Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Sabtu, 20 Maret 2010

6.Calon Muda Praja, Skenario Penanaman Disiplin?


Siang itu, kami yang baru saja diterima sebagai Calon Praja Baru, langsung dibawa oleh para senior untuk menerima perbekalan sebagai perlengkapan OPSPEK. Mungkin karena kami belum diopspek inilah sehingga meski kami telah lulus seleksi penerimaan calon Praja, kami tetap dianggap calon oleh mereka. Menurut mereka saat opspek-lah sebetulnya ujian penyaringan sesungguhnya, akankah kami memiliki mental dan fisik yang layak untuk menjalani pendidikan ini.

Handuk, sprei, sarung bantal, selimut, sepatu, training, seragam PDL, dan perlengkapan lainnya sudah berada di tanganku. Dari sinilah aku memulai kehidupanku sebagai seorang Praja STPDN yang katanya dituntut dengan ketegasan dan kedisiplinan.

“Hey, Capra kamu dari mana? Kamu tidak mendengar panggilan?”

“Saya Kak? Anu... saya mah dari Cimahi,” Asnan menjawab dengan logat sunda-nya yang kental. Badannya cukup besar, oleh karena itu ia berada di barisan depan.

“Heh, kamu pikir ini APDN Cimahi? Jawab dengan tegas bisa tidak?!!” Senior berbintang satu itu tiba-tiba membentak Asnan yang satu kedatangan denganku. Pandangannya seram, mulutnya menyeringai seperti macan tutul yang sudah seminggu tidak diberi makan. Aku jadi bingung, memang aku sedang berada di hutan mana yah. Rasanya seperti melihat makhluk yang asing begitu...

“Bisa, bisa... bisa, Kak...”

“Pake kata SIAP, gundul!!”

“Siap, siap Kak...”

“Siap-siap, siap apa!?” Senior berbintang satu ini membentak dengan intonasi yang lebih meninggi dari rekanku. Seingatku, aku sempat melihat beberapa butir ludah yang keluar dari mulutnya. Mungkin senior ini termasuk orang yang senang bicara dengan gaya muncrat ala tukang obat di pasar. Waduh ini sungguh berbanding terbalik dengan penampilan gagah yang pernah aku lihat di tv dulu.

“Siap anu Kak, saya siap menjawab tegas!”

“Dasar bego, badan aja gede. Ayo push up!”

“Push up?”

“Iya Push up, mau nawar!?” senior itu makin keras membentak seraya mengangkat tangan kanannya siap menampar Asnan. Kalau saja Asnan yang berperawakan bongsor itu tidak segera tiarap dan mengambil posisi push up, pasti tangan yang berbentuk seperti ubi jalar itu sudah mendarat di pipinya.

“Siap! Siap! Siap push up Kak...” Asnan menjawab di sela lutut dan badannya yang gemetar.

“Hitung 20 kali yang keras!”

“Satu! Dua! Tiga...”

Kami berlima yang saat itu satu barisan hanya dapat menatap Asnan dengan iba. Duuh... nasib, apa ya harus begini untuk jadi Praja?

“Heh, kamu! Kenapa kamu lihat-lihat teman kamu yang sedang dihukum, kamu senang ya?!” seseorang berperawakan tinggi besar tiba-tiba tepat berada di sampingku. Tampangnya serem, mungkin kalau disama-samain mirip Tarzan Srimulat kali ...

“Eh anu, saya tidak Kak!” kataku gagap.

“Mengapa kamu tidak balik kanan melihat temanmu dihukum, disini teman adalah saudara senasib sepenanggungan . Jadi jika teman kalian dihukum, berarti kalian juga harus mengikuti atau setidaknya balik kanan. Kamu yang nomor tiga, sini!”

Aku maju mendekati senior itu ragu-ragu.

“Bisa cepat tidak?!” aku langsung berlari dan berdiri tepat di depannya. “Sikap sempurna!” Ups, untung aku dulu ikut Pramuka, jadi aku tahu sikap sempurna. Kepalaku berdenyut, jatungku juga berdetak kencang. Entah apa yang akan dilakukan senior yang ‘sok galak’ ini.

Sesaat pandangannya berputar kepadaku, dari ujung rambut sampai ujung kaki ia memperhatikanku “Kamu darimana?”

“Siap, dari Cirebon, Kak!” jawabku dengan keras. Aku tak tahu mengapa aku jadi bisa berbicara separuh teriak begitu. Entah karena takut atau karena memang terbawa aura yang tengah menyebar di sekelilingku, panas dan ganas!

“Cirebon itu dimana, gundul?”

“Siap, Jawa Barat, Kak!”

Sesaat ekspresi senior itu berubah, ia tersenyum simpul. Akan tetapi meski ia tersenyum, sangar dan galaknya masih jelas terlihat. “Hmm, ngaku Jawa Barat yah. Kamu hapal ka sayah henteu?”

Waah... ini yang ngga bener nih. Bagaimana saya bisa hapal (kenal), lah ketemu saja baru, memangnya artis. “Heh, hapal saya ngga?”

“Siap, belum Kak!”

Heuu, ngaku ti Jawa Barat, ka lanceuk(kakak) sorangan teu hapal..” ooo, jadi senior ini dari Jawa Barat yah. “Karena kamu tidak kenal sayah, sekarang kamu push up, tiasa henteu (bisa tidak)?”

“Siap! Tiasa kang..”

“Heh! Kamu pake bahasa planet mana?” seseorang tiba-tiba membentakku, “mentang-mentang ketemu kakak kontingen yah? Disini tidak ada kontingen-kontingenan , tau?!”

Wuiih, panjang bener ngomongnya. Aku khan cuma menyambung dialek yang ditanyakan senior itu, memang salah ya? Anu.. saya belum tahu, Kak.”

“Sudah sekarang kamu push up, karena dua pelanggaran kamu push up dua kali temanmu..”

“Empat puluh , Kak?”

“Kenapa, mau ditambahi?”

“Siap, tidak Kak!” Aku segera mengambil posisi tiarap, aku tak mau dikira tak mengindahkan perintah senior-senior galak ini.

“Cepat lakukan, ingat kalau kamu main-main saya ulangi dari nol!”

Keringat bercucuran sudah, wajahkupun memerah padam, sedang pergelangan tanganku serasa ingin lepas. Entah sudah berbentuk apa aku saat itu, yang jelas pandanganku berkunang-kunang dan kepalaku nyut-nyutan. Yaa Allah, apa seperti ini tantangan yang tengah Engkau berikan? Aku terdiam sesaat dari gerakan push-upku, aku menyeka keringat yang menggantung di alis dan hampir masuk ke mataku. Aku tak mau menyerah hanya dengan hukuman seperti ini, aku tahu akan ada kemudahan setelah kesusahan. Sabar... sabar...

Hey, ayo cepat lanjutkan, apa perlu saya ulangi dari nol?!”

“Siap, jangan Kak. Saya cuma...”

“Cuma apa?”

“Badan saya lemas, kepala saya juga pening sekali...” kataku memelas mencoba memohon dispensasi.

Beberapa saat senior-senior itu berbisik, entah apa yang dibicarakannya. Mungkin mereka tengah merancang pembinaan fisik atau hukuman yang lain. Setidaknya kulihat kalau kedua senior berbintang satu itu tersenyum-senyum sambil menyeringai menakutkan. Di saat senyum yang terlihat menyeringai itu makin jelas, muncul seorang senior yang berbintang sama menghampiri mereka. Dan senior ini yang akhirnya menyelamatkanku dari siksaan berikutnya.

“Mas, adek-adeknya agar dipercepat sebentar lagi acara makan siang buat mereka...” katanya kalem dan tidak sesangar dua senior yang tadi.

“Baik segera Mas. Sudah, berdiri kamu!” katanya kemudian, “rapikan bajumu, dan segera bergabung dengan yang lain!”

“Siap, Kak!” fuuh... Alhamdulillah akhirnya..

“Ries, kamu kawal mereka dulu ke Menza. Aku harus mengecek ulang di Pos Lima...” seorang dari dua senior berbintang satu itu pergi, tinggal seorang lagi yang sejak tadi menghukum Asnan.

“Kakakmu tadi memang dari Jawa Barat, tapi di sini senior dan junior tetap ada batas. Disini juga tidak ada primordial dan kesukuan , kalian akan dibentuk menjadi kader yang nasional. Jadi kamu harus bersikap seperti orang Indonesia sepenuhnya, yang tetap satu meski berbeda suku. Paham!?”

“Siap Kak!”

“Baik, sekarang kamu bisa melanjutkan perjalananmu ke Menza untuk bergabung dengan yang lain. Tapi ingat, kamu harus tetap tegas pada siapapun!”

“Siap Kak!”

Aku melanjutkan perjalanan menuju pos-pos berikutnya, dan setiap pos selalu kulewati dengan ujian dan tempaan mental dari senior-senior berbintang satu itu. Kalau aku tak ingat semua ini demi masa depan dan kebanggaan keluargaku, rasanya aku ingin lari dan kembali meneruskan usaha Bapaku. Sejak dulu aku tak pernah ingin masuk lembaga pendidikan seperti ini, dulu aku juga tak memasukan AKABRI atau SCABA pada inventarisasi pilihan karir pendidikanku, yaa karena hal seperti ini. Aku merasa dijadikan barang mainan dan tak dihargai sama sekali oleh para senior itu. Tapi mau apa lagi, aku sudah masuk dan bertekad untuk menghadapi semuanya tantangan ini, aku takan menyia-nyiakan kesempatan terbesar dalam hidupku ini.

“Perhatian! Kepada seluruh Calon Muda Praja...,” seorang senior dengan tali kur putih nampak maju dan berbicara keras diantara barisan kami. “Setelah kalian menerima berbagai perbekalan dan menerima asrama tempat tinggal kalian masing-masing, kegiatan siang ini adalah makan. Ingat disini bukan restorant, apalagi tempat rekreasi, jadi kalian harus dapat makan cepat, rapi dan tidak bersisa. Bisa dimengerti?”

“Siap!!!” Jawab kami serempak.

“Baik kalau begitu mulai dari barisan paling ujung bawa masuk ke dalam Menza (Gedung Nusantara tempat melaksanakan makan Praja). Ingat, jangan berebut! Ketika memasuki batas pintu, salah seorang dari kalian memimpin penghormatan pada lambang negara Indonesia! Bisa?”

“Siap!”

Dek, bawa mereka masuk!” perintahnya pada senior berbintang satu. Senior berbintang satu atau berpangkat Madya alias tingkat dua itu langsung membawa kami masuk dengan tampang garangnya. Yaa ampun, koq ngga ada yaa, tampang yang ramah sedikit . Dimana-mana seperti menakuti-nakuti begitu...

“Ingat, apa yang telah dikatakan oleh Kakakmu Nindya tadi. Bila ada kesalahan maka kalian semua akan menerima konsukuensinya. Nah, sekarang ayo kalian masuk ke dalam per barisan...”

Baris demi baris mulai memasuki Menza, gedung yang berdesain huruf ‘T’ itu nampak luas dan kokoh. Sesaat pandangannku terpaku pada kemegahan dan luasnya bangunan ini, seluruh luas rumahku pasti tak sebanding meski satu prosennya. Ratusan meja dan ribuan kursi yang tersusun rapi seolah mengingatkan aku pada film-film lembaga pendidikan yang pernah ditayangkan televisi. Mmm, rupanya seperti ini yah hidup yang diatur itu, untuk makan juga harus ada aturannya.

Kalau dilihat selintas, sebetulnya ruangan Menza ini seperti hanggar yang luas dan memanjang. Tiangnya kokoh di setiap bagian bangunan. Dengan warna cat yang serba putih, bangunan ini nampak seperti istana-istana residen pada zaman Belanda berkuasa dulu. Seingatku, bangunan ini juga dilengkapi berbagai sound system yang lengkap, sehingga setiap sudut bangunan ini dapat mendengar pengumuman yang disampaikan oleh operator Menza. Terlebih karena langit-langitnya yang tinggi membuat suara gaung atau gema yang kuat. Ada 3000 lebih Praja, yang makan setiap harinya

“Kepada Lambang Negara Republik Indonesia, hormaat gerak!!”

“Hey, Capra! Kenapa kamu tidak ikut hormat?”

“Apa? Oh, eh ya, aku..” dengan tergagap aku segera mengangkat tanganku untuk menghormat. Rupanya kekagumanku dengan bangunan yang megah dan gagah ini membuatku lupa kalau ada peraturan praja yang mewajibkan hormat pada Lambang Garuda jika ingin masuk ke dalamnya. Tapi gerakan refleku itu terlambat, sepasang tangan kekar telah mencengkeram kerah bajuku kuat-kuat.

“Semuanya diam, kecuali kamu, sini!!” katanya seraya menariku dari barisan. Aku langsung panas dingin, entah apa yang harus kuterima. Bicara pakai bahasa daerah saja aku sudah push up 40 kali, ini apalagi...

“Hey, Capra! Kamu tidak mendengar aba-aba temanmu tadi?”

“Siap, dengar Kak!” kataku di sela jantung yang berdetak kencang.

“Mengapa kamu tidak mau PPM (peraturan penghormatan militer)?”

Hah, BBM ? Maaf Kak, saya tidak membawa BBM!” entah karena ketakutanku, atau memang seluruh fungsi syarafku mendadak ‘error’, yang jelas aku memang mendengarnya seperti itu.

Heh, kamu melawak yah?!”

PLAK!!!

Waduuh, tangan yang kulihat seperti singkong rebus itu dengan suksesnya mendarat di pipiku, aku ditampar! Aku tak menyangka kalau seumur-umur membayangkanya saja tak pernah, kini kualami. Memang aku sedemikian salah ya? “kamu masih calon muda praja saja sudah berani melecehkan senior. Baik kalau itu mau kalian. Kamu dan barisanmu tadi makan terlambat, kalian harus melaksanakan hukuman dulu.”

“Yaa Allah, apa lagi ini...” aku benar-benar lemas. Mengapa semua yang kulakukan rasanya salah. Padahal aku mencoba serius dan mengikuti seluruh prosesi penerimaan awal ini dengan sungguh-sungguh. Ya, ini prosesi penerimaan awal, karena di hari-hari berikutnya ini akan jadi sesuatu yang tak aneh lagi. Mengenaskan yah, sebenarnya kami ini ingin dibawa kemana oleh senior-senior itu?

Saat itu juga aku dan barisanku ditarik dari dalam Menza, kami diwajibkan melaksanakan hukuman bersama karena kekurangkompakan kami dalam menghormat lambang negara. Aku jadi benar-benar merasa bersalah karena membawa lebih dari dua puluh orang menerima hukuman karena kelalaianku...,”maaf, kawan!”

Pertama kami disteling (gerak cepat) untuk membuka baju atas kami, kemudian kami diharuskan push up 35 kali dan scoth trash sebanyak 30 kali, dan beberapa hukuman lainnya yang membuat kepalaku benar-benar pusing. Ada juga diantara kami yang jatuh, karena sesak nafasnya.

“Sekarang, cepat kenakan kembali baju putih kalian!” kami segera memakai kembali baju kami dan bergegas merapikan diri dalam barisan. Kemudian kami bergabung dengan calon muda praja lainnya yang sudah hampir menyelesaikan makan siang. “Ingat, disini tidak ada kata tidak bisa, setiap Praja harus dapat menyesuaikan diri. Seperti sekarang, kalian yang baru saja melaksanakan hukuman. Kalian harus dapat melaksanakan makan siang kalian dalam waktu tiga menit. Perlu kalian ketahui, apa yang kalian makan itu adalah uang dan keringat rakyat, jadi jangan sampai ada yang tersisa atau terbuang. Mengerti?”

“Siap!!!”

“Sekarang kalian mulai makan...”

Kami segera melahap apa yang terhidang di meja tanpa menunggu komando berikutnya, kami memang sudah sangat lapar sekali. Kegiatan dari pagi hingga siang ini memang sangat menyita energi kami. Namun karena kami dituntut untuk selesai dalam tiga menit, entah apa yang terasa di mulut kami. Yang jelas cuma satu yang kami fikirkan; cepat menghabiskannya atau menerima hukuman selanjutnya! Ada yang tersedak dan keluar kembali dari hidungnya. Ada pula yang muntah berantakan karena menyuap terlalu banyak dan tak mampu lagi mengunyah makanan. Suasana siang itu benar-benar mengerikan untuk kami yang baru saja hadir dalam kehidupan seorang Praja. Tak pernah terbayangkan olehku, kalau kedewasaan mental dan psikisku benar-benar harus teruji dengan kegiatan seperti itu.

Setelah acara makan siang, kami semua digiring ke Lapangan Plaza (depan Gedung Nusantara), di sana satu persatu para senior yang menyebut dirinya Dharmapati (senior pembimbing yang melekat pada tiap satuan kami) bergantian menyampaikan beragam pesan, amanat, doktrin dan lain-lain. Waah, seperti lomba pidato tuh!

“Dengar semua, mulai hari ini, kalian semua telah resmi menjadi Calon Muda Praja. Oleh karena itu setiap pasal yang tercantum dalam Peraturan Kehidupan Praja harus kalian turuti dan kalian pegang teguh. Pelanggaraan salah satunya, berarti membuka pintu gerbang lembaga ini untuk mengembalikan kalian ke daerah asal kalian. Apa kalian ingin kembali ke daerah kalian?”

“Siap, tidak!!”

“Apakah kalian semua siap melaksanakan PERDUPRA?”

“Siap, bisa!”

“Siap, dapat!”

“Siap, sanggup!”

“Hey, mana kompaknya? Menjawab saja kalian tidak bisa kompak, apa kalian ingin hidup sendiri-sendiri?” senior yang bertubuh gempal seperti Jhon Cena itu makin meninggikan intonasinya. Sepertinya ia tak pernah kehabisan energi untuk membentak dan mendoktrin kami. Terbayang olehku, pasti setelah ini senior yang pantas mengikuti smack down itu makan lima piring dan minum sepuluh gelas sekaligus.

“Siap, tidakkk!!” kami masih menjawab dengan nada yang dikeraskan dan mencoba untuk kompak kali ini.

“Apa kalian masih ingin hidup dengan ego kalian?”

“Siap, tidakk!!”

“Baik, untuk meningkatkan rasa persaudaraan, rasa senasib sepenanggungan, dan terlebih lagi meningkatkan kesatuan dan kekompakan diantara kalian semua, kalian terima kegiatan ini dengan penuh tanggung jawab. Hadap serong kanan, gerakk!!” Seketika kami melaksanakan apa yang diperintahkan pada kami.

Idealnya arahan perintah seperti itu diberikan pada alumni paskibra atau pasukan penegak sewaktu di SMA-nya. Akan tetapi bila sama sekali belum mengenal Peraturan Baris Berbaris, kejadiannya malah aneh. Ada yang langsung menghadap kanan, ada yang menghadap ke kiri, ada yang balik kanan dan yang paling parah malah ada yang langsung jalan dan lari. Entah apa yang mereka dengar saat itu. Yang jelas pelaksanaan perintah tidak sesuai dengan yang dikomandokan. Ini bentuk ketakserasian antara syaraf motorik dan sensorik dikarenakan penyakit yang khas dan akan terus menempel di Kastrian ‘aneh’ ini, yakni ; stress!

Wei! Wei! Kalian itu mengerti PBB tidak sih? Serong kanan! Serong kanan! Tidak mengerti serong kanan, yah!?” Senior-senior yang berada di belakang dan mengawasi kami nampak membetulkan posisi kami yang salah. “Itu lagi, heh! Siapa yang nyuruh kamu lari, kembali-kembali!!!” he he he....

“Yah, semuanya push up 20 kali yang benar...”

Heuu... push up lagi, kapan sih selesainya...

“Silahkan kalian dongkol, silahkan kalian tidak suka, tapi ingat Dek. Kegiatan ini semata-mata demi kebaikan kalian juga. Dengan kegiatan ini mudah-mudahan akan lebih mengeratkan rasa kebersamaan diantara angkatan kalian dalam menjalani pendidikan di sini.”

“Apanya yang membuat lebih erat, sakit seperti ini...” aku mengomel dalam hati. Kalau saja ada forum penyampaian pendapat, aku yakin semua Calon Praja ini tidak akan setuju dengan pengeratan kebersamaan lewat hukuman-hukuman seperti ini. Seingatku, kebersamaan itu adalah sesuatu yang dilakukan karena sama-sama senang, atau sama-sama menguntungkan khan. Ini apanya yang membuat erat, coba?

“Hey, itu yang di ujung kanan, push-upnya yang bener, atau saya ulangi dari nol lagi?!”

Ups! Hampir saja...

%%%%%

MATAHARI telah bergeser dari ujung menara Menza, mungkin sekitar setengah dua sekarang. Lima jam terlewat sudah sejak kedatanganku ke lembah penempaan ini. Tataran Gunung Geulis yang tampak dari tempatku berdiripun mulai tersaput awan-awan yang bergerak menyusuri lerengnya. Kondisi seperti itu biasanya menandakan kalau siang mulai menuju sore. Setidaknya panas terik yang sejak makan siang tadi kurasakan juga mulai terasa redup dan sejuk. Jatinangor memang tidak mudah di tebak. Daerah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang ini memang memiliki karakter yang berbeda dari tempat-tempat lainya di Jawa Barat. Kondisinya bisa mendadak dingin sekali atau mendadak panas sekali, sepertinya semakin mendukung untuk lokasi sebuah kawah Chandra Dhimuka.

Berhadapan dengan Gunung Geulis ini adalah Gunung Manglayang yang di salah satu lerengnya adalah tempat dimana Ksatrian STPDN ini berada. Berbatasan dengan padang golf Giri Gahana, UNWIM dan UNPAD, Kastrian yang lebih dari 200 Ha. ini memiliki beragam lokasi penempaan etika, logika dan estetika. Pendalaman keilmuan, kecakapan kepribadian dan keahlian ketrampilan adalah sesuatu yang sebenarnya dirancang untuk lembaga pendidikan yang mahal ini. Tak heran kalau sekian banyak anggaran negara yang dialirkan bagi berlangsungnya lembaga ini. Apakah berbanding lurus dengan hasil dan kualifikasi yang direncankan, itu yang kemudian menjadi kajian hampir seluruh elemen bangsa ini, beberapa belas tahun kemudian.

Di hari pertama ini, sebagai Calon Muda Praja pinggangku rasanya remuk dan patah-patah, untung waktu istirahat itu tiba juga. Setelah kami menerima berbagai doktrin dan ‘tes mental’, akhirnya kami ditempatkan di berbagai asrama dengan nama 27 Provinsi yang ada saat itu . Aku menempati asrama Jawa Barat lantai Atas, atau disingkat Jabar Atas. Ada empat puluh satu orang di sana, dan aku adalah Calon Muda Praja terakhir sesuai dengan kedatangan di tatar Manglayang ini.

“Baik, sekarang jam dua kurang lima belas menit. Kalian kembali ke barak dan asrama kalian dan melaksanakan sholat dzuhur untuk yang muslim. Kemudian setengah empat sore nanti kalian sudah harus berada di sini kembali. Bisa dimengerti?”

“Siapp!!”

“Bagus, sekarang hitungan ke lima kalian harus sudah meninggalkan tempat ini. Satu, dua, tiga, empat, lima...”

WUUSSS!!! Tak ada lagi basa-basi diantara tubuh-tubuh yang kelelahan menerima pembinaan awal ini. Kami berlari antara takut kena hukum lagi dan keinginan untuk cepat bisa beristirahat. Perut yang baru terisi menu makan siang pun rasanya sudah kosong kembali. Setidaknya tindakan fisik dan kegiatan korps satuan bagi kami telah menguras energi kami kembali. Hingga satu jam dari kami selesai makan, rasanya kami sudah lapar lagi. Bagiku hal ini tak begitu terasa, aku sudah terbiasa kurang makan. Tapi entah untuk mereka para anak pejabat itu...

Pukul 3 sore.

Udara yang menyusur Gunung Manglayang terasa begitu teduh ditubuhku. Setelah melewati padang golf yang terhampar hijau, menyusuri sungai-sungai kecil di kampung Batukuda, melewati berbagai konifer dan hutan jenjeng, angin yang terasa sejuk itupun melintas diantara asrama-asrama kami. Di mataku, aliran angin itu memunculkan potret dan gambar yang indah dari tempatku berdiri. Gunung yang biru menghijau, memayungi ayunan konifer yang melambai dengan sendu, serta beberapa ‘hamparan permadani’ diantara perkebunan dan pertanian seakan menciptakan paduan mozaik alam yang indah. Sebetulnya banyak ide dan ‘landscape’ alam yang dapat kutuangkan menjadi sebuah lukisan dari pemandangan seperti itu. Meski masih untuk konsumsi pribadi aku juga pernah menjadi pelukis. Dan pemandangan seperti itu pastinya akan menggoda insting pelukisku untuk segera menuangkannya pada kanvas . Ah, darahku jadi berdesir, ingin rasanya segera mengaduk berbagai warna cat minyak dan memuaskan jiwa lukisku.

Namun pastinya semua itu tak mungkin dapat kulakukan di sini. Di asrama ini tak ada yang bisa kumanfaatkan seperti saat aku tinggal di kamarku yang sempit dulu, meski tak kumiliki uang untuk membeli kanvas atau sekedar alat lukis, aku bisa menggunakan areng atau blawu untuk menggores tiap dinding tembok yang sudah lapuk di sana sini. Atau setidaknya aku memiliki banyak waktu untuk melakukan semuanya itu. Di ksatrian ini selain kami harus senantiasa menjaga dinding untuk tetap bersih, putih, dan kaku layaknya gedung-gedung pemerintahan, sedikit sekali waktu yang terluang untuku sekarang. Oleh karena itu aku berusaha hanya merekam dan memotret keindahannya dalam benaku. Suatu saat kalau aku sudah punya banyak waktu dan kesempatan, aku akan menuangkannya secara detil! Sesuai dengan degradasi warna dan ornamen-ornamen bentuk yang ditampilkannya. Semoga saja....

Sore itu udara sangat cerah. Seperti arahan setelah pembinaan fisik tadi siang, kami harus berkumpul kembali di Lapangan Plaza yang berlokasi tepat di depan Menza. Beberapa senior dengan seragam olah raga lengkap telah menunggu kami. Jumlah mereka tidak begitu banyak meskipun juga tidak sedikit, sekitar dua orang untuk setiap barisan. Satuan kami ada sekitar dua belas barisan, jadi tepatnya mereka berjumlah sekitar 20 – 30 orang. Mereka ini adalah para Dharmapati (senior yang paling berhak untuk membina sikap dan kepribadian kami selama kami masih dalam posisi Calon Muda Praja )

“ Ingat, besok pagi kalian akan memasuki taraf Orientasi Program Studi dan Pengenalan Ksatrian. Jadi mulai sore ini siapkan fisik dan mental kalian dengan sebaik-baiknya. Terima kegiatan seluruhnya, atau tolak seluruhnya. Bagi yang ragu-ragu silahkan kembali! Kalian siap menerima?”

“ Siappppp!!!”

“ Bagus, sekarang untuk persiapan besok pagi, silahkan kalian lari keliling Ksatrian dua kali. Putra-putri tanpa terkecuali, bagi yang pingsan akan menerima konsekwensi dan pembinaan khusus dari pihak Binjas. Baik mulai dari barisan paling ujung silahkan bawa lari !”

Dengan berbaris rapi kamipun mulai mengikuti para senior yang memandu kami. Seraya bertepuk tangan dan bernyanyi kami berlari penuh semangat. Banyak opini yang terucap diantara kami tentang sentuhan awal yang kami terima ini. Ada yang menerima dengan bangga karena mereka betul-betul bisa mengekspresikan jiwa militer yang ada dalam aliran darahnya, yang demikian itu mungkin dulu ketika lulus SMA pernah ikut ujian AKABRI, tetapi tidak lulus dan diterima di sini. Ada pula yang menerimanya dengan sigap karena ini adalah jiwa mereka sepenuhnya, yang demikian biasanya alumni paskibra atau pramuka ketika SMA. Selain itu ada pula yang menerimanya dengan cemberut dan mengomel sepanjang langkah kakinya, yang masuk golongan ini adalah mereka yang berasal dari anak para pejabat, mantan model, atau selebritis kampung. Mereka sesekali sibuk dengan panas dan kondisi kulit yang takut hitam atau melepuh. “kamu tahu Rist, membutuhkan waktu satu bulan untuk mengembalikan kondisi putih bersih untuk kulitku ini, meskipun cowok, bersih itu tetap harus khan?” demikian salah satu dari mereka beralasan.

Selain mereka yang menolak dan menerima dengan suka cita, ada juga yang menanggapi karena berbagai alasan lainnya, seperti terpaksa karena sudah mengeluarkan sekian juta untuk bisa sampai kesana, terpaksa karena takut dimarahin mama papa, terpaksa karena mengemban amanah keluarganya, terpaksa karena takut kena hukuman para senior, terpaksa karena diputusin pacarnya. Nah, untuk yang terakhir, aku belum menemukan korelasinya antara diputusin pacar dan masuk STPDN. Untuk klasifikasi selanjutnya dan yang kebanyakan dianut adalah, terpaksa karena sudah tidak tahu lagi harus kemana dan ngapain. Dan golongan yang terakhir itu termasuk aku. Daripada aku jadi 'PEJABAT' atau 'PENGACARA' atau pengejar berbagai karir yang gagal, yaa sudahlah, aku memutuskan menikmati setiap detik ‘siksaan’ yang katanya discenariokan untuk penanaman disiplin. Mudah-mudahan benar-benar akan ada kemudahan dari setiap kesusahan ini.

“Hey, Capra ayo nyanyi, ikuti suara kakamu, mana suaranya?!”

“ Siap, Kak!”

“ Ayo cepat, mana suaranya?”

Ayo lari, tiap hari, agar kuat, otot kaki, badan payah, tak mengapa, karena kita Calon Praja.....”

“ Bagus, ayo lebih keras lagi ! Semangatkan terus jiwa kalian, wujudkan semangat Ksatria dan keberanian kalian. Ingat! tidak ada yang tidak bisa, jika kalian sungguh-sungguh. Hanya yang bermental rendah, yang menyerah pada setiap cobaan dan tantanganya!!! Ayo, tunjukan mental kalian!!” suara para senior yang berlari mengiringi kami itu terus bersahutan diantara kami yang benar-benar kepayahan untuk berlari.

Jelas ini tak biasa bagi kami, khususnya aku! Lari dua keliling ksatrian yang total jumlahnya mencapai 5 kilo meter, setelah seharian melewati berbagai tindakan fisik. Kalau tidak salah beberapa rekanku juga sudah ada yang jalan, jatuh bahkan merangkak untuk tetap bisa mengikuti kegiatan. Biasanya mereka ini yang memiliki badan cubby dan berkelakuan kukang. Beberapa diantaranya malah mencoba main watak (istilah pura-pura) dengan menampakan wajah sakit dan memelas, namun ketahuan senior sehingga mereka ini malah disuruh jalan jongkok sepanjang setengah kilo meter. He he he... menipu sama senior yang berpengalaman menipu, yaa gitu deeh...

Aku harus kuat, aku harus punya mental yang kuat. Aku harus mampu seperti yang lain, aku tidak boleh menyerah! Kalimat itu terus berkumandang di hatiku! Entah kekuatan dari mana, aku begitu semangat berlari dan bernyanyi dengan keras. Mungkin aura semangat yang disebarkan para senior itu, atau mungkin juga karena tiba-tiba bayangan almarhumah ibu muncul di ingatanku. Ia terlihat tersenyum dan seakan mengacungkan jempolnya untukku. Itu kebiasan ibu dulu ketika aku kecil. Setiap aku mau mengerjakan pekerjaan yang diperintahkannya, aku selalu diacungi jempol untuk prestasi itu.

“Ah, Mimi... apa ia benar-benar bisa melihat apa yang tengah aku lakukan sekarang?” Kupacu terus langkahku mengikuti jejak langkah para Calon Muda Praja ini. Aku harus punya mental kuat, aku tak mau menyia-nyiakan daerah yang telah mengutus dan memberikan kepercayaan kepadaku. Sesaat wajah-wajah keluargaku begitu jelas di pupil ini, itu yang membuatku untuk terus bersemangat dan berlari mengelilingi Ksatrian ini.

%%%%%



Note : Pejabat (istilah 'pengangguran Jawa Barat)
Pengacara (istilah 'pengangguran banyak acara' )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar