membuatku menjadi lebih percaya diri untuk selalu memasak makanan kesukaan
mereka. Ini sudah berlangsung cukup lama, meski pada awal-awal aku memutuskan
masak sendiri ini melahirkan beragam kejadian
lucu diantara kami. Seperti Ucu yang buang-buang air terus karena harus
menahan rasa pedas dari masakan yang kuracik, atau Faiz yang muntah-muntah
karena memakan sayur bayam yang telah
lewat batas 14 jam, atau Salam yang hampir saja masuk rumah sakit karena pusing kepalanya tak juga berhenti setelah memakan
jamur kayu yang kubeli dengan harga murah. Benar-benar pengalaman yang mahal
untuku, ketika aku dituntut untuk menjadi bapak sekaligus ibu bagi mereka.
Namun aku juga mendapatkan kebahagiaan
yang tak terkira ketika makanan yang kumasak ternyata bisa membuat mereka lahap
dan tertidur pulas karena kekenyangan.
Semua
kejadian seperti itu terlewat sudah, kini telah menjadi agendaku untuk bisa
meladangi dan mencukupi kebutuhan mereka ketika ada saat untuk kami bertemu.
Memasak makanan yang terbaik untuk mereka, dan memberikan suasana keakraban
yang paling tulus dari keluarga yang masih tersisa ini. Semangat seperti ini
akan senantiasa kujaga hingga aku mampu menghantarkan mereka pada jenjang
pendidikan tertinggi dari apa yang aku mampu. Biarlah aku mengorbankan semangat
belajarku, demi berbagi pada kemajuan mereka. Semoga prinsipku ini bisa
memenuhi amanah dan tanggung jawab yang harus aku pikul dari Ayah dan Ibuku.
Aku
masih mempercepat langkahku, dan berharap segera sampai di rumah. Aku ingin
sayur mayur bahan pembuatan cap cay ini tidak terlalu layu ketika kuolah nanti,
karenanya akan lebih baik kalau aku bisa sampai lebih cepat. Wortel, kol, brokoli, cesim, tahu dan sedikit
udang kupas, masih erat dalam genggaman tanganku. Langkah yang kupercepat
nampak membuat bahan-bahan capcay itu terguncang-guncang. Ada terbersit rasa
risih ketika beberapa orang nampak memperhatikanku dengan senyum simpulnya,
namun aku tak peduli. Aku membalas mereka dengan senyum yang terulas tulus,
berharap mereka mengerti akan kondisiku. Di awal-awal perasaan risih itu lebih
cenderung ke malu. Namun sungguh, ketika niat tulusku berbuah senyum dan ucap
terima kasih dari ketiga adikku, aku merasa kalau semuanya tak berarti apapun.
Rasa risih dan malu ini malah berbuah kebanggan dalam hatiku. Seakan aku ingin
menunjukan betapa berarti dan berharganya aku bagi keluarga kecilku.
“Tergesa-gesa
amat, Nak Faridz?” sebuah suara menegur langkah cepatku.
“Oh eh,
iya Bu Wardah. Hari ini ketiga adik saya pulang, saya takut belum bisa
menyiapkan makanan jadi agak buru-buru. Maaf ya Bu, saya duluan,” kataku seraya
melangkah cepat kembali.
Bu
Wardah dan beberapa tetanggaku hanya bisa menggeleng kepala seraya menahan
senyum simpulnya. Entah apa artinya, yang jelas aku tak peduli. Aku ingin cepat
sampai dan memasak untuk ketiga adiku.
Tepat
di persimpangan gang yang menuju rumahku, sesaat aku menghentikan langkahku.
Beberapa wortel yang sedari tadi terguncang-guncang terlihat jatuh dari kantong
kresek yang kubawa. Aku memungutinya segera dan berharap tak merusak kondisi
sayuran yang kubeli sejak pagi itu. Beberapa ujungnya nampak kubersihakan dari
tanah liat yang menempel, jalan menuju kampungku, Kadupandak, memang belum
tersentuh aspal meski telah berulang kali di data untuk masuk dalam PPK[2] . Namun hingga beberapa tahun berselang jalan itu tetap
saja becek dan tak tersentuh pembangunan.
Aku
akan melangkah kembali menuju rumahku ketika tiba-tiba banyak orang-orang
berbondong-bondong menuju sebuah arah gang kecil. Perempuan laki-laki nampak
bergegas dan berbicara sesuatu. Selintas obrolan mereka sampai ke telingaku,
dan sepertinya mereka tengah membicarakan sebuah musibah kematian dari salah
satu warga gang sebelah. Ada yang membicarakan sebab kematiannya, ada pula yang
menceritakan keluarga yang ditinggalkannya.
“Maaf,
Kang ada apa rame-rame?” tanyaku sesaat pada lelaki yang melintas di sampingku.
“Bu
Hasanah meninggal tadi pagi Jang, kasihan padahal anaknya banyak dan masih
kecil-kecil,” kata lelaki itu.
“Bu Hasanah
yang mana yah?”
“Itu
istrinya Kang Marzuki, tukang gali sumur…”
“Innalillahi wa innalillahi raajiuun…,”
ucapku meski sebenarnya aku tetap tak tahu nama lelaki yang ia sebutkan. Sudah
menjadi kewajiban sesama muslim untuk mengucapkan itu bila mendengar ada yang
tertimpa musibah. Tanpa menghilangkan perasaan duka citaku, aku mendahulukan
untuk sampai di rumah. Setidaknya akan
lebih khusyuk dalam bertakziah
apabila urusan kita telah selesai dahulu. Sudah menjadi adat di kampungku untuk
melaksanakan fardhu kifayah untuk
anggota masyarakat yang meninggal meski terkadang kami tak begitu mengenal
dengan yang bersangkutan.
Lima
belas menit kemudian aku sudah selesai menanak nasi dan menumis sayur-sayuran
serasa cap cay, karena aku tidak mengolah seperti seharusnya. Pasti adik-adiku
maklum dengan kondisi seperti ini, bathinku.
Setelah membereskan rumah sebentar, aku menitipkan kunci pintu rumah
kami ke tetangga sebelah yang kebetulan sudah lebih dulu bertakziah. Aku khawatir
adik-adiku datang ketika aku masih di rumah sahibul
musibah.
“Kalau
mereka tanya, saya di rumah yang meninggal di gang sebelah ya, Bu,” kataku
seraya menitipkan kunci rumah.
“Ya,
nanti ibu sampaikan ke mereka,” jawab perempuan berkerudung karet yang tetangga
sebelah rumahku.
Setelah
itu aku bergegas menuju tempat dimana para warga melakukan takziah yakni di
gang sebelah. Sebetulnya masih masuk dalam lingkungan Kampung Kadupandak, namun
karena perbedaan satu gang membuat
kampung ini seolah terbagi-bagi. Namun untuk struktur masyarakat yang masih
mengemban tradisi dan adat masa lampau, jarak dan luas wilayah itu tak
menghalangi kami untuk bisa saling berinteraksi dan menunjukan empati.
“Assallamu
‘allaikum,” salamku pada beberapa orang yang nampak berkumpul di depan rumah duka.
“Wa
allaikum salam, eh… Nak Faridz, ngga jualan hari ini?”
“Sudah
pulang Pak, kebetulan hari ini dagangan saya habis lebih cepat,” kataku seraya
menjabat tangan mereka satu persatu.
Isak
tangis dan alunan yassin terdengar lamat-lamat di telingaku. Di siang yang menjelang
sore itu, begitu banyak warga yang terlihat sibuk membantu keluarga yang tengah
berduka. Yang kudengar Pak Marzuki memang warga kampung yang dikenal baik.
Profesinya sebagai tukang gali sumur membuat ia dikenal banyak warga. Ia juga
ringan tangan dalam membantu pekerjaan apa saja kepada setiap warga yang
membutuhkan. Banyak cap ‘baik’ untuk laki-laki yang satu itu, setidaknya ini
kudengar dari obrolan warga yang berada di sampingku. Mereka banyak bersimpati,
apalgi anak-anak Pak Marzuki masih kecil-kecil dan membutuhkan banyak perhatian
seorang ibu. Kini ia menjadi duda dengan kerepotan yang pasti sangat
menghimpitnya.
“Untungnya,
Pak Marzuki memiliki satu orang anak perempuan yang sudah besar dari perkawinan
dengan almarhum istri terdahulunya, jadi ada sedikit harapan untuk bisa
membantu,” ujar seorang bapak dengan kopiah merah tuanya.
“Iya,
dan saya dengar selama Bu Hasanah sakit, gadis itu pula yang merawatnya,”
tambah seseorang lagi dengan wajah serius, “meskipun bukan ibu kandungnya,
namun Halimah sangat peduli dan memperhatikannya.”
“Memang
berapa lama Bu Hasanah menderita sakit, Kang?”
“Yang
saya dengar, sudah dua setengah tahun terakhir ini. Memang indikasi penyakitnya
sudah diketahui lama, hanya dua setengah tahun terakhir itulah asam urat dan
leever makin memuncak,” lelaki berkopiah merah itu masih semangat memberikan
penjelasan.
“Baik
sekali anak itu, kalau memang ia mau merawat dengan tulus ibu tiri selama itu,”
giliran lelaki berkaos salah satu parpol ikut bersuara, “padahal untuk anak
seusianya pasti tengah sibuk dengan kesenangannya.”
“Eh ya,
ngomong-ngomong si Halimah itu sudah selesai khan sekolahnya?” tiba-tiba lelaki berkepala botak menyela semangat.
“Seingat
saya sih lulus tsanawiyah dua tahun lalu, karena kesulitan biaya ia tak melanjutkan.
Sebentar, memang kenapa nanya-nanya yang
seperti itu, Jam?”
Lelaki
yang dipanggil Jam tak langsung menjawab, ia hanya mesam-mesem dengan
fikirannya sendiri. Namun dari ekor matanya yang agak melirik ke kerumunan
perempuan yang berkumpul di dalam ruangan, menggambarkan kalau ia tengah
berharap sesuatu.
“Anu
pak… yaa, kalau Pak Marzuki bersedia menerima saya jadi menantunya, saya sangat
senang sekali…”
“Waduuhh…
mau dikasih makan apa, Jam. Istri dan anak-anakmu saja masih hidup susah
seperti itu,” seorang bapak berkata dengan intonasi agak meninggi, dan sontak
membuat beberapa bapak yang ada di sekitarnya tertawa tertahan.
“Sudah-sudah,
kita ini sedang takziah lho, koq
malah ngomongin anak perawan sih,” seorang lelaki yang berkopiah merah
menyudahi kelakaran warga. Dan semuanya kembali diam dengan ucapan pelan
separuh berbisik. Ada yang mengulas masa depan keluarga miskin ini, ada yang
bercakap tentang prosesi pemakaman dan sebagian lagi malah sibuk dengan urusan
mereka masing-masing.
Sedang
aku hanya bisa terdiam mengamati tingkah mereka, aku yang termasuk warga
kampung sebelah merasa tak memiliki bahan untuk ikut menyambung pembicaraan.
Aku lebih banyak mendengar dan tersenyum ketika sesekali ekspresi mereka
tertuju lurus ke arahku sekedar minta dukungan. Namun dari semua percakapan
mereka, ada satu hal yang mengusik hatiku saat itu. Yakni ketika seorang lelaki
mengacungkan jarinya dan menunjuk pada salah satu perempuan berkerudung yang
tengah sibuk mempersiapkan pemandian jenazah. Itu beberapa menit yang lalu, dan
kebetulan ekor mataku sempat tertuju pada yang ditunjuk.
“Apakah
itu yang dimaksud Halimah? Gadis berkerudung lusuh itu…?” bathinku tertahan.
Dan itu menjadi awal pertanyaan panjang
dalam hatiku, entah mengapa seperti mengalirkan sejuta rasa kepenasaran di hati
ini. Meski sebenarnya ada ragam keraguan tentang debaran halus yang ada di hati ini. Apakah
ini? Mengapa aku jadi begitu cemas, dan ingin rasanya lebur dalam kedukaan
keluarga ini…
“Yaa Allah, ada apa dengan hati ini, mengapa rasa pilu
ketika Engkau mengambil ibuku tiba-tiba saja hadir di hati ini….”
%%%%%%
[1] Sebentar yah…
[2] PPK= Proyek Pengembangan Kecamatan, pada
periode tahun 2000-an awal kegiatan ini merupakan proyek pusat yang diturunkan
pada pemerintah daerah untuk pemberdayaan masyarakat tingkat kecamatan.
Wujudnya bisa merupakan bantuan modal bergulir ataupun pembangunan sarana dan
prasarana desa, seperti jalan, jembatan, atau sekolah-sekolah.
karya tulis yang menarik dg untaian kata dan kalimat yang halus dan dpt di cerna.. akan tetapi ending kurang menarik, krn tdk berakhir dg kebahagiaan / keterpurukan.. trims
BalasHapusTerima kasih tlh sudi berapresiasi... novel ini telah dibukukan dan terbit dg judul Shirat! Endingnya mmg blm finis kr msh dibuat sekuelnya sbg novel dwilogi... salam kenal yaa anonim...
Hapus