Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Kamis, 25 Maret 2010

5. Aku, Ruby dan Amanah Ibu…


CIREBON, 1983

Aku menatap burung-burung jalak yang masih berterbangan di pagi yang sudah mulai terang ini. Dari sekian banyak hewan yang tersisa, burung-burung jalak itulah yang masih dapat kulihat ketika berjalan melewati kebon pisang H. Nawa. Rute ini adalah jalan yang paling kuhapal menuju sekolahku di SD Kebon Melati II Cirebon. Letaknya di Jalan Muhamad Toha, orang-orang biasa menyebutnya Kampung Melati, mungkin karena dulunya di kampung ini banyak orang menanami bunga melati. Untuk kota yang masih tergolong agamis serta berlatar belakang tradisi yang kuat, banyak masyarakat Kota Cirebon saat itu yang memanfaatkan bunga melati dalam beberapa acara ritual keagamaan. Mungkin selain baunya yang khas, bunga melati juga sangat akrab dengan tradisi Jawa-Cerbon dalam setiap perhelatan. Baik acara Muludan, Sunatan, Pernikahan, Nuju bulanan, Nadranan[1] sampai Kliwonan yang memang rutin terjadi di setiap bulannya. Semua acara tersebut pastinya tidak akan terlepas dari kelengkapan bunga melati. Mungkin karena itulah berkebun bunga melati bisa jadi merupakan bisnis yang menjanjikan dan menguntungkan.

Salah satu rute yang kulewati selain kebun pisang kepok H. Nawa, ya kebun bunga melati tadi. Aku selalu melintasinya meski hanya sekedar menghirup aroma yang merebak di sekelilingnya. Mungkin karena itu pula belakangan aku suka sekali minum teh poci yang beraroma bunga melati, dan itu hingga berpuluh tahun kemudian. Sebenarnya bukan hanya sekedar itu yang menjadi alasanku untuk terus melintasinya setiap menuju ke sekolah, akan tetapi ada alasan lain yang setiap hari aku berharap menjumpainya. Yakni menemukan jantung-jantung pisang kepok yang sengaja dibuang untuk merangsang pertumbuhan buahnya. Bagi pemiliknya ini merupakan cara yang tepat dalam meningkatkan mutu buah, sehingga jantung yang sudah tak terpakai itu mereka potong dan di buang. Bagi kami itu adalah rezeki, karena jantung pisang kepok sangat enak untuk dijadikan sayur santen atau ditumis. Atau setidaknya laku untuk dijual pada Mbok Darmi dengan beberapa rupiah, lumayan khan! Dan lokasinya itu adalah kebun pisang H. Nawa setelah melewati kebun bunga melati di Kampung Sepakat itu.

Yang pasti karena alasanku itu, aku dan Ruby berangkat lebih pagi menuju sekolahku. Aku berharap menemukan jantung pisang kepok yang mungkin bisa kujual ke Mbok Darmi. Sebetulnya aku sering diingatkan Ibuku, kalau aku dilarang memungut jantung pisang di kebun orang. “Meskipun yang punya kebun tidak pernah marah atau mencari, tapi itu bukan hak kita, Cung….,” begitu pesan Ibuku. Namun bukan berarti aku sengaja ingin melanggar pesannya kalau ternyata di hari yang masih sepagi ini, aku berjalan ke kebun bunga melati itu. Akan tetapi aku ingin sekali membeli buku tulis letjes baru agar dapat mencatat pelajaran yang mulai banyak di kelas tiga ini. Dengan menemukan jantung-jantung pisang yang ‘tak bertuan’ itu, setidaknya aku bisa menukarnya dengan dua atau tiga buah buku letjes yang bersampul biru dongker itu.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri ketika langkahku persis melewati kebun melati yang bersebelahan dengan kebun pisang kepok H. Nawa. Hatiku terus berharap kalau benda yang paling dicari dan diperebutkan teman-teman sepermainanku itu dapat kutemukan pagi ini. Tiap jengkal tanah dan sudut kebun ini kuperhatikan lekat-lekat, biasanya pemilik kebun itu membuang jantung-jantung itu di sana. Namun meski hampir kuselusuri semua petak kebun yang berluas 2000 meter ini tetap saja tidak kutemui benda yang sangat kuharapkan.

