Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Sabtu, 08 Mei 2010

4.Untuk Sebuah Anugerah





Belum masuk waktu dzuhur ketika langkah kaki ini mulai menginjak pelataran mushola kecil di tepian kolam tempat aku biasa menangkap dan menimbang ikan-ikan mas ini. Keringat di tubuhku juga belum sepenuhnya kering, namun aku harus segera mengembalikan ikan-ikan ini dalam keadaan hidup, agar bisa dijual kembali esok hari. Ini sisa penjualanku hari ini, beruntung almarhum bapak sempat membeli kolam kecil ini sehingga bisa kujadikan tempat menyimpan asset daganganku. Meski ukurannya yang hanya 3 x 4 m, namun cukup untukku menampung beberapa kilo ikan mas. Berjualan ikan mas memang gampang-gampang susah, khususnya untuk jenis ikan lokal yang selama ini aku geluti, karena kondisi ikan menjadi penentu dari tinggi rendahnya harga. Untuk itu aku selalu berusaha menjaga kalau asset dagangannku selalu dalam keadaan fresh. Beruntung pula kolam kecil ini bersebelahan dengan aliran parit yang berair agak deras, sehingga aku tak perlu repot-repot untuk mendesign pancuran atau aliran air. Ikan mas memang harus selalu dalam kondisi air yang bergerak, selain menjaga kesegaran dan kandungan oksigen, air yang bergerak akan merangsang ikan untuk terus bergerak dan menumbuh kembangkan ukurannya. Berbeda dengan ikan lele yang tidak terlalu membutuhkan kondisi air tertentu, asal ada makanan yang cukup ikan lele bisa terus hidup dan berkembang.
Sesaat aku memperhatikan setiap sudut dari kolam kecil yang tepiannya mulai retak-retak itu, acian semennya memang sudah terlihat memudar dan rapuh. Sejak kolam ini di bangun lima tahun yang lalu, memang belum pernah dilakukan perbaikan kondisi tepianya. Meski dulu almarhum bapak sering membicarakan dan berencana memugarnya, namun hingga kepergiannya kolam kecil yang menjadi asset keluarga ini tak jua tersentuh. Itu pula yang kini menjadi harapanku untuk bisa memugar dan membuatnya lebih layak sebagai kolam penampungan ikan mas. Meski kenyataannya hasil berjualanku lebih banyak hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah ketiga adiku.
Fuuh…, kuhembuskan nafasku perlahan, menyisakan lelah dan ngilu di punggungku akibat memikul dua keranjang besar sisa ikan jualanku. Aku memang belum terbiasa dengan kegiatan memikul meski telah jalan sebulan ini, hanya karena kufikir tak ada lagi yang dapat menggantikanku, aku harus mampu dan membiasakan semuanya ini. Tak bisa kupungkiri betapa perih dan ngilunya punggung ini, ketika sebagian kulitku mulai terkelupas karena beban berat dari benda yang kupikul. Selama ini memang bapak yang melakukan pekerjaan itu, karena sejak Tsanawiyah aku sudah mondok di pesantren KH. Mamad. Hingga lulus Aliyah, aku tak pernah merasakan pekerjaan seperti itu. Bapak memang tak berharap anak-anaknya mengikuti jejaknya, sehingga ia lebih menekankan kami untuk bersekolah saja. Meski sesekali aku memaksa untuk membantunya ketika liburan sekolah, ia selalu bersikeras kalau itu bukan tugasku. Jadilah aku memang kurang terbiasa dengan pekerjaan berat seperti itu.
Namun aku memiliki badan yang sehat, meski di pondok aku tak cukup makan karena senantiasa diajarkan prihatin oleh KH. Mamad. Sehingga aku merasa mampu melakukan pekerjaan seperti itu, dan satu hal lagi yang kuyakini, apapun jenis pekerjaan tergantung atas kebiasaan. Dan aku ingin membiasakan semuanya itu agar tak lagi kurasakan ngilu dan pegal seperti itu. Ah, dengan rasa ngilu seperti ini, aku jadi membayangkan betapa bapak telah merasakan ini lama sekali. Betapa lelaki tua itu telah menahan penderitaan fisik yang mungkin sudah tak dirasakannya lagi. Karena seingatku, sekalipun ia tak pernah mengeluh. Bapak tak pernah menceritakan beban hidup yang harus ia tanggung ketika merawat dan membesarkan kami. Yang kutahu, ia selalu tersenyum menjalani hari-hari yang berat seperti ini.
“Assallamu ‘allaikum…” sebuah suara terdengar di telingaku.
“Wa ‘allaikum salam, Pak H. Jamil, tumben kemari Pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucapku mencoba akrab dengan lelaki yang terkenal sebagai juragan kaya di kampungku itu.
“Begini Nak Faridz, Bapak mau minta tolong. Sebenarnya ini biasa saya berikan kepada Abahmu, karena ia telah tiada, Bapak berharap Nak Faridz bisa menggantikan,” kata lelaki yang berpakaian koko warna biru muda itu. Dari penampakannya terlihat kalau pakaian muslim ini sangat berkelas dan mahal. Mungkin sangat sebanding dengan status yang disandang pemakainya, juragan kaya kampung ini.
“Oh begitu, pekerjaan apa ya, Pak?” tanyaku.
“Begini, hari Kamis nanti, kami akan merayakan syukuran kepulangan anak kami, Fallahuddin yang telah selesai menyelesaikan sarjananya. Oleh karena itu, kami minta Nak Faridz bisa menyediakan ikan mas untuk acara tersebut..”
“Oh bisa, bisa Pak, “ kataku cepat. Ini anugerah rezeki yang Allah turunkan padaku siang ini, aku tak boleh menyia-nyiakannya. “kira-kira butuh berapa kilo ikan masnya Pak?”
“Ngga banyak, sekitar… 60 kg saja,” aku menelan ludah seketika, itu bukan jumlah pesanan yang sedikit. Butuh beberapa kantong plastik besar untuk mengemasnya, “bagaimana, Nak, bisa?”
“Enam puluh kilo ya, kapan mau diambilnya Pak?”
“Acaranya sekitar lima hari lagi, jadi kalau bisa kami terima ikan masnya sekitar dua hari lagi, bagaimana Nak Faridz?”
“Bisa, bisa Pak, insya Allah, saya akan mengirimkan ikan mas itu dua hari lagi,” kataku meyanggupi orderan yang tidak sedikit itu. Saking girangnya aku sampai tak sempat berfikir kalau mengumpulkan ikan mas sebanyak itu tentunya perlu modal awal atau uang muka pada para pemilik empang atau agen ikan mas. “Mmm, begini Pak…” kataku agak ragu.
“Uang muka yah?” Subhanallah, rupanya Allah telah menyampaikan kebingunganku di hati lelaki ini. “Tenang aja, Nak Faridz. Bapak tahu koq, ini juga sudah biasa kami lakukan pada abahmu. Ini uang mukanya, sisanya setelah ikan-ikan itu telah kami terima…”
Aku segera menerima beberapa lembar uang pecahan terbesar dari tangannya, sesaat kuhitung jumlah uang muka itu. Nilainya lebih dari 30 persen harga total ikan mas yang dipesannya, ini membuatku sangat lega. Setidaknya aku tidak perlu lagi mencari tambahan untuk uang muka pemesanan ikan mas yang lumayan banyak itu.
“Kalau tidak ada lagi yang ingin ditanyakan, Bapak mohon diri yah Nak,” seru Pak H. Jamil dengan senyum simpulnya. Aku menangkap kesan geli di wajahnya, mungkin melihatku yang masih agak kikuk dengan orderan sebanyak itu.
“Iya, ya Pak, silahkan…”
“Assallamu ‘allaikum…”
“Wa ‘allaikum sallam…,” jawabku seraya menatap lelaki terkaya di kampung itu. Sementara otaku langsung berputar untuk berfikir bagaimana memenuhi pesanan ikan mas 60 kg. Dengan jumlah yang cukup lumayan, pastinya aku harus menggandeng beberapa agen atau pemilik kolam ikan lain. “Aku harus segera menyelesaikan hitungan ikan sisa ini, terus menemui Kang Rusli. Seingatku ia sangat tahu, kemana aku harus mencari agen dengan potongan harga yang lumayan. Kalau aku bisa dapat untung dua puluh persennya saja, aku bisa melunasi SPP Faiz, Salam dan Ucu. Syukur-syukur ada lebihnya untuk memperbaiki kolam dan menambah bibit ikan…Ah, semoga aku dapat menyelesaikan tugas awal ini. Bantu aku yaa Allah, mudahkanlah urusanku….”

******

Matahari telah bergeser dari posisi tegak lurusnya dengan kepalaku, karenanya panas terik yang kurasakan agak berkurang. Ditambah angin Gunung Karang yang menyusuri lembah-lembahnya, membawa kesejukan tersendiri bagi tubuhku. Meski Pandeglang tak serimbun dan tak sedingin dulu, namun dengan kondisi siang seperti itu rasanya cukup nyaman untuk siapapun. Berjalan kaki di trotoar pasar yang mulai penuh dengan asap knalpot kendaraan, seakan lebih ringan. Selepas sholat dzuhur tadi, aku sengaja melangkahkan kaki dengan cepat untuk kembali ke Pasar Badak. Harapanku, aku masih bisa menemukan Kang Rusli untuk mendiskusikan pesanan ikan mas ini. Seingatku, Kang Rusli sangat ahli untuk masalah yang satu ini. Pengalamannya berdagang memang sudah cukup lama sehingga ia sangat hapal betul seluk beluk ikan mas.
Entah karena rasa girang yang ada di dadaku, atau juga memang angin sejuk bertiup agak kencang saat itu, rasa teduh ini seakan terus mengiringi langkahku. Hingga rasa ngilu dan perih di punggung yang kurasakan siang tadi seakan tak berbekas. Satu jam lebih aku berjalan untuk bisa kembali ke pasar tempat kami menggelar lapak, harapanku Kang Rusli belum pulang ke rumahnya. Dengan agak tergesa aku melangkahkan kakiku menuju areal pasar yang mulai sepi dari pengunjung. Barisan lapak sayur dan daging malah sudah mulai sepi dari para penjualnya, aku terus berharap menjumpai lelaki yang kuanggap dapat membantuku mengatasi permasalahan bisnisku. Namun belum lagi aku sampai pada areal lapak para pedagang ikan, tubuhku terhuyung tertabrak seseorang. Aku hampir terjerembab kalau saja aku tak segera berpegangan salah satu tiang lapak kosong, namun setelahnya aku malah mendengar beberapa barang yang berjatuhan. Sayur, ikan, hingga beras yang terhampar di sisiku berjalan. Dan satu hal yang membuatku tercekat kaget, yakni seorang wanita berkerudung gelap yang nampak jatuh terduduk. Sejak dulu areal lapak ikan memang selalu becek, sehingga selalu saja ada kejadian jatuh terpeleset atau bertabrakan bila tak hati-hati. Kali ini aku sendiri yang mengalami, dan perempuan berkerudung gelap itu…
Sepertinya rasa kaget dan sakit begitu mendera perempuan berkerudung gelap. Tangannya yang lecet nampak mengeluarkan darah, mungkin ketika jatuh ia sempat meraih pagar bambu salah satu lapak dan membuatnya cedera. Melihat itu aku segera meraih beberapa barang belanjaan yang terhampar di sekelilingnya. Mengumpulkan barang-barang itu dan dengan segera aku serahkan kepada wanita yang masih nampak terkejut.
“Maaf, maaf ya,” kataku penuh sesal, “ini belanjaannya sudah saya rapihkan dan mudah-mudahan tidak terlalu banyak yang tercecer dari bungkusnya.”
“Sa… saya yang salah, punten Kang,” katanya seraya meraih barang belanjaan yang kuserahkan, “saya harus segera pulang, assallamu alaikum…”
“Wa allaikum salam,” jawabku seraya melepas kepergian wanita berkerudung gelap yang nampak tergesa-gesa itu. Hingga aku tak sadar kalau sesaat mataku menangkap bercak darah yang membekas di baju lengan panjangnya. “Tunggu…”
Terlambat, wanita berkerudung gelap itu tetap berjalan cepat dan meninggalkanku. Tinggalah aku yang terdiam mematung menyesali keteledoranku untuk sekedar membantu menyeka lukanya. Dengan langkah perlahan serta pandangan yang masih terpaut pada arah jalan perempuan berkerudung gelap, ku tinggalkan areal lapak ikan yang becek dan serba tak nyaman itu. Beruntung di ujung lapak sana, aku masih melihat sosok Kang Rusli yang menjadi tujuanku kembali ke tempat jualan ikan ini.
“Assallamu allaikum,” sapaku pada lelaki yang tengah bersiap meninggalkan lapak jualannya. “Sudah mau pulang Kang?”
“Wa allaikum salam, eh kamu Rid, ada apa koq terlihat tergesa-gesa begitu?”
“Anu Kang, saya sengaja mencari Kang Rusli.”
“Mencari saya, ada apa?”
“Begini Kang, sepulang dari sini, tadi saya sempatkan untuk melihat kolam tua yang ditinggalkan Abah, terus saya bertemu dengan Pak H. Jamil. Kebetulan beliau sengaja menemui saya dan bermaksud mengorder ikan mas dalam jumlah besar Kang,” kataku kemudian, “ia ingin mengadakan hajat syukuran kedatangan anaknya yang baru lulus kuliah.”
“Oh, begitu? Terus berapa yang dipesan pak H. Jamil, Rid?”
“Enam puluh kilo gram Kang…”
“Enam puluh kilo?” Kang Rusli tercekat mendengar jawabanku, “itu jumlah yang tidak sedikit, Rid. Lalu kamu ingin mensuplai barang dari mana?”
“Itulah maksud kedatanganku kemari Kang, saya ingin berkonsultasi masalah ini dengan Kang Rusli,” ucapku kemudian, “mudah-mudahan Kang Rusli bisa membantu…”
“Bisa, bisa Rid,” jawabnya cepat, “saya akan membantu. Saya kenal beberapa pemilik kolam ikan di Rangkas dan Jiput, harganya masuk untuk jumlah pesanan sebanyak itu.”
“Alhamdulillah, terima kasih Kang,” kataku penuh syukur, “sepuluh persen dari keuntungan bersih nanti milik Kang Rusli.”
Kang Rusli tersenyum simpul ke arahku, aku jadi bingung dengan ucapanku sendiri. Apakah ucapanku ada yang salah… “kamu memang baik Rid, sama seperti Abahmu.”
“Kenapa Kang?”
“Ngga Rid, aku kagum dengan kebaikanmu. Melihatmu seperti itu seakan membuatku merasa kalau Abahmu masih hidup,”Kang Rusli benar-benar terhanyut dengan kenangan bersama ayahku. Seingatku, ia memang tak pernah pelit berbagi order atau keuntungan bila mendapatkan kemudahan rezeki. Meski sebenarnya aku tak bermaksud meniru Abah, namun kenyataannya banyak fikiran dan sikapku memang sama dengan Abah. Mungkin karena selama ini aku memang senantiasa memegang teguh amanah dan pesan beliau dalam keseharianku.
Tanpa membuang waktu, kami berdua segera bergegas untuk menghubungi para agen pemilik tambak/kolam ikan. Setelah menutup lapak dan merapihkan perbekalan, kami berdua segera memacu motor dan bergerak ke arah Jiput, kabarnya banyak rekan Kang Rusli yang punya kolam ikan mas di sana. Di sepanjang jalan kami berbincang serius tentang bagaimana seharusnya berbisnis ikan mas, khususnya bila ada pesanan dalam jumlah besar seperti itu. Trik meyakinkan pembeli, memilih dan memilih komoditi jual, hingga proses distribusi barang agar meminimalkan kerugian karena kondisi ikan yang kurang fresh. Satu satu semua kiat itu kurekam dengan serius di kepalaku, aku harus melakukan itu bila ingin berhasil seperti Kang Rusli.
Satu jam setengah, motor kami telah sampai di sebuah kampung yang bernama Jiput Tengah. Masyarakat di sini sebagian besar mata pencahariannya memang berternak ikan mas. Sehingga tak heran kalau hampir di setiap rumah ada satu atau dua kolam ikan mas. Banyak para pengecer atau rumah-rumah makan yang mengambil komoditi ikan mas di sana, karena jenis ikan di kampung ini terkenal bagus dan super. Bagus karena rasa dagingnya yang kenyal dan gurih meski cuma di bakar, super karena ukuran ikan mas di sini sangat beragam, dari yang setengah kilo hingga lima kilogram per ekornya.
Kang Rusli memarkirkan motornya di sebuah rumah dengan gaya panggung, meski semua bangunan terbuat dari bahan kayu, namun kesan mewah dan megahnya tetap terlihat. Ini rumah Haji Rasmadi Natawisastra, kata Kang Rusli ia salah satu agen ikan ternama di kampung ini. Karena keberhasilannya dalam berwirausaha ikan mas, ia juga kerap dipanggil Juragan Mas. Kolamnya berjumlah tiga puluh lima buah, dengan asset ikan lebih dari dua ton per empangnya. Benar-benar peternak ikan mas yang berhasil.
“Assallamu ‘allaikum,” seru Kang Rusli agak keras. Tak lama kemudian seorang perempuan paruh baya nampak keluar membuka pintu rumah panggung yang terbuat dari kayu jati mas itu. Wajahnya bulat bersih dengan kerudung ikat yang terlihat rapi, dari penampilannya dapat dipastikan kalau ia orang berada. Mungkin nyonya rumah kayu yang terlihat mewah ini.
“Wa allaikum salam, cari siapa ya?” tanyanya kemudian.
“Saya Rusli, Tehaji . Dari Kampung Juhut Pandeglang, bisa bertemu dengan Kahaji Rasmadi?” Kang Rusli nampak memperkenalkan diri.
“Oh, Kahaji Rasmadi? Dia sedang di tambak ikan mas, coba aja langsung ke sana!”
“Yang di sebelah mana, Tehaji?”
“Yang di Kampung Tonggoh,” seru perempuan bertubuh subur itu. Masyarakat Kampung Juhut Tengah, khususnya yang perempuan memang tidak pernah menerima tamu laki-laki yang bukan muhrimnya. Oleh karenanya meski sesaat terlihat kurang sopan, namun kami bisa memahami kalau kami tak diperkenankan menunggu di dalam rumah.
“Baik kalau begitu, saya langsung ke tambak saja,” kata Kang Rusli kemudian, “Assallamu ‘allaikum.”
“Wa allaikum salam…”
Dengan bergegas kami berdua langsung menuju letak kampung yang ditunjukan istri Juragan H. rasmadi. Letaknya tak begitu jauh mungkin hanya setengah kilo dari tempat rumah kayu ini, hanya saja harus menempuh jalan yang mendaki dan terjal karena belum tersentuh aspal. Seperempat jam kemudian, kami telah sampai di sebuah areal yang sangat asri dengan beberapa tambak ikan yang terhampar luas. Nampak mengelilingi sebuah rumah bilik mata walik yang tepat berada di tengahnya, beberapa orang juga terlihat duduk-duduk santai di berandanya. Salah satu dari mereka nampak berdiri tegak dengan asap cerutu yang mengalun di seputar wajahnya, dari baju batik yang dikenakannya bisa dipastikan kalau orang ini sangat berpengaruh diantara mereka.
“Yang pakai batik itu ya Kang?” bisikku kepada Kang Rusli.
“Iya,” jawab Kang Rusli singkat seraya berjalan ke arah rumah pondok yang terbuat dari bilik mata walik itu. “Assallamu ‘allaikum, Kahaji…”
“Wa allaikum salam, Eh, Rusli….,” teriak lelaki berbaju batik mengkilap itu, “aya naon, Rus, kiriman laukna aya nu leupat?”
“Ngga Kahaji, kebetulan saja ada perlu sedikit,” kata Kang Rusli seraya menjabat tangan lelaki berpenampilan kalem itu. Tubuhnya putih bersih dengan kumis yang melintang rapi di bawah hidungnya. Sangat priyayi sekali dibandingkan para lelaki di sekitarnya. Tanpa bercakap panjang lebar, siapapun bisa memastikan kalau ia pasti lelaki terpandang dan menak.
“Ada keperluan apa sampai minta tolong begitu, kamu belum bisa mengembalikan pinjaman modal?” lelaki berpenampilan rapi ini terus berbicara mendahului kami, “santai wae Rus, doang ka saha wae…”
“Nuhun Kahaji, tapi saleresna sanes nu eta Kahaji ,” Kang Rusli menjelaskan, “ini berkaitan dengan putranya Abah Rahmat Kahaji…”
“Abah Rahmat? Oo, iya anu pupus kamari tea…”
“Leres Kahaji..”
“Iya, ya, ada apa Jang? Ada yang bisa Kahaji bantu?”
Aku agak ragu untuk langsung berbicara, ini pengalaman pertama bagiku. Aku takut ada yang kurang pas dengan ucapanku nanti, “punten sateuacana Kahaji, abdi Faridz, maksad abdi kadieu salaresna bade nyuhunkeun bantosan Kahaji perkawis orderan lauk mas…”
“Kenapa pesanannya, jumlah besar ya?” lelaki itu lebih dulu menyelesaikan ucapanku, “Abahmu dulu juga sering memenuhi orderan besar lewat Kahaji, jadi saya ngga sangsi untuk kamu, siapa tadi?”
“Faridz, Kahaji.”
“Iya, Faridz. Berapa orderannya, Jang?”
“Enam puluh kilo, Kahaji, saya bermaksud…”
“Kardi,” lelaki itu kembali memotong ucapanku ia kini nampak memanggil salah satu karyawannya. Seseorang lelaki bertubuh gempalpun segera datang menghampirinya. “Tulung candakeun lauk emas genep puluh kilo keur si Faridz , kemas yang bagus yah!”
“Muhun Kahaji.” Lelaki yang dipanggil Kardi itupun segera bergerak memenuhi apa yang diperintahkan juragannya. “Ini ikannya, Juragan…”
“Nuhun, Di.”
“Tapi Kahaji, saya belum punya uang untuk…,” ucapku terbata menyadari kemampuan uangku untuk harga ikan mas sebanyak itu.Aku
“Sudah bawa saja dulu, Rid. Kalau sudah laku nanti kamu bayar ke Kahaji,” ucap lelaki berbaju batik itu enteng. Untuk jumlah ikan sebanyak itu mungkin tak seberapa baginya, namun sangat besar sekali bagiku. Karenanya ini merupakan anugerah yang besar bagiku di hari ini…
“Ka.. kapan, saya harus mengembalikan uangnya, Kahaji?”
“Kalau Abahmu dulu, yaa sekitar tiga harian lah, tapi untuk pemula seperti kamu terserah kapan saja bisanya. Tapi tolong yah, berdaganglah dengan jujur supanya usaha kita sebagai pedagang ikan terus jalan dan berkah…”
“Subhanallah, semoga Allah merahmati lelaki berhati baik ini,” bathinku lirih.
“Bagaimana Rid, ada yang dibutuhkan lagi?”
“Ah… ceukap, Kahaji. Ceukap , saya akan segera melunasi harga ikan ini kalau sudah dibayar sama pemesan,” kataku tergagap dengan pertanyaan barusan.
“Oke kalau begitu, sing semangat yah!”
“Kalau begitu kami pamit dulu, Kahaji,” Kang Rusli memohon pamit seraya menggenggam tangan juragan mas yang terkenal senang membantu itu.
“Muhun sok, sok… hati-hati di jalan yah…”
“Assallamu allaikum…”
“Wa allaikum salam,” lelaki berbaju batik itu melambaikan tangan ke arah kami yang agak kerepotan dengan tambahan penumpang di motor Honda 70 ini.
Sepanjang jalan kami berbincang memuji kebaikan hati lelaki yang terkenal sebagai juragan ikan mas itu. Jauh di lubuk hatiku terus bersyukur, kalau keputusanku untuk meneruskan usaha ayahku nampaknya dimudahkan jalan oleh Allah. Hatiku makin bulat kalau masa depanku akan kugantungkan dari usaha berniaga ikan mas ini.
“Semoga ini menjadi awal yang baik bagi masa depanmu, Rid…” Kang Rusli terus memberikan wejangannya kepadaku. Ia tahu kalau sesaat aku memang sempat ragu dengan keputusanku melanjutkan usaha ayahku dengan beban berat yang harus kutanggung. “Allah bersama mereka yang terus berjuang dan ikhtiar, Rid. Ia lebih tahu dengan segala amalan dan perjuangan kita, oleh karenanya niatkan segala yang kamu lakukan ini sepenuhnya untuk melaksanakan amanah Abahmu.”
“Insya Allah, Kang. Saya akan pegang betul anugerah besar hari ini, sebagai semangat dan pemacu langkahku untuk sepenuhnya mengemban amanah Abah. Semoga Allah berkenan dan senantiasa memudahkan ikhtiar kita Kang…”

%%%%%