Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Rabu, 26 Juni 2013

Bandung, Segalanya Berawal, episode ke-4




Bandung, segalanya berawal


Bandung, 1994, ketika segalanya berawal...
Waktu itu Bandung sedang berbunga, bukan karena selesai musim dingin atau berganti musim panas. Akan tetapi karena banyak hal yang ditawarkan kota sejuta warna ini.   Bermunculannya pusat-pusat perdagangan kelas internasional, tempat-tempat refreshing,  serta beraga tempat yangmenawarkan aneka ragam hiburan bagi tua dan muda tumbuh pesat saat itu. Istilah kata, Bandung sedang menjadi sorotan sekian banyak mata di negeri ini. Banyak dari mereka yang ingin berada di  dalamnya. Tak terkecuali Aldi. Anak dari keluarga sederhana itu   nekat ingin menggapai cita-cita di ‘kampung’ orang. Meski dengan bekal yang serba pas-pasan, Aldi terus menguatkan hati untuk bisa menjadi mahasiswa.  Lapisan masyarakat yang katanya intelek.
Namun dibalik beragam kebanggaan postif seperti itu, ternyata Bandung juga memiliki sisi negatif, dari banyaknya anak muda negeri    yang bergantung padanya. Sikap individual, materialis dan hedonis mulai menggejala dalam kehidupan mahasiswa. Beberapanya malah membuat mereka lupa dengan tujuan mereka datang ke kota ini. Kehidupan berkelompok dengan beragam atribut, membuat kota ini memiliki kelompok masyarakat yang terkotak-kotak. Beragam penyimpangan dan perbedaanpun membuat kota ini sarat dengan permasalahan yang multi kompleks. Dan beberapa persennya terjadi di kalangan  mahasiswa.
Latar belakang inilah yang mengawali kisah Aldi dan Rudi. Kisah persahabatan yang harus diuji dengan perbedaan yang mendasar diantara keduanya.

Meski katanya kota dingin, jika menjelang siang, Bandung panas sekali...

Seperti biasa, di siang yang terik ini Aldi baru saja menyelesaikan kuliahnya. Sisa uang yang tak seberapa membuatnya memilih berjalan kaki setelah sekali naik angkot. Aldi berniat menghemat uang bulanannya. Dari angkot yang sekali jalan itu, Aldi juga masih harus melanjutkan   sekitar satu kilo meter  lagi untuk mencapai tempat kostnya. Dan ini pasti melelahkan untuk kondsisi yang terik seperti  itu. Namun demi tekad dan obsesinya menyelesaikan study, hal itu tak seberapa untuk seorang Aldi.  


Meskipun di siang itu pula,    tekad dan obsesinya itu mulai diuji. Entah dari mana asalnya,   tiba-tiba saja sekelompok  orang berlarian dari kedua arah yang berlawanan. Beberapanya malah menunggangi motor dengan kecepatan tinggi! Aldi terjebak diantara keduanya,  ketika tawuran antar mereka terjadi. Aldi tak lagi bisa menghindari pukulan dan lemparan dari kedua kubu itu. Satu dua batu mendarat di kepala dan pelipisnya. Sesekali perut dan kakinya terkena tonjokan dan tendangan. Meski Aldi berjuang untuk bisa lepas dari tawuran seperti itu, namun jumlah mereka yang besar tak memungkinkan ia bergerak terlalu jauh.  
Darah mulai merembes dari kepala dan pelipisnya, pandangannyapun juga mulai berputar.   Sebuah teriakan keras mengarah padanya, bersamaan itu pula sebuah tangan mendorong lelaki itu   ke arah  samping. Aldi terjatuh ke aspal, yang kemudian disusul seorang yang mendorongnya tadi dengan luka tusuk di perutnya. Pisaunya masih terlihat nempel ketika jatuh,  dengan darah yang mengucur deras dai arah perutnya. Sesekali lelaki yang terjatuh itu mengerang untuk menahan sakit, pandanganyapun  sudah semakin gelap. Tak berapa lama, lelaki yang mencoba membantu menyelamatkan Aldi itupun jatuh tak sadarkan diri.
Itulah saat pertama kali Aldi mengenal sosok Rudi, mahasiswa Teknologi Mesin yang terkenal ganteng tapi penyendiri. Sikapnya yang agak tertutup membuat hampir seisi kampus tak begitu memperhatikannya. Karena hal itu pula Rudi dikenal sebagai pria aneh di kalangan mahasiswa.
 Beruntung pada insiden tawuran itu, Aldi hanya dijahit empat jahitan di kepala jadi dalam satu hari Aldi sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Akan tetapi berbeda  dengan Rudi, luka tusukan di bagian perutnya memerlukan perawatan yang lebih intensif. Beberapa hari ke depan daya tahan tubuh dan kesadarannya juga menurun drastis. Hal ini dikarenakan ada sebagian ususnya yang ikut robek mengalami infeksi  karena tusukan pisau yang ternyata telah berkarat . Dengan kondisi seperti itu, dokterpun tidak berani menjamin akan adanya   kesembuhan yang cepat, oleh karena itu mereka memutuskan untuk merawat Rudi lebih lama dan lebih intensif.
Beberapa utusan teman dan Senat datang untuk menjenguk mereka, khususnya Rudi yang masih dalam perawatan intensif.   Aldi yang merasa bersalah dengan semuanya ini memutuskan untuk terus menjaganya hingga beberapa hari ke depan. Oleh karena hal itu pula, ia belakangan jadi akrab dengan Tante Lien, mamanya Rudi. Banyak hal yang diceritakan perempuan paruh baya itu   pada Aldi, tentang apa dan bagaimana Rudi. Mungkin karena   itu pula yang membuat Aldi merasa makin bersalah dengan kondisi Rudi sekarang ini.
“Sebelumnya ia sangat periang Nak, namun entah sejak ia memutuskan untuk pergi dari Jakarta dan melanjutkan kuliah di Bandung, seperti ada sesuatu yang menghinggapinya. Ia jadi penyendiri dan jarang bergaul. Hari-harinya banyak di habiskan di rumah. Rudi hampir tak pernah keluar rumah meski di hari libur sekalipun bila tidak Tante yang mengajaknya...”
“Memang ada apa sebenarnya Tante?”
“Itu dia yang ngga pernah Tante tahu hingga sekarang, Nak. Yang Tante ingat dulu ia sangat aktif dengan beragam kegiatan sewaktu SMA. Namun sejak ia bermasalah dengan teman akrabnya ia jadi pemurung dan penyendiri seperti itu. Entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas pertengkaran mereka sangat hebat Tante lihat!”
“Memang mereka bertengkar di mana?”
“Di rumah Tante, kebetulan teman dekatnya itu memang sering menginap di rumah kami dulu. Tapi yah, mungkin karena usia muda mereka, mereka lebih banyak menurutkan emosi mereka. Hingga beberapa minggu berikutnya, Tante tidak melihat lagi mereka jalan besama. Namun setiap Tante mencoba untuk bertanya mengapa, Rudi selalu menghindar dan tak mau bercerita ada apa...”
“Mmm, mungkin belum saatnya saja Tante...”
“Mudah-mudahan begitu, Nak Al. Masalahnya hingga tiga tahun berlalu, Tante tetap tidak tahu ada apa. Kalau saja hal ini tak membuat ia menjadi pendiam seperti itu, pasti Tante juga ngga terlalu peduli. Namun ini khan....”
“Mudah-mudahan ada waktu untuk itu, Tante...”
“Yah, mudah-mudahan saja begitu,” wanita paruh baya itu seperti tak yakin dengan ucapannya terakhir.“Nak, Al pulang saja dulu. Biar tante yang jagain Rudi...” katanya kemudian, “dari pagi kamu sudah tungguin Rudi. Seharian ini  kamu juga ngga kuliah khan...”
“Ngga apa-apa Tante, saya akan menjaga Rudi sampai dia siuman...”
“Ngga usah Nak Al, biar kami saja,” Tante Lien tetap menyuruhku pergi, “kalau Nak Al mau nungguin Rudi, besok saja kesini lagi. Tapi sepulang kuliah yaa...”
Aldi tak bisa menolak apalagi Om Ratno, papanya Rudi ikut menganggukan kepala dan meminta agar ia   menuruti keinginan istrinya. Aldi tak bisa berkata apa-apa lagi, selain mengangguk dan melangkah pergi dari ruangan perawatan intensif ini.
“Terima kasih yaa, Nak...,” ucap Om Ratno pada Aldi sebelum akhinya menepuk pundaknya di ujung pintu ruangan ini.
“Saya permisi Om, assallamu allaikum...”
“Wa allaikum salam...”
Sore itu Aldipun kembali ke kostan, beberapa temannya sudah banyak yang menunggu untuk sekedar menengok dan menyampaikan kepedulian mereka. Salah satu yang paling akrab dari mereka adalah Emma, sahabat Aldi sejak mereka SMP. Dulu keluarganya tinggal di Cirebon, bertetangga  dengan keluarga Aldi, karenanya mereka lebih terlihat sebagai keluarga. Apalagi sejak SMP hingga masuk kuliah, mereka memilih tempat sekolah yang sama.
“Bagaimana keadaanmu Al?”
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja, Ma. Luka di kepalaku ngga terlalu parah, hanya empat jahitan. Yang kasihan Rudi, dia masih belum sadar, karena banyak mengeluarkan darah. Ususnya ada yang ikut robek karena tusukan pisau para preman itu...”
“Yah mungkin ini cobaan buatmu Al,” kata Emma kemudian, “tapi sebenarnya apa yang kamu lakukan di jalan itu, sampai harus terjebak tawuran preman seperti itu sih? Terus bagaimana juga ceritanya anak penyendiri itu bisa ada di situ, Al...”
“Aku sendiri tak tahu, Ma,” kata Aldi melanjutkan, “yang kutahu, aku sedang berjalan pulang sendiri ketika bentrokan antar preman itu terjadi. Namun entah dari mana awalnya, tiba-tiba Rudi datang dan menyelamatkanku dari pukulan orang-orang yang mengira aku musuh mereka...”
“Koq bisa begitu?”
“Iya, Rudi sampai harus mengorbankan motor dan tubuhnya untuk menyelamatkan aku Ma,” kata Aldi penuh haru, “ngga heran kalau orang sekampus akhirnya banyak yang simpati dan respek sama mahasiswa penyendiri itu...”
Emma nampak terdiam , entah apa yang difikirkannya. Yang jelas, ada ekspresi keseriusan dari apa yang baru saja ia dengar.
“Ohya, ini aku bawakan bubur ayam,” katanya kemudian, “nanti malam, anak-anak yang lain mau nengok kamu Al, mereka masih ada kegiatan sore ini...”
“Iya makasih ya Ma,” ucap Aldi seraya meraih rantang yang disodorkan Emma.
Malamnya, banyak rekan-rekan sekampus Aldi yang datang menengok. Demi mendengar adanya kecelakaan yang menimpa rekan mereka. Beberapa diantaranya malah datang dengan pasukan, menjaga kemungkinan adanya   tawuran lagi.
“Kamu masih beruntung Al, setidaknya peristiwa kacau seperti itu tak merenggut nyawamu,” ucap Rahmat yang terkenal jago karate, “aku yang sudah ban hitam juga kalau terjebak di situasi seperti itu entah bagaimana akhirnya...”
“Iya lho Al, gua juga ngga nyangka kalau Lo bisa selamat dari bentrokan para preman itu. Padahal menurut berita yang gua dengar, bentrokan itu sampai memakan korban jiwa lima orang lebih...,” Fredi ikut berkomentar dengan gaya cuekya.
“Dan untungnya ada pria aneh itu, yaa Al, “ Riko ikut menambahi, “kalau ngga ada dia mungkin juga ceritanya lain...”
“Namanya Rudi,” Aldi menambahi cepat, tak senang dengan sebutan ‘aneh’ pada orang yang telah menyelamatkannya.
“Ia, Rudi, ternyata baik juga yah dia...”
“Itu dia Ko, aku jadi ngerasa bersalah banget sama dia. Gara-gara mau menyelamatkanku dia harus kehilangan motornya dan masuk rumah sakit seperti sekarang ini...” kata Aldi sesal.
“Bagaimana dengan keluarganya Al?”
“Mereka ngga marah sama sekali. Biaya perobatanku juga malah mereka yang bayari, itu juga yang membuatku   makin merasa bersalah dengan semuanya ini...”
“Bukan Lo Al, tapi para preman itu...,” Riko memotong ucapan Aldi.
“Iya, andai aku bisa bertukar tempat...”
“Sudahlah Al, ini musibah siapapun tak ada yang bisa disalahkan,” Rahmat melanjutkan, “sudah malam nih, kelihatannya kami harus kembali.”
“Iya nih Al, aku ada tugas makalah yang harus dikumpul besok,” Riko ikut menambahi.
“Ok, terima kasih yaa sudah pada nengokin aku..”
“Sama-sama Al, cepat sembuh yaa...”
Tak laa kemudian mereka semua pulang! Tinggalah Aldi sendiri dikamar kost ini, dengan  fikiranya yang  terus jauh melayang ke sosok Rudi. Pria penyendiri yang berkorban sebegitu jauh untuknya.
“Apakah   Allah sengaja mengirimkan Rudi untuk menyelematkanku, ataukah memang Allah menggerakan hatinya untuk menjadi temanku,” Aldi masih berfikir sendiri.
Masih erat dalam ingatannya dulu saat kala pertama ia betemu dengan sosok penutup bernama Rudi itu. Ada keinginan untuk akrab atau sekedar berbincang singkat, namun dengan sikap diam Rudi membuatnya selalu mengurungkan nitanya. Kesan angkuh dan cuek Rudi memang terkadang membuat siapa saja jadi malas untuk bertegur sapa. Apalagi dengan predikat anak kalangan atas dengan segala macam atribut kemewahannya, membuat siapapun mengukur diri untuk bergaul dengannya. Tidak hanya yang laki-laki, sepertinya yang perempuan juga begitu. Bahkan Wawan, yang satu kelas dengan Rudi pernah menyampaikan pendapatnya kalau Rudi sosok lelaki yang aneh dan angkuh.
Namun   sejak sikap   berkorbannya pada Aldi,   ia jadi bahan pembicaraan di   kalangan mahasiswa kini. Tak heran   kalau     senat kemahasiswaan menjadikannya contoh, sebagai pribadi yang peduli pada sesama almamater dan berjiwa spirit the corp yang tinggi .    Dikarenakan hal itu pula banyak anggota senat mahasiswa yang bergantian menengok atau menjenguknya.
“Rudi, ternyata kamu tak seangkuh yang difikirkan banyak mahasiswa selama ini,” Aldi masih merasakan nyut-nyutan di kepalanya, rupanya proses berfikir seperti ini membuat luka di kepalanya makin terasa sakit. Dan tak beberapa lama, akhirnya Aldipun rebah  dan tertidur dengan rasa sakitnya...

******

7 komentar: