Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Jumat, 21 September 2012

bagian pertama Novel [Bukan] Lelaki Terindah


Satu
Cinta di Serambi Hati

Tepian Gaza, Lima Tahun Sebelum Hari ini

Baru seminggu yang lalu mereka bertemu dan kenalan. Bagi Jeanette, lelaki setampan apapun tidak pernah mengganggunya selama ini. Khususnya bila itu dianggap menghalangi niatnya untuk tetap mengabdi pada kemanusiaan. Ia telah berjanji pada hati dan imanya, kalau ia akan mengabdikan segala yang dimilikinya di jalan Tuhan. Ia telah menyerahkan semuanya itu sejak Mom dan Dad membawanya pada kapel St. Ana dan membaptisnya sebagai anak Tuhan. Sejak itu pula selalu timbul rasa belas dan kasih yang ia curahkan sebagai wujud syukur dan terima kasihnya pada Tuhan. Ia berjanji dan meyakinkan dalam hati, kalau ia telah mengambil jalan Tuhan. Ia tidak akan tergoda dan terbawa pada keindahan dan kenikmatan dunia. Baginya berbagi pada sesama merupakan amanah yang harus ia emban sepanjang hidupnya. Namun sungguh, ia terlupa satu hal ; jika hati tetaplah wilayah Tuhan! Dan hanya Dia yang mampu menggerakannya kemanapun Dia mau. Seperti perkenalan dan perjumpaannya dengan Syahid Salman. Lelaki kalem dan tak banyak bicara itu tiba-tiba saja begitu indah di matanya. Terlebih lagi di dalam hatinya.
Bunga cinta bermekaran di sana.Tak ada yang mampu mengelak jika cinta telah hadir dan menemukan jalanya. Sungguh tidak akan ada yang mampu membendung semuanya itu, meski janji dan sumpah pada Tuhan sekalipun. Karena cinta sejatinya hadir karena izin Tuhan, dan cinta adalah sesuatu yang indah dari semua keindahan yang pernah Tuhan ciptakan. Sejauh apapun Jeanette berlari dan sekuat apapun ia mengelak, kenyataannya cinta tetap hadir di langkahnya kini.
“Tapi dia bukan orang bule sepertiku, dan yang paling kurisaukan, dia seorang muslim. Dia tidak mungkin bisa bersatu denganku dan keluargaku yang nasrani. Aku sangat bingung, Margareth...,” Jeanette menuliskan kalimat terakhirnya pada email yang ia kirim ke Australia sana.
Kebimbangan dan kerisauan seperti itulah yang menahan laju cinta di hatinya. Meski ia sadari cinta pada hakekatnya adalah sesuatu yang bersih dan suci, namun pondasi keimanan yang selama ini dianutnya merupakan pagar teguh yang tak mungkin ia terjang. Ia tak ingin menyakiti Mom dan Dad, dan ia juga tak ingin menyakiti Tuhan.
“Tuhan tidak pernah sakit pada apa yang dipilih hamba-Nya, Jeanette. Dia hanya peduli dengan nilai yang di kerjakan hamba-Nya. Sesuatu yang baik atau sesuatu yang burukah? Dan itu sangat penting bagi-Nya....,” itu jawaban dari email yang Jeanette terima pagi dini hari itu. Margareth memang sahabat dekat Jeanette sejak SMU dulu. Keputusannya untuk menjadi palang merah internasional, telah memisahkan pertemanan keduanya pada jarak yang sedemikian jauh. Margareth yang menetap di Adelaide, Australia, dan Jeanette yang kini mengemban misi kemanusiaan di perbatasan Gaza, Palestina.
Dia tidak pernah sepaham dengan muslim, dia juga tidak begitu peduli dengan agama pengikut Muhammad itu. Yang ia tahu, ia hanya mengabdi pada kemanusiaan. Tak peduli siapa dan apa agamanya, yang penting baginya adalah membantu dan meringankan beban mereka dari penderitaan dunia. Dia juga tak pernah tertarik kegiatan penginjil yang membantu dengan menyebarkan kristenisasi. Baginya kebaikan dan berbagi lebih dari semuanya itu.
“Terima kasih Margareth, kalimatmu sungguh menenangkanku. Aku memang senantiasa berjalan di titian Tuhan, dan engkau makin menguatkan perjuanganku itu. Setelah ini, aku akan sampaikan pada pemuda muslim itu, kalau aku mencintainya. Lebih dari aku mencintai apapun, kecuali jalan Tuhan yang tengah ku tempuh ini...,” begitu balas Jeanette yang ia sampaikan pada sahabatnya di Australia sana.

****

Pagi merekah merah. Mentari memendarkan cahanya di bukit-bukit Gaza yang kini lebih banyak puing dari pada perbukitan hijau dengan zaitunnya. Jeanette baru saja terjaga di bagunan yang mulai menjadi puing di beberapa sisinya. Serangan Israel sebulan lalu memang menjadikan perbatasan Gaza tak lebih dari daerah yang baru saja tertimpa gempa 8 scala richter. Bau mesiu juga masih tercium di sana sini, menggambarkan betapa dahsyatnya bom yang mereka luncurkan saat itu. Meskipun mereka berdalih serangan itu sebagai akibat dari serangan yang telah dilakukan kaum militan Palestina, namun kenyataannya kekejaman kemanusiaan lebih banyak mereka ciptakan. Seolah membenarkan niat genoside terselubung yang mereka kemas dalam bentuk zionisme. Terlebih dengan alasan bodoh dan tak masuk akal, kalau mereka mengaku mengambil kembali tanah yang mereka miliki beberapa abad yang lalu. Sebuah alasan pembenaran yang perlu dipertanyakan hingga kapanpun. Apalagi kenyataannya kuil suci mereka (Sinagog) tak pernah menetap di satu tempat, pada zaman kemunculan agama mereka. Karena kuil suci itu hanya berbentuk gubuk kayu dengan berbagai perlengkapan yang mereka anggap suci.
Meski Jeanette tak memusingkan dengan semuanya itu, hati kecilnya juga terkadang sering bertanya; mengapa ada negara yang perilakunya bagai iblis dan tanpa belas kasihan. Jika memang tujuan mereka hanya ingin merebut tanah Palestina, mengapa harus wanita, anak-anak dan bayi yang menjadi korban? Itu pula yang membuatnya bersikeras untuk tetap bergabung pada  palang merah internasional, sebagai wujud solidaritas kemanusiaan yang diembannya.
Seperti pagi ini, meski kepalanya masih begitu berat karena kantuk dan lelah, ia mampu terbangun dan kembali beraktifitas. Di saat teduh, ia memang selalu melakukan itu. Berdoa di sudut   tempat tidurnya, dengan alkitab dan salib rosario di ujung genggamanya. Hatinya sepenuh ikhlas berdoa untuk keselamatan anak-anak dan wanita Palestina serta perdamaian tanah Gaza. Ia yakin, jika doanya akan terkabul disuatu saat. Setidaknya rasa damai dan tenang yang senantiasa ia dapati manakala ia selesai berdoa. Ia merasa kalau Tuhan berkenan dengan doanya dan itu pertanda jika doanya kelak akan terkabul.
“Assholaatu khairumminannaum... Assholaatu khairumminannaum...”
Jeanette terpaling sejenak dari kekhusyukannya berdoa. Suara yang mengalun dari surau terdekat itu selalu saja menyahuti akhir doa yang ia panjatkan. Lafadz itu seolah menjadi penanda akan hadirnya damai dan tenang dalam hatinya. Ia tahu itu ajakan sholat bagi muslim, bukan untuknya! Akan tetapi, selalu saja rasa damai dan tenangnya hadir setiap kalimat itu berkumandang. Ia tak pernah merasa kalau  gema adzan seperti itu yang membuat hatinya teduh, ia hanya merasa kalau doanyalah yang membuatnya tenang di fajar yang memerah itu.