Tapi aku tetap tak berputus asa, setidaknya jam masuk ke sekolah masih setengah jam lagi, aku masih memungkinkan ‘berburu’ jantung keberuntungan itu beberapa menit ke depan. Tiap sudut dan gundukan tanah yang kulewati kuperhatikan betul-betul, hingga pandanganku terpaut pada sebuah benda bulat lonjong berwarna merah marun gelap yang terselip diantara daun-daun pisang kering. Namun tepat ketika aku berniat menghampiri benda yang paling kuharapkan itu, tiba-tiba sebuah tangan dengan cekatan meraih dan membawa jantung pisang itu.

“Aha… aku duluan!!!” serunya separuh mengolok kekurangsigapanku.

“Yaa saya khan yang lihat dulu, Ros!” kataku agak kesal pada teman sepermainanku yang terkenal sedikit ‘preman’ itu.

“Tapi khan aku yang ngambil duluan, maaf yaa…”

Aku menatap tak senang pada lelaki kurus, ceking, dan berkuku hitam itu. Pandangannya seolah menyampaikan kalau ia pemenang dari kontes berebut jantung ini. Aku mencoba mendekat untuk melihat jantung pisang itu lebih jelas, namun detik itu juga Rossi menyembunyikan jantung pisang itu di balik badannya. “Eit, ini miliku, Rist! Kamu tidak bisa mengambilnya…”

“Wuiih, wedi nemen di jukut ya![2] kataku kesal, “aku cuma mau lihat tahu, jantung pisang kepok atau bukan.”

“Boleh saja, tapi tidak perlu dekat-dekat! Nanti jantung pisang ini bisa jatuh dan pecah berantakan, bisa-bisa tidak laku lagi.”

“Iya iya, takut amat sih!” kataku seraya melihat jantung pisang yang dipegang erat oleh Rossi, “mmm, besar sekali. Mau kau jual kemana?”

“Yaa biasa lah, Mbok Darmi. Dia pasti mau beli dengan harga dua ratus rupiah,” kata Rossi berspekulasi.

“Mm… tidak mungkin, paling juga laku seratus lima puluh,” kataku asal, “itu juga kalau kualitas jantung pisangnya masih bagus.”

“Ehh, ini masih utuh tahu, pasti baru tadi subuh atau semalam ditebangnya,” Rossi nampak tidak terima dengan ulasanku.

“Ya, tapi Mbok Darmi khan lebih tahu, belum tentu ia mau segitu!”

“Jadii, bagusnya dijual kesiapa?” tanya Rossi kemudian. Ia mulai termakan ucapanku.

“Bagaimana kalau kita jual ke Wak Kad?”

“Wak Kad pemilik warung soto? Tidak ah, aku tidak berani. Aku khan pernah dikejar-kejar dia gara-gara menumpahkan mangkuk dengkil[3]-nya. Yang lain saja!”

“Yang lainnya itu siapa, di kampung kita yang biasa jualan makanan khan cuma Wak Kad dan Mbok Darmi,” kataku serius.

“Bagaimana kalau ke Ibumu, Rist?”

Aku melotot ke arah Rossi, mana mungkin aku menjual jantung pisang temuan ini kepada Ibu. Ia bisa marah, kalau sampai tahu aku masih berburu jantung pisang kepok ini. “Tidak, tidak, jangan Ibuku…”

“Kalau bukan Ibumu, terus ke siapa lagi doong?”

“Kita jual ke Wak Kad saja!” kataku cepat.

“Yaa terserahlah, tapi kamu yang jualin yah…”

“Boleh aja, asal aku dapat bagian ya!” kataku melancarkan otak bisnisku, “yaa paling tidak aku bisa dapat dua buku letjes!”

“Dua buku letjes, yang satunya Rp. 50 itu?! Tidak! Enak aja, itu artinya di bagi dua dong, khan jantung pisang ini miliku, aku yang menemukannya,” Rossi berucap kesal.

“Yaa kalau begitu, sana jual saja sendiri!”

Rossi terdiam, dia ingin sekali menjual jantung pisang kepok temuan itu, akan tetapi ia juga tidak terlatih untuk berniaga seperti itu. Aku melirik ekspresi matanya yang berputar ke atas dan ke bawah, mungkin ia sedang berfikir dan mempertimbangkan semua ucapanku.

“Bagaimana?” tanyaku makin meyakinkan.

“Memang kalau dijual ke Wak Kad atau istrinya kira-kira laku berapa?”

“Yaa itu, paling juga laku Rp. 150,- “ kataku enteng, “tapi kalau aku yang bernegoisasi mudah-mudahan bisa Rp. 200,- deh…”

“Apa ya memang begitu,” katanya meragukan kecakapanku berdagang jantung pisang kepok.

“Coba saja jual sendiri, selain kamu juga tidak bisa tawar menawar, seingatku kamu juga masih punya hutang karena memecahkan mangkok sotonya khan? Jadi aku sangsi apa kamu bisa dapet sebesar itu, atau malah dianggap impas, he he he…,” ucapku setengah meledeknya.

“Yaa kalau begitu, terserah kamu saja Rist!” ucap Rossi sedikit kesal.

“Begitu doong, kita khan nemunya bareng-bareng, jadi hasilnya juga bareng-bareng. Itu baru namanya teman,” kataku seraya merangkul temanku yang sebenarnya agak ‘angker’ itu.

Setelah perdebatan singkat itu, aku dan Rossi memutuskan untuk menyimpan sementara jantung pisang temuan itu untuk dijual sepulang sekolah nanti. Kami biasa menitipkan ‘barang dagangan’ kami ke Mang Kus, penjaga sekolah kami yang terkenal baik dengan siapa saja.

“Harist!” suara tegas dan keras itu tertuju padaku. Wanita berperawakan tinggi langsing itu namanya Bu Marni, dia guru Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam sekaligus Wali Kelas kami. Guru di tempatku memang sedikit, sehingga mereka harus merangkap-rangkap jabatan dan tugas. Bu Marni sendiri sudah membimbing dan mengajarku sejak pertama kali masuk sekolah dasar. Kesabaran dan ketelatenanya telah membuat kami yang tidak bisa apa-apa jadi bisa menulis dan membaca. Setidaknya sebagian besar dari kami bisa meng-eja, mengenal dan menulis huruf setelah beberapa bulan di pegang beliau. Bila ingat semuanya itu, aku jadi sadar bahwa guru formal terbaik bagiku adalah mereka yang pertama kali mengenalkan kami pada kami baca dan tulis ; guru SD-ku.

Aku berjalan ragu-ragu ke depan kelas, sadar kalau ada tugas pekerjaan rumahku yang belum selesai. Beberapa temanku terlihat menarik mulut ke bawah mengekspresikan kalau mereka mengoloku. “Sa… saya, Bu.”

“Mana tugas PR-mu, Ibu tidak menemukannya di sini?” katanya seraya membolak-balik buku letjes yang sudah usang itu. “Seharusnya kamu menuliskan karanganmu ketika libur panjang kemarin khan?”

Aku diam tertunduk, tak berani menatap wajah Bu Marni yang terlihat galak kalau sedang marah. Tahi lalat di ujung dagunya juga seolah membesar jika ia marah.

“Seingat Ibu, kalian juga sudah ditambah dua hari sejak kalian masuk kembai ke kelas khan, tapi mana? Ibu tak melihat hasil karyamu di buku ini…”

“Ma… maaf, Bu,” kataku takut, ”saya sebetulnya sudah buat tapi…” Ingatanku melayang pada kejadian kemarin malam ketika aku merobek buku letjes yang berisi hasil karyaku, demi berbagi buku dengan adiku Ruby. Ia baru masuk tahun ini, Ibu memerintahkan aku untuk memberikan salah satu bukuku padanya. Yang menjadi masalah aku lupa dimana menyimpan satu lembar hasil karyaku itu.

“Tapi kenapa?” rupanya Bu Marni masih menunggu kelanjutan ucapanku, ”yang jelas Ibu tidak suka melihat anak malas yang cuma pandai membuat alasan belaka..”

“Saya….”

“Sudah sekarang, Ibu beri waktu kamu untuk menyelesaikan tugas mengarangmu sampai hari ini saja. Jadi istirahat nanti kamu tidak Ibu perkenankan untuk main, tapi kamu selesaikan tugas itu. Mengerti?”

“Mengerti Bu…”

“Baik sekarang kembali ke tempat dudukmu,” akupun kembali ke tempat duduku dengan rasa malu yang tak terkira di hatiku. “Ingat ini tidak saja berlaku hanya untuk Harist, tapi bagi siapa saja yang merasa belum menyelesaikan tugas mengarang dari Ibu, kalian hanya punya waktu untuk menyelesaikannya hingga hari ini. Mengerti?”

“Mengertiii…!!!”

“Baik, sekarang kita beralih ke pelajaran matematika. Iim, bagikan buku panduan matematika,” suara Bu Marni terdengar makin tegas. Aku tahu, ia pasti kecewa sekali kepadaku.

Menit berikutnya, kami sudah terhayut pada beragam hitungan perkalian dan pembagian ribuan yang merupakan materi awal kami belajar matematika di kelas tiga ini. Sesekali Bu Marni juga menyelipkan kuis hitungan di papan tulis, untuk merangsang kami berhitung dengan cepat. Perkalian dan pembagian dalam ribuan merupakan mata pelajaran kelas dua, sehingga di awal tahun kelas tiga ini kami hanya sekedar mengulang sesaat untuk materi hitungan yang lebih rumit dengan berbagai rumus.

Dua jam berlalu, bel istirahat yang terbuat dari potongan rel keretapun terdengar. Itu pertanda kami untuk istirahat dan sekedar merilekskan otak kami dengan bermain atau jajan di warung Bi Nas. Namun itu tak berlaku untuk kami yang mendapat tugas dari Bu Marni untuk dapat menyelesaikan karangan kami. Setidaknya ada delapan orang termasuk aku yang tidak diperkenankan untuk istirahat saat itu. Diantara delapan orang itu adalah Rossi dan Awuk yang memang langganan kena hukum guru. Kalau Rossi karena sikap bandelnya sedangkan Awuk karena ‘bolotnya’. Beberapa anak yang lain mungkin karena terlena dengan waktu liburan mereka yang sangat indah. Aku melihat hal itu pada si kembar Rina Runi yang selalu terlihat lebih dewasa dari anak perempuan seumurannya, atau Nengsih yang selalu bawa uang jajan ribuan ke sekolah. Pastinya mereka memang anak keluarga berada yang dimanja dengan segala kelebihan orang tuanya.

Jam istirahat belum lagi usai, ketika aku memulai karanganku pada paragraf ke tiga. Sesaat kutarik nafas dalam-dalam, entah mengapa di siang itu rasanya begitu banyak kata-kata bertaburan di kepalaku yang ingin kugoreskan di lembar buku tugas mengarang ini. Hingga paragraf ketiga selesai aku masih terus menyambungnya hingga paragraf ke empat. Beberapa kalimatnya malah membuatku sejenak terdiam dan membayangkan sosok yang paling banyak menginspirasiku; ibuku…

Tepat setelah dua puluh menit berlalu, jam istirahat pun usai. Kami yang mendapatkan tugas mengarangpun harus menyerahkan hasil pekerjaan kami, kecuali bagi yang belum. Mereka harus melanjutkan sepulang sekolah nanti.

“Baik, bagi yang sudah selesai silahkan dikumpulkan,” suara Bu Marni sedikit mengejutkan kami, “untuk yang belum, kalian bisa melanjutkan setelah bel pulang berbunyi.”

Setelah kami mengumpulkan hasil karangan kami, pelajaran selanjutnyapun dimulai, yakni pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang masih diajar oleh Bu Marni. Hari itu pokoknya Bu Marni seolah menjadi guru single fight bagi kami, atau lebih tepatnya ‘sehari bersama Bu Marni’.

“Jadi dengan demikian, jelaslah bagi kita apa yang dimaksud dengan mahluk hidup dan mahluk mati itu. Diantara mahluk hidup sendiri memiliki persamaan dan perbedaan. Nah, tugas kalian silahkan mencari bentuk perbedaan antara manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, sebagai sesama mahluk hidup. Siapa yang bisa selesai, bisa langsung pulang…,” katanya seperti biasa merangsang kami untuk terlibat dalam kuis ilmu pengetahuan ini.

Setelah itu kamipun berusaha untuk menuliskan jawaban pada buku kami dengan cepat, karena upah dari jawaban yang benar akan bisa langsung pulang. Bu Marni sendiri, nampak tenggelam dengan beberapa tulisan yang kami selesaikan pada saat istirahat tadi. Sesaat aku perhatikan matanya serius menatap tulisan miliku, entah apa yang difikirkannya, yang jelas ia menatap serius ke arahku sekarang. Aku yang tak sempat menunduk sempat bertabrakan pandang dengannya, namun Bu Marni tak terlihat marah seperti tadi pagi. Ia malah tersenyum ke arahku.

Beberapa rekan kelasku berlarian menunjukan hasil jawaban mereka ke depan kelas untuk diperlihatkan pada Bu Marni. Beberapa mereka yang dianggap benar disilahkan untuk pulang, sedangkan yang masih ada kesalahan diharuskan memperbaiki terlebih dahulu. Namun meskipun jawabanku dianggap benar Bu Marni tidak langsung menyuruhku pulang. Ia menyuruhku untuk tetap duduk di bangkuku hingga yang lainnya lebih dulu keluar. Aku berfikir kalau ia masih marah padaku, makanya aku masih diharuskan menunggu.

“Harist…”

“Saya Bu,” kataku meragu dan takut.

“Kemari, ada yang ingin Ibu tanyakan sama kamu,” akupun berjalan ke arah meja kerja guru yang terkenal tegas itu, “ini kamu selesaikan di jam istirahat tadi?”

“I.. iya, Bu,” kataku masih takut dan bingung.

“Ruby yang baru masuk kelas satu itu, adikmu?”

“Iya Bu.”

“Ibu fikir kamu sengaja melupakan tugas rumahmu dan malas seperti anak-anak yang lain. Namun dengan apa yang kamu tulis ini, membuat Ibu bangga dengan kesederhanaanmu pada adikmu,” Bu Marni terdiam sesaat, matanya masih menatap serius ke arahku. Hanya saja terlihat sejuk ke arahku, bola matanya yang bening juga seakan bertambah bening dengan air mata yang menggenang di kelopaknya.

“Ibu berharap kamu bisa terus menjaga prestasimu, Nak. Karena dengan prestasimu itu, Ibu yakin kamu bisa membahagiakan ibumu dan terus menjaga amanahnya…”

“Iya Bu,” jawabku yang masih bingung dengan arah pembicaraan ini.

“Maaf kalau tadi pagi, Ibu memarahi kamu Rist,” katanya kemudian, “Ibu hanya ingin kamu tetap menjaga prestasimu, demi masa depanmu kelak. Ibu ingin dari kelas ini lahir anak-anak yang bukan saja pintar tapi juga bisa berbhakti dan membahagiakan kedua orang tuanya.”

“Iya, Bu…”

“Sekarang ambil tasmu, kamu boleh pulang sekarang,” kata Bu Marni seraya menempelkan ujung sapu tanganya di sudut kedua matanya.

“Baik, Bu,” kataku seraya mencium tangannya dan melangkah kembali ke tempat duduku untuk mengambil tasku. Kemudian akupun berpamitan untuk pulang. Sementara itu, Rossi dan adikku Ruby telah menungguku di Warung Mang Kus, penjaga sekolah kami. Kami memang harus melanjutkan rencana menjual jantung pisang kepok temuan kami.

“Kenapa lama sekali Rist, kamu dimarahi Bu Marni lagi?” aku menggeleng seraya tersenyum. “Terus kenapa kamu ditahan tidak boleh pulang?”

“Tidak ada apa-apa, Bu Marni cuma bertanya beberapa hal…”

“Apa itu?” Rossi seperti penasaran sekali dengan apa yang terjadi.

“Sudahlah, tidak perlu kita bahas lagi. Yang jelas Bu Marni tidak marah lagi padaku. Ayo kita ke warung Wak Kad, nanti jantung pisang ini keburu busuk,” kataku memutus percakapan ini.

Berikutnya, kamipun pergi ke arah warung Wak Kad sesuai dengan rencana kami. Sepanjang perjalanan fikiranku terus tertuju pada ucapan Bu Marni tentang tulisanku. Entah apa yang membuatnya berubah setelah ia membaca tulisan sepanjang empat alenea itu. Seingatku aku hanya menuliskan mengapa aku kehilangan lembar kertas karangan masa liburanku. Hanya saja aku menyelipkan kutipan pesan Ibuku pada karangan itu…

“Sebagai kakak, kamu harus bisa menjaga amanah Mimi, yakni menjaga dan merawat adikmu, Ruby. Karena kamu lebih dulu diberi kesempatan hidup oleh Gusti Allah, dan merasakan air susu terakhir dari Mimi sedangkan adikmu tidak. Jadi kalau hanya sebuah buku untuk adikmu, Mimi rasa tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu terima selama ini …”

Dalam tulisanku juga aku ceritakan kalau aku merobek lembar pertama dari buku tulis dan memberikanya pada Ruby. Keeseokan harinya akupun kehilangan lembar kertas tulisanku disebabkan lupa menaruh .

Aku tak tahu apa yang sebenarnya membuat hatiku merasa tenang sesaat, di siang yang panas itu. Yang jelas dengan kejadian itu aku jadi mengerti, kalau sesungguhnya Ibu tengah mengajarkan kami untuk bisa berbagi. Karena hanya kekuatan berbagi seperti itulah harta dan kekuatan kami satu-satunya. Terima kasih Bu, akan selalu kuingat pesan dan amanahmu dalam langkah hidupku…

******


[1] Nadranan = Pesta laut yang diadakan setahun sekali

[2] Wuih, takut sekali diambil ya?

[3] Dengkil = kikil, kulit kerbau atau sapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar