Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Jumat, 19 Maret 2010

5. Telegram dari Gedung Sate, Ketika Harapan menjadi Tantangan.


Sungguh, bagaimanapun kondisinya, sangat tidak enak menjadi pengangguran! Begitu banyak tatapan curiga dan sedikitnya kepercayaan untuk seorang pengangguran . Apapun yang kulakukan rasanya salah terus! Begini kurang tepat, begitu kurang pas, dan kalau terjadi kehilangan, pengangguran adalah orang pertama yang paling dicurigai. Hilang sendal di masjid, pengangguran yang pertama di tanya. Hilang ayam, kambing, sepeda atau motor, masyarakat selalu melirik pertama kali pada pengangguran. Dan itulah yang terjadi padaku sekarang.

Awalnya aku tidak terlalu peduli dengan apapun yang dikatakan orang tentang diriku. Akan tetapi semakin aku diam dan mengalah semakin menjadi-jadi mereka terhadapku. Hingga akhirnya, tak jarang aku harus sedikit ngotot atau berdebat untuk membela diri dari tuduhan orang-orang disekitarku. Kalau aku bukan pengangguran yang seperti itu! Dan tragisnya, aku tak pernah di posisi yang diuntungkan, meski kenyataannya aku memang benar. Selalu saja salah sikapku dinilai, yang tak bisa menghargai orang tua lah, yang tak bisa mengalah lah, yang tak mau menghargai tetangga lah atau puncaknya ; dasar pengangguran, ngga ada yang dikerjakan jadi bisanya cuma ribut!!!

Fuuh... ! Diam salah, banyak bicara juga salah. Aku benar-benar bingung dengan apa yang tengah aku hadapi sekarang. Rasanya tak ada lagi tempat bagiku, selain diam dan mengurung diri di kamarku. Aku mencoba menekuni hobiku melukis, dan berharap suatu saat kegiatanku itu dapat menjadi sumber penghidupanku. Namun beragam lukisan yang kugarap pada akhirnya hanya sebagai penghias kamar sempitku. Membuat kamarku menjadi gudang malah! Karena sejujurnya sebuah lukisan bisa dihargai dan bernilai mahal, apabila aku sebagai pelukis mampu mengadakan pameran lukisan atau sejenis art promotion. Atau setidaknya bergabung dengan para pelukis senior untuk ikut ndompleng pameran agar hasil karyaku bisa dikenal . Akan tetapi event pameran lukisan untuk kota kecil seperti Cirebon ini, sangat jarang sekali. Aku harus hijrah ke Bandung atau Jakarta, dan bergabung dengan para seniman yang telah lebih dulu mengadu nasib di sana. Itupun tak semudah seperti yang dibayangkan. Aku kenal Pak Kusno atau Pak Hary sang pelukis kaca Cerbonan, kepiawaian mereka untuk kegiatan yang satu itu sudah tak diragukan lagi. Ia kerap mengadakan pameran tunggal atau bergabung pada event-event promosi budaya. Namun, dari para pencipta master piece saja, aku masih mendapatkan pengalaman bagaimana susahnya memasarkan produk yang mereka hasilkan. Katanya masyarakat kita ini, meskipun itu di kota besar, pada dasarnya belum mampu menghargai nilai seni seperti yang diharapkan. Bayangkan saja, untuk lukisan kaca yang dilukis dengan detail dan paduan degradasi warna yang harmonis, serta membutuhkan waktu pembuatan yang tidak sebentar, hanya dihargai dengan melihat panjang kali lebarnya saja. Belum lagi mereka yang hanya melihat dari bahan dasar pembuatanya saja . Sekali waktu mereka juga pernah cerita, kalau lukisan hitam putihnya hanya dihargai cukup untuk ongkos pulang pergi Cirebon-Bandung saja. Dengan pertimbangan hanya menggunakan kertas putih dan pencil conte saja. Kasihan yah!

Itu sebenarnya penghinaan bagi kami para seniman. Meskipun sebenarnya kami lebih senang dengan penghargaan yang tulus, tapi jujurnya penghargaan yang sebanding itu sendiri akan lebih pas bila sesuai dengan jumlah nominalnya. Yaa, seniman juga khan manusia, memangnya ngga perlu makan? Dan satu hal lagi yang perlu diingat, karya seni adalah kekayaan intelektual yang sebenarnya tak bisa ditakar dengan jumlah nominal! Kecuali untuk dipergunakan dalam menghasilkan karya seni berikutnya, artinya yaa itu penghidupan yang layak bagi senimanya he he he....

Merasa kurang pas memposisikan diri sebagi seniman lukis, akupun mulai berfikir untuk mulai beralih ke profesi yang lain. Akhirnya nasib lukisanku, selain hanya sebagai tatakan kasur, beberapa diantaranya malah bernasib lebih mengenaskan; menjadi penambal genteng rumah kami yang bocor!

Berikutnya, eksplore bakat dan profesiku tertambat pada sanggar teater atau sandiwara yang memang marak di kotaku. Aku bergabung pada sebuah sanggar teater yang dipimpin oleh seorang wartawan dengan jangkauan relationship-nya sampai pada para bintang dan sutradara di Jakarta. Ini sangat menjanjikan! Apalagi sejak dulu aku ingin sekali menjadi artis film atau sinetron! Meski fisik dan tampangku pas-pasan, aku merasa punya bakat dan kemampuan akting yang bisa diasah. Itu kata guru PSPB-ku Pak Sulityo ketika mengomentari pementasan drama perjuangan yang aku perankan. Aku juga pernah menyabet juara I sebagai aktor remaja pada Festival Teater Tingkat SMA se Wilayah III Cirebon. Jadi apa yang membuatku bimbang untuk memilih profesiku yang baru ini.

”Mau jadi artis?” Mba Puji bertanya sambil memonyongkan bibirnya.

”Iya, emang kenapa?”

”Emang sandiwara keliling mana?” Bapak bertanya dengan enteng seraya mengepulkan asap rokonya. Mendengar itu, Mba Atin dan Mba Puji yang kebetulan tengah ngumpul di rumah tertawa terbahak-bahak. Bapak fikir aku akan ikut sandiwara rakyat, TARLING, yang biasa ditanggap kalau ada hajatan sunatan atau pernikahan. Ah, terlalu, bukan yang begitu doong. Ini teater, mirip sandiwara tapi bukan yang tradisional begitu.

”Harist mau ikut latihan dan persiapan untuk pementasan yang akan dilaksanakan di lima kota besar, Pak. Kalau ngga salah Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta dan Bali,” kataku agak pamer.

”Ooh, lah terus, kamu pegang peran apa?”

Ini yang agak ragu aku sebutkan. Ini pasti akan membuat kakak-kakaku kembali tertawa dan bercampur olok-olok untuku. Mendengar aku ikut teater saja mereka mesam-mesem begitu, apa lagi mendengar tokoh yang akan kuperankan. Pokoknya untuk yang satu ini aku tak mau memberi tahu, nanti saja kalau sudah tampil di TVRI Stasiun Bandung seperti janji Mas Nana Gareng Mulyana, sang sutradara.

”Apa perannya?” Mba Atin ikut bertanya, ia ikut penasaran dengan profesiku yang baru ini.

Dan aku tetap tidak mau memberitahu mereka, cukup aku, para pemain pendukung, sutradara dan penonton nanti. Aku cukup senyum saja, biarlah mereka dengan rasa penasarannya. Setidaknya aku bukan pengangguran lagi kini, aku seorang seniman, aku seorang aktor! Seorang aktor yang akan menghiasi seluruh layar televisi di seluruh penjuru tanah air ini. Kalau hanya Rano Karno atau Tora Sudiro saja sih, ngga kalah lah!

Proses latihan dari mulai reading, blocking, penghayatan sampai pemaduan ketiganya aku ikuti dengan serius. Tak jarang aku sampai pulang larut malam dengan perut lapar bukan main. Karena seperti yang kita mahfum bersama, kerja seniman itu khan berbasis feel bukan otot. Jadi terkadang bagi mereka makan adalah urusan yang ke tiga puluh lima! Padahal sebagai mahluk hidup, perut ini juga punya hak khan? Entah memang demikian cara kerja para seniman, atau itu hanya sekedar pembelaan para kru atau sang sutradara. Yang jelas, setahuku mereka memang bukan orang-orang yang kaya. Sedikit sekali dari mereka yang memiliki uang lebih . Kalau bukan dari pihak sponsor atau pimpinan produksi, mereka tidak bisa menyediakan jatah makan siang atau makan malam bagi kami yang tengah latihan.

Pernah terfikir olehku kalau aku akan meninggakan profesiku yang baru ini. Selain jadwal latihan yang kadang molor dan ngga jelas, aku juga makin pesimis kalau kami akan tampil di lima kota besar seperti yang sering digembar-gemborkan sutradara dan pimpinan produksi. Namun demi meninggalkan image sebagai PENGACARA alias pengangguran banyak acara, serta cita-citaku bersaing di kancah perfilman, aku tetap menguatkan semangatku untuk tetap berlatih. Dan yang tak pernah aku lupakan adalah ; janjiku pada almarhumah ibu untuk terus melanjutkan harapannya, melihatku maju! Lapar haus, sedih kesal dan jengkel dengan makian sutradara tak pernah aku masukan dalam hati, pokoknya aku harus kuat! Aku tidak harus melemah hanya karena cobaan seperti itu, aku pernah mendapatkan yang lebih dari sekedar dibentak atau di maki-maki karena kurang bagus aktingku. Lagi pula, masih ada rekanku, Juhdi atau Iik, yang lebih sering kena marah dibandingkan aku. Dan itu cukup menghibur dan menginspirasiku kalau aktingku memang tak jelek-jelek amat . Pokoknya apapun yang terjadi aku harus tetap semangat! Aku ingin jadi aktor, aku ingin tampil di lima kota besar, aku juga ingin bersaing dengan El Manik, Dedy Mizwar, Slamet Raharjo Djarot, Christine Hakim, Ray Sahetapi, Didi Petet, Alex Komang atau minimal Mandra!

Akhirnya, waktu yang kutunggu-tunggu itupun tiba. Sebagai awal pementasanku, pimpinan produksi kami memulai start di kota kami, Cirebon. Mereka menjadwalkan tiga hari untuk pementasan di kotaku itu. Semua kru dan para pemain pendukung bersiap-siap dengan segala kapasitas dan kualitas akting yang telah mereka olah selama ini. Tak terkecuali aku, tentunya! Aku benar-benar menikmati peranku, scene adeganku, dan penghayatan terdalamku. Ada empat orang yang tampil bersamaan dan berperan sama sepertiku. Otomatis make up dan dandanan yang kami kenakanpun sama. Kami dibentuk sebagai empat orang tokoh yang memiliki nasib dan karakter yang sama. Blocking kami, bahasa tubuh kami, penghayatan kami sampai dialog yang akan kami ucapkan, semuanya nyaris sama. Hingga kesalahan diantara kami sangat menunjukan ketidakberhasilan akting kami berempat.

Scene yang kami miliki juga hampir sama, pokoknya hampir bisa dikatakan peran kami adalah satu tokoh yang dimainkan oleh empat orang. Namun meski demikian salah satu blocking kami memiliki kedinamisan yang didesign sebagai scene yang paling diunggulkan. Yakni adanya pemberontakan, pengkhianatan dan pembunuhan yang dilatarbelakangi blocking naik dan loncat diantara split level stage. Yaah, mirip-mirip adegan kungfu master-nya Jet lee gitu. Dan yang paling membuat kami terharu, Mas Nana sering mengatakan kalau adegan kami yang satu ini adalah central idea dari pementasan yang akan kami jalani sebentar lagi. Benar ataupun tidak, aku tidak peduli. Yang penting aku akan tampil dan akting habis-habisan. Aku ingin menciptakan image aktor yang profesional, aktor yang siap menggeser kejayaan para peraih nominasi citra atau oscar sekalipun! He he he, enak rasanya ya kalau lagi bersemangat seperti ini.

”Semuanya sudah siap!?” Mas Nana sang sutradara nampak memberi peringatan, ”pementasan tinggal sepuluh menit lagi. Ingat tidak ada lagi main-main, tidak ada lagi ragu-ragu atau lupa! Pokoknya show must be go on! Tabrak aja, improvisasi aja, dan ingat gila-gilaan aja!” Mas Nana berucap penuh semangat.

”Ingat di luar sana ada Bapak Walikota Cirebon, ada Kepala Dinas Pariwisata serta para pejabat teras Pemerintah Kota Cirebon. Jaga image sanggar teater kita, dan satu lagi di sana ada beberapa aktor dan sutradara yang sengaja saya undang khusus dari Jakarta untuk menonton kalian. Mereka semua adalah orang-orang besar dan profesional, jangan kecewakan mereka semua!” semua terdiam dan menyimak serius apa yang masih dipesankan Mas Nana Gareng Mulyana.

”Puncak ide cerita kita ada pada kalian berempat yah, ingat Harist, Ade, Juhdi dan Iik! Tampilkan karakter yang terdalam dari kalian, tunjukan kualitas akting kalian. Berhasil tidaknya pementasan ini selain tergantung pada para pemain utama, kehadiran kalian berempat adalah penentunya. Dan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sempat gagal dari adegan kalian, maka itu berarti gagalnya pementasan malam ini.” Mas Nana menyemangati kami, seolah-olah kami ini superstarnya.

”Ingat, sebagai pasien-pasien rumah sakit jiwa yang memberontak pada dokternya, kekuatan akting kalian menjadi point of interest yang tidak bisa dianggap enteng!”

He he he... memang itu peranku. Sebagai orang-orang gila, yang tiba-tiba ingin memberontak karena bosan diperlakukan seperti orang gila terus! Jadi sekarang tahu khan, kenapa aku tak mau bicara soal peranku pada kakak-kakaku?

Setelah sambutan pembukaan dari Bapak Walikota Cirebon, Kepala Dinas Pariwisata dan beberapa tokoh undangan yang dianggap penting untuk menyampaikan pesannya selesai, perlahan layar stage yang sedari tadi ditutupi ’tirai-tirai koran’ kini terbuka. Acara sambutan itu sendiri sebetulnya agak molor, hal ini dikarenakan pihak pimpinan produksi sengaja memberikan penghargaan bagi para undangan, terutama bagi yang telah menjadi sponsor dan donatur, untuk menyampaikan pesan dan kesannya. Bisa saja, ya? Dasar otak bisnis!

Lampu ruangan mati, tinggal sebuah lampu sorot yang tersisa di atas panggung. Itupun sengaja dibuat temaram untuk opening show sang pimpinan produksi melakukan monolog tentang pementasan yang sebentar lagi akan digelar. Bahasanya tegas, tajam, menukik, meliuk, dan bermanuver layaknya pesawat boeing 707 yang akan landing. Sebagai pimpinan produksi ia memandang penting untuk melakukan adegan monolog, karena menurutnya pementasan teater modern biasanya lebih banyak yang tersirat dari pada yang tersurat. Sehingga diperlukan sebuah jembatan penghubung antara para penonton dengan pementasan yang kadang terlalu nyastra atau malah terlalu absurd. Entah mana yang bener, yang jelas bagiku ini bisa-bisanya sang pimpinan produksi saja tuh! Buktinya ia tampil seolah dia yang paling senior, paling bisa, paling berkarakter, dan paling memahami seni teater saja. Apa dia ngga tahu ya, kalau sebentar lagi keseniorannya akan tergeser oleh empat orang aktor muda yang berbakat ini.

Setelah monolog yang menghabiskan waktu lebih dari seperempat jam itu selesai, tampilah kami semua melakonkan ABUNAWAS versi Nana Gareng Mulyana. Kisah pemberontakan dan perlawanan para pasien rumah sakit jiwa yang sepanjang hidupnya selalu dianggap gila, direndahkan, dibodohi, dihinakan, dan tak dianggap sama sekali. Tiap babak, tiap adegan ataupun tiap dialog yang mengalir senantiasa menuai tepuk tangan dan histeria penonton yang memenuhi seluruh ruangan Gedung Pemuda ini. Beberapa diantaranya malah ada yang berteriak-teriak tak kuasa menahan takjub dalam hatinya. Entah bagian apa yang membuat ia menjadi tak terkendali seperti itu, yang jelas karena terlalu over, sampai-sampai pihak keamanan harus memaksanya keluar ruangan. Kasihan, rupanya ketidakbebasan itu hadir dimanapun yah, hingga ke pertunjukan seni yang katanya zona bebas berapresiasi dan berekspresipun harus ada pengebirian.

Melihat histeria dan sambutan penonton yang sangat positif, membuat rasa percaya diri kami berempat, pemeran pasien rumah sakit jiwa, menjadi kian bergelora. Kulihat Ade, Iik dan Juhdi habis-habisan dan total menampilkan kualitas aktingnya. Iik yang biasanya mendapat semprotan Mas Nana pada setiap latihan, tampil bak maestro dengan pengalaman tampil di ribuan kota di dunia. Sementara Juhdi yang selalu harus mengulang adegan sampai dua puluh kali setiap latihan, tampil bak aktor-aktor Broadway di Amerika sana. Begitu juga Ade, ia tak mau ketinggalan memamerkan kualitas aktingnya. Ia tampil bagaikan Slamet Raharjo Djarot memerankan Teuku Umar dalam film Tjot Nyak Dhien, atau tepatnya seperti Didi Petet memerankan si Emon barangkali. Aku sendiri memaksimalkan semua kemampuan aktingku seolah aku ini Bang Dedi Mizwar yang sedang memerankan H. Husin atau Bang Jack, atau kalau difikir-fikir aku juga ngga kalah dibandingkan Alex Komang, Mathias Muchus atau Cok Simbara, cuma sayangnya tidak ada yang mau mikir sih. Pokoknya aku dan teman-temanku itu seolah ingin mengatakan, kalau malam ini adalah milik kami. Pementasan yang agung ini adalah milik kami. Tidak perlu lagi pemeran utama, tidak perlu lagi sutradara, atau bahkan tidak perlu lagi pimpinan produksi!

Tapi Saudara-saudara sekalian, kesombongan itu pada akhirnya memang seperti menebar angin yah? Tidak begitu lama kita juga akan menuai badainya. Tepat ketika sampai pada adegan puncak pemberontakan dimana kami berempat mengusung senjata untuk menembak ’rembulan’ penguasa, Ade menampilkan blocking spektakulernya, yang dalam latihanpun harus mengulang sebanyak empat puluh kali, yakni melompat ke salah satu split level stage dengan gaya menembaknya. Namun, saat itulah sebuah bencana yang tak pernah kami bayangkan sama sekali. Sangat tidak sebanding dengan kebanggaan kami selama ini, sangat tidak adil bila dibandingkan proses kami latihan untuk adegan itu, pokoknya sangat disayangkan sekaligus memalukan. Split level stage yang telah didesign sedemikian rupa itu, ternyata tidak mampu menampung semangat akting kami yang penuh gelora. Tiang dan kursi penyangganya roboh, otomatis kami berempat jatuh. Dan itu benar-benar jatuh, bukan rekayasa atau sedang akting. Itu kurasakan dari ngilu di bagian kaki dan pinggangku. Namun bukan aktor teater kalau kami menyerah pada keadaan, seperti yang dipesankan Mas Nana, habis-habisan saja! Tabrak saja! Improvisasi! Dan show must be go on! Mendadak terdengar suara lirih, tapi dengan kekuatan vokal yang berkarakter keluar dari mulut Ade.

”Dokterr.... tolong dokterrr....”

Improvisasipun dimulai, adegan yang seharusnya memberi klimaks pada pementasan, berubah menjadi babak tambahan dengan masuknya beberapa kru yang sengaja diperintah seorang dokter untuk memperbaiki stage. Adegan itu sendiri dikriet oleh Mas Fahru, tokoh sang dokter, sebagai upaya pembenahan kamar pasien RSJ yang sudah tidak layak pakai. Ujung-ujungnya ia ’menyentil’ kebijakan pemerintah daerah yang kurang memperhatikan kondisi RSUD yang ada di kota kami agar ditingkatkan. Bagi yang awam, adegan tambahan itu sendiri tak begitu terlihat, seolah menjadi bagian pementasan . Mungkin itu yang namanya improvisasi dan kekuatan para pemain dalam menampilkan kapasitas aktingnya. Dan pementasan yang ternodai oleh kesombongan empat pemeran pembantunya itupun usai.

Waktupun berlalu, ternyata apa yang kita angankan dan apa yang kita mimpikan itu tak selalu berbanding lurus dengan semangat yang kita miliki. Entah tingkatan ikhtiarnya yang kurang, atau memang setidaknya kita juga perlu menakar ulang kemampuan kita. Meskipun begitu bapak selalu menenangkanku, kalau semuanya sudah ada yang mengatur, dan Allah pasti sudah menyusun scenario terbaiknya untuk kita semua. Asal jangan sampai berhenti berusaha apalagi berputus asa.

Akupun memupuskan keinginanku menjadi seorang aktor dan bintang besar, meskipun beberapa rekan sepementasanku yang lain masih tetap ngotot mengejar mimpi-mimpinya, menjadi seorang selebritis! Itu bisa kulihat beberapa tahun kemudian setelah itu, seperti Mba Mimin yang dikontrak sebuah film laga yang mengambil sebagian besar lokasi syutingnya di Cirebon. Atau Mas Ali yang sekarang terdampar di sinetron milik Bang Dedy Mizwar, ia menjadi peran pembantu di beberapa episode Lorong Waktu dan Kiamat Sudah Dekat. Sesekali wajahnya juga pernah kulihat di sinetron religi entah itu Rahasia Ilahi, Kuasa Illahi, Hidayah atau apa itu pokoknya sinetron yang lagi marak dan bersaing dengan sinetron percintaan remaja.

Pernah salah satu kru mengajaku hijrah ke Jakarta waktu itu, katanya kita bisa melamar jadi kru terlebih dahulu, sebelum kita benar-benar mematenkan image pemain pembantu atau figuran. Katanya ia punya kenalan di FTV, Multivision, Multimedia, Multiply sampai Multi Level Marketing bila perlu. Katanya, pokoknya banyak! Namun, berangkat dari kegagalan tour show ke lima kota besar kemarin, dan pengalaman menjadi aktor yang tidak menyenangkan seperti itu, aku memutuskan untuk tidak ikut. Apalagi aku sudah pesimis untuk bisa mengembangkan bakat aktingku.

Eksplore bakat dan profesipun berlanjut. Kali ini aku tertarik pada dunia tulis menulis, aku ingin jadi novelis, cerpenis, penyair puisi atau setidaknya wartawan lah. Menulis sedikit tentang penyimpangan dana, kenakalan para pejabat, politisi atau gosip selebritis, sudah bisa jadi uang tuh. Mulailah aku bergabung dan banyak bergaul dengan para penulis, baik penulis buku, penulis dongeng, penulis gosip, penulis berita, sampai penulis data kelahiran dan kematian penduduk di kampungku, aku ajak ngobrol. Pokoknya aku ingin menjadi penulis apapun itu. Sampai pada suatu kesempatan aku menjumpai Pak Muzakir, kata salah satu rekanku beliau adalah penulis handal dari RW sebelah. Akupun berniat mengunjungi dan akan banyak bertanya tentang trik, gaya dan kiat-kiat dalam menulis.

”Gampang saja, untuk menjadi penulis itu, Tong. Yang penting kamu punya bakat dan minat yang besar untuk semuanya itu. Apalagi profesi penulis seperti bapak ini sangat mulia dan berguna bagi masyarakat,” aku mulai terkagum-kaum dengan wejangan yang disampaikan lelaki yang sudah menginjak usia tujuh puluhan ini.

”Bapak sudah hampir empat puluh tahun menulis. Sudah ratusan bahkan mungkin ribuan karya yang bapak hasilkan. Dari kerjaan menulis itu, Bapak bisa menyekolah tiga anak bapak, bisa makan dan hidup teratur dan yang paling penting bapak tidak termasuk kaum dhuafa yang harus disantuni setiap lebaran.” Aku benar-benar kagum dengan semangat dan pengabdian yang sudah ia tunjukan selama itu. Mungkin memang benar apa yang diucapkan Bu Marni, guru SMP-ku kalau ketekunan dan keuletan itu pada akhirnya membuahkan apa yang dulu tak pernah kita bayangan. Dan itu kulihat sendiri dari ketekunan dan keuletan Pak Muzakir, meski kudengar beliau tidak lulus Madrasah Diniyah, tapi bisa hidup cukup seperti sekarang.

”Kalau saya boleh tahu, memangnya apa saja yang Bapak tulis?”

”Banyak, kadang bapak menulis orang jawa, orang sunda, orang cina malah sekali waktu bapak pernah menulis orang belanda,” ck ck ck... benar-benar bapak yang satu ini. Dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar yang tidak lengkap, ia mampu menulis karya dengan beragam budaya dan etnis. Ratusan judul lagi.

”Biasanya bapak memasarkannya kemana saja?”

”Ah, bapak mah ngga pernah memasarkan jauh-jauh, Tong. Mereka sendiri yang pada datang dan mengambil karya tulis bapak.” Subhanallah, berarti aku memang datang pada orang yang tepat. Jarang sekali loh seorang penulis yang karyanya dijemput atau ditunggui oleh seorang penerbit. Bagaimanapun aku harus berguru pada lelaki ajaib yang satu ini.

”Pak, boleh tidak kalau saya melihat atau pinjam beberapa karya tulis Bapak?” kataku penuh harap. Siapa tahu dengan membaca tulisannya aku bisa mendapat inspirasi atau setidaknya belajar dari gaya penulisannya yang mahal itu.

”Ooh, bisa, bisa. Sebentar ya, bapak ambilkan dulu...” lelaki itu berlalu dari hadapanku. Meninggalkan aku yang berbinar menahan gembira. Sebentar lagi aku akan merubah statusku dari seniman panggung yang gagal, menjadi penulis best seller yang terkenal. Aku ingin bersanding di tataran Bastian Tito, Mira W, Helvitiana Rosa, Habibburrahman El Shirazi, Asma Nadia atau Tatang S. kalau perlu!

Tak beberapa lama, lelaki kurus dengan dandanan yang dirapih-rapihkan itupun keluar dari dalam rumahnya. Di kanan kirinya tergantung dua buah kantong besar yang terbuat dari karung goni. Masya Allah, itu pasti ratusan karya-karyanya. Saking banyaknya, sampai-sampai ia tak memiliki tempat lagi, buktinya sampai memanfaatkan tas karung goni seperti itu.

”Naah... silahkan, Tong. Mudah-mudahan gaya penulisan bapak, bisa kamu tiru,” katanya sambil tersenyum bangga. Sedangkan aku cuma bisa mengangguk seraya nyengir kuda. Ada yang aneh, dari apa yang kudengar ketika dua tas besar itu di letakan di lantai. Aku bingung mengingat suara nyaring yang baru saja ku dengar. Seingatku tumbukan buku yang jatuh itu bunyinya berdebum, lah ini koq ngentring begitu, seperti suara genting kering beradu.

”Memang kemasan buku yang bapak tulis covernya terbuat dari apa, Pak?” aku masih bingung.

”Buku? Maksud Otong, buku apa?” lelaki tua itu balik bertanya.

”Ya buku, buku tulisan karya Bapak.”

Lah, siapa yang menulis buku?”

”Tapi Pak Muzakir memang penulis khan...”

”Iya, saya penulis, Tong!” katanya agak meninggi untuk meyakinkanku, ”tapi bukan menulis buku.”

”Jadi Bapak menulis apa?”

”Bapak ini khan petugas pemakaman, yaa pastinya menulis batu nisan, Tong.” Lelaki itu bicara makin meninggikan intonasinya seraya mengeluarkan beberapa ’karya tulis’ yang beraneka ragam gaya dan bahan. Ada yang dari batu marmer, batu paras, batu palimanan, batu candi, batu granit dan kayu jati. ”Naah... lihat sendiri khan, karya tulis bapak. Ada orang jawa, ada orang sunda, ada orang cina, sampai orang belanda pernah bapak tuliskan batu nisannya.”

Astagfirullahalladziim, jadi sedari tadi aku ini berguru pada seorang kuncen pemakaman yah. Nasib-nasib, susah bener ingin maju! Apa ya ini sesungguhnya ujian hidup itu?

%%%%%

Santoso tertawa terbahak-bahak mendengar semua kisah perjuanganku untuk berubah, selepas dari restaurant seafood ini. Matanya yang sipit seperti orang China makin hilang dengan posisi tawa seperti itu. Seingatku Santoso memang jarang tertawa, terkadang ia cuma mesem dan tersenyum simpul bila mengapresiasi sebuah kelucuan. Mungkin karena sebagai anak sulung yang menggantikan peran orang tua bagi adik-adiknya membuatnya selalu tampil serius. Atau juga prinsipnya yang ia anut, kalau berlebihan tertawa itu lebih dekat pada kesia-sian atau tepatnya lalai dan dekat dengan setan. Tapi demi mendengar penderitaanku selama menjadi petualang profesi, dan semuanya nyaris gagal, membuatnya tertawa keras sekali.

Santoso teman dekatku ketika sama-sama menyandang waiter. Dia lebih tua satu tahun dariku, akan tetapi terkadang sikapnya jauh lebih dewasa dariku. Itu alasanku untuk datang dan mencoba curhat padanya. Aku juga tak marah kalau pada akhirnya di sore yang redup itu, obrolan curhatku malah jadi bahan tertawaannya. Yaah, hitung-hitung beramal lah, menyenangkan saudara seperjuangan.

”Terus gimana, apa rencanamu sekarang?” kata Santoso di akhir tawanya.

”Ngga tahu, San. Aku bingung mau jadi apa lagi, rasanya semua profesi tak ada yang cocok untuk orang sepertiku.”

”Masa sih, Rist. Aku koq ngga melihat seperti itu.”

”Memangnya potensi apalagi sih yang ada padaku sekarang? Semuanya sudah kucoba, dan hasilnya juga gagal semua,” aku mencoba memancing lanjutan opini kawanku yang mirip Chinesse itu.

”Mungkin sebaiknya kamu kuliah saja, Rist. Kamu itu masih berpotensi untuk jadi mahasiswa, kamu juga pandai dan memiliki peluang untuk menjadi orang penting,” ada yang aneh dari ucapan Santoso. Rasanya begitu sejuk, mengaliri seluruh persendian di tubuhku. Aku memang ingin sekali melanjutkan kuliah, aku ingin sekali mengasah apa yang ditakdirkan Allah di kepalaku. Aku juga ingin menyandang predikat kaum intelek dengan latar belakang pendidikan yang bagus. Kalimat Santoso seperti membawaku pada satu tahun lalu ketika tanda kelulusan itu aku terima.

Senang, gembira, bangga sekaligus bingung, sedih, gamang dan tak tahu harus kemana setelah itu. Kondisi keluargaku sangat tak mendukung aku untuk melanjutkan kuliah. Untuk bisa lulus sampai SMA saja, sudah sedemikian berat bagi mereka. Aku tak mau membebani kedua orang tuaku, aku tak mau membuat ayahku makin stress dengan keinginanku. Apalagi saat itu penyakit ibuku mulai ditengarai sebagai penyakit yang cukup berat. Soni, Taufan, Ono, Erwin, Asep, atau Andre rekan-rekan satu genk-ku memberiku semangat, kalau masih banyak universitas atau perguruan tinggi yang menawarkan ikatan dinas, atau menggratiskan biaya pendidikannya. Beberapa sekolah tinggi yang mereka sampaikan aku inventarisir, dari mulai STAN, STTelkom, ASN, STPerhubungan, dan beberapa kediklatan yang menjamin langsung penempatan kerja seperti AKPER, PUSDIKLATPOS, atau PUSDIKPLN.

Dari sekian banyak itu aku tak mau mencantumkan SCABA atau AKABRI, aku khan seniman. Aku tak terlalu suka hidup teratur, aku juga paling menentang penghapusan hak-hak pribadi. Karena setahuku, masuk pendidikan seperti itu sama saja menggadaikan kebebasan dan masa mudaku. Meskipun gratis, kalau harus seperti itu, sepertinya harus kufikir seratus kali, deh! Kemudian dari daftar inventarisir sekolah tinggi yang tersusun itu aku sortir lagi menjadi tiga pilihan besar, yakni STAN, STTelkom, dan PUDIKLATPOS. Beberapa malam aku bangun dan bertahajjud untuk medapatkan pilihan yang terbaik bagi masa depanku. Namun dari sekian kali tahajjudku, aku merasa harus mengikuti ketiganya. Hanya saja karena kudengar kabar bahwa STTelkom tidak lagi mensubsidi mahasiswanya, artinya tetap ada biaya perkuliahan, aku jadi mengurungkan niatku untuk mendaftar ke sekolah tinggi yang sangat menjanjikan karir itu.

Aku putuskan untuk mengikuti ujian penerimaan mahasiswa di STAN dan PUDIKLATPOS dengan harapan aku tetap bisa kuliah meski tanpa biaya dari orang tuaku. Akupun mulai mengikuti sekian banyak try out yang diadakan di kotaku waktu itu. Dari semua alumni perguruan tinggi yang datang dan mengadakan try out, aku ikuti. Pokoknya aku ingin mengasah kemampuan akademisku, aku ingin terbiasa mengerjakan soal-soal ujian. Khususnya Matematika yang memang kurang aku minati. Hingga musim ujian itupun tiba, dengan berbekal semangat, beberapa kali try out, dan sedikit uang tabunganku, akupun mulai berkelana ke tempat-tempat ujian yang diselenggarakan. Pertama aku ke Jakarta, dengan menumpang tidur pada salah satu kenalan, akupun mengikuti ujian seleksi STAN di Stadion Senayan. Ada puluhan ribu peserta yang ikut mengadu nasib untuk bisa masuk di sekolah ikatan dinas dari Departemen Keuangan itu. Sampai-sampai panitia seleksi memperbolehkan peserta yang tak kebagian kapling untuk duduk berdempetan dengan peserta lain. Nomor bangku ujian sudah tak berlaku lagi, semuanya penuh dan padat seperti menyaksikan liga Eropa yang tiba-tiba dipindah ke Gelora Bung Karno.

Selepas mengikuti ujian dari Jakarta, aku langsung terbang ke Bandung untuk menyelesaikan persyaratan seleksi PUSDIKLATPOS. Seperti biasa aku menumpang kost beberapa hari di salah satu rekan yang telah lebih dulu kuliah di UNPAD atau ITB. Nelangsa rasanya hati ini, bila melihat betapa sibuk dan bergeloranya mereka dalam menimba ilmu di perguruan-perguruan tinggi itu. Perlahan-lahan hatiku terus berdoa, semoga aku juga bisa seperti mereka. Semoga aku juga bisa melanjutkan kuliah seperti keinginanku sejak dulu.

Setelah beberapa hari, ujian penerimaan PUSDIKLATPOS-pun dimulai. Ada banyak pelamar saat itu, meski tidak seperti pada saat ujian di Jakarta. Mungkin karena waktu penyelenggaraan yang lewat beberapa bulan dari UMPTN atau ujian saringan masuk perguruan tinggi ikatan dinas yang lain, peminat untuk yang satu ini tidak begitu membludak. Akupun bisa agak leluasa mengikuti ujian itu. Seingatku aku telah melakukan konsentrasi yang tinggi untuk dapat menyelesaikan semua soal ujianku. Baik sewaktu di Jakarta, maupun di Bandung. Akupun sempat berkhayal kalau aku sampai kebingungan untuk memilih yang mana, bila kedua-duanya menerimaku. Ah, indahnya!

Namun seperti memang sudah nasibku, atau memang garis tanganku. Aku selalu saja hanya bisa bermimpi dan berharap tentang keberhasilan seperti yang direncanakan. Aku gagal memasuki keduanya. Seperti juga aku gagal membangun kembali impian membahagiakan ibuku dengan memberinya kain ihrom pada satu tahun setelahnya, karena beliau lebih dulu beristirahat panjang. Dan itu benar-benar membekas hingga kini. Aku begitu pesimis dengan pendapat Santoso kalau aku mampu menjadi kebanggaan keluarga dan berdiri di atas kakiku sendiri.

”Mungkin, waktu itu memang belum hoki, Rist. Siapa tahu kali ini kamu berhasil, mengapa kamu tak mencobanya sekali lagi,” Santoso masih mencoba menyemangatiku.

Kalimat seperti itu juga pernah aku dengar dari Soni dan Asep ketika mereka berkunjung ke warung nasi goreng kaki lima-ku dulu. Begitu berapi-api mereka mem-push semangat di jiwaku untuk tetap dan terus mencoba. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda, demikian kata mutiara yang sering mereka berikan kepadaku. Aku mencoba dan berusaha meyakini semuanya itu, namun percuma saja. Bahkan untuk melamar pekerjaan yang ’asal’ saja aku sering kali di tolak.

”Sudahlah, kita lupakan saja semuanya. Kita bicara yang lain saja. Ke dalam dulu yuk!” Santoso mengajaku masuk ke ruang istirahat karyawan restaurant yang memiliki pintu samping itu. Ia juga membawa minuman soda susu kesukaanku, ”minum dulu Rist!”

”Terima kasih, San,” jawabku menerima minuman kesukaanku itu. Sesaat pandanganku berkeliling pada ruangan istrirahat karyawan yang nyaris tak berubah sejak aku tinggalkan beberapa bulan yang lalu. Ruang ganti pakaian yang seadanya, kamar mandi yang seadanya, hingga tempat sholat yang terlihat kumuh di pojokan. Semuanya belum berubah, sepertinya manajemen restaurant ini juga tak banyak perubahan. Beberapa karyawan baru nampak keluar masuk dengan sibuknya, mungkin mereka generasi penerus setelah kepergianku. Seingatku setelah aku pergi, beberpa waiter yang lain juga ada yang ikut berhenti, sehingga restaurant ini merekruit karyawan baru.

”Bachrudin, Aan, dan beberapa waiter yang lain juga sudah pada keluar Rist. Mereka juga sudah tak tahan dengan kondisi dan kebijakan manajement yang feodal seperti ini. Mungkin setelah menerima gaji, awal bulan nanti, aku juga akan keluar. Ada pabrik rotan yang baru di buka di Tegal Wangi, aku ingin melamar kerja di sana. Mudah-mudahan aku bisa mendapatkan yang lebih baik.” pandangan Santoso nampak menerawang, jelas sekali kelelahan dan kekesalannya untuk terus terikat di perusahaan dengan manjement pembantu dan majikan ini.

”Oh ya, aku mandi dulu yah, sebentar lagi jam istirahatku habis.”

Aku tersenyum mengangguk.

Kuperhatikan kembali sekeliling ruagan peristirahat bagi para karyawan restaurant ini. Sesaat pandanganku terpaut pada acara tv dari Stasiun Bandung . Salah satu slot layar tv usang itu menampilkan beberapa barisan pemuda dengan pakaian yang rapi dan melekat di tubuh mereka. Saking ketatnya, sampai nampak jelas bentuk badan para para pemuda itu. Atletis, gagah dan terlihat disiplin sekali. Mereka tengah berjalan dan berbaris rapi di sebuah gedung yang nampaknya tak asing di mataku. Bangunan itu sering kulewati setiap aku pergi ke Bandung. Bangunan yang begitu besar, mewah dan gagah. Begitu besarnya aku sampai membayangkan kalau bangunan itu laksana istana yang indah seperti di dongeng-dongeng. Atapnya yang merah dan cat bangunannya yang putih seakan menyiratkan identitas negeri ini. Seperti bendera merah putih. Sekilas beberapa tulisan muncul secara fade out, dari kecil tak terlihat hingga memenuhi layar tv . Aku begitu serius dan memperhatikan setiap tulisan yang muncul silih berganti itu.

PANITIA SELEKSI PENERIMAAN CALON PRAJA BARU

SEKOLAH TINGGI PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Memberikan Kesempatan Kepada Putra Putri Indonesia

Untuk Menjadi

Barisan Kader Pemerintahan Departemen Dalam Negeri

Dengan persyaratan sebagai berikut ;

......................

.........................

...................

Hatiku berdesir, seperti ada hembusan angin yang lembut menyentuh sanubariku. Seiring mataku yang terus fokus pada tulisan-tulisan yang keluar secara fade out itu, otaku berputar kecang sekali. Apakah ini yang tengah ditunjukan Allah untuk jalan masa depanku? Apakah masih memungkin bagi pemuda miskin sepertiku masuk sekolah seperti itu? Atau apakah ini hanya hiasan sinematografi belaka, yang tengah meledek dan memperolok kesialan nasibku? Ah, aku tak mau bermimpi lagi. Aku tak mau banyak berharap lagi, cukup sudah apa yang telah terjadi setahun terakhir ini. Aku tak mau merasakan kembali pahitnya gagal dan terpuruk pada kekecewaan yang tak berujung. Aku tak mau berkhayal, yang kutahu sekolahan semacam itu hanya diperuntukan bagi mereka yang telah memiliki kasta dan status yang jelas. Sekolahan seperti itu hanya untuk anak para pejabat yang telah memiliki modal dan akses kuat didalamnnya. Sudahalah, jangan bermimpi Rist! Lagipula aku khan sedang menunggu panggilan dari puluhan lamaran yang kukirim kemarin.

”Kenapa tak mencoba, Rist?” kalimat Santoso benar-benar membuatku bergetar dan lari dari kebingungan ini. Aku tak mau kalimat seperti itu hadir lagi. Aku tak mau diayun mimpi lagi. Aku hanya ingin yang pasti-pasti saja! Aku hanya ingin...

”Mencoba sekali lagi tidak akan mebuat dunia ini berakhir, Rist,” suara Santoso kembali kudengar, ”kalaupun kali ini kamu gagal lagi, itu juga tidak akan membuat kamu tak punya nyali untuk menjalani kehidupan ini. Jadi, apa salahnya mencoba?”

Kalimat Santoso terus terngiang di telingaku. Aku berada pada sebuah kondisi yang tanahpun tak terasa ku pijak. Tubuhku melayang, jiwaku juga melayang. Fikiranku mengembara entah kemana, yang tersisa hanya lintasan kekecewaan yang pernah hadir di langkahku. Bayangan-bayangan kegagalan itupun rasanya tak lekang dari mataku yang kupejam erat-erat. Ujian-ujian sekolah tinggiku, karier-karierku, dan semua harapanku yang tak pernah berujung nyata. Namun dari semua itu tak kusangka kalau pada akhirnya aku mampu berdiri di depan pintu sebuah instansi yang menurut berita tv kemarin adalah ranting penyelenggara ujian masuk di daerah. Bagian Kepegawaian Sektretariat Daerah Kota Cirebon.

”Ada yang bisa dibantu, Mas?” seorang ibu berpakain pemda menegurku yang nampak bingung di depan pintu kantor ini.

Anu... saya, mau menanyakan perihal penerimaan Calon Praja...,” kataku ragu-ragu.

”Ooh... STPDN yah, susah kalau mau masuk kesana, mah Mas. Memang sih, gratis dan dibiayai negara sepenuhnya oleh karena itu banyak pejabat yang berebut ingin memasukan anak-anaknya di sana”

Tuh khan? Aku koq masih belum puas menyiksa diri sendiri yah. ”Tapi kalau hanya ingin tahu bagaimana syarat pendaftarannya saja silahkan, tuh sudah di tempel di ruang informasi.”

Aku memandangi perempuan yang langsung ngeloyor pergi itu. Bingung! Aku juga tak tahu, apa harus kulanjutkan upaya coba-coba dan lebih banyak tak yakinnya ini. Namun kepalang basah! Toh, hanya membaca dan melihat pengumuman itu saja tak terlalu berbahaya bagi jiwaku. Aku bisa membacanya kemudian melupakanya segera. Yah, kenapa tidak? Kaki inipun akhirnya tetap melangkah dan mendekati papan pengumuman yang ditunjukan pegawai perempuan tadi. Tiap huruf, tiap kata, tiap kalimat dan tiap paragrafnya seolah menyihirku untuk terus fokus dan memelototinya. Hingga berulang-ulang pengumuman itu aku baca, aku eja, dan aku hapalkan di kepalaku. Aku mau ikut ujian seleksi!

%%%%%

Aku baru pulang dari pusara ibu, ketika Mba Atin lari tergopoh-gopoh seraya menunjukan sepucuk surat. Wajahnya nampak sumringah bercampur bingung, entah apa yang tengah dipikirkannya. Sesaat aku menerima surat yang ber-kop Setda Prov. Jabar, tipis. Tangan ini bergetar, mungkin terbawa suasana yang dibawa Mba Atin barusan.

“ Apa ini, Mbak?”

“Entahlah, coba buka saja Rist.”

Segera kubuka surat yang berasal dari Gedung Sate itu, sesaat aku membaca isinya. Seketika dadaku berguncang hebat, tanganku tambah gemetar. Tak kuasa langsung kusujudkan tubuhku seraya berucap syukur atas apa yang baru saja kuterima.

“Ada apa, Rist? Ada apa?”

Alhamdulillah, Mbak. Saya diterima menjadi mahasiswa STPDN, saya lulus ujian...” ucapku terbata seraya bangkit dari sujudku.

Subhanallah, terima kasih Yaa Allah, ternyata Engkau mendengar dan mengabulkan do’a kami..” Mba Atin memeluku erat, air matanya tercurah sudah.

“Ada apa, Tin?” suara Bapak terdengar dari ujung pintu.

“Harist lulus Pak, saya masuk STPDN,” kataku antusias.

“Ooh, ya syukurlah...” Bapak tak begitu semangat. Tangannya nampak kelelahan meraih mug teh yang biasa tersaji di meja tamu. “Semoga itu membuat kamu jadi lebih semangat dan berjuang lebih mandiri.”

Sesaat ia membaca surat yang kupegang, kemudian senyumnya sedikit terkembang. Kemudian sembari mengangguk-angguk ia kembali sibuk dengan kebiasaannya menghisap rokok buatanya sendiri. Mba Atin menatap ke arahku, kemudian sambil berisyarat jari ia menggeleng kepadaku.

Jujurnya aku tak peduli, Bapak senang atau tidak dengan keputusanku menolak kembali berjualan nasi goreng di warung kaki limanya. Aku tetap ingin kuliah, aku hanya ingin lebih maju dari lima kakakku yang semuanya bekerja serabutan setelah lulus SLTA. Bagiku, melanjutkan kuliah adalah keinginanku sekarang, dan itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Bapak mungkin masih kecewa, karena aku keukeuh pada pendirianku untuk tidak melanjutkan usaha warung kaki limanya. Sebetulnya aku dianggap berbakat dan mampu, setidaknya karena pengalamanku bekerja setengah tahun menjadi waiter di restoran China.

“Kamu ngga usah ambil hati dengan sikap Bapak, ya Rist,” Mbak Atin mencoba menghiburku. Ia tahu kalau aku agak kecewa dengan sikap yang ditunjukan Bapak. “Ini bukan karena kamu, seingat Mbak, ini karena Bapak sedang merasa kesepian karena kepergian Ibu. Jadi Mbak harap, kamu tidak patah semangat untuk terus mengejar cita-citamu.”

“Iya, Mbak. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah datang kepada saya,” sahutku dengan mata yang terus tertuju pada Bapak yang seolah terbawa pada kepulan asap rokoknya.

“Oya, terus apa lagi isi surat itu, coba Mbak liat...”

“Ada dua nomor ujian yang lulus dari Kota Cirebon Mba, dan kami diharuskan menghadap Bagian Kepegawaian besok pagi,” kataku.

“Setelah itu kamu akan langsung mengikuti pendidikan ya Rist?”

Aku mengangguk penuh semangat, tak sabar segera melewati segala proses penerimaan mahasiswa baru ini. Sesaat aku merogoh saku celanaku, kemudian diam dan berfikir sejenak. Mbak Atin masih sibuk dengan kertas pengumuman itu, sementara tangannya dengan cekatan menulis sesuatu.

“Kamu punya persiapan untuk semua ini,Rist?”

“Saya masih punya tabungan beberapa puluh ribu, Mbak.”

“Tapi persyaratan yang harus kamu penuhi kelihatannya lebih dari sejumlah itu, Rist,” Mbak Atin berucap terlihat sangsi.

“Ya memang Mbak, Harist mesti bawa seragam hitam putih dua stel, sepatu pantopel dan olah raga, dasi hitam, surat kelakuan baik dan beberapa persyaratan lainnya. Tapi bukan berarti harus batal pergi khan Mbak?”

“Terus?”

“Kalau kemeja putih, seingat Harist masih ada tuh bekas SMA dulu, tinggal dicabut aja atributnya. Nanti kekurangannya biar saya cari sambil bikin kelakuan baik besok,” kataku meyakinkan. Aku tak mau merepotkan mereka, terlebih lagi di masa sulit seperti ini. Pokoknya aku harus membuktikan kesungguhanku pada Bapak.

“Sepatu hitam sudah ku semir, meski sepatu lama tapi masih layak kupakai. Baju putih lengan panjang dan celana panjang hitam sudah ada satu stel, tinggal kekurangannya. Dasi hitam, pakaian olah raga, ah... untung terening Mbak Puji masih ada yang bagus, bisa aku bawa. Tinggal satu celana hitam lagi nih...” otaku terus berputar berusaha melengkapi persyaratan dengan uang tabunganku yang tak seberapa.

Langkahku terhenti sesaat di ujung jalan Keraton Kanoman ini, pandanganku terpaut pada beberapa celana bekas yang terjaja di deretan pasar loak. Ragu-ragu aku mendekati pemilik dagangan, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri aku mulai memilih beberapa celana panjang bekas itu.

“Ukuran berapa, Dek?” tegur si pedagang.

“Dua tujuh yang hitam, ada Mas?”

“ Sebentar...,” tangan pedagang itu nampak memilah-milah dagangannya, ”ini... warna hitam nomor dua tujuh, emang buat apa Dek?”

“Lagi perlu aja. Berapa, Mas?”

“Dua belas ribu saja, ngga mahal khan...”

“Waduh, uang saya tinggal tujuh ribu lima ratus nih.”

“Memang ngga ada lagi?”

“Bener, Mas. Ini juga untuk angkot sih sebenarnya.”

“Ya sudah, sini saya bungkus dulu,” pedagang itu cepat memasukannya ke dalam kantong plastik dan menyerahkannya kepadaku. Dengan segera pula aku raih dan pergi dari lokasi pasar yang menawarkan semua barang-barang bekas itu. Semuanya lengkap sudah, Surat Keterangan Kelakuan Baik, tinggal diambil, dasi hitam juga sudah didapat. Tinggal aku menuju kantor Balaikota, dan menghubungi Bagian Kepegawaian.

Sudah seminggu sejak telegram dari Gedung Sate itu aku terima, kini akupun bersiap melangkahkan kakiku menuju harapan dan impianku. Dua orang kakaku sengaja datang untuk menyampaikan selamat jalan padaku, karena pagi ini aku akan berangkat menuju Gedung Sate untuk mendaftar ulang. Beberapa anggota keluarga yang lain nampak pula berkumpul, mereka seakan ingin melepas kepergianku yang jauh.

“Kamu khan akan lama di sana, Rist. Kami dari sepupu ibumu sengaja ingin mengucapkan selamat jalan, semoga kamu berhasil,” seseorang dari mereka menyalamiku.

“Terima kasih Mbak, atas perhatian dan dukungannya.”

“Hanya ini yang bisa kami berikan, kami tidak punya apa-apa...”

“Doa restu dari kalian semuanya sudah lebih dari cukup buat saya Mbak...”

Kemudian acara perpisahan dan selamat jalanpun berlalu . Empat jam kemudian aku sudah berada di halaman Gedung Sate, gedung yang menjadi symbol keagungan pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Sesaat aku bersalaman dengan beberapa orang yang juga hadir atas pengumuman ini, beberapa orang tua mereka nampak masih mendampingi. Mereka adalah utusan dari berbagai Kabupaten Kota se-Provinsi Jawa Barat.

“Mohon perhatian, diberitahukan kepada seluruh Calon Praja Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, setelah ini kalian akan dibawa menuju Ksatrian STPDN Jatinangor. Ingat kuatkan fisik dan mental kalian, juga nama baik daerah yang telah memilih dan mengutus kalian!”

Kemudian Bus Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat ini mengangkut kami ke arah Jatinangor, dimana kami akan ditempa dan dibentuk menjadi kader-kader pemerintahan Departemen Dalam Negeri. Sesaat ingatanku melayang pada sosok bangunan putih yang beratap merah yang pernah kulewati dulu. Begitu besar dan gagah . Tak kusangka kalau saat ini aku tengah menuju bangunan itu.

Satu jam berlalu sudah, bus ini telah meninggalkan kami di tempat yang kami tuju. Sebuah lokasi yang memiliki pintu gerbang megah serta taman yang tersusun rapi, sementara barisan anak nakal yang terpangkas rapi menuliskan nama tempat yang baru saja kami tapaki, S T P D N.

Subhanallah, inikah Ksatrian STPDN itu? Disinikah aku akan ditempa menjadi seorang kader pemerintahan dalam negeri? Di areal seluas ini? Alhamdulillah... terima kasih Yaa Allah, Engkau telah berikan anugerah ini padaku.”

“Perhatian, Selamat Datang kepada para Calon Praja Baru. Setelah ini kalian harap mengemasi barang-barang bawaan kalian, kita akan melakukan registrasi dan bergabung dengan para Calon Praja Baru utusan dari seluruh Indonesia. Selamat bergabung dan selamat menempuh dunia kedewasaan yang baru.”

Kalimat itu baru saja berlalu dari pendengaranku. Tak terasakan bulir-bulir bening yang sedari tadi kutahan tertumpah sudah. Yaa Allah, berkahi langkahku. Kuatkan aku untuk menapaki semuanya ini. Kuatkan aku untuk menghadapi tantangan apapun yang ada di dalamnya...

%%%%%

Tidak ada komentar:

Posting Komentar