Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Kamis, 18 Maret 2010

04. Siang diterik matahari, meski harus kuulangi lagi...


Aku anak ke enam dari tujuh bersaudara. Kami terdiri dari empat perempuan dan tiga laki-laki. Sejak Bapak berhenti bekerja, dan kemudian bisnis serabutan, praktis hanya ibu yang membanting tulang menghidupi kami. Tenaganya yang mulai renta dimakan usia membuatnya kerap sakit-sakitan. Dan itu semakin menambah beban hidup kami. Tiga kakaku yang perempuan memang telah menikah, akan tetapi kehidupan mereka juga pas-pasan. Jadi mereka tetap belum dapat berbuat banyak untuk keluarga ini. Khususnya adiku yang masih duduk di bangku sekolah.

Dengan keterbatasan seperti itu, kami semua bertekad untuk dapat terus bertahan hidup meski harus kerja serabutan. Dua orang kakaku memilih berwirausaha dengan modal seadanya, sedangkan ibu, aku dan adiku sempat berjualan nasi goreng di kaki lima yang kemudian akhirya gulung tikar karena sepi pembeli. Mungkin lokasinya yang berada di jalur jalan yang sepi, atau juga karena begitu banyak warung kaki lima lain yang lebih besar dan lengkap dibandingkan kami. Yang jelas warung kaki lima yang dirintis ayahku tiga bulan lalu itupun akhirnya tak beroperasi lagi.

Lepas dari berjualan nasi goreng di warung kaki lima, aku memutuskan untuk melamar kerja pada sebuah jawatan asuransi. Menjual polis, menjual proteksi dini kepada masyarakat yang sebenarnya masih awam untuk hal semacam itu. Setelah satu minggu aku dididik salesmanship, hari berikutnya akupun pergi berkelana dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk menawarkan produk asuransi tempatku bekerja. Berbekal uang makan seribu rupiah per hari kami diberi target untuk mendapatkan nasabah pertanggungan jiwa selama satu bulan pertama. Setelah itu pihak perusahaan akan mengevaluasi kinerja kami, apabila dalam satu bulan tersebut kami tidak bisa mendapatkan nasabah atau calon pemegang polis, mereka akan memecat dan mengeluarkan kami.

Aku sedikit beruntung dari dua belas karyawan yang dikeluarkan pada minggu kelima, karena saat itu aku berhasil mendapatkan dua orang nasabah dengan uang pertanggungan yang lumayan cukup besar. Sehingga aku tetap dipekerjakan pada bulan selanjutnya. Jatah uang makanku sudah dicabut, sebagai gantinya aku akan mendapatkan bonus dari jumlah nasabah yang berhasil aku rekruit, selain prosentasi dari premi yang mereka bayarkan. Dan itu berlanjut pada bulan berikutnya, aku mendapatkan tiga orang nasabah kembali dengan uang pertanggungan yang lebih besar daripada bulan pertama. Ini sedikit melegakan, statusku sebagai pegawai magang di perusahaan asuransi itupun mulai diperhitungkan. Setiap pagi, saat brefing atau rapat persiapan menjelang prospek, Kepala Unit kerjaku atau Kepala Cabang sering berkomentar tentang keberhasilanku sebagai pegawai baru. Mereka terus menyemangatiku dengan tujuan agar pegawai yang lain mengikuti kegigihan dan keuletanku dalam rangka ’merayu’ masyarakat untuk membeli polis asuransi kami.

Namun bulan berganti, dewi fortuna tidak selalu berpihak kepadaku. Bulan ketiga aku bekerja tak semulus pada bulan-bulan pertama. Sampai menjelang tutup buku penjumlahan uang pertanggungan, aku belum memasukan satu orangpun nasabah baru. Ini membuatku terus bekerja dan ’berkelana’ dari satu daerah ke daerah yang lain. Bahkan sampai keluar wilayah kota tempatku tinggal. Aku sempat berkelana ke pelosok Indramayu, Kuningan atau Tegal demi mendapatkan nasabah. Dan itu kulakukan siang dan malam, dengan pertimbangan tidak semua orang bisa kujumpai siang hari. Dari pelosok perkampungan, pasar, tempat pelelangan ikan, pelelangan baju, pelelangan kendaraan, sampai pelelangan besi tua aku datangi. Tak juga kulewatkan kompleks perumahan, kompleks pertokoan, kompleks perkantoran, atau apapun yang berbau kompleks aku datangi. Hasilnya tetap nihil!

Hingga pada penutupan buku uang pertanggungan di akhir bulan ketiga ini, aku tidak dapat menyumbangkan satu nasabahpun. Ada kecewa dan kesal terbetik di hati untuk kegagalanku kali ini, rasanya aku sudah berupaya seoptimal mungkin. Kepala Unit kerjaku, datang dan tetap memberiku semangat untuk terus berjuang. Dia memberikan wejangan tentang kesabaran dan resiko sebagai seorang sales asuransi, dengan mencontohkan perjuangannya beberapa tahun yang lalu. Kalaupun ia terlihat nyaman dengan gaji besar sekarang, itu bukan tidak mungkin karena kesabaran dan ketekunan yang tanpa batas.

”Gagal, jatuh, kecewa, dikejar anjing penjaga rumah, diusir atau diacuhkan calon nasabah adalah hal yang biasa, Pak Harist. Itu yang akan membentuk karakter kita untuk lebih taft, dan siap dalam bertarung di kehidupan yang keras ini,” begitu Pak Anwar setiap memberikan wejangan untuk sekedar menyemangatiku.

Sebetulnya aku bisa mengerti dengan apa yang telah mereka sampaikan, bahwa kerja sebagai petugas asuransi adalah pekerjaan yang fleksibel. Besar kecilnya gaji, atau lama sebentarnya bekerja kita sendiri yang mengatur. Jadi bisa dikatakan kerja sebagai petugas asuransi memiliki peluang besar untuk menjadi apapun, dan itu tergantung dari kita sendiri yang memperjuangkannya. Namun aku tak bisa membohongi apa yang tengah berkecamuk di hati ini. Aku ingin memiliki pekerjaan yang tetap, aku ingin bekerja dengan gaji yang tetap, agar aku bisa ikut membantu biaya berobat ibuku yang katanya mulai serius. Atau setidaknya aku bisa menabung untuk biaya kuliahku kelak.

Hingga bulan berikutnya, aku merasa telah dikuasai rasa jengah dan jenuhku sebagai petugas asuransi. Aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku, ketika tiga kesempatan datang padaku. Ketiga kesempatan itu adalah mengikuti tes penerimaan bekerja di sebuah toko swalayan, mengikuti ujian penerimaan pegawai di sebuah BUMN dan panggilan interview dari sebuah hotel yang baru beroperasi di Kota Cirebon ini.

Pak Anwar, sangat keberatan, ketika aku menghadap dan menyampaikan keinginanku untuk keluar dari perusahaan asuransi yang dipimpinya. Beliau menyayangkan bakat salesmanship-ku yang nantinya terbuang percuma, ia juga selalu memprediksiku menjadi pimpinan baru dari cabang yang ia pimpin sekarang.

”Coba dipertimbangkan dulu, Pak Harist. Dalam tempo dua bulan, anda sudah bisa mendapatkan nasabah sebanyak enam orang! Itu prestasi, dan jarang saya temui semangat yang besar dalam diri anak muda seusia anda, Pak.”

”Tapi Pak, saya...”

”Pak Harist, saya tahu anda masih kecewa dengan kegagalan dan penurunan prestasi kerja anda pada bulan kemarin. Tapi itu bukan alasan yang tepat untuk keluar dari perusahaan asuransi ini. Anda tidak sayang, kalau polis yang sudah anda hasilkan dan tinggal anda nikmati setiap prosentase premi-nya itu anda tinggalkan? Lagipula saya melihat ada potensi besar dalam diri anda yang memungkinkan untuk menggantikan kami di kantor cabang ini...”

Aku terdiam sesaat mencoba merenungi kalimat Pak Anwar, Kepala Unit kerjaku. Pandangannya tajam kepadaku, seakan menyelidik apa sebenarnya yang melatarbelakangi keputusanku yang ia rasa sangat mendadak itu.

”Perusahaan kita sedang bergeliat, Pak Harist. Hampir di seluruh kota di Jawa Barat ini kita telah membuka cabang. Banyak peluang yang akan anda dapatkan dengan potensi seperti yang anda miliki itu...”

”Maaf Pak, tapi keputusan saya sudah bulat. Saya ingin berhenti dari tugas dan pekerjaan ini. Terima kasih atas segala kesempatan dan kebaikan yang telah Bapak berikan kepada saya. Saya betul-betul mendapatkan keluarga di sini. Meski hanya tiga bulan lebih, namun rasanya begitu banyak semangat dan spirit yang telah Bapak berikan kepada saya. Sekali lagi saya mohon maaf untuk keputusan ini...”

”Fuhh..,” Pak Anwar menghembukan nafasnya. Nampak jelas raut mukanya menggambarkan kekecewaan atas putusanku ini, ”kalau memang sudah bulat keputusan anda, saya bisa apa. Mudah-mudahan ini merupakan keputusan yang terbaik untuk masa depan dan langkah anda selanjutnya.”

Begitulah, percakapan di siang itu. Di hari terakhir aku menjabat sebagai petugas asuransi. Pekerjaan yang kuambil karena aku tak mau disebut pengangguran setelah lulusnya aku dari SMA. Tapi memang aku membutuhkan yang lebih pasti sekarang ini, demi ibuku, untuk penyakitnya yang tidak bisa dianggap enteng. Ya Allah, mudahkanlah segala urusanku, murahkanlah jalan rezkiku agar aku bisa membantu keluargaku membiaya perobatan ibuku....

Aku berucap syukur penuh atas apa yang kudapatkan pada bulan-bulan selanjutnya. Meski hanya sebagai waiter sebuah restaurant dengan gaji yang dicukup-cukupkan akhirnya aku bisa membantu keluargaku untuk membiayai perawatan ibu. Ada sesal sesaat ketika kuingat, tiga kesempatan dan peluang bekerja lebih baik terlepas dariku. Aku tidak memiliki koneksi sehingga aku tak begitu diperhitungkan pada penerimaan pegawai baru di hotel yang baru beroperasi di kota kecil ini. Aku juga kurang memenuhi standar tinggi badan sebagai seorang pramuniaga sehingga sebuah toko swalayan yang memberiku kesempatan mengikuti tes penerimaan pegawainya, langsung mencoretku pada awal-awal tes performance. Aku tak lagi memegang buku pelajaran selepas SMA, hingga aku juga tak mampu menembus ujian seleksi masuk BUMN yang diikuti ribuan pelamar dari seluruh penjuru tanah air itu.

Dan akhirnya semua itupun berlalu, aku tak harus menyesalinya. Itu takan mendidiku menjadi lebih tegar dan dewasa. Namun aku juga tak bisa mengacuhkan kondisi yang begitu menuntutku. Aku butuh pekerjaan dengan gaji tetap untuk biaya berobat ibuku, aku tak peduli berapapun itu, asalkan aku bisa membantu keluargaku. Dan kesempatan itu datang ketika aku mendapat panggilan mengikuti interview di salah satu restaurant sea food yang terbilang besar dan ramai di kotaku. Hingga akhirnya disanalah aku menapaki kenyataan karierku, menjadi seorang pelayan berseragam dengan gaji yang ’asal’ ada.

%%%%%

Kalau ada orang yang senantiasa berpesan padaku untuk tetap sabar, meski cobaan hidup terkadang tidak pernah lekang dalam langkahku, dialah ibu. Dia juga yang mengajarkan untuk tetap gigih berusaha meski kekurangan dan keterbatasan menjadi wakil dari penampakan hidup kami. Darinya kudapatkan segala panutan hidup yang sangat berharga. Perempuan biasa yang mencoba menafkahi keluarganya, perempuan biasa yang senantiasa ikhlas membantu suaminya. Perempuan biasa yang tak pernah lelah, meski sakit dan ringkih menelikung tubuhnya. Dan itu membuatku untuk selalu merasa bersalah kalau di kondisinya seperti sekarang tak mampu berbuat apa-apa.

Tubuh ibu sudah sangat kurus, lebih kurus dari berat Ana Maria keponakanku. Namun meskipun begitu, perut ibu terlihat sangat besar sekali, seperti tengah hamil lima bulan. Itu pula yang membuatnya tidak pernah bisa tidur nyenyak. Nafasnya selalu tersengal-sengal dan batuknya juga kerap hadir di setiap helaan nafasnya. Ibu sudah sangat susah untuk makan, begitu pula makanan yang dicairkan, sepertinya tubuh ibu menolak semua itu. Ia kerap mengeluh kembung dengan nyeri di ulu hati. Apabila kondisi seperti itu hadir, tak jarang mata ibu melotot menahan sakit. Aku sering menjumpai kondisi seperti itu. Meski aku memegang tangan dan lengannya erat-erat, rasa sakitnya tetap tak berkurang. Ibu hanya bisa meringis dan memegang perutnya menahan sakit. Kalau sudah seperti itu, aku hanya bisa diam sambil terus berdoa dalam hati ini...

”Ya Allah, jangan Kau siksa orang yang telah mengasihiku sepanjang umurnya. Sayangi ia sebagaimana ia serahkan hidupnya untuk menyayangiku. Ambil penyakitnya Yaa Allah, ambil rasa sakit yang dideranya... Jangan Kau timpakan penderitaan pada perempuan setia sebaik ibu....” Setelah itu shalawat dan yasin mengalir di lisanku, bapak, dan kakak-kakaku.

”Rist, ada pelanggan tuh, kamu ngorder ya....” Mba Saeni membuyarkan lamunanku di terik yang panas itu. Sejak kematian ibuku, hari-hariku rasanya terasa hampa. Langkahku rasanya tak ada yang bermakna. Aku tak pernah lagi bisa merasakan senyum dan mata yang gembira, menantiku pulang dari tempat kerja.

Ibu biasa menantiku, meski terkadang hingga pukul sepuluh malam. Ibu belum mau masuk kamar, sebelum melihat aku pulang dengan seragam waiter yang aku banggakan. Beberapa bulan sebelum ibu pergi, ia memang sering melakukan itu. Entah apa yang ada difikirannya. Aku tak pernah membawa uang banyak dari hasil gajiku yang ’seadanya’, dan aku juga tidak pernah membawakan sesuatu yang istimewa di setiap kepulanganku. Selain nasi goreng atau capcai goreng, dari kelebihan sisa order tamu. Namun ibu selau tersenyum dan menungguku, selalu menanyakan apa yang dibawa olehku untuknya. Ibu selalu terlihat gembira menerima apapun yang sebetulnya tidak terlalu istimewa. Dan jawabannya baru kutahu setelah ia pergi jauh dariku.

Ibu menangis terharu di depan bapak, ketika ia selesai berbincang denganku di suatu sore. Ia begitu terharu dan bahagia, begitu terharunya sampai-sampai ibu mengangis tersedu-sedu di depan bapaku. Bapak yang selalu tampil serius , menganggap kalau aku telah menyakiti hatinya. Matanya langsung memerah menahan amarah. Bapak memang jarang main tangan pada anak-anaknya, malah seingatku tidak pernah. Hanya saja kalau marah, ia kerap mengurung dan mengunci kami di dalam kamar kecil hingga kami berteriak minta ampun dan berjanji untuk tidak mengulangi. Namun sebelum ia beranjak pergi dan mencariku, ibu lebih dulu menarik lengannya.

”Jangan marahi, Harist, Pak,” kata ibuku saat itu, ” ini bukan kesalahan.”

”Tapi Mimi menangis, ini pasti ada yang ngga beres...”

”Benar Mimi menangis, tapi bukan karena ada yang ngga beres...”

”Terus apa yang dikatakan si Harist itu, sampai Mimi tersedu seperti itu?”

”Harist bilang sama Mimi, kalau ia akan bekerja dan menabung uang yang banyak. Ia juga tidak akan buru-buru nikah, sebelum membelikan Mimi kain ihram untuk ziarah ke tanah suci...” ibu tak melanjutkan ucapannya. Ia kembali menangis, menangis bahagia akan cita-cita anaknya yang ia tahu sangat jauh dari kenyataan.

Gajiku untuk sebulan ongkos bekerja saja sudah habis, apalagi untuk menabung membayar ongkos naik haji. Sesuatu yang sangat mustahil, dan lebih banyak unsur ngayal-nya! Namun kata bapaku, meski ibu tahu kalau aku hanya menjual mimpi untuknya. Ia tetap bahagia! Ia bahagia bukan karena ucapanku yang cenderung ngelantur, tapi karena seumur hidupnya baru kali itu ia mendengarkan semangat yang besar dari anaknya. Berjuang dan berjanji untuk sesuatu yang dalam mimpipun tak pernah ia dapati. Menunaikan ibadah haji....

”Saya minta minum dulu deh, haus nih!” seorang perempuan tua berbicara agak ketus kepadaku.

Aku meninggalkan daftar order dan pena di meja yang telah kurapihkan untuk pelanggan yang membawa beberapa anggota keluarganya . Tak berapa lama, aku bergegas kembali dengan delapan gelas air teh hangat di nampanku. Ku edarkan ke seluruh pelanggan yang kuanggap raja itu. Semuanya menerima dengan anggukan pelan dan singkat. Hingga pada giliran perempuan tua yang duduk di ujung meja order, ia memegang gelas yang kusodorkan. Memegang sisinya, mencelupkan jarinya, dan dengan tatapan tak puas mengembalikannya padaku.

”Saya koq ngga melihat kebersihan di gelas ini, ganti ya!”

Aku menerima gelas yang di sodorkan perempuan yang sudah tua tapi tampil bak abg ketinggalan kereta tadi. Aku tersenyum, mencoba menyampaikan maaf. Kemudian aku kembali lagi dengan segelas air teh dengan gelas yang benar-benar aku periksa kebersihannya.

Sesaat perempuan tua itu menerima gelas yang kuulurkan. Seperti biasa ia memeriksa sisi gelasnya, mencelupkan sedikit jarinya, dan kali ini di tambah satu gerakan lagi, menghirup dan mencium air teh itu. Dan ekspresinya tetap tak berubah! Ia tetap tidak puas dengan apa yang aku sodorkan!

”Heh, pelayan! Kamu tahu ya, selain aku ini alergi dengan barang-barang yang kurang bersih, aku juga alregi dengan uap teh yang terlalu menyengat. Ini apa lagi, sudah menyengat, hangatnya kurang lagi. Kalau terlalu dingin, aku bisa enek. Perutku jadi mual, tahu!”

Astagfrullah... aku mencoba untuk bersabar. Kembali kuraih gelas yang dikomplainnya, kemudian dengan permohonan maaf aku kembali ke pantry untuk mengambil sesuai yang dipesannya. Rupanya ini memang hari apesku, mendapatkan pelanggan yang agak rewel. Perempuan itu kembali menolak air teh yang susah payah aku racik sendiri...

”Sudahlah, aku tidak selera lagi dengan ’teh selamat datang’-nya. Aku mau air putih saja, tapi ingat gelas harus bersih, jangan terlalu panas dan jangan terlalu dingin. Aku ingin hangat-hangat kuku, dan satu lagi ngga pake lama...”

Seorang wanita berumur tiga puluhan yang duduk disampingnya nampak memegang lengan perempuan tua itu, ia juga agak risih dengan sikap wanita tua ini. ”Oma, sudah ah! Kasihan dia, nanti bingung...”

”Ehh, lah itu kan memang tugasnya! Sebagai pelayan, ia harus melayani dengan baik dong. Kita khan pelanggan tetap restaurant ini...”

”Tapi Oma...”

”Ngga papa Ci, kami senang melayani Taci sekeluarga,” kataku mencoba menengahi.

”Maaf, ya Dek. Tolong ambilkan saja dulu pesanan Oma yah, biar nanti kami tulis makanan yang di pesan,” seorang lelaki berpakain rapi dan menampakan kelas ningratnya mengambil buku order dan pena yang kupegang.

Mereka itu keluarga pengusaha dari Taipan, seingatku mereka juga masih kerabat jauh pemilik restaurant sea food ini. Di Cirebon, orang-orang seperti mereka memang banyak. Sejak masa kolonial dulu, kota yang juga di kenal pusat penyebaran agama islam ini, banyak diminati orang–orang Tionghoa. Mereka telah ada berabad-abad lalu. Kalau dari sejarah, mereka hadir selain sebagai bangsa pedagang dan tabib, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang juga penguasa Cirebon saat itu menyunting seorang putri Cina sebagai istrinya. Sehingga sejak saat itu orang Cirebon seakan sudah dipersaudarakan dengan orang-orang Cina, dengan adanya pernikahan itu. Jadi memang tak heran kalau di Cirebon banyak dijumpai warga keturunan. Kebanyakan mereka memang menguasai pusat-pusat pertokoan dan perdagangan, seperti keahliannya. Meski ada juga yang meracik jamu atau obat-obatan, sebagian besar memang berbisnis barang dagangan. Dari mulai ikan asin, terasi, sirop tjampolay, kerupuk udang, bahkan sampai onderdil kendaraan dan toko emas segala. Boleh dikatakan mereka hadir dan sukses di setiap sektor riil perdagangan dan bisnis kota ini.

Restaurant tempatku bekerja juga milik warga keturunan Tionghoa. Dari yang kudengar, usaha mereka diawali dari jual siomay keliling kampung beberapa belas tahun yang lalu. Akan tetapi karena keuletan dan perjuangannya, mereka berhasil hingga mampu mendirikan restaurant di jantung kota ini. Ini yang kukagumi dari Koh Kiki yang katanya ia juga memiliki cabang restaurant ini di beberapa kota di Jawa Barat. Aku ingin seperti dia, ulet dan berhasil!

”Sudah lama kerja di sini, Dek?” tanya perempuan setengah baya di samping perempuan tua yang dipanggil Oma itu.

”Hampir setengah tahun, Ci ,” jawabku seraya meletakan berbagai makanan yang mereka pesan.

”Oo, kami keluarga Herman, masih kerabat dengan Kokoh Kiki.”

”Ya Ci, saya tahu,” mereka memang selalu memamerkan kekerabatan mereka. Entah untuk apa. Apakah mereka ingin menunjukan kelasnya diantara tamu yang lain, atau agar aku lebih menghormatinya. Yang jelas, standar pelayananku sudah jelas dan saya hanya melaksanakan yang satu itu.

”Silahkan menikmati,” kataku seraya meninggalkan mereka. Aku ingin cepat-cepat beranjak dari kerumunan tamu restaurant yang sangat ramai di siang yang terik itu. Dan hampir saja aku bergegas menuju ruang istirahat ketika seseorang berteriak memanggilku.

”Ada yang bisa dibantu, Pak?”

Heh dengar ya, aku sudah pesan dari satu jam yang lalu. Kenapa ngga segera diantar, itu yang baru datang koq sudah diantar?”

Aku gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. Seingatku aku tidak mengorder tamu yang komplain ini, aku tidak tahu harus menjawab apa. Rombongan tamu di meja ini kelihatannya begitu emosi karena cape menunggu dan menahan lapar. Itu bisa kulihat dari gelas teh selamat datang yang sudah kosong semua, dan acar pembuka yang sudah tinggal tusuknya saja. Beberapa orang yang mendampinginya juga ada yang sudah menggigit-gigit sendok dan menghisap jari-jari tangannya. ”Maaf, pak. Nanti saya ke pantry, barangkali pesanan bapak sudah selesai.”

”Ini sudah satu jam loh! Kamu tahu, satu jam! Ini bukan waktu yang sebentar untuk menahan lapar dan kesal. Kamu tahu, saya bayar mahal untuk pelayanan di sini!”

”Benar Pak, tapi maaf seingat saya, saya tidak mengorder Bapak, jadi saya tidak tahu dengan masakan pesanan Bapak. Biar saya lihat dulu ke pantry barangkali memang sudah selesai...”

”Pelayanan macam apa ini, sudah satu jam kami hanya disuguhi teh dan acar. Padahal saya sudah pesan tempat ini seminggu yang lalu, kalau tahu seperti ini pelayanannya saya menyesal kemari!!!” Bapak-bapak yang berpakain safari itu nampak menumpahkan segala kekesalannya padaku. Tapi aku memang benar-benar tidak mengorder mereka, jadi mana mungkin aku tahu apa saja pesanannya. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah dengan segala ocehannya.

Mba Saeni yang mendengar keributan ini langsung menghampiri dengan senyum khasnya. Ia memang pegawai senior dan supervisor teladan bagi kami. Baginya tidak ada permasalahan dengan tamu yang tidak bisa diselesaikannya, seperti di siang yang terik ini.

”Maaf Pak, ini sepenuhnya kesalahan kami. Kami harap Bapak bisa memaafkan kelalaian pegawai kami, kami akan segera membawakan pesanan Bapak.” Mungkin Bapak itu sebetulnya masih marah dan kesal, setidaknya karena ia masih berdiri di posisi tempat duduknya. Namun entah mengapa siapa saja yang berbincang atau bertatap muka dengan Mba Saeni rasanya koq jadi mendadak adem.

Seperti lelaki yang berpakaian safari ini. Entah karena mendadak kenyang, atau memang ia sedang terbuai dengan senyum manis Mba Saeni. Yang jelas kalimat yang keluar darinya mendadak berubah, intonasinya melunak dan berubah jadi kalem. Ah, kurang ajar! Kalau sama aku , seperti yang kehilangan anak mertua.

”Saya tidak marah, tapi ini terlalu lama untuk proses menunggu masakan yang di olah, khan Mbak?” begitu kalimatnya, mendadak kalem.

”Benar Pak, kami mohon maklum, karena banyak pengunjung dan orderan masakan, mungkin tukang masak kami agak kerepotan. Tapi kami usahakan segera, Pak. Sekali lagi mohon maafnya, ya Pak...”

Lelaki itu manggut-manggut. Marahnya seakan melesat entah kemana. Aku jadi bisa cepat pergi dari area dengan aura panas seperti itu. Aah, bener-bener siang yang melelahkan.

Bachrudin tertawa terkekeh-kekeh, melihat wajahku yang merah padam habis disemprot tamu sok kuasa itu. Saking gelinya ia sampai memegangi perutnya. Aan dan Kurniati, rekan seperjuangan kami juga ikut nyengir melihat ku. Aku makin senewen, kurang ajar. Mereka koq tertawa dengan penderitaan teman senasib dan seperjuangan ya...

Heh, kalian senang ya liat aku sengsara?” kataku penuh emosi.

”Ngga gitu, Mas. Kami bukan menertawai Mas Harist,” Aan menjawab di sela tawanya.

”Terus kalian menertawakan apa kalau bukan aku?

”Itu, mereka menertawakan laki-laki yang marah-marah itu, Rist,” Santoso yang berpenampilan kalem itu mencoba menjawab kebingunganku.

”Apanya yang lucu sih, orang marah-marah koq diketawain?”

Mereka tidak menjawab. Mereka malah pergi meninggalkan aku dengan gelak tawa yang masih mengiringi langkah mereka. Ini memang jam dua waktu kami beristirahat untuk shift setelah maghrib. Dan hari ini adalah jatahku piket dengan Santoso, jadi aku tidak bisa ikut beristirahat sekarang. Aku baru akan beristirahat setelah mereka semua masuk kembali.

”Memang kamu diapain aja, Rist?”

”Aku disemprot habis-habisan, San. Dikirain aku nyuekin dia! Aku khan tidak mengorder rombongan laki-laki itu, aku juga tidak tahu apa yang dipesannya,” kataku masih kesal.

”Koq kamu malah mesam-mesem begitu? Kamu juga senang ya aku disemprot tamu?”

”Bukan.Bukan begitu Rist, aku geli dengan kelakuan teman kamu yang satu itu,” kata Santoso seraya menunjuk Bachrudin yang melenggang santai di selasar menuju ruang istirahat kami.

”Geli? Memang kenapa, ada apa dia?”

Nih Rist. Bapak yang tadi itu sebenarnya wajar kalau marah-marah. Mereka memang di-cuek-in sih....”

”Dicuekin gimana?”

”Awalnya Bachrudin ngorder laki-laki itu, tapi ia terus-terusan pindah meja, dengan alasan mencari view yang pas. Sudah tiga kali ia lakukan itu. Otomatis, Bachrudin juga harus ngangkat junjung baki yang penuh dengan gelas teh selamat datang, dari satu meja ke meja yang lain.Terus yang paling membuat Bachrudin jengkel, ia tidak mau pesan masakan kalau dilayani oleh laki-laki. Ia malah pesan Teh Yayah (dia waiter tercantik diantara waiter yang ada di restaurant sea food ini) untuk meladanginya. Karuan aja, Bachrudin tambah jengkel...”

”Terus orderan di oper ke Teh Yayah?” Santoso mengangguk, ”Tapi kenapa ia masih marah-marah dan merasa tidak diperdulikan?”

”Itu masalahanya, orderan Teh Yayah kertasnya ditukar oleh Bachrudin. Dari urutan atas dijadikan urutan bawah, sehingga Mang Engkus tidak langsung memasak pesanan laki-laki itu.”

”Jadi artinya ini perbuatan sabotasenya Bachrudin?” Santoso mengangguk lagi sambil tertawa kecil. Aku jadi tambah jengkel dengan semuanya ini, ”Bachrudiiin, awas kamuuu...”

%%%%%

Seperti kemarin, di siang yang terik ini tak membuat restaurant sea food sepi pengunjung. Ada saja yang datang dan pergi, meski hanya sekedar minum dan makan dengan porsi kecil. Seingatku, dapur restaurant ini memang tak pernah berhenti menyala. Selalu ada saja yang dimasak dan dipesan. Dan itu berarti juga ada saja yang harus kami lakukan, yakni meladangi tamu dengan berbagai macam karakter. Ada yang lemah lembut, ada yang tegang dan selalu serius, ada pula yang ketus malah cenderung marah-marah. Para tamu itu memang sangat beragam, diantara mereka sebagian besar adalah pelanggan tetap restaurant ini. Dari para pejabat, politisi, pengusaha, sampai bule-bule banyak yang mampir meski tak banyak yang mereka order.

Beberapa diantaranya malah menganggap kami sudah seperti anggota keluarga mereka. Setiap mereka selesai makan, mereka tak segan meninggalkan uang kembalian pembayaran mereka sebagai tip meski jumlahnya masih cukup lumayan. Namun ada juga yang tak menyisahkan sedikitpun untuk kami para pelayannya. Jangankan uang kembalian sebagai tip, sisa makanan saja mereka bungkus dan dibawa pulang. Padahal sisa makanan itu, khususnya yang berbentuk piece (potongan) biasanya menjadi ’jatah’ kami untuk ikut menikmati makanan orang berada. Seperti kepiting cingkong, udang goreng mentega, atau makanan laut lainnya yang porsinya berbentuk potongan terpisah, sehingga meskipun sisa masih layak untuk dimakan. Tinggal dihangatkan saja, begitu kata Mba Surti.

Sebetulnya aku sangat miris menyaksikan kondisi kami. Awal-awal keadatanganku, aku sangat menentang sikap seperti itu. Meskipun masih bagus dan tidak disentuh, akan tetapi yang namanya makanan sisa tetap sisa. Dan itu tak layak untuk dimakan, selain kerabat atau saudara. Namun gaji dan upah kami sebagi waiter saat itu memang sangat jauh dari mungkin untuk mampu membeli makanan-makanan mahal seperti tertera di buku menu. Seingatku, satu bulan gajiku saja hanya cukup untuk satu porsi masakan dengan semangkuk nasi putih. Memang ironi, sementara kami melayani sekian banyak orang dengan berbagai macam menu masakan yang mahal, kami sendiri tak pernah menikmatinya. Ada cara yang kurang terpuji dari rekan-rekan seperjuanganku menghadapi kondisi seperti ini, dan itu rupanya telah berlangsung lama oleh para pendahulu kami. Yakni mengambil sebagian dari porsi yang telah ditakarkan dalam standar pelayanan. Seperti jumlah udang saus mentega yang berjumlah sembilan, kepiting cingkong yang berjumlah delapan, ayam goreng kuluyuk yang terdiri dari satu paha dan separuh dada, atau sop isit yang memenuhi mangkuk khusus takaran sop satu porsi. Dan mereka mengambil sebagian dari takaran itu.

Beragam alasan dan pendapat juga muncul untuk perbuatan yang kurang baik ini. Ada yang karena ngidam, ada yang karena ingin mencicipi, ada yang beralasan menguji standar mutu, dan yang paling memprihatinkan adalah karena ingin akan tetapi tidak mampu membeli. Ah, restaurant ini memang tergolong besar dengan omzet yang lumayan, akan tetapi gaji yang kami terima sangat kecil, jauh dari cukup. Entah bagaimana manajemen yang diterapkan Koh Kiki sebagai pemilik dan Koh Rudi sebagai pengelola, yang jelas kami merasa ada yang timpang dalam hal ini. Sementara tugas kami harus fleksibel, tidak hanya sekedar melayani tamu. Bila sedang kurang padat pengunjung, kami dikaryakan juga untuk memotong-motong sayur, mengupas kulit udang, memilih daging kepiting, atau yang tak pernah absen karena dijadwalkan piketnya adalah membersihkan wc, nyapu, ngepel dan membersihkan kaca-kaca restaurant. Jam kerja kamipun jauh dari standar aturan ketenagakerjaan, lebih dari sepuluh jam dan bisa lebih kalau sedang ramai tamu. Dan tak ada istilah uang lembur untuk kelebihan waktu kerja itu, Koh Rudi cuma bilang kalau kami harus menunjukan kerja yang baik kalau kami ingin gaji naik. Artinya? Yaa memang tidak ada standar gaji, apalagi UMR. Baginya kami semuanya adalah pembantunya, jadi besar kecilnya upah kami terserah penilaian dia. Kalau sudah lama, atau rajin dan baik menurutnya, akan mendapatkan gaji lebih besar dari yang baru atau yang kerjanya biasa-biasa saja. Itulah sebabnya, meski sudah enam bulan aku di sini, upahku tidak lebih dari tiga puluh lima ribu rupiah. Sementara ongkos pulang pergi dari rumah ke tempat kerja ini mencapai empat ribu rupiah per hari. Kebayang khan, berapa sisa penghasilanku setelah dipotong ongkos tiga puluh hari kerja, dan uang makan setiap istirahat.

Jadi pada akhirnya, akupun maklum kalau rekan-rekanku terkadang makan lauk sisa atau makan dengan lauk hasil penyisihan porsi. Ah, korupsi dalam bentuk apapun memang ada dalam kehidupan kita. Namun meski demikian, semua tergantung dari sudut pandang mana menilai tindakan rekan-rekanku itu.

”Dengar ya Rist, restaurant ini tidak akan bangkrut hanya karena kita mengambil satu dua potong udang goreng mentega dari porsian tamu,” Mba Surti bicara agak emosi.

”Restauran ini juga tidak akan langsung jatuh miskin, hanya gara-gara kita mencicipi makanan mahal tamu karena kita tidak mampu membelinya...”

”Tapi kita khan bisa minta sama koki, kita bisa minta sama Mang Engkus atau Mang Didi!” aku mencoba memberikan solusi.

”Coba saja kalau dikasih, mereka dan Koh Rudi itu sama saja. Terlalu perhitungan! Takut miskin kali,” Aan yang sedari tadi menyimak ikut bersuara.

”Apa yaa seperti itu, seingatku mereka itu baik.”

”Mereka memang baik, tapi mereka juga tidak bisa memprediksi khan kapan ada sidak dari Cici Rose (istri Koh Rudi). Dia itu sangat perhitungan terhadap stock barang makanan, dan ia tak pernah kehabisan kata-kata kalau lagi marah. Syukur kalau cuma dimarahi, biasanya ia langsung memotong gaji kita yang sudah secuil ini untuk menutupi perkiraan kerugianya,” Teh Yayah ikut menimpali.

”Dan satu lagi Rist, restaurant ini bisa maju seperti sekarang ini juga karena kita, jadi intinya wajar saja kalau kita mengambil secuil dari apa yang telah kita hasilkan,” Kurniati ikut berpendapat dengan santainya.

”Tapi mengapa harus mengambil dari porsian orderan tamu, itu bisa mengurangi kualitas pelayanan kita kepada mereka,” aku hampir tak mampu lagi beralasan.

”Seingatku, dan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, tidak ada yang komplain tuh. Oke-oke aja, ya khan An?” Mba Surti makin meyakinkan dengan alibinya.

”Siiip,” di-amin-i oleh yang lain.

Begitulah, hingga pada akhirnya aku tak mampu lagi merubah mindset yang telah terbentuk dalam diri mereka. Untuk sesaat aku juga membenarkan mereka, setidaknya apa yang terjadi atau apa yang mereka lakukan diawali dengan kebijakan perusahaan yang memang terlalu ketat tanpa kompromi. Kesalahan order, atau pecah perlengkapan dapur sudah cukup bagi pihak manajemen untuk memecat kami, apabila kami tidak mampu mengganti atau dipotong dari gaji kami. Belum lagi potongan uang transport satu minggu bila kami tidak masuk kerja satu hari saja.

”Ini kebijakan pimpinan, saya tidak bisa berbuat apa-apa...” begitu Mba Niken dari bagian accounting bila menerima keluhan kami.

Pernah aku protes dengan semua kebijakan yang bagiku sama sekali tak adil itu, ini pemerasan dan sangat tak sepadan. Pernah juga aku mogok untuk ikut membersihkan wc, menyapu, mengepel dan membersihkan kaca-kaca, dengan alasan aku melamar dan diterima sebagai waiter bukan cleaning service. Beberapa rekan waiter mendukung dan mengikutiku, yang ujung-ujungnya didakan rapat besar antara kami dan pihak manajemen. Semua rekan waiter dan personil pendukung restaurant ini menyuarakan isi hatinya. Ada yang minta keadilan, ada yang minta naik gaji, ada yang minta jam istirahat khusunya waktu sholat ditambahi, ada yang minta angpao setiap imlek sekaligus THR setiap lebaran. Dan yang paling berani adalah permintaan Mba Surti, dilegalkan untuk mencicipi terlebih dahulu setiap masakan yang diorder tamu, dengan alasan menjamin kualitas rasa. Ah, rupanya masih saja!

Semua yang hadir protes, semua yang hadir menyuarakan isi hati dan uneg-unegnya. Yang kerepotan Mba Yani, sebagai sekretaris ia terlihat paling sibuk untuk kegiatan semacam ini. Apalagi cap yang terlanjur menempel padanya kalau ia adalah orangnya Koh Rudi dan paling dianggap mampu diantara karyawan yang lain. Dia juga yang pertama kali menerimaku ketika datang untuk interview, kalimatnya biasa saja, dan menurutku kemampuannya juga biasa saja jauh dibandingkan Mba Saeni atau Mba Sarah. Mba Saeni mengerti semua masakan dan bumbu yang teracik di dalamnya, ia juga mampu mengorder tamu dengan bahasa asing, dan yang tak kalah penting ia paling bisa membuat tamu marah jadi baik dan nurut. Yaa ada sih kelebihan Mba Yani, selain dia itu putih, tinggi, cantik untuk ukuran seorang wanita Indonesia, ia juga bisa marah! Dan yang terakhir itu adalah keahlian khususnya selain matanya yang sering melotot mengoreksi kesalahan kami.

”Baik, tidak ada lagi yang ingin menyampaikan uneg-uneg?” semuanya terdiam, artinya semuanya sudah menyampaikan apa yang menjadi keinginan dan harapa dari pihak perusahaan. ”Kalau sudah semua, sekarang giliran saya selaku pengelola restaurant ini. Tolong semuanya menyimak dan medengarkan.

Pada prinsipnya perusahaan hanya akan mempekerjakan mereka yang bekerja dengan baik, fleksibel dan loyal terhadap kebijakan perusahaan. Kenaikan gaji dan tunjangan kesejahteraan kalian juga akan kami pertimbangkan asal saja kalian mengikuti pula aturan yang telah digariskan pihak manajement. Masalah tidak bersedianya waiter membantu bagian cleaning service atau membantu prepare bahan makanan bagian pantry juga bisa saya fahami. Tapi seperti yang telah saya sampaikan di atas, saya hanya akan memperhatikan kesejahteraan dan menaikan gaji karyawan sesuai dengan prestasi dan kinerjanya. Kalau banyak yang ia kerjakan, maka banyak pula yang akan ia dapatkan. Sedikit yang mereka kerjakan, maka sedikit pula yang akan mereka terima.

Bisa difahami? Artinya bagi cleaning service yang hanya mengerjakan tugas cleaning service, ia hanya akan mendapat gaji sebagai cleaning service, tanpa tunjangan kesejahteraan dan bonus lainnya. Dan ini juga berlaku untuk bagian kasir, waiter dan juga pantry. Saya berharap ini bisa dimengerti! Karena pada dasarnya saya ingin kalian itu tumbuh sebagai anggota keluarga yang saling membantu dan saling mendukung. Sebagai keluarga yang saling melengkapi, dan mencukupi diantara kalian. So? Apabila setelah ini, ada yang berkeberatan atau merasa tidak berkenan menjadi anggota keluarga, silahkan menghadap saya besok pagi untuk mengambil surat pemberhentian!”

Nah, kalau sudah seperti itu, kami semua bingung. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Selanjutnya kami terpecah menjadi beberapa kelompok yang pro, kontra, ataupun yang tidak kemana-mana. Yaah, nasib para pencari kerja seperti kami memang tak ubahnya pembantu dan majikan. Apalagi sebagian dari kami ada yang cuma lulus SD dengan ijazah entah kemana, sehingga keputusan yang memang tak adil itupun berujung pada keterdiaman kami untuk tidak mempermasalahkan lagi kebijakan perusahaan. Dan setidaknya kondisi seperti itulah yang dicobaterapkan Koh Rudi dalam membangun manajemen feodalnya.

Aku tak mampu membayangkan bagaimana nasib Mba Susi yang janda dengan tiga orang anaknya, atau Kurniati yang menjadi tumpuan keluarganya. Atau juga Mang Didi yang harus membiayai sekolah kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Aku yakin, pilihan mereka pasti diam dan tak berani protes untuk menghadapi surat pemecatan. Ketiga orang ini termasuk beberapa orang yang bekerja di restaurant ini hanya berbekal kasihan dari Koh Rudi, karena mereka tak berijazah dan paling tinggi sekolah mereka hanya lulus SMP. Mungkin itu yang membuat Koh Rudi merasa di atas angin, membodohi dan mempekerjakan mereka.

Sementara orang-orang seperti aku, Santoso, Aan atau Bachrudin hanya bisa menerima kenyataan karena kondisi dan keadaan yang menuntut kami menerimai semua ini. Santoso yang anak sulung dengan orang tua yang selalu ribut dan terancam bubar, Bachrudin yang kabur dari Surabaya karena ribut dengan ayahnya, atau Aan yang patah hati karena tunangannya kabur saat undangan pernikahan telah disebar di kampungnya, Plered. Sedang aku, selain tak lagi memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah meski kata teman-temanku aku memiliki kesempatan untuk diterima di perguruan tinggi negeri , aku juga tak bisa menutup mata dengan beban yang tengah dihadapi keluargaku, yakni biaya perawatan lever ibuku.

”Tapi itu khan dulu, Rist. Ibumu sudah pergi sekarang, menurutku kamu tidak perlu lagi mengikat dirimu di perusahaan dengan manajemen ngga jelas seperti ini,” begitu Santoso setiap mengomentari alasanku untuk tetap bertahan sementara hatiku selalu menentang keadaan dan kondisi manajemen feodal seperti itu.

”Lagi pula, aku juga mengakui kalau kamu itu yaa ngga bodoh-bodoh amat! Diantara kita semua, kamu malah cenderung pintar menurutku, jadi lepas satu pekerjaan seperti ini saja, bukan halangan untukmu mendapatkan pekerjaan pengganti yang lebih baik.”

”Tapi itu khan tidak semudah kelihatannya, San. Sekarang tidak mudah mendapatkan pekerjaan hanya dengan mengandalkan ijazah SMA.”

”Itu khan menurutmu, Rist. Kamu sendiri belum mencobanya,” Santoso makin yakin dengan pendapatnya, padahal kalau aku harus katakan semua, posisi waiter ini saja aku harus bersaing dengan ratusan pelamar se-Wilayah III Cirebon. Santoso, Bachrudin atau Aan beruntung, masuk kesini karena ada kerabat yang lebih dulu kerja di sini atau koneksi yang bisa mengenalkan mereka pada pihak manajemen. Lah sedang aku?

Tapi ucapan Santoso, ada benarnya. Bukankah sekarang ibu telah pergi, setidaknya tidak begitu berat lagi beban yang kufikirkan kini. Belum lagi ucapan Mba Kartini agar aku tetap berjuang dan mengejar cita-citaku demi masa depanku. Bapak atau kakak-kakakmu meski sudah berkeluarga, untuk mereka saja masih serba kekurangan, Rist. Tak ada lagi yang dapat membuat kamu maju selain diri kamu sendiri, begitu nasehat terakhirnya sebelum ia memutuskan untuk kembali ke Pariaman mengikuti suaminya. Aku harus berubah, aku harus mampu merubah semua kenyataan ini menjadi sesuatu yang lebih baik. Aku bebas menentukan apa yang terbaik untuku sekarang. Aku tak mau menjadi tua seperti Mang Didi atau Mang Engkus, yang hanya terikat pada pekerjaan seperti ini. Dengan masa depan yang ngga jelas begini.

Sampai disitu, akhirnya kuputuskan kalau aku keluar dan berhenti bekerja sebagai waiter yang telah mendidiku sabar dan telaten menjadi seorang pelayan. Waiter bukan profesi memalukan, sebenarnya. Bagiku waiter malah dapat dikategorikan mulia. Tanpa mereka bayangkan bagaimana para pembesar atau orang-orang berada itu bisa makan dengan lahap dengan pelayanan yang nyaman. Namun kadang profesiku ini selalu dipandang sebelah mata, atau terkadang dianggap tak lebih sekedar pembantu yang melayani majikan. Padahal antara kami dan pembantu itu jelas berbeda, meski job description antara waiter dan pembantu itu mirip-mirip.

Dan disiang yang terik itu, aku menerima surat pemberhentian serta perhitungan gajiku selama tiga minggu berjalan, setelah aku kembalikan semua seragam inventaris yang telah kupakai selama enam bulan terakhir. Beberapa rekan-rekanku menjabat dan memeluku satu persatu. Mereka terlihat begitu berat melepaskan aku yang telah lama bergabung sebagai keluarga besar restaurant sea food ini. Banyak doa dan harapan yang mereka berikan padaku, selain seperti biasa sikap pro dan kontra yang ada pada mereka atas keputusanku ini. Sebagian mengatakan kalau aku cengeng, tidak tahan banting dan telah gagal menempa diri untuk kuat dalam menghadapi kenyataan! Sementara yang lain mendukung keputusanku, mengingat usiaku yang masih muda dan masih harus mencari pengalaman kemanapun aku mau. Setidaknya mereka juga yakin akan kemampuanku untuk mencari yang lebih baik dari hanya sebagai seorang waiter dengan gaji yang seadanya.

Aku melangkahkan kakiku menyusuri kota Cirebon yang sangat panas dan berdebu di siang yang terik itu, sementara sinar matahari yang kuat menerobos hampir ke seluruh persendianku. Aku merasakan sengatannya menembus hingga ubun-ubunku. Lelah, kesal, sedih, bingung dan cemas berkecamuk dalam hatiku kini. Setidaknya mulai besok aku mulai menyandang predikat yang selama ini aku hindari, yakni menjadi PEJABAT alias pengangguran Jawa Barat.

Asap knalpot beberapa kendaraan yang menyalip di depanku, serta panasnya udara yang bercampur debu ini makin membawaku pada rasa getir yang tengah kujalani. Aku sudah dewasa, dua puluh tahun sebentar lagi. Tapi aku belum memiliki apa-apa yang dapat aku banggakan pada keluargaku, bapaku dan almarhumah ibuku. Apakah aku akan melanjutkan perjuangan rekan-rekanku yang lebih dulu terhampar di antara selasar toko, atau rumah-rumah makan sebagai pengamen. Ataukah aku akan bergabung menjadi seperti mereka yang bergelayut diantara angkutan-angkutan kota sebagai kondektur atau pedagang asongan. Atau aku kembali pada kebiasaan kecilku, mengais-ngais sampah untuk mengumpulkan plastik dan besi-besi tua sebagai pemulung. Aku benar-benar kalut dan ciut membayangkan apa yang akan kujalani mulai besok. Hingga tak kusadari kakiku terperosok pada galian kabel PLN yang tak pernah sewaktu dengan galian kabel TELKOM di kotaku.

Beberapa ibu nampak menjerit, demi melihat tubuhku yang kecil ini hampir masuk setengahnya di trotoar yang tengah digali itu. Ada pula yang langsung membantu dan menarik tanganku untuk keluar, sementara yang lainnya tak acuh dan tak peduli dengan apa yang terjadi. Aku meringis menahan sakit dan malu. Untung galian itu tak berair, sehingga celanaku tak terlalu kotor dengan tanah dan lumpur yang ada di dalamnya. Aku mengucapkan terima kasih pada beberapa lelaki yang membantuku, sebelum akhirnya aku pergi dengan perasaan yang makin nelangsa. Duuh... Ya Allah, apa yang tengah Kau sampaikan padaku ini?

Seingatku, kesandung, jatuh terpeleset, atau kejatuhan sesuatu di kepala bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa makna. Allah telah memberikan izin untuk terjadinya, dan itu pasti untuk mengingatkan siapapun hamba-Nya. Itu juga berarti aku. Begitu banyak orang yang melewati trotoar , seperti juga masih begitu lebar badan trotoar yang dapat kulewati, tapi mengapa sampai terjadi insiden seperti ini. Astagfirullah... maafkan aku Yaa Allah. Maafkan aku kalau sesaat aku menyangsikan kekuasaan-Mu atas masa depanku. Maafkan aku kalau sesaat aku ragu dengan janji-Mu untuk memberikan yang terbaik pada setiap hamba-Nya. Maafkan pula aku, karena sesaat aku telah kufur dengan rahmat dan nikmat yang masih Engkau berikan padaku...

Bu, meski harus kuulangi lagi segala kesengsaraan dan kepahitan ini, aku akan tetap berusaha membanggakanmu. Aku akan tetap bertekad untuk menghadapi apapun di penempaan taqdirku. Aku harus maju dan memperbaiki nasib keluargaku!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar