Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Rabu, 17 Maret 2010

02. Ibu, dian yang tak pernah padam di hati....


lima belas tahun yang lalu...


Cuaca masih sangat dingin, selain angin fajar yang masih semilir, keadaan juga terlihat masih temaram. Sesaat perempuan paruh baya itu mengecek perlengkapan yang akan ia bawa di pagi yang masih gelap itu. Cepon, tampah, keranjang hingga beberapa bungkusan diperiksanya dengan teliti, matanya terlihat begitu sendu menerawang. Mungkin ia tengah mengingat sesuatu, atau mungkin juga ia tengah berfikir kemungkinan yang akan ia lewati di hari itu. Tangannya yang keriput dan menampakan usianya yang kian senja tak menghalanginya untuk tetap terlihat gesit. Dengan raut muka yang menua serta beberapa guratan yang melekat jelas di dahinya, menggambarkan kalau perempuan ini adalah sosok pejuang yang keras. Perempuan yang tak pantang menyerah dengan segala kesulitan dan keterbatasan hidupnya.

Namanya Kuminah Binti Kumang, orang-orang biasa memanggilnya Bi Am, tapi sebagian orang-orang di kampung ini biasa memanggilnya Bu Aminah. Mungkin karena nama yang kedua ini lebih familiar dibandingkan dengan nama terlahirnya yang terdengar asing untuk penduduk Kota Cirebon yang nota bene mayoritas pemeluk islam. Pekerjaannya yang menjajakan sayur mayur keliling kampung Pesisir, membuat Bi Am hampir dikenal seluruh pelosok kampung yang terletak di pinggiran Kota Wali ini. Bi Am telah melakoni profesinya lebih dari sepuluh tahun diantara penduduk kampung yang berekonomi menengah ke bawah itu. Ada nelayan, ada pedagang asongan, ada tukang becak, buruh cuci, buruh rotan dan pembuat makanan ringan, selain itu ada juga beberapanya yang pegawai kelurahan dan guru. Sehingga kehadiran Bi Am, bagi mereka semacam “dewi penolong “ harian mereka. Dengan bekal saling percaya, mereka bisa memasak dan mengolah bahan makanan dari barang dagangan Bi Am.

Beberapa dari mereka ada yang bayar bulanan, mingguan ada juga yang harian tetapi sore, jauh menjelang malam. Oleh karena itu selepas berdagang dengan barang bawaan yang lumayan berat, tugas Bi Am tidak segera selesai ketika telah kembali ke rumah. Setelah ia istirahat beberapa saat, menjelang sore, Bi Am kembali berkeliling untuk menagih hutang dari para pelanggan yang memanfaatkan jasanya. Jauh menjelang malam, atau sekitar pukul sembilan, Bi Am baru bisa kembali pulang dan mulai menghitung modal yang kembali untuk bekal berdagang keesokan hari. Bi Am buta huruf, akan tetapi meskipun begitu, ia bisa berhitung dengan mengenali jenis pecahan uang. Bi Am hanya mengandalkan ingatanya untuk mendiktekan kembali hutang-hutang pelanggan kepadaku atau kakaku yang beruntung dapat sekolah.

Semangatnya yang tak kenal lelah itu pula, yang menghantarkan kami tujuh bersaudara dapat bersentuhan dengan baca-tulis. Dua kakaku lulus SD, tiga diantaranya lulus SMP dan STM, begitupun aku dan adikku sudah ditargetkan untuk bisa mencapai SLTA. Ibu tetap berkeras hati menyekolahkan kami semua, karena ia merasakan betul betapa gelapnya hidup tanpa ilmu yang dimiliki. Oleh karena itu meski tubuhnya terlihat tua dan sarat dengan beragam keterbatasan fisik, tak membuat Ibu berhenti membesarkan kami untuk tetap bersemangat sekolah.

“Jangan fikirkan biaya, tugas kalian cuma sekolah. Biarlah Mimi dan kakak-kakakmu yang berjuang untuk memenuhi semua kebutuhan sekolahmu. Kalau cuma tiga bulan SPP saja, Mimi yakin mereka juga tak akan mengeluarkan kalian dari sekolahan,” begitu kalimat Ibu kepada Mba Atin atau Mba Puji ketika mulai malu dengan tunggakan SPP dan memutuskan untuk berhenti sekolah.

Dari hari ke hari, Ibu terus berupaya membesarkan kami dengan semangat untuk hidup lebih maju, tidak gampang menyerah dan berjuang semaksimal mungkin. Ibu selalu berharap agar kemiskinan dan kesengsaraan hidup yang ia rasakan tidak terulang pada kami. Seperti juga ia selalu berharap agar kami mampu meniti hidup kami lebih mandiri kelak.

Bapak kami seorang pelaut, hampir setengah hidupnya berada di laut. Dengan intensitas pulang yang sangat jarang, sekitar setahun atau setahun setengah sekali, membuat Ibu menjadi janda meski ia bersuami. Kehidupan Ibu dilalui hanya bersama kami ke tujuh anaknya. Dengan jumlah uang kiriman yang tak seberapa, Ibu menyambung hidup kami dengan berjualan sayur. Ibu juga menanggung beban biaya yang besar untuk tetap menyekolahkan kami. Oleh karena itu, kakak-kakak kami yang perempuan memutuskan hanya sampai SD atau SMP dan melanjutkan kursus ketrampilan saja. Meski sebetulnya Ibu tidak setuju, mereka meyakinkan Ibu bahwa mereka tetap berupaya untuk mandiri. Dan itu mereka tunjukan dengan mengikuti jejak ibu berjualan keliling kampung, menjajakan kue-kue kecil atau masakan jadi.

Meski begitu, kesusahan dan kemiskinan sepertinya sudah menjadi taqdir keluarga ini. Walaupun kedua kakaku sudah menikah, taraf kehidupan kami tak lebih dari sekedar dapat menyambung hidup. Hingga sekali waktu, kondisi yang jauh dari cukup itu makin terpuruk ketika kiriman uang dari Ayah kami datang terlambat. Modal berdagang ibu yang tidak seberapa itupun lama kelamaan habis untuk membiayai hidup dan sekolah kami. Dari berjualan sayur keliling, Ibu mulai berganti profesi dengan jualan makanan ringan dengan pertimbangan modal yang dibutuhkan tidak begitu besar. Beberapa bulan berjalan, keadaapun semakin terpuruk ketika ternyata Bapak sudah tak bekerja lagi. Beliau terdampar di Thailand karena kapal barang tempat Bapak bekerja terbakar dan tenggelam.

Dalam suratnya yang terakhir kami terima, Bapak sementara ditampung di kedutaan Republik Indonesia di Bangkok sambil menunggu penyelesaian tunjangan dari perusahaan yang berkedudukan di Singapore. Mengingat proses yang sangat panjang, membuat Bapak memutuskan bekerja serabutan agar bisa tetap berkirim uang kepada Ibu. Namun bekerja di negeri orang dengan kondisi tanpa dokumen tinggal yang lengkap membuat Bapak seperti para ‘pendatang haram’ dengan sekian barang dagangan selundupan. Sehari-hari Bapak berjuang menghindari patroli atau sidak beberapa polisi Thailand, untuk tetap bekerja menghasilkan uang. Karena hal itu pula belakangan, Bapak jadi fasih berbahasa Thailand.

Hampir enam bulan, dan sepanjang waktu itulah, kondisi keluarga kami di posisi yang makin terpuruk. Banyak tetangga yang sudah tak mempercayai kami untuk berhutang atau sekedar meminjam beras. Itu pula yang membuat kami berupaya mencari penghasilan untuk membantu Ibu. Tak terkecuali aku dan adiku. Di usia yang masih anak-anak, tak menyurutkan kami untuk membantu Ibu. Awalnya kami bekerja sebagai pembantu di rumah tetangga, dengan pekerjaan membuat es buah dan memasarkannya sebelum atau sepulang sekolah. Namun suatu hari terjadi kehilangan barang berharga dan kami di tuduh mengambil barang tersebut, membuat ibu memutuskan untuk melarang kami bekerja. Meski seminggu kemudian pencuri barang berharga tersebut ditangkap, Ibu tetap tak mengizinkan kami bekerja kembali.

“Sudah tidak usah ikut bekerja, kalian sekolah saja yang pinter. Biar Mimi dan kakak-kakakmu yang mencari uang untuk biaya sekolah dan makan kalian,” mata Ibu berkaca-kaca. Tangannya yang keriput nampak membelai kepalaku dan adiku. Mungkin begitu terasa kegetiran dihatinya, itu kulihat dari bulir bening yang ia sembunyikan dari tulang pipinya yang layu.

Entah apa yang ada dalam fikiranku, yang jelas begitu terasa kekurangan dan kesusahan keluarga ini. Hinaan dan cibiran tetangga begitu terasa meski diusiaku yang belum akhil baliq. Tingkat toleransi yang kurang dan kebersamaan yang mulai luntur, membuat masyarakat di Kampung Pesisir ini jauh dari sikap berbagi. Pernah sekali waktu, Mba Puji pulang dengan menangis. Matanya sembab menahan marah, sedih, dan benci pada keadaan yang dihadapinya. Mba Puji baru pulang dari warung Bu Musri atas perintah Ibu untuk menghutang beras, namun bukan beras yang didapat malah ia dapatkan makian dan cacian. Berangkat dari itu semua, aku tetap memutuskan untuk bekerja membantu ibu. Sifat dasarku yang memang tak pernah mau menyerah dengan keadaan membuatku nekad dengan kondisi yang serba sulit itu.

Awalnya aku hanya ingin mencari uang jajan atau sekedar membiayai SPP yang sering menunggak, namun lambat laun aku mulai merasakan lebih dari apa yang kulakukan. Beberapa rupiah kukumpulkan tanpa sepengatahuan Ibu, beberapa bulan SPP juga kulunasi tanpa memberitahunya. Dari ratusan kardus-kardus bekas, atau besi tua yang kukumpulkan, aku mulai membentuk diriku menjadi pemulung yang mengais rezki dari tumpukan kotoran dan sampah. Siang sepulang sekolah, aku langsung menghambur di lokasi pembuangan sampah yang memang banyak di Kampung Pesisir ini. Keranjang besar dan gancu kusandang dengan sigap. Tak pernah kuhiraukan bau menyengat dan gatal yang kerap menimpa kulit tangan dan kakiku. Hanya satu dalam fikiranku, kalau aku harus bisa mengumpulkan barang-barang bekas yang laku untuk kujual kembali.

Sebulan dua bulan, profesi rahasiaku terus berjalan. Dari tumpukan sampah di seputar Kampung Pesisir, aku mulai berani menyeberang ke kampung-kampung lainnya. Beberapa pemulungpun mulai akrab dengan keberadaanku, mereka menerimaku sebagai sebuah komunitas senasib dan sepenanggungan. Diantara mereka selain beberapa orang yang sudah berusia lanjut, ada bula yang sebaya denganku. Pertemanan kami terbilang akrab, ke sana ke mari kami pergi berdua. Mencari rongsokan, kertas, palstik, timah atau besi-besi tua hingga ke kampung-kampung yang letaknya jauh dari tempat tinggal kami.

Namanya Yatno, dia anak ketiga dari empat bersaudara. Mungkin karena posisinya yang sama denganku, ‘pangais bungsu’, membuat kami memiliki kesamaan. Bukan saja karena memang kondisi keluarga kami yang serba susah, akan tetapi bagi kami yang lahir hampir bungsu memang memiliki standar bersikap dan berfikir yang hampir sama. Kami sangat peduli dengan kesulitan dan kesusahan keluarga . Dan satu lagi yang dimiliki sebagai ‘anak hampir bungsu’ yakni; lain dari lain di antara anggota keluarga. Perbedaan itu sangat terlihat dan terasa oleh siapapun. Dan bagiku , pangais bungsu membuatku selalu berusaha untuk mandiri. Hal itu sama persis seperti yang difikirkan Yatno.

“Aku ingin, suatu saat aku dapat membantu keluargaku Rist. Aku kasihan sama Makne (panggilan ibu dari dialek Tegal) yang terus-terusan menjadi pembantu, aku ingin membahagiakan dia,” begitu ucap Yatno setelah setahun kepergian bapaknya. Sebagai anak yatim, posisi Yatno juga hampir sama denganku yang ber-ayah tetapi entah kapan bisa berkumpul dan ketemu.

“Kamu ingat tidak No, kalau kemarin hasil usaha kita ini sudah mulai menampakan hasil,” kataku menjawab keinginannya, “aku yakin kalau sebagai pemulung, kita juga akan dapat membantu keluarga kita.”

“Benar, Rist. Tapi aku masih melihat cibiran dan pandangan meremehkan dari sekitar kita, dan aku tak mau itu juga terjadi pada Makne. Aku ingin menjadi anak yang bisa dibanggakan keluarga dengan bekerja lebih baik dan terhormat dari apa yang kita lakukan sekarang…”

“Tapi pekerjaan kita ini halal khan, No. Selagi pekerjaan itu halal, kata Pak Ustad Tarjo tetap terhormat,” kataku mencoba meyakinkan, “lagi pula pekerjaan apa sih yang bisa dilakukan untuk anak seumuran kita?”

“Sekarang belum Rist, tapi nanti! Pokoknya aku tidak mau terus menjadi pemulung seperti ini, aku ingin pekerjaan yang lebih baik untuk Makne. Aku ingin ia tidak menyesal melahirkan dan membesarkan aku…”

Kami terdiam, sibuk dengan fikiran kami masing-masing. Aku sendiri terbius dengan kalimat terakhir yang diucapkan teman sepermainanku itu. Aku juga tak ingin menjadi anak yang disesali kelahirannya oleh ibuku. Aku ingin ia tersenyum bangga akan apa yang dapat kulakukan untuknya. Cara pandang Yatno membuatku makin yakin dengan apa yang kufikirkan selama ini, kalau aku akan terus berusaha, apapun itu, untuk kebanggaan dan kebahagiaan ibuku. Aku ingin Ibu tak menyesal melahirkan dan membesarkan aku.

“Gerobak datang!!!” sebuah suara membuyarkan lamunan kami. Suara itu memberikan isyarat akan datangnya gerobak yang membawa sampah. Membawa sekian banyak harapan hidup bagi kami. Sisa-sisa kotoran dan sampah itu pula yang membawa harapan kebanggaan dan kebahagiaan ibuku. Aku akan berjuang mengumpulkan semua yang dapat aku jual untuk membeli keinginan dan harapanku. Aku akan tetap semangat mengais limbah-limbah itu untuk mendapatkan ribuan mimpiku.

Kusandang keranjang besar yang terbuat dari anyaman bambu ini, sementara gancu dengan ujung yang runcing melengkung dengan erat kugenggam. Aku harus mendapatkan ‘komoditi’ hidupku dengan benda itu. Kulihat begitu pula beberapa orang pemulung yang mendadak sibuk dengan ‘syurga impian’ mereka. Terlihat jelas wajah semangat dan sumringah mereka menerimai ‘anugerah’ hari ini. Beberapa diantaranya malah terlihat tertawa bersorak menemukan sesuatu, sebagian lagi bersemangat mencari dan mencoba mengungguli. Begitu pula aku, gancuku tak pernah berhenti mengaduk-aduk tumpukan sampah dari gerobak . Ribuan harapan kutumpahkan pada onggokan benda-benda yang telah menebarkan bau busuk menyengat ini. Plastik, kardus, botol minuman, atau bekas odol semuanya kukumpulkan dengan perjuangan dan perebutan antar gancu. Ada senang, kecewa, kesal dan tawa diantara kami para pemulung. Yang jelas semuanya itu menjadi bagian yang tak pernah lekang di sore yang menjelang senja itu.

Beberapa bulan kemudian, ibuku tahu kalau selama ini setiap pulang sekolah ternyata aku bermain di kubangan sampah seperti ini. Seperti biasa, air matanya mengalir dengan pandangan yang penuh haru. Entah apa yang difikirkannya, yang jelas kalimatnya begitu lirih. Mengharapkanku untuk berhenti dari kegiatan mengais sampah.

Mimi tidak marah Rist, tapi Mimi juga khan sudah bilang, kalau kamu belum saatnya untuk melakukan semuanya itu. Biar Mimi dan kakakmu yang bekerja, kalau Harist mau bayar SPP bilang saja. Atau kalau mau jajan juga bilang saja….”

“Harist minta maaf Mi, Haris tidak menuruti Mimi…”

Perempuan tua itu merangkul dan memeluku erat sekali, meski sangat halus aku dapat mendengarkan isak yang tertahan di bibirnya. Hatiku bergemuruh, entah mengapa. Sepertinya aku dapat merasakan pahitnya kenyataan yang tengah ibu rasakan meski di usiaku yang masih anak-anak ini. Perlahan-lahan, akupun berjanji di hatiku kalau aku takan pernah membuat ibuku menangis lagi. Aku berjanji takan membiarkan air matanya mengalir kembali di pipinya .

%%%%%%

Aku juga tak tahu, bagaimana awalnya, yang jelas suasana siang itu sangat kacau sekali. Sekelompok orang berasal dari satu keluarga nampak datang dengan emosi dan cacian yang tak terkendali ke rumah sempit kami. Mereka terdiri dari suami istri dan ketiga anak-anaknya yang berteriak seolah ingin merobohkan rumah kami yang sudah reyot ini.

“Heh, Am! Kalau kamu sudah tidak sanggup mendidik anak kamu, biar saya yang ngurus! Dasar keluarga brengsek!!!” seorang perempuan berperawakan gemuk nampak berteriak penuh emosi.

“Bawa keluar anak kamu yang sok jago itu! Ini, ayo hadapi saya kalau berani!!!” sang suami berteriak tak kalah sengitnya. Sementara ketiga anaknya mulai melempari batu ke rumah kami.

Badanku gemetar, kutahan langkah kakiku memasuki rumah yang tengah diteror tanpa ampun itu. Bingung, takut dan marah bercampur dalam kepalaku. Ingin rasanya aku berteriak dan menghajar mereka, namun aku tak tahu bagaimana. Anak sekecil aku menghadapi lima orang dewasa yang tengah diliputi amarah. Hampir saja aku pergi menjauh dari halaman rumahku, kalau saja aku tak melihat ibu dan Mba Atin yang berteriak-teriak minta tolong.

“Bawa keluar anak laki-laki kamu itu, biar saya hajar sekalian!”

“Ampun Pak Sersan, ampuni anak saya. Biar saya yang akan menghukumnya..” kata ibuku memelas. Tangannya yang keriput terlihat berusaha mencegah lima orang anggota keluarga itu masuk ke dalam rumah. Namun apalah artinya tubuh ibu yang ringkih dibandingkan lima orang yang tengah diliputi emosi itu. Mba Atin mencoba membantu namun yang terjadi malah makin kacau, terjadilah pergulatan yang tidak berimbang. Ibu yang dijambak oleh perempuan yang berperawakan gemuk itu dibantu suaminya yang berpakaian militer dan bertampang sangar. Sementara Mba Atin nampak kewalahan menerima cakaran, pukulan dan jambakan tiga orang anak keluarga yang terdiri dua lelaki satu perempuan itu. Melihat itu, Mas Adi yang sedari tadi bersembunyi, keluar dan ikut dalam pergumulan dua keluarga. Aku sendiri tak tahu harus berbuat apa. Tubuhku gemetar tak mampu bergerak.

Saat cheos seperti itulah Yatno teriak padaku untuk lari ke rumah Pak RT agar bisa menghentikan perkelahian tak imbang ini. Tanpa fikir panjang, akupun segera berlari dan menuruti teriakan Yatno. Hingga tak beberapa lama aku kembali dengan Pak RT dan beberapa warga. Keadaan sudah sangat kacau ketika sampai di sana. Rambut ibu dan Mba Atin terlihat acak-acakan, sementara beberapa luka cakar dan goresan menghiasi pula wajahnya. Mas Adi malah lebih parah lagi, kepalanya bocor entah dipukul pakai apa.

Melihat kondisi seperti itu, Pak RT dan para warga segera memberikan pertolongan dan menghentikan perkelahian. Malamnya keluarga kami dan keluarga penyerangpun di sidang. Banyak ungkapan dan anggapan yang memojokan keluargaku, mereka semua seolah menyalahkan ibuku yang tak becus mendidik anak sehingga terjadi perkelahian antara Mas Adi dan anak keluarga ‘tentara’ itu. Sebetulnya semua itu berawal dari saling ejek antara Mas Adi dan Nono tentang hasil pertandingan volly antar sekolah mereka. Namun karena terlalu jauh saling ejek, kegiatanpun berlanjut ke perkelahian yang hasilnya kepala Nono benjol terkena pukulan kakaku.

Sebagai keluarga yang tak utuh, posisi kami terkadang selalu menjadi pihak yang dilemahkan. Sedikit sekali pembelaan bagi kami, bagi ibu yang memang buta huruf dan lebih banyak tak mengerti. Seperti peristiwa yang baru saja terjadi ini. Sebagian besar warga hanya melihat sisi negative dan dampak buruk dari kelakuan kakakku, sementara luka-luka kami akibat penyerangan keluarga tersebut hanya dianggap sebagai reaksi dari aksi Mas Adi. Ujung-ujungnya, mereka menuntut Ibu untuk membiayai perobatan Nono tanpa mendapatkan keadilan bahwa kami juga di pihak yang dirugikan.

“Maafkan keluarga kami, Pak. Saya berjanji hal ini tidak akan terulang lagi…” demikian kalimat terakhir ibu sebelum pamit dari ruangan sidang Bale Kampung ini.

Hari berikutnya, ibu terlihat sangat murung dan pendiam. Ia juga mendidik kami dengan keras! Bagi ibu, lebih baik begitu daripada harus menerima konsukuensi dipermalukan oleh warga. Ibu tak lagi menerima alasan kami untuk terlibat pertikaian sekecil apapun, meski kami di posisi yang benar. Hingga puncaknya, begitu banyak warga yang mulai mengucilkan kami. Ini dapat kuarasakan, meski diusiaku yang masih anak-anak. Setidaknya Ibu memang sudah tidak dianggap lagi oleh warga. Mereka hanya melihat kejelekan kakak kami, tanpa melihat betapa dulu Ibu sangat membantu warga dengan barang dagangannya. Dan itu terus berlarut, hingga kami betul-betul merasa terpojok di lingkungan tempat tinggal kami sendiri.

Di saat seperti itulah, baru kurasakan begitu pentingnya sosok ayah bagi kami. Sosok kepala keluarga yang keberadaannya merupakan tiang penyangga, tameng pelindung dan atap yang mengayomi. Namun keterbatasan kami, membuat semua keinginan itu hanya mimpi yang entah kapan bisa kami dapati. Hingga kenyataan membuat kami benar-benar harus menerima, kalau hanya sosok seorang ibu yang dapat mewakili semua keinginan itu. Ibu yang menentramkan kegalauan kami, Ibu yang menenangkan rasa takut dan kecewa kami, dan Ibu yang membuat kami belajar menerimai semua kenyataan ini. Ibu, sosokmu bagai dian yang tak pernah padam di hati kami…

%%%%%%

Tidak ada komentar:

Posting Komentar