“Bapa kami yang ada syurga, hanya padamu aku yakin, dan hanya padamu aku bermohon, kalau kelak kedamaian dan kebahagiaan dapat engkau hadirkan bagi kami, aku dan anak-anak Palestina itu... “ Jeanette mengakhiri doanya. Setelah menandakan salib di wajah dan hatinya, iapun bergegas keluar. Menghirup udara pagi yang masih menyisahkan sejuk dan segar sesaat. Jika menjelang siang, semuanya itu akan hilang. Berganti deru tank-tank Israel yang berpatroli dan mengawasi aktifitas kemanusiaan mereka.
Pagi makin menjelang. Mentari mulai bersinar dengan terang. Hari ini, Jeanette akan melanjutkan kegiatannya yang telah di deadline oleh WHO dan UNICEF untuk segera selesai. Mencatat dan menginventarisir data kesehatan ibu dan anak-anak Palestina yang menjadi korban agresi Israel sebulan lalu. Dan juga mendata pusat-pusat budaya Palestina yang masih memungkinkan untuk di lindungi bagi peradaban Palestina kelak. 
Excusme, Has Mr. Gupte stay in there ?” tanya Jeanette malu-malu pada lelaki yang terlihat sibuk dengan instalasi gedung yang masih saja rusak itu.
I’m not sure, tapi saya rasa jam segini dia sudah ada di dalam,” jawab pemuda berbaju kotak-kotak itu kalem. Karena sikapnya yang kalem itulah yang membuat Jeanette selalu mencari cara untuk bisa terus datang ke gedung yang separuh bagiannya ambruk terkena serangan bom Israel itu.
Thanks,” ucap Jeanette ringan, “Oh ya, apa siang ini anda ada waktu?”
Syahid Salman berfikir sejenak, “waktu? Untuk apa ya?”
“Instalasi di bangunan perawatan pasien agak sedikit error, mungkin ada beberapa kabel yang harus dibenahi. Kami sangat menghargai bantuan anda, jika berkenan memperbaiki jaringan tersebut,” Jeanette menemukan alasan bagus untuk bisa bertemu lebih intens.
“Oke, tidak masalah. Insya Allah, siang nanti aku ke bangunan kalian,” ucap Syahid Salman apa adanya. Sesaat tersenyum, kemudian sibuk kembali dengan pekerjaannya. Sementara Jeanette hanya mampu menahan girang dihatinya dengan senyum simpul di ujung bibirnya. Pesona pemuda Indonesia ini memang menggoyahkan pertahanan hatinya untuk tidak terjebak dalam indahnya dunia. Keyakinannya untuk berpasrah diri pada jalan Tuhan, mulai dipertaruhkan dengan binar-binar cinta yang kini mulai berpendar di hatinya.
Thanks, Syahid...”
“Your Wellcome...”
Pagi yang indah. Setidaknya ini yang tengah dirasakan oleh Jeanette. Tidak heran kalau di pagi itu, ia terlihat begitu semangat. Tidak hanya mendata apa yang menjadi tugasnya, akan tetapi juga membantu para medis menangani para korban perang. Senyumnya juga melebar hampir kepada semua orang. Termasuk pada Sayyida, perempuan paruh baya yang baru saja kehilangan dua anak laki-lakinya itu. Membuat keduanya membangun percakapan yang agak panjang dari biasanya.
“Ada apa Anaku, kau terlihat ceria sekali pagi ini?” tanya Sayyida dengan lembut.
“Tidak ada apa-apa Nyonya, saya hanya mencoba menikmati hari ini dengan semangat,” elak Jeanette dengan ringan.
“Hehehehe, kamu tidak bisa bohong denganku, Anaku! Kamu pasti mengalami sesuatu yang luar biasa hari ini...”
“Aah, Nyonya Sayyida, bisa saja. Saya khan hanya mencoba mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikanya hari ini....”
“Sesuatu yang indah yang diberikan-Nya, cintakah itu Anaku?”
Jeanette tak mampu lagi mengelak. Kalimat Sayyida benar-benar membuatnya terdiam dengan bola mata yang berbinar indah. Alamiah wanita, mereka memang tak bisa menyembunyikan sesuatu yang indah dalam hidup mereka. “Ssst, jangan bilang siapa-siapa yaa...”
Sayyida tersenyum simpul, seolah mampu melupakan kedukaannya sejenak. Senyum ceria di bibir gadis bule itu seolah membawanya pada romansa masa lalu, ketika ia juga merasakan hal yang sama ; jatuh cinta!
“Ayo katakan padaku Nak, pemuda mana yang telah merebut hatimu...?” tanya Sayyida separuh berbisik. Jeanette yang merasa telah tertebak makin bersemu merah pipinya.
“Seingatku, cinta yang tumbuh di gadis seusiamu adalah cinta yang lebih dewasa, lebih dari sekedar rasa suka belaka. Aku yakin pasti dia pemuda hebat dan sangat mempesona, sehingga ia mampu membuatmu seperti sekarang ini...,” Sayyida terus berteori tentang rasa dan cinta.
“Sudahlah Nyonya jangan bahas itu lagi, saya jadi malu. Bagaimana luka kakimu?” Jeanettte mengalihkan pembicaraan dengan memeriksa kaki Sayyida yang luka parah terkena pecahan mesiu sebulan lalu. “Saya bersihkan perbanya yaa?”
Sayyida tak lagi berkomentar, ia menyerahkan kakinya untuk dirawat oleh Jeanette. Namun sepanjang perawatan luka, mata Sayyida terus terpaut pada bibir Jeanette yang terus mengulas senyum. Ia yakin begitu besar aura cinta yang tengah dirasakan gadis asal Australia itu. Dan Sayyida betul-betul tak mampu menguasai hatinya untuk segera mengetahui siapa yang tengah bersemayam dalam hati wanita muda ini. Mungkin insting wanita dimana saja sama; selalu ingin tahu tentang asmara!
“Ayo Anaku, kamu bisa percaya padaku. Aku bisa menyimpan rahasiamu kalau memang itu rahasia. Dan aku bisa menjadi penasehat cintamu jika itu perlu...,” bahasa Inggris Sayyida terpatah-patah, namun tetap dimengerti oleh Jeanette.
“Aah, Nyonya, jangan paksa saya, saya belum mampu menceritakan itu sekarang,” Jeanette masih terus mengelak. “Nanti saya cerita kalau sudah tiba saatnya...”
Sayyida tak lagi bisa memaksa, pandangannya kini terpaku lurus pada luka menganga yang ada di kedua kakinya. Kaki yang telah berjuang dan menyelematkannya dari nasib pahit juga menghancurkan kebahagiannya. Dengan kaki itu pula, segala kisah duka kebiadaban Israel pada suami dan kedua anaknya tersimpan. Beruntung, Allah masih memberinya perlindungan sehingga ia selamat dari mortir yang diarahkan Israel ke rumahnya. Meski sekali waktu ia terkadang menyesali, mengapa Allah menyisakan dia hidup sendiri. Namun kehadiran Jeanette yang begitu peduli dan dekat dengannya, membuatnya bertahan hingga hari ini.
Siang beradu waktu. Gaza yang teduh dan tenang ketika pagi mulai terobek dengan hadirnya beberapa tentara Israel yang mondar-mandir di sekeliling mereka. Dengan alasan mencari kaum militan Palestina, mereka memasuki bangunan yang digunakan perawatan orang-orang sakit itu. Pandangan mereka sinis dan cenderung melecehkan. Entah apa yang ada di hati mereka, perasaan puaskah akan perbuatan mereka? Atau juga masih penasaran, karena serangan itu menyisahkan wanita dan anak-anak yang terluka, dan itu menjadi perhatian dunia. Membuat dunia mengecam mereka dan memaksa mereka untuk menghentikan penyerangan mereka terhadap Gaza.
Di siang yang baru saja tergelincir itu, datang seorang pemuda dengan tinggi lelaki kebanyakan bule. Namun kulitnya tidak bule, matanyapun tidak biru atau hijau. Dengan rambut lurus dan hitam lebat, membuat wajahnya sangat berbeda dengan pria bule yang sering menghantarkan perbekalan bagi rumah sakit dadakan ini. Namun senyumnya yang simpatik serta sedikit jenggot di dagunya, membuat lelaki ini menjadi pusat perhatian para wanita yang ada di bangunan separuh rusak itu. Tak terkecuali Jeanette dan Sayyida yang tengah bercengkrama saat itu.
“Itukah pemuda yang ada di hatimu, Nak?” tanya Sayyida perlahan, ketika ia mendapati mata Jeanette yang terpaut lurus tanpa berkedip.
Mendengar itu, Jeanette langsung memalingkan pandangannya dan kembali memegang kaki Sayyidah yang baru saja ia ganti perbannya beberapa jam lalu. Namun karena salah tingkahnya itu, ia malah menggunting dan membuka kembali perban itu.
“Tidak usah salah tingkah begitu Nona Jeanette, perban itu baru saja anda ganti!” ucap Sayyida ringan mencoba mengingatkan ke alfaan sukarelawan kemanusiaan itu. Ia sengaja mengucapkan dialek Inggris baku, untuk menggoda Jeanette. Perempuan muda itupun bersemu makin merah.
“Maaf, ada yang tahu dimana Nona Jeanette?” tanya pemuda itu dalam bahasa Parsi. Tugasnya yang lebih dari tiga tahun membuatnya fasih berbahasa Inggris dan Parsi.
“Dia mencarimu, anaku,” ucap Sayyida girang. Bahasa Parsinya mendadak keluar, menunjukan kegirangan pula dalam hatinya. Apakah ini juga alamiahnya wanita atau entahlah, yang jelas Sayyida merasakan pula keindahan cinta yang tengah dirasakan Jeanette.
“Saya di sini, Syahid...,” ucap Jeanette seraya melambaikan tangan di antara barisan ranjang dan pasien yang tengah dirawatnya.
“Oh disitu rupanya, “ kata Syahid  seraya mendekati arah wanita yang dicarinya, “instalasi mana yang harus aku perbaiki?”
“Mmm... saya kurang yakin yang mana, yang jelas beberapa komputerku tak bisa menyala kemarin...”
“Kemarin?” tanya Syahid  bingung, “kalau sekarang...?”
“Entahlah, saya kurang tahu. Tapi saya berterima kasih kamu mau datang dan mengeceknya,” ucap Jeanette seraya menahan gemuruh di dadanya. Sementara Sayyidah hanya tersenyum simpul meng-amin-kan apa yang ada di hatinya saat ini.
Syahid  bermaksud meninggalkan ruangan itu, karena menganggap semuanya sudah selesai. Namun baru selangkah ia balik kanan dan hendak berjalan, sebuah suara memanggilnya...”
Yaa Muhammad, sudikah jika engkau menemani kami sejenak?” suara Sayyida terdengar. Ia memanggil Syahid  dengan sebutan Muhammad untuk memuji dan menyanjung lelaki muslim pada umumnya.
Maafy, Nyonya memanggil saya?” tanya Syahid  seraya berbalik.
“Benar Anaku, apakah terlalu merepotkanmu untuk tinggal sejenak?”
Syahid  tersenyum simpul, ia kembali berjalan mendekat pada Sayyida dan Jeanette yang makin tersipu malu. Sudah sifatnya selalu hangat dan berbagi pada siapa saja, terlebih lagi pada seorang ibu yang tengah sakit. Ia selalu berharap untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan siapapun. Itu pula yang menjadi alasanya untuk bergabung menjadi sukarelawan di palang merah internasional ini.
“Ada yang bisa saya kerjakan Nyonya?”
“Ada, semoga engkau tak keberatan Anaku,” ucap Sayyida seraya mengulurkan tangannya untuk menjabat genggaman Syahid. “Aku tak tahu sampai kapan umurku, setidaknya dengan kondisi kedua kakiku yang tak juga sembuh ini. Maukah engkau melakukan sesuatu...?”
Syahid  memiringkan kepalanya sesaat, menunjukan ia berfikir dengan pertanyaan aneh dari Sayyida. Namun tak berapa lama iapun mengangguk dan tersenyum, mewakilkan jawaban kesanggupan.
“Jika kelak aku lebih dulu mendahului kalian, maukah engkau menjaga Jeanette untuku?” tanya perempuan paruh baya itu dengan mata berkaca-kaca. Entah apa yang ada di fikiran Sayyida. Yang jelas dengan ekspresinya itu, Syahid  tak mampu berucap apa-apa. Kembali hanya anggukannya yang mampu ia wakilkan. “Berjanjilah Anaku, jika engkau akan menjaga Jeanette yang telah begitu baik pada kami semua...”
“Insya Allah, Nyonya...,” Syahid  menjawab lirih.
“Terima kasih, semoga Allah memberkati kalian semua...”
Setelah itu Syahid  mohon pamit dan melanjutkan kembali tugasnya sebagai teknisi instalasi di barisan sukarelawan. Kemampuannya di bidang teknologi dan engginering membuatnya serba bisa dalam urusan teknis. Sebetulnya dengan kapasitasnya itu, ia bisa diterima oleh perusahaan besar manapun di berbagai negara, namun panggilan hati membawanya untuk mengabdi dan menjadi relawan kemanusiaan. Dan itu terlihat lebih membuatnya nyaman.
“Alhamdulillah, dia memang lelaki yang baik Anaku...” Sayyida berucap syukur.
Jeanette mengira, jika Sayyida hanya sekedar bertak-tik agar ia bisa lebih dekat dengan Syahid. Akan tetapi dugaannya salah, perempuan paruh baya itu terlihat sungguh-sungguh dengan ucapannya. Oleh karena itu, ia mengurungkan niatnya untuk komplen dengan apa yang dilakukan wanita itu. Setidaknya ia memang menangkap ekspresi keseriusan dari Sayyida.
“Mengapa Nyonya melakukan ini?”
“Maaf kalau membuatmu malu Anaku,” Sayyida berucap serius, “aku hanya ingin membalas dan menunjukan rasa terima kasih padamu yang telah berjuang demi kami rakyat Palestina. Jika memang apa yang kulakukan ini tak sebanding dengan pengabdianmu selama ini, semoga Allah akan menggantinya dengan lebih baik...”
Jeanette tak kuasa menahan haru, ia memeluk perempuan paruh baya itu. Sepanajng hidupnya ia tak pernah merasakan kehangatan dan keharuan sebagai ibu dan anak pada Mom atau Dad-nya. Namun hari itu ia merasa kalau Tuhan telah menunjukan sisi indahnya. Dan karena hari itu pula, pandangannya tentang ketulusan dan kasih sayang sebagai seorang muslim mulai berubah. Anggapan yang kasar, bar-bar dan cenderung kejam tak lagi ia temukan mulai saat itu.
Perlahan hatinya makin penuh dengan bunga-bunga cinta. Cinta yang hadir karena rasa, dan cinta yang hadir karena hati telah melewati titiannya. Jeanette merasakan cinta yang seutuhnya yang kini berbunga di serambi hatinya.

********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar