Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Jumat, 21 September 2012

bagian pertama Novel [Bukan] Lelaki Terindah


Satu
Cinta di Serambi Hati

Tepian Gaza, Lima Tahun Sebelum Hari ini

Baru seminggu yang lalu mereka bertemu dan kenalan. Bagi Jeanette, lelaki setampan apapun tidak pernah mengganggunya selama ini. Khususnya bila itu dianggap menghalangi niatnya untuk tetap mengabdi pada kemanusiaan. Ia telah berjanji pada hati dan imanya, kalau ia akan mengabdikan segala yang dimilikinya di jalan Tuhan. Ia telah menyerahkan semuanya itu sejak Mom dan Dad membawanya pada kapel St. Ana dan membaptisnya sebagai anak Tuhan. Sejak itu pula selalu timbul rasa belas dan kasih yang ia curahkan sebagai wujud syukur dan terima kasihnya pada Tuhan. Ia berjanji dan meyakinkan dalam hati, kalau ia telah mengambil jalan Tuhan. Ia tidak akan tergoda dan terbawa pada keindahan dan kenikmatan dunia. Baginya berbagi pada sesama merupakan amanah yang harus ia emban sepanjang hidupnya. Namun sungguh, ia terlupa satu hal ; jika hati tetaplah wilayah Tuhan! Dan hanya Dia yang mampu menggerakannya kemanapun Dia mau. Seperti perkenalan dan perjumpaannya dengan Syahid Salman. Lelaki kalem dan tak banyak bicara itu tiba-tiba saja begitu indah di matanya. Terlebih lagi di dalam hatinya.
Bunga cinta bermekaran di sana.Tak ada yang mampu mengelak jika cinta telah hadir dan menemukan jalanya. Sungguh tidak akan ada yang mampu membendung semuanya itu, meski janji dan sumpah pada Tuhan sekalipun. Karena cinta sejatinya hadir karena izin Tuhan, dan cinta adalah sesuatu yang indah dari semua keindahan yang pernah Tuhan ciptakan. Sejauh apapun Jeanette berlari dan sekuat apapun ia mengelak, kenyataannya cinta tetap hadir di langkahnya kini.
“Tapi dia bukan orang bule sepertiku, dan yang paling kurisaukan, dia seorang muslim. Dia tidak mungkin bisa bersatu denganku dan keluargaku yang nasrani. Aku sangat bingung, Margareth...,” Jeanette menuliskan kalimat terakhirnya pada email yang ia kirim ke Australia sana.
Kebimbangan dan kerisauan seperti itulah yang menahan laju cinta di hatinya. Meski ia sadari cinta pada hakekatnya adalah sesuatu yang bersih dan suci, namun pondasi keimanan yang selama ini dianutnya merupakan pagar teguh yang tak mungkin ia terjang. Ia tak ingin menyakiti Mom dan Dad, dan ia juga tak ingin menyakiti Tuhan.
“Tuhan tidak pernah sakit pada apa yang dipilih hamba-Nya, Jeanette. Dia hanya peduli dengan nilai yang di kerjakan hamba-Nya. Sesuatu yang baik atau sesuatu yang burukah? Dan itu sangat penting bagi-Nya....,” itu jawaban dari email yang Jeanette terima pagi dini hari itu. Margareth memang sahabat dekat Jeanette sejak SMU dulu. Keputusannya untuk menjadi palang merah internasional, telah memisahkan pertemanan keduanya pada jarak yang sedemikian jauh. Margareth yang menetap di Adelaide, Australia, dan Jeanette yang kini mengemban misi kemanusiaan di perbatasan Gaza, Palestina.
Dia tidak pernah sepaham dengan muslim, dia juga tidak begitu peduli dengan agama pengikut Muhammad itu. Yang ia tahu, ia hanya mengabdi pada kemanusiaan. Tak peduli siapa dan apa agamanya, yang penting baginya adalah membantu dan meringankan beban mereka dari penderitaan dunia. Dia juga tak pernah tertarik kegiatan penginjil yang membantu dengan menyebarkan kristenisasi. Baginya kebaikan dan berbagi lebih dari semuanya itu.
“Terima kasih Margareth, kalimatmu sungguh menenangkanku. Aku memang senantiasa berjalan di titian Tuhan, dan engkau makin menguatkan perjuanganku itu. Setelah ini, aku akan sampaikan pada pemuda muslim itu, kalau aku mencintainya. Lebih dari aku mencintai apapun, kecuali jalan Tuhan yang tengah ku tempuh ini...,” begitu balas Jeanette yang ia sampaikan pada sahabatnya di Australia sana.

****

Pagi merekah merah. Mentari memendarkan cahanya di bukit-bukit Gaza yang kini lebih banyak puing dari pada perbukitan hijau dengan zaitunnya. Jeanette baru saja terjaga di bagunan yang mulai menjadi puing di beberapa sisinya. Serangan Israel sebulan lalu memang menjadikan perbatasan Gaza tak lebih dari daerah yang baru saja tertimpa gempa 8 scala richter. Bau mesiu juga masih tercium di sana sini, menggambarkan betapa dahsyatnya bom yang mereka luncurkan saat itu. Meskipun mereka berdalih serangan itu sebagai akibat dari serangan yang telah dilakukan kaum militan Palestina, namun kenyataannya kekejaman kemanusiaan lebih banyak mereka ciptakan. Seolah membenarkan niat genoside terselubung yang mereka kemas dalam bentuk zionisme. Terlebih dengan alasan bodoh dan tak masuk akal, kalau mereka mengaku mengambil kembali tanah yang mereka miliki beberapa abad yang lalu. Sebuah alasan pembenaran yang perlu dipertanyakan hingga kapanpun. Apalagi kenyataannya kuil suci mereka (Sinagog) tak pernah menetap di satu tempat, pada zaman kemunculan agama mereka. Karena kuil suci itu hanya berbentuk gubuk kayu dengan berbagai perlengkapan yang mereka anggap suci.
Meski Jeanette tak memusingkan dengan semuanya itu, hati kecilnya juga terkadang sering bertanya; mengapa ada negara yang perilakunya bagai iblis dan tanpa belas kasihan. Jika memang tujuan mereka hanya ingin merebut tanah Palestina, mengapa harus wanita, anak-anak dan bayi yang menjadi korban? Itu pula yang membuatnya bersikeras untuk tetap bergabung pada  palang merah internasional, sebagai wujud solidaritas kemanusiaan yang diembannya.
Seperti pagi ini, meski kepalanya masih begitu berat karena kantuk dan lelah, ia mampu terbangun dan kembali beraktifitas. Di saat teduh, ia memang selalu melakukan itu. Berdoa di sudut   tempat tidurnya, dengan alkitab dan salib rosario di ujung genggamanya. Hatinya sepenuh ikhlas berdoa untuk keselamatan anak-anak dan wanita Palestina serta perdamaian tanah Gaza. Ia yakin, jika doanya akan terkabul disuatu saat. Setidaknya rasa damai dan tenang yang senantiasa ia dapati manakala ia selesai berdoa. Ia merasa kalau Tuhan berkenan dengan doanya dan itu pertanda jika doanya kelak akan terkabul.
“Assholaatu khairumminannaum... Assholaatu khairumminannaum...”
Jeanette terpaling sejenak dari kekhusyukannya berdoa. Suara yang mengalun dari surau terdekat itu selalu saja menyahuti akhir doa yang ia panjatkan. Lafadz itu seolah menjadi penanda akan hadirnya damai dan tenang dalam hatinya. Ia tahu itu ajakan sholat bagi muslim, bukan untuknya! Akan tetapi, selalu saja rasa damai dan tenangnya hadir setiap kalimat itu berkumandang. Ia tak pernah merasa kalau  gema adzan seperti itu yang membuat hatinya teduh, ia hanya merasa kalau doanyalah yang membuatnya tenang di fajar yang memerah itu.
“Bapa kami yang ada syurga, hanya padamu aku yakin, dan hanya padamu aku bermohon, kalau kelak kedamaian dan kebahagiaan dapat engkau hadirkan bagi kami, aku dan anak-anak Palestina itu... “ Jeanette mengakhiri doanya. Setelah menandakan salib di wajah dan hatinya, iapun bergegas keluar. Menghirup udara pagi yang masih menyisahkan sejuk dan segar sesaat. Jika menjelang siang, semuanya itu akan hilang. Berganti deru tank-tank Israel yang berpatroli dan mengawasi aktifitas kemanusiaan mereka.
Pagi makin menjelang. Mentari mulai bersinar dengan terang. Hari ini, Jeanette akan melanjutkan kegiatannya yang telah di deadline oleh WHO dan UNICEF untuk segera selesai. Mencatat dan menginventarisir data kesehatan ibu dan anak-anak Palestina yang menjadi korban agresi Israel sebulan lalu. Dan juga mendata pusat-pusat budaya Palestina yang masih memungkinkan untuk di lindungi bagi peradaban Palestina kelak. 
Excusme, Has Mr. Gupte stay in there ?” tanya Jeanette malu-malu pada lelaki yang terlihat sibuk dengan instalasi gedung yang masih saja rusak itu.
I’m not sure, tapi saya rasa jam segini dia sudah ada di dalam,” jawab pemuda berbaju kotak-kotak itu kalem. Karena sikapnya yang kalem itulah yang membuat Jeanette selalu mencari cara untuk bisa terus datang ke gedung yang separuh bagiannya ambruk terkena serangan bom Israel itu.
Thanks,” ucap Jeanette ringan, “Oh ya, apa siang ini anda ada waktu?”
Syahid Salman berfikir sejenak, “waktu? Untuk apa ya?”
“Instalasi di bangunan perawatan pasien agak sedikit error, mungkin ada beberapa kabel yang harus dibenahi. Kami sangat menghargai bantuan anda, jika berkenan memperbaiki jaringan tersebut,” Jeanette menemukan alasan bagus untuk bisa bertemu lebih intens.
“Oke, tidak masalah. Insya Allah, siang nanti aku ke bangunan kalian,” ucap Syahid Salman apa adanya. Sesaat tersenyum, kemudian sibuk kembali dengan pekerjaannya. Sementara Jeanette hanya mampu menahan girang dihatinya dengan senyum simpul di ujung bibirnya. Pesona pemuda Indonesia ini memang menggoyahkan pertahanan hatinya untuk tidak terjebak dalam indahnya dunia. Keyakinannya untuk berpasrah diri pada jalan Tuhan, mulai dipertaruhkan dengan binar-binar cinta yang kini mulai berpendar di hatinya.
Thanks, Syahid...”
“Your Wellcome...”
Pagi yang indah. Setidaknya ini yang tengah dirasakan oleh Jeanette. Tidak heran kalau di pagi itu, ia terlihat begitu semangat. Tidak hanya mendata apa yang menjadi tugasnya, akan tetapi juga membantu para medis menangani para korban perang. Senyumnya juga melebar hampir kepada semua orang. Termasuk pada Sayyida, perempuan paruh baya yang baru saja kehilangan dua anak laki-lakinya itu. Membuat keduanya membangun percakapan yang agak panjang dari biasanya.
“Ada apa Anaku, kau terlihat ceria sekali pagi ini?” tanya Sayyida dengan lembut.
“Tidak ada apa-apa Nyonya, saya hanya mencoba menikmati hari ini dengan semangat,” elak Jeanette dengan ringan.
“Hehehehe, kamu tidak bisa bohong denganku, Anaku! Kamu pasti mengalami sesuatu yang luar biasa hari ini...”
“Aah, Nyonya Sayyida, bisa saja. Saya khan hanya mencoba mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikanya hari ini....”
“Sesuatu yang indah yang diberikan-Nya, cintakah itu Anaku?”
Jeanette tak mampu lagi mengelak. Kalimat Sayyida benar-benar membuatnya terdiam dengan bola mata yang berbinar indah. Alamiah wanita, mereka memang tak bisa menyembunyikan sesuatu yang indah dalam hidup mereka. “Ssst, jangan bilang siapa-siapa yaa...”
Sayyida tersenyum simpul, seolah mampu melupakan kedukaannya sejenak. Senyum ceria di bibir gadis bule itu seolah membawanya pada romansa masa lalu, ketika ia juga merasakan hal yang sama ; jatuh cinta!
“Ayo katakan padaku Nak, pemuda mana yang telah merebut hatimu...?” tanya Sayyida separuh berbisik. Jeanette yang merasa telah tertebak makin bersemu merah pipinya.
“Seingatku, cinta yang tumbuh di gadis seusiamu adalah cinta yang lebih dewasa, lebih dari sekedar rasa suka belaka. Aku yakin pasti dia pemuda hebat dan sangat mempesona, sehingga ia mampu membuatmu seperti sekarang ini...,” Sayyida terus berteori tentang rasa dan cinta.
“Sudahlah Nyonya jangan bahas itu lagi, saya jadi malu. Bagaimana luka kakimu?” Jeanettte mengalihkan pembicaraan dengan memeriksa kaki Sayyida yang luka parah terkena pecahan mesiu sebulan lalu. “Saya bersihkan perbanya yaa?”
Sayyida tak lagi berkomentar, ia menyerahkan kakinya untuk dirawat oleh Jeanette. Namun sepanjang perawatan luka, mata Sayyida terus terpaut pada bibir Jeanette yang terus mengulas senyum. Ia yakin begitu besar aura cinta yang tengah dirasakan gadis asal Australia itu. Dan Sayyida betul-betul tak mampu menguasai hatinya untuk segera mengetahui siapa yang tengah bersemayam dalam hati wanita muda ini. Mungkin insting wanita dimana saja sama; selalu ingin tahu tentang asmara!
“Ayo Anaku, kamu bisa percaya padaku. Aku bisa menyimpan rahasiamu kalau memang itu rahasia. Dan aku bisa menjadi penasehat cintamu jika itu perlu...,” bahasa Inggris Sayyida terpatah-patah, namun tetap dimengerti oleh Jeanette.
“Aah, Nyonya, jangan paksa saya, saya belum mampu menceritakan itu sekarang,” Jeanette masih terus mengelak. “Nanti saya cerita kalau sudah tiba saatnya...”
Sayyida tak lagi bisa memaksa, pandangannya kini terpaku lurus pada luka menganga yang ada di kedua kakinya. Kaki yang telah berjuang dan menyelematkannya dari nasib pahit juga menghancurkan kebahagiannya. Dengan kaki itu pula, segala kisah duka kebiadaban Israel pada suami dan kedua anaknya tersimpan. Beruntung, Allah masih memberinya perlindungan sehingga ia selamat dari mortir yang diarahkan Israel ke rumahnya. Meski sekali waktu ia terkadang menyesali, mengapa Allah menyisakan dia hidup sendiri. Namun kehadiran Jeanette yang begitu peduli dan dekat dengannya, membuatnya bertahan hingga hari ini.
Siang beradu waktu. Gaza yang teduh dan tenang ketika pagi mulai terobek dengan hadirnya beberapa tentara Israel yang mondar-mandir di sekeliling mereka. Dengan alasan mencari kaum militan Palestina, mereka memasuki bangunan yang digunakan perawatan orang-orang sakit itu. Pandangan mereka sinis dan cenderung melecehkan. Entah apa yang ada di hati mereka, perasaan puaskah akan perbuatan mereka? Atau juga masih penasaran, karena serangan itu menyisahkan wanita dan anak-anak yang terluka, dan itu menjadi perhatian dunia. Membuat dunia mengecam mereka dan memaksa mereka untuk menghentikan penyerangan mereka terhadap Gaza.
Di siang yang baru saja tergelincir itu, datang seorang pemuda dengan tinggi lelaki kebanyakan bule. Namun kulitnya tidak bule, matanyapun tidak biru atau hijau. Dengan rambut lurus dan hitam lebat, membuat wajahnya sangat berbeda dengan pria bule yang sering menghantarkan perbekalan bagi rumah sakit dadakan ini. Namun senyumnya yang simpatik serta sedikit jenggot di dagunya, membuat lelaki ini menjadi pusat perhatian para wanita yang ada di bangunan separuh rusak itu. Tak terkecuali Jeanette dan Sayyida yang tengah bercengkrama saat itu.
“Itukah pemuda yang ada di hatimu, Nak?” tanya Sayyida perlahan, ketika ia mendapati mata Jeanette yang terpaut lurus tanpa berkedip.
Mendengar itu, Jeanette langsung memalingkan pandangannya dan kembali memegang kaki Sayyidah yang baru saja ia ganti perbannya beberapa jam lalu. Namun karena salah tingkahnya itu, ia malah menggunting dan membuka kembali perban itu.
“Tidak usah salah tingkah begitu Nona Jeanette, perban itu baru saja anda ganti!” ucap Sayyida ringan mencoba mengingatkan ke alfaan sukarelawan kemanusiaan itu. Ia sengaja mengucapkan dialek Inggris baku, untuk menggoda Jeanette. Perempuan muda itupun bersemu makin merah.
“Maaf, ada yang tahu dimana Nona Jeanette?” tanya pemuda itu dalam bahasa Parsi. Tugasnya yang lebih dari tiga tahun membuatnya fasih berbahasa Inggris dan Parsi.
“Dia mencarimu, anaku,” ucap Sayyida girang. Bahasa Parsinya mendadak keluar, menunjukan kegirangan pula dalam hatinya. Apakah ini juga alamiahnya wanita atau entahlah, yang jelas Sayyida merasakan pula keindahan cinta yang tengah dirasakan Jeanette.
“Saya di sini, Syahid...,” ucap Jeanette seraya melambaikan tangan di antara barisan ranjang dan pasien yang tengah dirawatnya.
“Oh disitu rupanya, “ kata Syahid  seraya mendekati arah wanita yang dicarinya, “instalasi mana yang harus aku perbaiki?”
“Mmm... saya kurang yakin yang mana, yang jelas beberapa komputerku tak bisa menyala kemarin...”
“Kemarin?” tanya Syahid  bingung, “kalau sekarang...?”
“Entahlah, saya kurang tahu. Tapi saya berterima kasih kamu mau datang dan mengeceknya,” ucap Jeanette seraya menahan gemuruh di dadanya. Sementara Sayyidah hanya tersenyum simpul meng-amin-kan apa yang ada di hatinya saat ini.
Syahid  bermaksud meninggalkan ruangan itu, karena menganggap semuanya sudah selesai. Namun baru selangkah ia balik kanan dan hendak berjalan, sebuah suara memanggilnya...”
Yaa Muhammad, sudikah jika engkau menemani kami sejenak?” suara Sayyida terdengar. Ia memanggil Syahid  dengan sebutan Muhammad untuk memuji dan menyanjung lelaki muslim pada umumnya.
Maafy, Nyonya memanggil saya?” tanya Syahid  seraya berbalik.
“Benar Anaku, apakah terlalu merepotkanmu untuk tinggal sejenak?”
Syahid  tersenyum simpul, ia kembali berjalan mendekat pada Sayyida dan Jeanette yang makin tersipu malu. Sudah sifatnya selalu hangat dan berbagi pada siapa saja, terlebih lagi pada seorang ibu yang tengah sakit. Ia selalu berharap untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan siapapun. Itu pula yang menjadi alasanya untuk bergabung menjadi sukarelawan di palang merah internasional ini.
“Ada yang bisa saya kerjakan Nyonya?”
“Ada, semoga engkau tak keberatan Anaku,” ucap Sayyida seraya mengulurkan tangannya untuk menjabat genggaman Syahid. “Aku tak tahu sampai kapan umurku, setidaknya dengan kondisi kedua kakiku yang tak juga sembuh ini. Maukah engkau melakukan sesuatu...?”
Syahid  memiringkan kepalanya sesaat, menunjukan ia berfikir dengan pertanyaan aneh dari Sayyida. Namun tak berapa lama iapun mengangguk dan tersenyum, mewakilkan jawaban kesanggupan.
“Jika kelak aku lebih dulu mendahului kalian, maukah engkau menjaga Jeanette untuku?” tanya perempuan paruh baya itu dengan mata berkaca-kaca. Entah apa yang ada di fikiran Sayyida. Yang jelas dengan ekspresinya itu, Syahid  tak mampu berucap apa-apa. Kembali hanya anggukannya yang mampu ia wakilkan. “Berjanjilah Anaku, jika engkau akan menjaga Jeanette yang telah begitu baik pada kami semua...”
“Insya Allah, Nyonya...,” Syahid  menjawab lirih.
“Terima kasih, semoga Allah memberkati kalian semua...”
Setelah itu Syahid  mohon pamit dan melanjutkan kembali tugasnya sebagai teknisi instalasi di barisan sukarelawan. Kemampuannya di bidang teknologi dan engginering membuatnya serba bisa dalam urusan teknis. Sebetulnya dengan kapasitasnya itu, ia bisa diterima oleh perusahaan besar manapun di berbagai negara, namun panggilan hati membawanya untuk mengabdi dan menjadi relawan kemanusiaan. Dan itu terlihat lebih membuatnya nyaman.
“Alhamdulillah, dia memang lelaki yang baik Anaku...” Sayyida berucap syukur.
Jeanette mengira, jika Sayyida hanya sekedar bertak-tik agar ia bisa lebih dekat dengan Syahid. Akan tetapi dugaannya salah, perempuan paruh baya itu terlihat sungguh-sungguh dengan ucapannya. Oleh karena itu, ia mengurungkan niatnya untuk komplen dengan apa yang dilakukan wanita itu. Setidaknya ia memang menangkap ekspresi keseriusan dari Sayyida.
“Mengapa Nyonya melakukan ini?”
“Maaf kalau membuatmu malu Anaku,” Sayyida berucap serius, “aku hanya ingin membalas dan menunjukan rasa terima kasih padamu yang telah berjuang demi kami rakyat Palestina. Jika memang apa yang kulakukan ini tak sebanding dengan pengabdianmu selama ini, semoga Allah akan menggantinya dengan lebih baik...”
Jeanette tak kuasa menahan haru, ia memeluk perempuan paruh baya itu. Sepanajng hidupnya ia tak pernah merasakan kehangatan dan keharuan sebagai ibu dan anak pada Mom atau Dad-nya. Namun hari itu ia merasa kalau Tuhan telah menunjukan sisi indahnya. Dan karena hari itu pula, pandangannya tentang ketulusan dan kasih sayang sebagai seorang muslim mulai berubah. Anggapan yang kasar, bar-bar dan cenderung kejam tak lagi ia temukan mulai saat itu.
Perlahan hatinya makin penuh dengan bunga-bunga cinta. Cinta yang hadir karena rasa, dan cinta yang hadir karena hati telah melewati titiannya. Jeanette merasakan cinta yang seutuhnya yang kini berbunga di serambi hatinya.

********

Bagian pertama dari Novel Kelana Di Titian Senja


Topeng 1
Di Antara Malam Jakarta...


Hirup-pikuk malam itu begitu jelas di telinga. Suara malam yang biasanya sepi dan lengang tak berlaku untuk   Jakarta. Rasanya kota ini tak pernah tidur di setiap detik dan menitnya. Selalu saja ada aktifitas warganya yang menggelora di setiap titian waktu. Mereka yang sibuk beriktiar untuk hidupnya hingga mereka yang bersuka ria menikmati anugerah hidupnya. Di setiap sudut dan keremangan selalu saja ada derap kehidupan masyarakat yang mewarnai Jakarta di kala malam. Seperti tiga orang lelaki yang membawa seorang wanita muda di salah satu kawasan hotel mewah. Entah apa yang tengah mereka lakukan, yang jelas ketiganya nampak begitu serius dengan segala macam frase di kepala masing-masing. Salah satu dari keempat orang itu adalah Rasimi.
Perempuan muda yang juga salah satu pendukung  Kembang Pantura itu nampaknya tengah melaksanakan tugas lainnya selain menyani dan menari di atas panggung. Menurut rencana salah satu kembang panggung ini akan dicasting   dan diorbitkan sebagai penyanyi dangdut terkenal. Rasimi juga dijanjikan akan membuat album rekaman yang akan ditayangkan ke semua radio dan televisi se-Indonesia.  Namun   Rasimi masih bingung dengan arah tujuan para lelaki yang menjemputnya ini, apakah benar ia akan diantar ke studio rekaman. Hatinya   gelisah, meski ia terus    menenangkan diri. Ia mencoba menepis bayangan negatif dan kekhawatirannya. Ia yakinkan kuat-kuat kalau niatnya hanya untuk bekerja demi anak semata wayangnya.
“Duuh, mengapa aku tak tenang begini? Mengapa aku tiba-tiba ingat Lastriya...,” suara bathinya bingung.
“Kenapa Mbak, masih gugup yaa?” tanya seorang lelaki yang menjemputnya. “Santai saja, Pak Firman orangnya baik koq. Banyak bintang-bintang panggung yang berhasil ia orbitkan...”
Rasimi hanya mengangguk tersenyum, ia tak tahu harus bicara apa. Hatinya masih bingung dan gelisah. “Duuuh, Gusti Allah... kula nyuwun perlindungane[1]...”
Beberapa saat kemudian,   Rasimi dan tiga orang lelaki yang menjemputnya telah sampai di sebuah hotel mewah di pusat Jakarta. Sinar lampunya yang indah dan gemerlap menyilaukan siapa saja yang baru pertama kali memasukinya, termasuk Rasimi. Ia sibuk melihat kanan-kiri dan atas-bawah dari bangunan yang megah itu. Sesaat kegelisan hatinya berubah menjadi kekaguman dengan apa yang dilihatnya kini. Sebaris harapan terucap di hatinya, semoga  ia bisa bangkit dari kesengsaraannya dengan pekerjaannya kali ini.
“Naah, Rasimi... Pak Firman sudah menunggu di loby tuh..,” ucap salah seorang lelaki penjemput seraya menunjuk ke arah lelaki yang duduk manis di ujung loby hotel ini.
“Loby?”
“Iya, ruangan paling besar ini namanya loby. Tuh, Pak Firman melambaikan tangannya ke arahmu...”
Rasimi mengalihkan pandangannya pada sesosok lelaki yang ia jumpai kemarin malam. Pak Firman dan seorang lelaki bertubuh subur nampak duduk santai di   sudut loby sana.  Ragu-ragu   Rasimi melangkahkan kakinya, mendekati dua lelaki yang menatap lurus ke arahnya.
“Sini Ras... ayo jangan malu-malu...!” suara Pak Firman dari jauh.
  Rasimi mencoba tetap tenang dan   duduk   di salah satu kursi loby hotel ini. Ia mencoba tersenyum meski hatinya kembali dilanda was-wasa dan ragu.
“Nanti kita akan mulai rekaman di lantai 3 bangunan ini, sekarang santai saja dulu..,” ucap Pak Firman seraya melambai ke salah seolah waiter.
“Ini minumannya Pak,” seorang waiter menyuguhkan beberapa gelas dan minuman yang nampaknya sudah dipesan. “Silahkan...”
“Terima kasih yaa,” ucap Pak Firman, “ayo Ras.. kita minum dulu biar santai...”
“Minuman apa itu Pak, saya tidak biasa minumm...”
“Ooh yang di botol itu hanya untuk kami, kamu yang warna kuning saja... itu orange juice, enak koq...”
Orange juice?” Rasimi bingung.
“Jus jeruk... jeruk yang diperas,” Pak Firman menjelaskan. Ia menangkap kebingungan dan keragu-raguan Rasimi untuk meminum minuman yang telah disiapkan.
“Hanya air jeruk khan Pak?”
“Iya ayo minum saja...”
Rasimi meminum air jeruk itu, kekhawatirannya mulai mereda ketika air yang berwarna kuning itu kini mengalir di tenggorokannya. Tidak ada yang aneh, dia memang hanya meminum air jeruk perasan. Percakapanpun berlanjut berkaitan dengan ide pembuatan lagu dan video klip untuk Rasimi, sekaligus nilai kontrak yang akan diterimanya. Untuk sesuatu yang baru dan sama sekali tak dipahaminya, Rasimi hanya banyak mengangguk dan berharap kalau ia tak sedang mimpi.
“Jadi begitu, Nok[2] Rasimi.   Bapak Lutfi ini akan menangani Nok Rasimi dari penyanyi organ tunggal menjadi penyanyi dangdut televisi,” Pak Firman masih terus memberikan angin syurga bagi Rasimi.
“Baik, mari kita lanjutkan percakapan kita dengan test penampilan di depan kamera,” kata Pak Lutfi yang tak kalah gemuknya dibanding Pak Firman. Dari penampilan keduanya, mereka ini memang termasuk om om yang sangat parlente, menggambarkan status sosial mereka. Siapapun yang baru pertama melihat, pasti tidak akan ragu kalau mereka mengaku seorang produser atau presiden direktur sekalipun. Dan itu membuai pula Rasimi, yang benar-benar asing dunia seperti itu. Apalagi sekian banyak   materi dan popularitas menjebak hati dan angan-anganya untuk maju. Melambungkan mimpinya untuk dapat hidup lebih baik. Meski kenyataan terpahit, harus menghentikan mimpinya ketika ketiganya telah sampai di kamar lantai 3 hotel itu.
“Koq kita ke kamar Pak?” tanya Rasimi bingung.
“Kru dan perlengkapan kameranya memang di kamar ini,” ucap Pak Firman, “ayo masuk saja... kita mulai latihan malam ini.”
“Latihan... latihan bagaimana Pak?”
“Yaa latihan menyanyi dan menari... untuk penampilanmu di kamera nanti,” Pak Firman berucap serius, “kamu tidak ingin khan rekaman video klipnya kurang bagus...?”
“Tapii... Pak, saya...,” Rasimi mulai ragu dengan keputusannya.
“Sudah masuk saja, Pak Lutfi ini sudah berpengalaman lho untuk para pendatang baru...,” Pak Firman masih terus membujuk Rasimi.
“Tapi..,” meski ragu Rasimi melangkah juga ke dalam kamar di lantai 3 itu. Namun detik pertama ia masuk ke dalam kamar itu, detik itu juga Pak Firman mengunci pintu kamar itu.”Pak kenapa pintunya di kunci?”
“Yaa, biar tak ada yang mengganggu...”
“Tapi Pak...,” Rasimi mulai panik dengan perasaannya, “sa... saya tidak jadi saja.”
“Tidak bisa begitu Nok, Pak Lutfi ini sudah membayar mahal lho...”
“Saya akan kembalikan lagi uangnya...”
“Kamu mungkin bisa, tapi Margono dan isterinya itu pasti tidak bisa,” Pak Firman mulai berucap dengan intonasi tinggi, “sudah masuk ikuti saja, dari pada kamu dilaporkan polisi dengan tuduhan penipuan...”
“Tapi Pak...”
“Firman, kamu tidak akan membuat saya kecewa malam ini khan?” suara Pak Lutfi terdengar dari arah toilet kamar itu.
“Tidak Pak, Rasimi hanya masih malu... dia baru pertama...”
“Pak, saya izin pulang saja...,” Rasimi sudah berjalan ke arah pintu keluar.
“Sudah sampai sini Nok, tanggung...”
“Jangan Pak... saya perempuan baik-baik, saya bukan pelacur...,” terucap sudah apa yang dikhawatirkan Rasimi. Dia benar-benar takut dan merasa tertipu dengan semuanya ini.
“Sebentar saja Ras, setelah ini kami benar-benar akan mengorbitkan kamu sebagai penyanyi, percayalah...,” Pak Firman mulai kewalahan mencegah dan memegangi Rasimi yang mencoba kabur.
“Tidak Pak, demi Allah... saya perempuan baik-baik. Saya tidak akan menjual kehormatan saya untuk sebuah popularitas dan kekayaan dunia...”
“Tidak perlu munafik seperti itu Ras, kami semua tahu bagaimana para penyanyi Kembang Pantura itu. Sudah ikuti saja, jangan sampai kami melakukan kekerasan kepadamu...!” Pak Firman mulai mengancam. Ia tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Rasimi yang terus memberontak ingin kabur.
Di saat itu keluarlah Pak Luthfi yang hanya menggunakan piyama dari toilet. Rupanya lelaki bertubuh subur itu baru saja menyiapkan dirinya untuk ‘sasaran’ empuknya. Matanya berkilat dan buas, bagai singa yang siap menerkam pelanduk di depannya. Lidahnya juga terjulur, memandang Rasimi penuh selera.
“Sini sayang... tidak usah takut, aku tidak galak koq...,” ucap Pak Luthfi merayu.
“Maaf Pak, saya tidak bisa kalau harus...,” Rasimi terus mengelak dan menghindar dari Pak Luthfi yang kini memburunya.
“Pak Firman itu boleh saja produser rekaman, tapi aku pemilik modalnya,” kata Pak Luthfi penuh bangga, “jadi menurut padaku, lebih menjamin obsesi dan impianmu...”
“Tapi tidak untuk tes seperti ini, tolong Pak... jangan paksa saya...,” Rasimi memelas untuk dikasihani. Namun semakin Rasimi memohon dan meminta, kedua lelaki yang sudah kemasukan syetan itu makin bernafsu memburunya.  Dengan terkaman yang buas keduanya berusaha sekuat tenaga meraih dan melucuti baju perempuan malang itu.
“Ayolah Mi.... santai saja, tidak akan ada yang tahu. Cukup malam ini saja...”
“Tidak, lepaskan aku.... jangan sentuh tubuhku!”
PLAK! Rasimi menampar wajah Lutfi yang terus mencoba menciumnya. Namun karena keberaniannya itu menjadikan lelaki paruh baya itu naik pitam. Dengan sekuat tenaga ia membalas tamparan itu dengan menjambak rambut Rasimi sekuatnya. Perempuan kampung itupun jatuh tersungkur dengan sebagian rambut yang tercerabut dari kepalanya. Tak hanya di situ, Lutfi kembali menghampiri dan kembali menarik rambut itu untuk menegakan tubuh Rasimi. Pandangannya sudah tak waras, antara emosi dan nafsu kini berbaur menjadi satu. Belum lagi Rasimi tegap berdiri, lelaki yang terlanjur merasa di hinakan itu kembali melayangkan tangan kananya ke arah wajah Rasimi. Perempuan itupun kembali jatuh dengan darah segar yang mengalir di mulutnya.
“Dengar ya perempuan kampung! Kalau hanya sekelas kamu, kami bisa dapat sepuluh dalam semalam! Tapi kami masih kasihan dan menghargaimu, makanya kami minta baik-baik. Tapi rupanya kamu memang tidak pantas di kasihani. Kamu tidak bisa di ajak baik-baik. Kamu minta yang kasar-kasar yaa...,” Lutfi berucap dalam pengaruh alkohol tinggi. Dia sudah tak sadar lagi apa yang sedang terjadi. Cacian dan makian dari mulutnya seakan memuaskan hasratnya yang merasa terhinakan dengan penolakan Rasimi.
“Hahaha... dengar kamu perempuan kampung, kamu tak akan bisa lari. Sekuat apapun usahamu. Hotel ini sangat mahal, privasi sangat dijaga sekali. Aku bisa saja teriak kalau kamu pencuri, dan kamu akan berakhir di penjara...”
“Jangan Pak, toloong, kasihani sayaa...,” Rasimi terus memohon. Namun dua orang lelaki yang telah kesetanan itu bagai tak peduli. Keduanya terus memburu Rasimi dengan penuh nafsu.
“Demi Sang Maha Pengatur taqdir, dan juga penentu titian nasib,” bathin Rasimi menjerit. “Demi Dzat yang semua berada dalam genggaman-Nya, jika benar ini batas akhir kemampuanku mempertahankan kesucianku, semoga ada ampunan-Mu untuk kelemahanku...”
Udara segar mengalir seketika. Dengan sekuat tenaga Rasimi mencoba   bangkit berdiri. Dengan berpegangan pada tembok belakangnya Rasimi berupaya menegakan tubuhnya, hingga   berdiri persis di balik jendela yang menghadap luar hotel. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba kedua tangannya itu bergerak membuka tuas pengungkit jendela. Daun jendela yang berbingkai alumunium itu terbuka lebar kini, tubuhnyapun langsung membelakangi jendela kamar. Udara malam Jakarta di ketinggian lantai tiga  itu  kini memeluk erat tubuh lemahnya. Itulah pilihan terakhir bagi Rasimi untuk tetap mempertahankan kesuciannya.
“Rasimi jangan gila kamu, kamu bisa mati...”
“Aku tak mau kalau harus menerima kenistaan dari kebejatan kalian...”
“Tapi kamu masih muda, jangan sia-siakan  hidupmu dengan bunuh diri seperti itu!”
Terlambat!  Angin dari ketinggian hotel itu   lebih menguasai Rasimi. Perempuan malang itupun terjun bebas ke bumi. Tubuhnya terhempas bagai meteor yang meluncur deras menuju bumi. Tak ada teriakan, tak ada pula jeritan. Rasimi lebih siap dari kemungkinan apapun yang terjadi padanya. Ada kekuatan pilihan yang kini membatu di hatinya, lebih baik mati demi menjaga kesuciannya dari pada menjadi budak nafsu para lelaki bejat itu. Temaramnya malam dan bisingnya kesibukan malam Jakarta,   menjadi saksi perjuangan Rasimi kini. Sang Penari Topeng Kelana di titian cinta-Nya.
Rasimi jatuh terhempas dan terjun bebas dari ketinggian tiga lantai. Tak ada yang tahu setelah itu. Beritanyapun tak   termuat di media cetak dan televisi manapun. Peristiwa jahanam semalam bagai kerikil kecil di bongkahan kecongkakan Jakarta. Begitupun organ tunggal Kembang Pantura, ia tetap eksis beroperasi, seperti tak terpengaruh apa-apa. Entah kemana Rasimi? Bagaimana pula nasib perempuan kampung itu. Hanya waktu yang kemudian menjadikan  titian nasib dan taqdir yang berliku ini akan jelas pada akhirnya.

******


[1] Yaa Allah, aku mohon perlindungan-Mu
[2] Nak (panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Cirebon sehari-hari)

Rabu, 11 April 2012

Pendahuluan sebuah fiksi budaya

Kelana di Titian Senja..... sebuah fiksi budaya!


assallamu allaikum...

           Semoga kita semua dalam lindungan Allah SWT, dan selalu dalam keadaan indah dan bersemangat menjalani hidup. Di setiap tarikan nafas kita, pastinya sarat dengan ujian dan batu sandungan yang terkadang membuat kita drop atau mundur ke belakang. Begitu juga saya, sebagai penulis yang juga birokrat, terkadang harus break sesaat untuk menyelesaikan beberapa ujian hidup tersebut. Namun seperti kata orang tua, berhenti sejenak atau mundur beberapa langkah ke belakang, bukanlah sesuatu yang memalukan. Asalkan hal itu merupakan fase untuk  bangkit  dan kembali bergerak.

             Bderangkat dari semuanya itu, saya hanya ingin menyampaikan bahwa masa-masa vacum kemarin merupakan fase bagi saya untuk berdiam dan mengendapkan beberapa karya yang mungkin layak untuk diposting di blog ini. Setidaknya ragam karya berhasil  saya buat, sebagai bentuk pembenaran petauh orang tua tadi, bahwa; berdiam sejenak atau mundur beberapa langkah ke belakang selayaknya merupakan moment untuk berinteropeksi, berinovasi dan juga bangkit dengan energi dan spirit yang baru.

              Sejalan dengan semangat itu, saya akan mencoba share semangat perjuangan seorang ibu yang mencari buah hatinya lewat fiksi budaya. Judulnya Kelana di Titian Senja, yakni sebuah kisah perjuangan penari topeng Cerbonan. Balutan religius tetap ada dalam hal ini, meskipun unsur budaya sangat kental dan bisa jadi merupakan referensi bagi mereka yang ingin tahu lebih jauh tentang apa dan bagimana tari topeng.

               Baik, ini dulu sekedar pembuka dari tautan novel yang akan diposting secara runut di beberapa waktu yang akan datang. Bersamaan dengan novel2 lainnya, tentunya. Setidaknya, setelah ini akan ada 6 Novel sekaligus yang akan rekan-rekan baca di Blog sederhana ini secara bergantian sesuai episodenya masing-masing.

              Salam hangat

               Riyanto El Harist


          

Sekedar Awalan...

[Bukan] Lelaki Terindah.... sebuah antitesis?

      
             Berawal dari sebuah cerpen yang digubah kembali menjadi novel ini merupakan kisah perjuangan cinta dan hati dari sebuah persahabatan. Persahabatan yang tulus, tanpa membedakan status, gender ataupun gaya hidup. Banyak sekali kendala yang saya dapat ketika harus mewujudkan novel yang berkisah tentang barisan manusia yang sedikit termarginalkan dalam lingkungan masyarakat Indonesia. Keberadaan para lelaki yang menyukai sesama ini, memang bagai gunung es yang tak pernah terdeteksi kondisi seutuhnya.
              Namun berkat bantuan beberapa teman dan juga para pelaku yang sudi berbagi tentang gaya hidupnya, novel ini dapat terwujud dan menjadi kemasan kisah yang manis. Manis karena di dalamnya ada sebuah pengorbanan, cinta, cemburu dan juga keikhlasan untuk taqdir ujian yang harus dijalani. Dengan balutan religius serta sentuhan pop, novel ini dapat mewakili sekian banyak orang yang ingin tahu tentang kaum gay.
              Tidak bermaksud menyaingi novel sejenis yang pernah ada, yang jelas [Bukan] Lelaki Terindah memiliki ranah dan sentuhannya tersendiri. Dikemas secara sederhana dengan suasana ke-Indonesia-an, menjadikan para pembaca melihat fenomena ini lebih ringan. Setidaknya begitulah kesan dan pesan para pembaca tentang [Bukan] Lelaki Terindah ini.
             Silahkan simak, petikan tiap Bab dari novel yang lain dari semua yang ada di tautan Blog sederhana ini.
         
Salam hangat,

Riyanto El Harist