Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Selasa, 23 April 2013

17. simphony malam di Tepi Pom Bensin




Simphony malam di Tepi Pom Bensin



Ini bulan ketiga, sejak warung makan kaki lima ini beroperasi. Banyak kenangan antara aku, Ruby dan ibuku di sana. Sejak berhenti bekerja, bapak sempat memutuskan untuk membuka warung kaki lima dengan menu ala sea food. Di awal-awal pembukaan, warung ini memang sangat ramai. Itupula yang membuat kami sekeluarga berharap kalau suatu saat usaha ini akan menggantikan sumber penghasilan keluarga. Setelah bapak berhenti berlayar dan ibu tak lagi bisa berjualan, harapan kami yaa usaha warung kaki lima ini.

Untuk menjaring pemasukan dan penghasilan yang lumayan, sengaja bapak mendesign manajement usaha dengan waktu yang agak panjang. Oleh karena itu pula, ia mengerahkan kami anggota keluarganya yang masih tinggal bersama ibu untuk bisa membantu. Bapak membagi dua shift dalam menjalankan usaha warung ini. Hal ini tentunya ketika bapak telah melatih dan mentransfer ilmu memasknya pada kami, khususnya aku dan adiku. Shift pertama biasanya dimulai sejak jam 3 sore hingga jam delapan malam. Di pegang langsung oleh bapak, ibu dan Mbak Atin. Sementara shift kedua dipercayakan padaku dan Ruby. Keempat anak ibu yang lain memang sudah tidak tinggal bersama ibu lagi. Mereka memutuskan untuk mencoba mandiri dengan mengontrak rumah atau pindah ke uar kota.

Dua bulan pertama, hasil usaha dari warung kaki lima kami lumayan sekali. Setidaknya aku baru tahu kalau dari usaha seperti itu, bapak dan ibu bisa tetap menafkahi dan membiayai sekolah kami. Aku baru lulus SMU tahun lalu, dan tak terasa kini tinggal adik bungsuku Ruby, ia masih duduk di bangku STM kelas dua. Banyak harapan dalam ibuku kalau suatau saat warung kaki lima ini akan berubah menjadi warung makan atau restorant yang besar hingga seluruh potensi keluarga akan banyak terserap di sana. Dengan harapan itu pula kami semua berharap dapat mencegah bapak untuk pergi berlayar kembali.

Namun harapan memang tak selalu tepat seperti kenyataan. Di bulan ketiga usaha warung makan kami mulai mengalami kemunduran, mungkin para pelanggan sudah mulai bosan dan jenuh dengan aneka makanan yang kami tawarkan. Atau setidaknya karena mulai banyak warung makan sejenis yang bermunculan setelah warung makan kami. Meskipun kami berupaya semaksimal mungkin, penghasilan dan perkembangan warung makan kami tetap tak berubah. Kami jadi mulai berfikir apa karena letak warung makan ini yang kurang diminati para pengunjung. Letaknya memang di jalan yang kurang begitu ramai dilewati kendaraan pribadi, di sana lebih banyak angkot yang berlalu lalang. Itupun hanya sekedar untuk mengisi BBM, karena letak warung ini memang bersebelahan dengan SPBU, pom bensin pesisir.

Di tepian pom bensin itu pula sebuah kenyataan kami terima, kala ibu terjatuh tak sadarkan diri. Katanya ibu terlalu lelah, hingga kesehatannya yang baru pulih pasca perawatan rumah sakit menjadi drop. Berangkat kejadian itu pula, praktis keberlangsungan rumah makan dititik beratkan pada aku dan Ruby. Mbak Atin memutuskan untuk merawat dan menemani ibu di rumah, sementara bapak berupaya untuk mencari sumber penghasilan lain.

Kenangan beberapa bulan terakhir itu seakan masih lekat di hati kami, aku dan Ruby. Hingga di malam yang telah sepi dan berselimut angin dingin ini tak jua menyurutkan kami untuk tetap bertahan. Membuka warung makan ini demi pengorbanan yang pernah ibu tunjukan untuk terus membesarkannya. Kami tetap bertahan di keheningan malam, di tepian pom bensin pesisir ini.



Sesekali aku mengecek sumbu lampu petromak yang kami pakai sebagai alat penerang warung makan ini, aku juga harus selalu  memompa angin di tabungnya agar sumbu itu terus berkembang dan menyala penuh. Sementara Ruby seperti biasa terlihat sibuk dengan beragam  bahan dagangan. Cumi, udang, ayam, kepiting dan ikan memang harus terus dalam kondisi beku terselimut es batu. Ini diupayakan agar mereka tak cepat busuk dan tetap bisa untuk di olah. Begitu juga tomat, daun bawang, wortel, paprika, kembang kol, mentimun dan kubis harus sering disiram air dingin, agar tetap segar pula. Hasil pemeriksaan Ruby biasanya melahirkan rekomendasi pada upaya menyamarkan kekurangsegaran bahan dagangan dengan mengolah mereka sebelum akhirnya terbuang percuma. Seperti menggoreng ikan dan daging, atau mengolah sayur-sayuran yang setengah layu menjadi soup atau cap cai kuah. Ini bisa untuk konsumsi kami atau anggota keluarga nanti.

Mungkin itu manajemen prihatin kami, jadi meski kami senantiasa memberikan yang terbaik untuk para pembeli, kalau untuk konsumsi kami sendiri hanya dari barang-barang yang tersisa atau kurang bagus kondisinya. Yaa, sebenarnya hal ini tak begitu berbeda dengan manajemen pasar negara ini. Ketika beragam komoditi terbaik negeri diperuntukan untuk ekspor sedangkan yang sedang dan biasa-biasa saja untuk konsumsi dalam negeri. Apa mungkin negeri ini juga menerapkan manajemen prihatin yah?

“Bagaimana kondisi dagingnya, Rub?” tanyaku pada adiku yang masih sibuk memilah-milah bahan dagangan.

“Kalau untuk udang dan cumi, kelihatannya tahan sampai dua atau tiga hari lagi, Mas. Tapi untuk kepitingnya, kelihatannya hanya sampai malam ini. Kalau malam ini tak laku, besok harus kita masak…” ucap adiku serius memperhatikan asset dagangan kami.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku kemudian.

“Paling masih jam sembilanan, Mas…”

Aku mengangguk-angguk meski isi kepalaku tengah berputar dan berfikir, “kalau ke jam dua belas, masih ada tiga jam lagi Rub. Mudah-mudahan ada yang pesan kepiting yah…”

“Iya nih Mas, dari tadi sore baru ada yang pesen nasi goreng doang, Cuma satu lagi…,” Ruby terlihat manyun menahan kesal. Memang seminggu terakhir ini usaha warung kami memang tak berjalan mulus seperti waktu yang telah lewat. Kadang kami hanya membawa pulang uang seadanya, itupun belum dipotong ongkos operasional minyak tanah, angkut-angkut barang dan sumbu petromak.

  “Sabar yah, ingat pesan Mimi khan? Ini juga untuk biaya sekolah Ruby khan..”

Ruby diam tersenyum simpul, meski sudah seringkali ia dengar kalimat itu, namun tetap saja masih ampuh untuk membuatnya diam. Setelah kepergian ibu, kalimat-kalimat ibu memang masih mengandung petuah tersendiri bagi kami. Setidaknya karena kenangan sosok ibulah yang membuat kami semua merasa bertanggung jawab terhadap apapun yang telah dikatakan ibu. Mungkin ada semacam kekuatan yang besar dalam hati kami yang membuat setiap ucapan ibu seakan menjadi sabda dan amanah yang harus kami pegang teguh.



Entah apa yang terjadi malam ini, meski malam minggu yang katanya malam panjang namun kondisi jalan Samadikun tempat kami berjualan seakan sepi sekali. Hampir tak ada mobil atau kendaraan pribadi yang lewat dalam satu jam terakhir ini. Semuanya hanya angkot dan becak yang berseliweran mengantarkan para penumpang yang entah bertujuan kemana. Kondisi sepi seperti ini makin terasa di hatiku, ketika angin malam berdesir menghantarkan dingin. Saat ini memang penhujung musim kemarau, mungkin tak lama lagi akan berganti menjadi penghujan.

“Anginnya dingin sekali ya, Mas?”

Aku mengangguk perlahan seraya terus memperhatikan jalanan yang mulai sepi dari pejalan kaki, waktu memang mulai merambat malam. Tak terasa pukul sepuluh terlewat sudah, itu kudengar dari suara siaran berita radio daerah yang teralun dari radio transistor Pak Sosro tukang tambal ban. Sudah tinggal dua jam lagi batas waktu kami berjualan, tetapi kami belum mendapatkan pemasukan seperti yang kami harapkan. Sesekali aku memperhatikan wajah adiku yang menatap kosong ke depan, entah ia tengah memikirkan apa. Yang kutahu, ia memang kerap mengantuk dan terganggu di ruang kelas karena berjualan sampai malam begini. Meski aku kerap menyuruhnya  memanfaatkan waktu sepi pelanggan untuk tidur, namun adiku seringkali menolak. Tak enak katanya jualan sambil tidur, bisa menolak rezeki. Melihat kesabaran dan keteguhannya, membuatku terpacu untuk terus bersemangat berjualan meski dengan ketaknyamanan seperti itu. Aku tak boleh mematahkan semangatnya mengais rezeki untuknya tetap bisa bersekolah.

“Ujian semeseteran kapan Rub?” tanyaku mencoba membuatnya untuk tidak terdiam dan melamun.

“Masih dua bulan lagi Mas, setelah itu Ruby sudah mulai mencari lokasi untuk praktek lapangan,” katanya seraya beringsut dari duduk terpakunya.

“Ngga kerasa yah, padahal baru kemarin kita berangkat sama-sama di SD Kebon Melati, kini semuanya hampir selesai pada tingkat sekolah seperti yang kita inginkan. Mas Harist selesai SMU setahun lalu, dan setahun depan tinggal kamu,” kataku mengenang masa lalu.

“Iya, Mas. Setidaknya apa yang telah diperjuangkan Mimi, sebentar lagi akan menjadi kenyataan,” Ruby ikut terbawa suasana, pandangannya ikut menerawang jauh.

“Kalau saja Mimi masih hidup, ia pasti akan senang melihat anak-anaknya dapat menyelesaikan sekolah seperti yang diharapkannya,” kataku kemudian, “meski sejatinya keberhasilan sesungguhnya bukan hanya sekedar lulus sekolah sampai SLTA, tetapi setidaknya ini semua harapan Mimi sejak pertama kami kita masuk sekolah dasar…”

“Mas Harist mash ingat?” aku menoleh serius ke arah Ruby, “ dulu, Mimi sampai harus menjual baju kesayangannya untuk dapat terus melanjutkan sekolah kita semua,” kalimat Ruby seolah menyadarkan aku kalau peristiwa sepuluh tahun yang lalu itu seakan baru kemarin terjadi, “meski Ruby belum tahu betul peristiwa itu, namun Mbak Atin sering menceritakan itu pada Ruby. Dan itu membuat Ruby merasa wajib untuk terus tegar dan tak putus asa menghadapi kekurangan ini.”

Aku tersenyum ke arah Ruby, perlahan kupegang bahu adiku yang kini lebih tinggi lima centi meter dariku itu. “Kamu benar Rub, pengorbanan dan pengabdian seperti itu tak boleh kita sia-siakan. Ibu harus mendapatkan balasan yang setimpal dari kita semua. Kita harus bisa membanggakan dan membahagiakannya meski hanya sebatas melihatnya dari alam sana.”

“Iya Mas, meski kini hanya doa yang bisa kita panjatkan untuk Mimi, namun Ruby tetap bertekad untuk menunjukan kalau Ruby anak yang bisa berbhakti. Ruby ingin, Mimi tak pernah menyesal melahirkan dan membesarkan Ruby…”

Kalimat itu, aku sering memikirkan kalimat itu dalam hidupku. Kini hadir dari mulut adikku, apakah Allah sengaja mengingatkan aku akan janji yang sering aku ucapkan untuk ibu?

Aku hendak menjawab ucapan Ruby, ketika seorang lelaki dengan tergesa-gesa datang ke arah kami. Matanya agak nanar, entah apa yang terjadi. Yang jelas aku menangkap aroma minuman beralkohol dari mulut lelaki yang datang tiba-tiba ini.

“Di sini jual nasi goreng khan?” tanyanya.

“Iya Mas, mau pesan?” jawabku mencoba menguasai keterkejutanku.

“Sssaya mau lima bungkus, tolong dibuatkan. Nanti saya ambil, saya mau beli rokok dulu…,” lelaki itu jalan terhuyung dan kembali meninggalkan warung kami.

Ruby menatap bingung padaku, begitu juga aku ke arahnya.

“Laki-laki tadi mabuk ya, Mas?”

“Iya,” kataku setengah sadar, “apa perlu kita buatkan, Rub?”

“Dia ngasih uang tidak Mas?” Tanya Ruby seakan menyadarkan keteledoranku, “kalau tidak ngasih uang dp yaa ngapain dibuat Mas. Kita tunggu saja dia datang dulu Mas, baru kita buatkan.”

“Tapi kalau bener-bener pesan bagaimana, ngga enak mengecewakan pembeli Rub.”

“Yaa tapi khan mencurigakan seperti itu.”

Aku bingung dan tak bisa memutuskan apa-apa, hingga dua jam berlalu dan lelaki yang pesan tadi tak juga datang. Namun ketika kami berniat akan tutup dan mengemasi barang dagangan kami, lelaki yang memesan nasi goreng tadi datang lagi seraya mengajak empat orang temannya.

“Sudah selesai nasi gorengnya?”

“Eh jadi ya? Saya fikir ngga jadi…” kataku sekenanya.

“Eeh, ini orang ngga percayaan ya,” lelaki yang memesan tadi terlihat tak senang dengan ucapanku, “kalau ngga percaya sama pembeli jangan berjualan!”

Kalimat   lelaki ini terdengar kurang enak , namun aku mencoba untuk tak mengambil  hati. Kuambil wajan penggorengan untuk segera meracik nasi goreng pesananya. Namun belum selesai bumbu nasi goreng teracik, tiba-tiba dua orang dari mereka menunjukan sikap arogannya. Kaki mereka menendang kursi dan meja kayu tempat pelanggan makan, beberapa piring dan gelas yang tertata nampak terhambur dari tempatnya.

“Wei sopan dong, kalau mau dilayani dengan baik!” Ruby yang sedari tadi sudah menahan diri lepas kendali.

“Apa, ngga terima?!” lelaki yang bertubuh lebih besar Nampak menghampri Ruby seraya mengepalkan tinjunya, “sini kamu!!”

“Mas, Mas sabar Mas,” kataku mencoba menahan pertengkaran, “ini nasinya sedang dibuatkan…”

“Ngga perlu, saya ngga senang ada orang ngomong keras sama saya!”

“Lho, siapa yang keras duluan. Bukannya kalian yang kurang sopan pake acara nendang-nendang meja kursi!!” Ruby tetap tak mau diam. Suaranya makin keras menandingi ucapan lelaki bertubuh gempal itu.

“Jadi kamu benar-benar nantangin berkekahi yaa…”

“Kamu yang mulai, kenapa saya harus takut!”

“Rub, Rub jangan Rub,” ucapku mencoba menahan adiku yang sudah tak terkendali untuk maju menghadapi lima orang lelaki yang mabuk itu.

“Ngga Mas, biar saya kasi pelajaran orang kurang ajar ini!” Ruby makin maju merangsek dan mendekati lima orang lelaki itu, “jangan kamu fikir karena kalian berlima saya takut ya! Ayo sini, saya ajari kalian sopan santun…”

“Eeh, benar-benar ngelunjak kamu! Nih rasakan!!!” lelaki bertubuh gempal itu melayangkan tinjunya ke arah Ruby, namun detik itu juga Ruby menagkis dan balas meninju bagian perutnya.

WUUT!!! Bugh!!! Sebuah tendangan lebih keras mampir ke tubuh lelaki mabuk tadi. Setidaknya Ruby memang belajar beberapa jurus Pajajaran dan Tapak Suci[1], dan rupanya saat inilah ia praktekan. Melihat temannya terkena tinju, yang lainnya mulai bertindak. Perkelahianpun jadi benar-benar tak imbang. Ruby menghadapi lima orang sekaligus. Beberapa kali tendangan dan pukulan di terima oleh adiku seperti juga beberapa pukulan dan tendangan berhasil membuat beberapa orang lelaki mabuk itu roboh. Seseorang nampak tak senang melihat Ruby gesit mengelak dan berhasil membalas, ia mengeluarkan pisau dari balik bajunya dan berusaha menikam adiku dari belakang. Saat seperti itulah aku tersadar dari bingung dan diamku. Segera kuangkat wajan yang masih berisi minyak panas untuk menggoreng telur, dan menyiramkan ke arah lelaki berpisau tadi. Seketika ia menjerit dan melepaskan pisaunya.

“Awas Mas, hati-hati!!!” teriak Ruby dari arah belakangku.

Belum sempat aku berbalik, seseorang berhasil memukulkan sebatang kayu kaso ke kepalaku. Darah segar mengalir deras dari kepalaku, pandangaku pun mendadak nanar. Namun aku masih bisa bergerak dan melihat lelaki yang memukulkan kayu ke arahku. Saat itulah secara reflek kuambil pisau besar yang sering kupakai untuk meracik bumbu masakan, lalu meyabetkannya ke arah lelaki yang kini berada tepat di depanku.

BRETT!!! Pisauku merobek baju dan kulit perut lelaki berkayu kaso itu, darah segar juga mengalir deras dari tubuhnya. Saat itulah beberapa orang pemuda nampak berlarian menghampiri kami. Pandangan mereka beringas dan memburu ke arah kami dengan jumlah lebih dari sepuluh orang. Aku yang sudah tak tahan menahan sakit di kepala langsung jatuh dan ambruk tak sadarkan diri. Dan tak tahu lagi apa yang terjadi kemudian.



“Itu Haristnya sudah siuman!” sebuah suara terdengar di telingaku. Samar-samar kulihat pula wajah bapak dan saudara-saudaraku, mereka nampak mengelilingiku.

“Bagaimana Rist, masih terasa sakit?” suara Mbak Atin terdengar.

“Iya, bagaimana Rist?” bapak melanjutkan pertanyaan.

Aku memejamkan mataku sesaat, mencoba untuk menjawab dan mengingat apa yang telah terjadi. “Ruby! Ruby, mana Ruby?!” kataku seketika.

“Ngga apa-apa, tenang aja. Ruby ngga apa-apa, Rist!”

“Mereka berlima pak, berlima dan bersenjata tajam…”

“Semuanya sudah diurus yang berwajib,Nak. Mereka memang anak-anak muda yang biasa mabuk dan meresahkan masyarakat, “ bapak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dari bapak juga baru aku tahu kalau saat malam itu sebenarnya tengah berlangsung tawuran antara  pemuda kampung Pesisir dan pemuda kampung Samadikun. Beruntung, kami tak terlibat terlalu jauh dalam tawuran itu, karena pak Sosro yang kebetulan terbangun dari tidur langsung membawa dan menolong kami. Kampung Pesisir dan Kampung Samadikun memang kerap terlibat konflik. Ini sudah berlaku lama sekali, jauh sebelum kami lahir. Entah apa awal mulanya, yang jelas dalam setahun tawuran itu bisa dua atau tiga kali terjadi. Beruntungnya, ketika hal itu terjadi kami tak menjadi korban.  Nasiiib nasib, uang ngga dapat, malah kepala bocor karena tawuran. Namun meski begitu aku tetap bersyukur, karena aku dan Ruby berhasil diselamatkan.

Setelah kejadian itu, kami   berniat memindahkan lokasi berjualan kami, namun karena satu dan lain hal warung kaki lima itu malah tak   beroperasi sama sekali. Bapak memutuskan untuk menutupnya.  Dengan pertimbangan ujian semesteran Ruby yang sudah dekat serta waktu kerja bapak di hotel yang hampir seharian, warung kaki lima itupun tutup. Tinggalah aku menjadi pengangguran kembali dan berjuang untuk mencari pekerjaan demi masa depanku.



******






[1] Aliran Pencak Silat yang ada di Cirebon saat itu

!6. Ibu Berpulang, sebuah lanjutan dari Kereta Di Awal Syawwal





Jum’at pagi yang hening, saat mataharipun terasa redup…

“Subhanallah wal hamdulillah walla illa haillallah… Allahuakbar,” dzikir lirih itu terus mengalun membarengi langkah para pengatar jenazah dari rumah kecil kami. Terlalu lirih untuk kami yang mesti menghadapi kenyataan taqdir   hari ini. Rombongan pengatar jenazah itu seakan menyuarahan gerimis hati yang paling pilu dalam rona hidup kami. Entah apa kami mampu melewati semuanya ini. Ketika orang yang begitu lekat dalam hidup kami, ketika wanita yang paling agung dalam ayunan langkah kami, harus pergi dan meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Dzikir lirih yang membarengi langkah para pentakziah masih terus terdengar, ketika beberapa rombongan mobil dari yayasan amal bhakti muslimin menjemput keranda hijau ibu. Perlahan pintu belakangnya terbuka, dan hati-hati jasad ibu disemayamkan di ruang mobil bercat putih dengan lafadz ‘Innalillahi wa innalillahi raajiuun’ itu. Bapak terlihat lebih dahulu masuk, untuk menerima ujung  keranda bagian kepala. Raut wajahnya yang menua semakin menua demi menghadapi sosok tubuh yang tak lagi mampu memberinya senyum. Sorot matanya nyaris tak lagi berkilat dan memancarkan ketegaranya sebagaimana sering ia tampilkan pada kami. Tubuh tua itu terlihat makin rapuh demi menerima keranda berselimut kain hijau yang bertabur bunga rampai di atasnya.
Begitu Bapak, begitu pula kami, ketujuh anak-anak ibu. Meski air mata kami telah kering karena terisak sepanjang malam, namun rona sendu tak jua lekang di masing-masing ekspresi kami. Mbak Maryam   tak lagi bisa bersuara dengan bibir yang terus gemetar. Banyak duka dan tangis yang tak lagi mampu ia ekspresikan, demi mengingat betapa ia sangat mencintai wanita tua itu. Mbak Tini, hanya diam membisu dengan terus meremas-remas jemarinya menahan gejolak sesal tak berujung. Meski satu minggu terakhir ia telah merawat ibu dengan penuh ketulusan, namun tak mengurangi rasa sesalnya telah meninggalkan ibu pada bulan-bulan terakhirnya ketika dokter menvonis ia dengan lever stadium empat.
Begitu pula Mbak Atin dan Mbak Puji yang tak lagi mampu menahan gejolak kepedihan dihatinya. Isaknya   masih terdengar, meski matanya terasa pedih karena hampir kehabisan air mata. Mereka merasa terlalu cepat taqdir nasib ini berlaku, sedang segala impian untuk membahagiakan ibu belum banyak mereka lakukan. Sementara Mas Adi tersudut pada ujung ruangan mobil pengatar jenazah dengan memeluk kedua lututnya, ia masih tak percaya kalau ibu akan pergi secepat ini. Meski lafadznya terus berucap tasbih, tahmid dan tahlil, tak menghalangi    nafasnya tersengal mengantarkan sesal. 
Aku sendiri duduk terdiam disamping Ruby yang tak pernah selesai mengusap titik air mata yang   terus berlinang. Nafasnya sangat berat, jelas iapun merasakan aura kepedihan yang tiada tara. Kepedihan menghantarkan seorang wanita yang seantiasa memberikannya kedamaian dan ketenangan. Tatapannya seakan kosong meski lurus tertuju pada keranda bertudung kain hijau itu. Semua ekspresi kehilangan ini makin mengiris dan melengkapi kegetiran jiwaku.  Doa lirihku terus teralun tersendat diantara bibirku yang kelu untuk berucap. Satu hal yang membuatku tak lagi berharga saat itu adalah, tak lagi bisa berharap untuk dapat menunaikan janji yang selama ini menjadi semangatku untuk maju dan berubah. “Mii… maafkan Harist, kalau pada akhirnya Harist belum mampu menunaikan janji yang pernah Harist ucapkan pada Mimi. Maafkan Harist, kalau harus menghantarkan jasad Mimi tanpa sempat menyematkan kain ikhram terbaik untuk Mimi…” 
Raungan mobil pengantar jenazah ini terus terdengar sejalan gerak roda yang menuju pemakaman Tedeng. Ini lokasi pemakaman bagi sebagian besar warga di kampungku. Kakek dan Nenek kami juga disemayamkan di sana, kini kami menghantarkan kembali salah satu anggota keluarga kami. Ibu kami, Siti Aminah, perempuan termulia dalam hati kami.
Lafadz tasbih, tahmid dan tahlil mulai menyepi berganti suara-suara berisik pengatur pemakaman. Proses pemakaman ibu memang telah sampai pada tahap akhir dari perjalanannya, yakni membaringkan jasad pada kavling tanah terakhirnya. Beberapa suara terdengar lagi, kali ini mengatur siapa yang harus menerima jasad berkain kaffan di bagian bawah. Beberapa nama di sebut, dan itu adalah Om Wardi suami Mbak Maryam, bapak dan aku sebagai perwakilan anak lelaki. Dengan segera aku masuk di liang lahat yang gelap dan dingin itu, membarengi bapak dan Om wardi yang telah lebih dulu.  Posisiku ada di bagian kaki, sehingga menerima bagian betis ibu. Itu saat terakhir dalam hidupku dapat  mendekap dan merasakan   kaki perempuan teragung dalam hidupku. Kondisinya belum kaku, itu masih kurasakan dari daging betisnya yang lunak dan tidak mengeras.
Kutahan kuat air mataku untuk tak tertumpah diantara kain putih terkahir yang dibekalkan pada ibu. Kutahan sepenuh hati untuk tidak terisak, ketika memiringkan tulang kaki perempuan yang telah lelah melangkah membesarkan dan menafkahiku. Aku juga terus menjaga posisiku tubuhku untuk tak limbung kala ikat kain kaffan paling ujung itu harus kulepas. Hingga detik berikutnya, tubuhku tetap terjaga meski pada alur nafas yang tak stabil. Jauh dalam hatiku, aku terus menangis! Aku menangis pilu, akan semua kenangan yang ada diantara kami. “Mimi… apa kita nanti kelak akan berkumpul kembali…” bathinku lirih tertahan tangis.
Satu per satu gundukan tanah yang terhampar di pinggir liang lahat ibu, mulai berhamburan ke bawah. Satu per satu pula, gundukan tanah merah itu menutupi barisan papan yang telah rapi melapis warna putih kaffan ibu. Hingga pada gundukan terakhir yang terhampar, beberapa kaki pengurus makam nampak menjejaknya dan membuatnya pepat. Ibu tak terlihat lagi, kain kaffan ibu tak terlihat lagi, papan pelapis juga tak terlihat lagi. Kini berganti nisan kayu dengan tatahan paku seadanya ; Ibu Kuminah (Siti Aminah) binti Kumang.
Detik selanjutnya seruan adzan menggema diantara jiwa-jiwa yang tengah lara dan nestapa. Pemakaman yang sepi inipun makin terasa senyap dan mencekam dengan khusyuknya semua yang hadir mendengar lafadz adzan penghantar perjalanan ibu menuju alam barzah. Sebuah tauziah singkat tentang kematianpun  terdengar kemudian, menyadarkan kami yang masih hidup untuk dapat memetik hikmah dari sebuah kematian. Beberapa pesan singkat juga terdengar khususnya untuk rekan dan kerabat almarhumah ibu, agar semua yang hadir bisa mengikhlaskan segala kehilafan dan kesalahan almarhumah. Segala persangkutan yang tersisa, agar tak lagi dibebankan pada perjalanan panjang sang mayat, akan tetapi pada keluarganya yang masih hidup.
Angin berdesir lembut sekali, ketika langkah para pentakziah mulai meninggalkan areal pemakaman Tedeng. Kulihat bapak masih duduk terpekur di depan pusara ibu, mulutnya masih komat-kamit memanjatkan doa. Setidaknya bapak memang tak segera beranjak, meski langkah penghantar jenazah telah melebihi tujuh hitungan. Dan ekspresi bapak masih sangat jelas terlihat dari tempatku berdiri, kalau ia begitu terpukul. Itu wajah tersedih yang aku lihat sepanjang hari ini, wajah nelangsa seorang lelaki yang ditinggalkan seorang wanita yang paling dicintainya, wajah nelangsa seorang suami yang ditinggalkan seorang istri terpercaya, tulus dan setia pada segala sabdanya.
“Ayo kita pulang, Pak?” Mas Adi menggamit dan memapah tubuh lelaki tua itu. Setengah gontai dan terseret mereka mulai meninggalkan gundukan tanah merah yang kini telah bertabur bunga aneka warna.

******
Hari belum terlalu sore ketika Mbak Atin terisak pilu di kursi tua tempat biasa ibu menjahit pakain usang kami. Wajahnya sangat pucat dengan mata yang terlihat begitu sembab. Di sampingnya, nampak bapak yang terdiam tak berkata apa-apa. Tatapannya kosong, sementara mulutnya mengepulkan asap rokok yang juga mengalun tanpa arti. Ini hari ketiga ketika baru saja kutaburkan air bunga di pusara almarhumah ibu. Apakah di hari ketiga ini kenyataan pahit itu masih belum beranjak dari hati-hati keluargaku…
“Ada apa, Mbak? Kenapa Mbak Atin menangis?” tanyaku terbawa suasana.
“Mbak kangen Mimi, Mbak inget Mimi Rist…”
“Bersabarlah Mbak, Allah sayang sama Mimi, karenanya Dia memanggil dan membawa Mimi,” ucapku mencoba untuk tetap tegar.
“Yaa… Mbak tahu, Mbak tahu Rist…, Mbak hanya kangen. Mbak ingin makan nasi sambal dage  kayak dulu, Mbak ingin makan seperti dulu…,” tangis Mbak Atin pecah tak tertahan lagi.
Aku diam tak mampu lagi berucap. Aku membiarkan kakak perempuanku memuaskan tangisnya, aku membiarkan ia melepaskan kegundahan yang selama ini selalu ia tahan. Sementara bapak hanya bisa membelai rambut anak perempuannya itu dengan tatap haru, menyelami segala kepedihan. Ia tak jua mampu mencegah Mbak Atin yang ingin menagis sore itu. Semua berawal ketika tanpa sengaja bapak mengerus dage dengan sambal hijau, itu makanan kesukaan ibu. Entah ide dari mana, yang jelas katanya bapak tiba-tiba memang ingin makan nasi hangat dengan sambal dage yang biasa dibuatkan ibu. Dan itu pula yang mengingatkan Mbak Atin akan menu spesial ibu. Menu itu pula yang   menguatkan kenangan sosok ibu begitu erat dalam hati Mbak Atin.
Mbak Atin masih terus tersedu-sedu, meski Mbak Maryam dan Mbak Tini merangkul dan memeluknya. Ia seperti yang tak mau dihentikan dari rasa perih akan kehilangan ibu.
“Sabar, sabar… Tin, jangan berlebihan?” Mbak Maryam berucap lirih.
“Kita semua kehilangan, tapi bukan berarti harus terus larut dalam kesedihan seperti itu,” Mbak Tini ikut bersuara, “kita semua akan seperti Mimi, hanya saja kita tidak pernah tahu kapan waktunya…”
“Akan ada masanya kita bisa berkumpul seperti dulu lagi, jadi ikhlaskanlah. Jangan bikin langkah ibumu jadi berat karena mendengar isak tangismu seperti itu…,” Mbak Maryam ikut membelai rambut Mbak Atin yang panjang .
Ketiga anak perempuan ibu nampak menangis berpelukan, mengekspresikan kesedihan akan hilangnya seorang wanita yang paling berarti dan paling mereka cintai. Ekspresi kesedihan mereka setulusnya bukan karena takan lagi bisa bertemu dan bercengkerama bersama ibu, akan tetapi rasa sesal yang timbul karena belum bisa memberikan apa-apa pada ibu. Hingga di akhir hidupnya, yang mereka ingat justru ketika puncak kesedihan hadir di hati ibu…
“Sudah, sudah jangan bertangisan seperti itu, jangan buat suasana makin tak terkendali. Maafkan bapak kalau keinginan bapak makan nasi sambal dage ini akan membuat kalian jadi seperti itu,” suara bapak terdengar berat.
Ketiga kakaku beringsut membenahi air mata yang tak lagi lembab di pipi, karena telah bercampur rasa sesal dan sedih yang mendalam, hingga air mata itu terasa hangat . Mungkin karena bulir itu pula hingga akhirnya mereka dapat sejenak tenang dan kembali pada aktifitas mereka menyambut taqdir hidup keluarga mereka.

*********

Jumat, 12 April 2013

Sebuah entitas kebanggaan dan rasa syukur, atas sebuah anugerah dalam hidup...
semoga buku ini segera hadir ke tengah-tengah kita,
mohon doa dan restunya, kawan...