Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Selasa, 26 Februari 2013

[Bukan] Lelaki Terindah...

Sebuah trailerbooks dari [Bukan] Lelaki Terindah yang indah....


KIDB dalam sebuah trailerbook

Kudekap Ibu Di Sisi Baitullah, untuk siapapun yang tengah berikhtiar untuk Ibu, yakinlah selalu akan ada jalan untuk sebuah cinta...

Dari studio MNC TV

Sebuah Cuplikan Takbir Takbir Cinta


Kudekap Ibu Di Sisi Baitullah

Di tangan mereka, TTC 3 (Kudekap Ibu Di Sisi Baitullah) memberikan cerita yang berbeda... subhanallah!










Kudekap Ibu Di Sisi Baitullah







Di tangan para pembaca, TTC 3 memberikan kisah yang berbeda...

Bagian ke Enam dari Rembulan di Titian Pagi





6.  Dan Tanggung  Jawab Itu


Minggu pagi seperti ini, suasana rumah kecil kami mendadak ramai. Bukan karena ada syukuran atau perhelatan, akan tetapi karena ketiga adiku pulang dan melepas liburan mereka bersamaku. Setelah satu minggu hidup di pondok pesantren, hari Minggu seperti inilah saat kami melepas kangen dan rindu diantara kami. Saat seperti ini pula saat kurasakan betapa keakraban dan kasih sayang hadir diantara kami. Meski di posisi yatim piatu seperti ini, kebahagiaan dan kedamaian hadir bila kami dapat duduk dan bercengkarama bersama.
Faiz sibuk menyiapkan kayu bakar untuk tungku masak hari itu, sementara Salam sibuk dengan ikan mas pesanannya. Hari itu mereka sengaja reques padaku untuk menyisakan beberapa ekor ikan mas untuk di bakar pagi itu. Untuk itu aku sengaja menyisakannya untuk makan kami pagi ini. Salam sangat cekatan dalam mengolah ikan, dari membuang sisiknya hingga membersihkan kotoran bagian dalamnya. Sayatannya juga rapi dan melingkar pada jalur yang seharusnya. Selain kerjaanya rapi, Salam sangat telaten dengan sisa-sisa kotoran ikan, sehingga sisa pekerjaannya tidak menimbulkan baru amis yang menyebar. Biasanya ia selalu menyiapkan  jeruk nipisnya sebelum mulai bekerja, sehingga ketika selesai dapur yang seadanya ini tetap terlihat rapih dan nyaman.
Berbeda dengan Salam, Ucu memiliki kelebihan tersendiri. Dia sangat mirip dengan Ibu. Setiap bekerja selalu menyediakan tempat sampah yang diletakan mengikuti kemana ia berada. Jadi ketika meracik sayur, bumbu atau apapun di dapur selalu bersih dan tak meninggalkan sampah. Ucu juga sangat cermat dalam memanfaatkan bahan-bahan masakan atau bumbu dapur. Setiap sisa garam, terasi, cabe  atau bawang ia simpan dengan rapi. Ia juga sangat hapal dimana letak kesemuanya itu, tidak seperti aku yang selalu sibuk mencari letak bumbu atau bahan masakan, meski aku berada di rumah lebih  lama dibandingkan mereka.
Diantara ketiga adiku yang terlihat agak kurang cekatan memang Faiz, ia lebih menunjukan bakat dan minatnya dalam dunia pergaulan. Diantara kami sekeluarga, Faiz memang agak beda sendiri. Kami yang rata-rata agak pemalu tak berlaku bagi Faiz. Ia terlihat sangat supel, periang dan gampang akrab dengan siapa saja. Tak heran kalau di usianya yang baru menginjak lima belas tahun, namun sering dilibatkan dalam beberapa kegiatan kepemudaan di kampung Kadupandak ini. Teman-temannya juga banyak, bukan saja dari satu pondoknya, akan tetapi juga beberapa pondok pesantren yang  tersebar di seluruh wilayah kecamatan.  Berangkat dari semua itulah, Salam memiliki kapasitas lebih dari sekedar santri dan pelajar tsanawiyah. Ia pandai di bidang organisasi, kepemudaan, kemasyarakatan juga sedikit dunia politik. Kadang-kadang kalau sedang bercengkerama denganku, ulasan atau opininya tentang perkembangan zaman atau pemerintahan sangat tajam dan dalam. Tak jarang kalau banyak kata-kata asing atau istilah kata yang aku dapat darinya. Pendek kata, dibalik kekurangcekatannya bekerja, Faiz memiliki kapasitas lain yang berbeda dari kami semua.
“Hidup ini harus mampu menganalisa kondisi dan keadaan secara kompleks Kang. Kita mesti  mampu membaca apa yang tengah berlaku dalam hidup ini, entah itu dunia bisnis, pemerintahan, politik ataupun hukum dan kemasyarakatan…,” demikian ucapnya bila sedang berbicara dengan kami.
“Memang kalau kita paham dengan semuanya itu, kita bisa makan kenyang, Kang?” tanya Ucu mencoba menyambung percakapan.
“Yaa tidak secara langsung, Cu. Tapi dengan menguasai semuanya itu, kita akan dapat bersikap dan bertindak dengan keputusan terbaik. Meminimalkan resiko dan terhindar dari kerugian besar…”
“Ah, gayanya seperti yang pakar aja. Kemarin saja harus dihukum KH. Jamaksary karena ngga hafal tamsil qur’an,” Salam yang agak cemburu mulai membuka kontra dengan adiknya.
“Yaa itu khan hanya sementara, bisa diperbaiki dan dimaksimalkan di kemudian hari. Dengan analisa yang baik dan memperbaiki setiap kekurangan, saya juga akan segera bisa menghapal tugas dari KH. Jamaksary….,” Faiz masih sibuk dengan retorika hidupnya. Tak bisa kupungkiri, kalau semangat hidupnya sangat bergelora bila sudah berbicara tentang analisa politik dan manajemen. Meski aku sebenarnya tidak yakin dengan semangatnya itu. Bukan apa-apa, untuk dapat melanjutkan semangat seperti itu, setidaknya ia harus bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, sedangkan kondsi keluarga ini? Aaah… mudah-mudahan aku sanggup menghantarkan semangat dan gelora jiwa mereka meraih cita-cita mereka.
“Memang kalau sudah lulus nanti, Kang Faiz mau jadi apa?” Ucu bertanya sambil mengupas bawang.
“Yaa jadi Birokrat lah, kalau ngga jadi Menteri atau Gubernur, yaa anggota dewan juga boleh. Mereka khan gajinya besar, nanti kita semua bisa hidup enak dengan gaji Kang Faiz…”
“Amiin…,” aku berseru dari ruang tengah rumah bilik ini. Setidaknya meski hal itu sangat jauh dari mimpi kami, namun semangat adiku memang sangat tulus untuk keluarga ini. Semoga Allah bisa menjaga semangat kami dalam meraih semuanyan itu.
“Jadi Anggota Dewannya sih boleh-boleh aja, tapi mana kayu bakarnya? Ikannya sudah selesai di bersihkan nihh, jadi ngga manggang ikan masnya?” Salam tiba-tiba keluar dari kamar mandi.
Mendengar itu, Faiz terlihat celingukan berusaha menemukan kayu bakar hasil karyanya. Tak berapa lama jarinya menunjuk pada tumpukan kayu yang belum banyak di cacah sebagai bahan bakar. Satu hal yang ia sadari sekarang, ia belum bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Melihat itu, aku dan Ucu tertawa menanggapinya. Sementara Salam dengan cemberut merebut golok yang sedari tadi hanya dipakai aksen bicara adiknya.
“Makanya jangan omongan aja yang dibesarkan!” seru Salam masih dengan cemberut.
“Habis Ucu sih, ngajak ngobrol terus…”
“Yaa koq jadi nyalahin Ucu!?” kini giliran adik bungsuku yang ikut cemberut.
“Sudah-sudah, biar Kang Faridz yang bikin kayu bakarnya,” kataku melerai kondisi yang mulai memanas. Jauh di dalam hatiku tersenyum geli dengan kondisi seperti ini. Meski ini tak mudah, namun aku merasakan bahagia dengan segala tingkah mereka. Sejak kepergian kedua orang tuaku, memang hanya tingkah merekalah yang senantiasa membuatku tersadar kalau aku telah menjadi orang tua kini. Individu yang dipandang mapan dan bertanggung jawab untuk dapat melindungi dan mencukupi kebutuhan mereka.

Kami baru saja akan melahap nasi hangat dengan ikan mas bakar ketika tiba-tiba pintu rumah bilik ini diketuk dari luar. Suaranya agak tergesa-gesa, entah siapa orang yang datang dengan kondisi seperti itu.   Aku menatap penuh tanya kea rah Salam yang sedari tadi ikut mendengarkan, tanpa kusuruh anak itu langsung beranjak menuju pintu depan rumah. Kami semua berada dalam tanya, ada apa dengan orang yang datang ke rumah bilik kami.
“Assallamu allaikum, Kang Faridz, Kangg….,” suara dari  terdengar makin keras. “Kang, Kang Faridz….!!!”
“ Wa allaikum salam,” suara Salam terdengar,  berbarengan derit pintu dari albasiah ini, “Kang Ujang, ada apa Kang?”
“Anu, saya ada perlu dengan kakakmu, Kang Faridz ada?” tanya lelaki yang sedari tadi mengetuk pintu dengan tergesa-gesa itu. Intonasinya sangat berat dan gemetar seolah memendam permasalahan yang serius.
“A.. ada, di dalam. Memang ada apa?”
“Bisa saya ketemu kakakmu sebentar?”
“Bisa, bisa,” terdengar salam ikut terbawa suasana, “mari masuk Kang…”
“Ada siapa, Yi?” tanyaku dari arah tengah rumah ini, “suruh masuk  ke dalam.”
Lelaki yang dipanggil Ujang itu, langsung masuk dan menemuiku yang tengah duduk bersila menghadapi sebakul nasi hangat dan beberapa ikan mas bakar. Tatapannya sangat serius dan menyiratkan ketakutan, entah apa yang tengah dialami lelaki yang hanya terpaut umur satu tahun denganku itu.
Aya naon Jang?”[1]
Aduh Kang, tulungan abdi Kang. Tulungan abdi…”[2]
“Iya ada apa, ceritakan dulu!” kataku yang mendadak ikut cemas. Melihat itu Ucu cekatan membawakan segelas air minum ke arahnya. “Sok ngaleueut heula, sina tenang…[3]
Sesaat lelaki yang berprofesi sebagai tukang ojek di kampung kami itu meminum air putih yang disodorkan Ucu dan seketika nafasnya yang tak beraturan mulai bisa ia kendalikan.
“Sudah tenang?” tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan singkat, “sok ceritakeun, aya naon Jang?”[4]
“Anak saya Kang, si Melati badannya panas sekali, sudah tiga hari ini….,”  lelaki berperawakan gempal itu mendadak dramatis menceritakan anak semata wayangnya, “saya takut ada apa-apa dengan Melati, Kang…”
“Sudah dibawa kepuskesmas?”
“Sudah Kang, tapi hanya diberi obat saja. Dan dua hari terakhir ini panasnya makin menjadi, saya takut ada apa-apa dengan Melati. Saya ingin membawanya ke rumah sakit umum…”
“Lalu kenapa malah kamu datang kemari Jang, ayo cepat kita bawa ke sana,” kataku yang ikut bingung dengan kondisi seperti itu. Kuakui aku belum pernah mengalami apa yang dialami Ujang sekarang, jadi kalau harus jujur mungkin kepanikanku malah lebih besar dari orang tua bocah yang sedang sakit ini.
“Yeee akang mah, kenapa jadi ikut bingung seperti itu sih?” tiba-tiba Faiz menyadarkan sikapku yang jadi lebih bingung daripada Ujang.
“Iya nih, Kang Faridz. Sudah sekarang dimana Melatinya, Kang?” Salam ikut menyambung percakapan. Dari keempat bersaudara, dia memang tergolong paling tenang dalam menghadapi segala situasi.
“Di rumah Lam, saya tinggal dirumah…”
“Kenapa di tinggal di rumah, kang bisa dibawa ke rumah sakit dulu baru akang kesini,” Faiz masih sibuk mengomentari.
“Itu masalahnya Iz, saya ngga punya uang sepeserpun, saya takut rumah sakit menolak anak saya…,” suara Ujang makin parau menceritakan apa yang tengah dialaminya. Itu suara kekalutan dari seorang ayah yang tengah bingung dengan kondisi keselamatan anaknya. Aku makin bisa memahami mengapa Ujang jadi error seperti itu, meninggalkan anak dan istrinya bukan ke Mantri kesehatan, atau ke dokter malah datang kepadaku.
“Sudah, sekarang ayo jemput anak dan istrimu, sementara aku dan Faiz akan mendahului ke Rumah Sakit Umum ,” kataku mengambil keputusan. “Salam, Ucu, kalian tunggu rumah ya, Akang dengan Faiz ke rumah sakit sekarang…”
“Tapi Kang…”
“Sudah, kita bahas nanti,” kataku seraya bergerak menuju ke dalam kamar untuk mengambil dompet kopiahku. Ini akan jadi pengalaman yang terbaik bagiku sebagai orang tua, fikirku. Bertindak cepat dan tepat untuk kondisi yang serba genting seperti ini.
Tak berapa lama, aku dan Faiz telah sampai di ruang UGD untuk menjaga segala kemungkinan. Aku lebih memilih melakukan semua ini karena seperti yang kudengar, untuk hari libur seperti ini, terkadang UGD juga kurang bisa diandalkan. Aku ingin memastikan perawat atau dokter jaga stanby ketika Ujang dan anaknya sampai di ruangan gawat darurat itu.
“Yaa saya bisa mengerti, tapi mana yang sakitnya?” tanya seorang lelaki dengan pakaian perawat.
“Sebentar lagi, Pak. Tolong jangan pergi dulu,” kataku yang ikut-ikutan error.
“Lah, kalau yang sakitnya belum ada, apa yang bisa saya lakukan di sini?”  kata lelaki itu lagi, “didalam banyak pasien yang harus saya cek dan saya rekomendasikan ke kamar-kamar rawat inap.”
“Tapi pak…”
“Itu! Itu Kang Ujang datang membawa Melati….,” teriak Faiz menyela pembicaraan kami.
Mendadak aku dan lelaki perawat itu bergegas menghampiri motor ojek yang membawa perempuan kecil dan ibunya. Dan tak ketingglan pula seorang perawat lagi bergegas membawa ranjang dorong ke arah kami. Sesaat kami melihat wajah perempuan kecil yang sudah sangat pucat dengan kesadaran yang hampir hilang dari tubuh ringkihnya. Aku beristigfar tak putus-putus dalam hati, sungguh ini pemandangan yang tak pernah kualami sebelumnya. Tubuh dan hatiku mendadak ngilu dan tak mampu berbuat apapun.
Sementara dua lelaki berpakaian perawat terlihat lebih cekatan dibandingkan kami. Ia langsung membaringkan Melati di ranjang dorong, memeriksa urat nadi gadis kecil itu, dan langsung memeriksa bagian lengannya. Detik berikutnya mereka dengan cekatan pula memasangkan masker oksigen dan membuat aliran infuse dari punggung tangan Melati yang sudah sangat kurus itu. Setelah mengalirkan oksigen dan cairan infuse ke vena tangan gadis kecil itu, merekapun segera mengambil sampel darah dari lipatan lengannya untuk diuji di laboratorium. Tindakan cepat dan tegas itu sejenak menenangkan kami terutama Ujang yang sudah tak ‘berbentuk’ itu.

Beberapa saat berlalu, saat-saat kalut dan cemas itu mulai berangsur pergi. Kini tinggalah kami yang menunggu dalam diam ketika tetes-tetes cairan infuse mulai memasuki  seluruh tubuh gadis kecil itu. Kesadarannyapun mulai pulih, ia sudah mulai bisa menangis dan merengek pada ibunya. Gadis empat tahun itu mulai menunjukan perkembangannya. Ujang masih duduk terpaku dengan memeluk lutut di sudut kamar rumah sakit kelas tiga ini, berbarengan dengan beberapa orang tua pasien yang juga dalam suasana gundah. Tidak hanya memikirkan kesembuhan sanak keluarga mereka, tapi juga gundah akan besarnya biaya perawatan yang kelak harus mereka bayar. Meski Negara ini telah merdeka lebih dari enam puluh tahun, namun kecemasan akan adanya perobatan dan kesehatan yang murah dan layak memang masih menjadi mimpi bagi sebagian besar orang miskin seperti kami. Benar memang, kalau katanya pemerintah telah memprogramkan bantuan pengobatan     bagi kaum miskin seperti kami, tapi entah dimana benang merahnya, rasanya program yang satu itu masih jauh dari harapan. Kesehatan dan pengobatan murah rasanya betul-betul masih sekedar slogan saja bagi masyarakat miskin.
“Bagaimana keadaan Melati, Jang?”
“Mereka belum bisa memastikan penyakitnya Kang, baru sekedar menyatakan kalau Melati suspect Demam Berdarah. Hasilnya baru positif setelah hasil lab dari sampel darah Melati dibaca oleh dokter besok…” Ujang mencoba menjelaskan. Sementara istrinya hanya bisa diam berkaca-kaca seraya membelai rambut anak kecil mereka.
“Yaah… mudah-mudahan ada kabar baik untuk kita besok Jang,” kataku mencoba menenangkan. “Kalau ngga ada yang ingin disampaikan lagi, saya izin pamit dulu Jang. Hari sudah sore, Ucu, Faiz dan Salam mungkin akan kembali ke pondok. Saya harus melepas mereka dulu…”
“Ooh, iya! Iya Kang, terima kasih…”
“Kalau ada apa-apa, bilang saja jangan sungkan….”
“Iya Kang, terima kasih atas segala bantuan Kang Faridz…”
Aku menepuk punggung tukang ojek langgananku itu. Aku hanya ingin sedikit menenangkan seorang bapak yang tengah dirundung malang ini. Jauh di lubuk hatiku berdoa, kalau Allah mengijabah doa mereka untuk mengembalikan kesehatan Melati. Setelah memberikan sedikit uang jaminan perawatan dan membayar beberapa administrasi pasien, akupun pamit meninggalkan keluarga muda itu. Aku harus pulang dan bersiap melepas ketiga adiku kembali ke lingkungan pondok, karena setiap malam senin aka nada pengecekan anggota pondok dari para pengurus.
Sesaat aku terdiam, ada yang terlupa dalam fikiranku. Yah, aku memang benar-benar lupa, kalau besok Senin adalah awal bulan dan itu berarti saatnya aku memberikan infak operasional pondok, sekaligus bantuan untuk makanan sehari-hari ketiga adiku. Tapi uang yang kutabung selama sebulan ini, sudah aku serahkan untuk jaminan perawatan dan perobatan Melati. Lalu bagaimana dengan biaya ketiga adiku? Yaa Allah, mengapa harus seperti ini…
Ashar terlewat beberapa saat lalu, namun aku masih duduk terpekur di dalam kamar kecilku. Di atas sajadah yang telah lapuk itu, aku masih terus berfikir diantara lafadz dzikir yang tak jua kuselesaikan. Entah apa yang harus kulakukan ketika sekian besar tanggung jawab yang kuemban ternyata tak selalu berbanding lurus dengan kemampuan yang kumiliki. Dan hari ini adalah saat semuanya itu sangat nyata dihadapanku, aku mulai rapuh dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Yang jelas hanya satu yang  kuharap kini, semoga Allah berkenan memberikan pertolongan-Nya padaku yang tengah bingung ini.
“Yaa Allah, jika karena menolong saudaraku Ujang membuat hatiku menjadi sempit dan merasakan kesusahan akan hidupku, maka berilah aku petunjuk bahwa aku memang salah. Berilah aku petunjuk kalau aku memang tak tepat melaksanakan amanah-Mu. Karena sesungguhnya, aku melakukan semuanya itu hanya karena hendak mengemban amanah dan titah-Mu untuk saling berbagi. Aku hanya ingin mencoba membantu hamba-Mu yang tengah dalam kesulitan, Yaa Allah…
Namun bila  karena menolong saudaraku Ujang adalah hal yang benar, maka kiranya Engkau berkenan melapangkan hatiku dan mengurangi kebimbangan hatiku akan kesusahanku,  Yaa Allah… karena keihlasanku menolongnya, benar-benar ada di hatiku. Aku tak berharap apapun selain hanya karena keridhoaan-Mu…….” air mataku menitik ketika doa terakhir itu kuucapkan.  Meski kutahan untuk tak terisak, namun  bulir bening itu seperti mewakili segala kegundahanku. Semoga Allah berkenan mengijabah doa tulusku…

“Kang, sudah hampir maghrib. Kami mau pamit ke pondok…,” suara Faiz nampak terdengar dari balik kain penutup kamarku. “Kami takut kemalaman di jalan, nanti ngga ada ojek lagi…”
“Iya, tunggu sebentar, Yi…,” kataku dalam kamar. Aku masih belum tahu apa yang akan kuucapkan pada ketiga adiku itu, bila bekal yang telah kupersiapkan selama ini telah aku berikan untuk membantu Ujang. “Akang rapihkan baju sebentar…”
Tak lama aku keluar dan menemukan ketiga adiku yang telah tegak berdiri di depan kamarku. Mereka semua sudah lengkap dengan tas ransel masing-masing, mereka memang telah bersiap lama untuk kembali ke pondok pesantren. Aku menatap wajah mereka satu per satu, ada rasa lain dari yang bisaanya. Rasa berat dan pahit akan kenyataan yang akan kuucapkan pada mereka.
“Akang sakit…?” Ucu membuka keheningan sesaat diantara kami.
“Akang terlihat pucat sekali, masuk angin yah? Saya kerik dulu Kang…,” giliran Salam ikut menambahi.
“Ngga, Akang ngga apa-apa Yi,” kataku segera menghilangkan kerisauan tanya mereka, “hanya sedikit capek saja…”
“Kami mau pamit, Kang. Kami mau kembali ke pondok…,” Faiz agak terbata berucap. Dia terlihat ingin memastikan kalau sore menjelang maghrib itu tak ada yang perlu dikhawatirkan kakaknya…
“Iya, Akang tahu, Akang hanya ingin….”
Belum selesai aku berucap, tiba-tiba sebuah suara mengejutkan terdengar dari arah luar rumah bilik ini. Suaranya terdengar sangat berat dan tak asing di telingkaku.
“Assallamu ‘allaikum… Rid, Faridz…”
“Wa allaikum salam,”  jawabku seraya bergerak menuju arah pintu depan dan membukanya, “Mang Janah, ada apa Mang…?”
“Begini Rid, boleh Mamang ngomong di dalam…”
“Oh iya, Mang. Mari masuk, maaf saya lupa mempersilahkan…,” kataku seraya membuka pintu kayu ini lebar-lebar. Kemudian dengan bahasa isyarat aku meminta Ucu untuk mengambilkan air minum untuk tamu pelanggan almarhum ayahku itu.
“Diminum dulu, Mang,” kataku menawarkan air putih yang dihantarkan Ucu dari belakang, “Cuma air putih…”
“Iya terima kasih, “ kata lelaki bertubuh agak tambun itu. Setelah beberapa teguk air putih masuk ke kerongkongannya, lelaki yang juga dikenal kawan dekat dengan almarhum Abah itu melanjutkan bicaranya,” begini Rid, kemarin pagi, orang Jakarta yang akan membeli kebon Mamang telah sepakat untuk melunasi pembayarannya besok Selasa. Dan Mamang ingin menjamunya dengan panggang lauk emas. Sekalian Mamang lewat rumahmu tadi,  dari pada   harus menunggu besok  untuk ke pasar dan pesan ke kamu, mending pesan sekarang khan. …”
“Pesan ikan mas?” tanyaku agak sangsi.
“Iya, ikan mas, dua puluh kilo bisa?”
“Dua hari lagi, dua puluh kilo? Bisa. Bisa, Mang…,” kataku tergagap menahan gembira. Allah mengabulkan doaku, Allah mengijabah doaku… bathinku penuh syukur.
“Naah, kalau begitu ini uang DP-nya, tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Sisanya kalau ikannya sudah Mamang terima yaa…”
“Iya Mang, Insya Allah saya akan segera menghantarkan ikan mas pesenan Mang Janah tepat besok sore…”
“Baik kalau begitu, Mamang pamit pulang ya… Assallamu ‘allaikumm…”
“Wa allaikum salam warrohmatullahi wabarokatuh…,” jawab kami serempak mewakili kerianganku menerimai anugerah senja itu. Yaa Allah terima kasih, kalau ternyata Engkau memang sangat dekat dalam hidup kami, sehingga kesusahan ini tak begitu berarti kami rasakan…  
    Aku memeluk ketiga adiku dengan hati yang penuh haru dan bahagia, mungkin inilah janji yang selalu diajarkan kaum salaf tentang kebesaran dan kasih sayang-Nya dalam hidup kita… Hasbunallahu wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’mat nasiir… laa haulla walla quwwata illa billah..

%%%%%%


[1] Ada apa Jang?
[2] Aduh Kang, tolongin saya Kang, tolongin saya
[3] Ayo diminum dulu, biar tenang…
[4] Coba seritakan, ada apa Jang?

bagian ketiga dari TTC3





Tiga
Bismillahirrahmaanirraahiim, kami datang Yaa Rabb....


Bandara Soekarno Hata, akhir Oktober 2010
Saat matahari bersinar redup....



”Diberitahukan kepada seluruh jamaah haji kelompok terbang 38 asal pendaftaran Provinsi Jawa Barat, agar bersiap menuju pintu keberangkatan pesawat. Kepada para Karom dan Karu agar mengkoordinir anggotanya dengan cepat. Pesawat Saudi Arabia Airlines telah siap di pintu III, keberangkatan. Diingatkan kembali kepada.....” demikian informasi yang terus bergema di telinga kami, membuat kami semua agak tergesa-gesa merapihkan semua barang bawaan. Tas jinjing, tiket, pasport dan beragam kelengkapan lainnya.
Tua muda, perempuan laki-laki, semua terhanyut dengan segala persiapan pemberangkatan ini. Ada   yang sibuk berbenah dengan bawaannya, ada yang terlihat cemas, namun ada pula  yang terlihat santai dengan dzikir lirihnya. Untuk yang sibuk berbenah biasanya kaum ibu yang selalu saja masih menunjukan sikap telatennya. Mungkin bagi mereka pengabdian terbaik pada seorang suami memang tanpa batasan waktu dan tempat, hingga di moment sesakral itu mereka masih sempat meladeni sang suami dengan beragam  barang bawaan. Dari obat-obatan yang biasa dikonsumsi suaminya, hingga perlengkapan pribadi lainnya.
Bagi yang terlihat tenang biasanya  mereka yang sudah sering berpergian dengan pesawat dan memahami betul arti keikhlasan dalam perjalanan ini, sehingga sudah sangat siap secara mental, fikir dan ikhtiar. Sehingga ketenangan mereka terlihat begitu alami dengan balutan dzikir lirih mereka. Untuk yang cemas, biasanya mereka yang belum pernah merasakan terbang jauh dengan pesawat. Meski tangan mereka sibuk memilin tasbih namun raut kecemasan masih terlihat diantara mereka. Dan salah satu dari mereka itu adalah lelaki tua yang ada disampingku ini, terlihat sekali kalau ia benar-benar    mencemaskan    pengalaman yang sangat baru baginya. Kalau aku harus jujur, sebetulnya juga termasuk aku. Betapa tidak kecelakaan pesawat khan sering terjadi belakangan ini. Namun aku menekan kuat-kuat rasa cemas itu dengan berdzikir khusyu. Selain   gemetar lembut masih menari di hati ini, aku juga sebenarnya masih merisaukan    rasanya berada di ketinggian ribuan kaki dengan waktu tempuh delapan jam lebih? apa yang harus aku lakukan bila pesawat mengalami turbulency? Bagaimana kalau tiba-tiba aku mabuk ketinggian? Yaa Allah bantu aku mengatasi ini...
”Baru pertama naik pesawat ya Pak?” seseorang menegur lelaki tua disampingku  ramah.
Lelaki tua itu tersenyum mengangguk mewakilkan jawabanya. Kemudian malu-malu iapun mulai menyampaikan kecemasannya.
”Santai aja pak, seperti naik ayunan. Setelah beberapa detik juga kita akan terbiasa dan seperti naik kendaraan biasa....,” pramugari berkerudung biru langit ini nampak membaca betul kecemasan hati kami.  Mungkin karena ia sudah kerap menemukan hal ini di perjalan tugasnya bolak-balik Jakarta-Medinah, atau Jakarta-Jedah.
”Kalau di bimbingan kemarin sih katanya memang begitu, tapi khan tidak sampai naik pesawat beneran,”kata lelaki tua ini menahan cemas dan malu.
”Ngga akan ada apa-apa, Insya Allah...,” perempuan berseragam maskapai penerbangan kelas satu di Arab Saudi itu   kembali meyakinkan lelaki tua ini.
Tak banyak percakapan setelah itu, karena suara operator pesawat  langsung mengingatkan kami untuk bersiap take off. Dengan tiga bahasa yakni Arabian, Inggris dan Indonesia, operator kabin pesawat nampak menjelaskan waktu yang akan ditempuh dan beragam standar keselamatan penumpang. Sambil mendengarkan arahan tiga bahasa, masing-masingdari kami memperhatikan dengan serius layar 12 inci yang ada di bagian belakang tempat duduk kami. Layar itu memvisualisasikan apa saja yang tengah di jelaskan oleh operator kabin.
Barisan bangku berwarna abu-abu dari maskapai penerbangan terbesar negeri padang pasir ini   terlihat begitu rapi di sepanjang mata memandang. Kondisinya yang nyaman dan sejuk membuat kami sejenak terlepas dari kepenatan dan kecemasan. Ditambah beberapa pramugari yang tersenyum menyambut kami, seakan benar-benar merilekskan sesaat. Senyum yang ramah dan tulus untuk perjalanan suci kami.
”Demikian standar keselamatan penumpang ini. Semoga Allah meridhoi perjalanan kita. Selamat menjalankan ibadah haji dan semoga menjadi haji yang mabrur. Assallamu allaikum...,” demikian ending dari suara operator kabin.
Satu persatu   kamipun mulai terlena di kursi-kursi empuk sesuai dengan nomor tiket kami masing-masing. Kondisi lelah dan penat membuat kami semuanya ingin segera beristirahat dengan tenang. Aku mendapatkan posisi tengah dari badan pesawat Airbus ini , tepat di samping jendela dan bertiga dengan pasangan suami isteri.  
”Maaf De, kita nanti langsung berhenti di Madinah atau  transit dulu di Jedah yaa?” tanya ibu paruh baya disampingku dengan kaca mata tebalnya.
”Kurang tahu Bu, cuma kalau saya lihat di tiket tujuan kita memang ditulis Medinah, jadi apa langsung berhenti di situ atau kita transit dulu di Jedah” kataku mencoba mengingat potongan tiket yang baru saja aku berikan pada pramugari penjaga pintu masuk.
”Berarti memakan waktu 9 jam lebih yaa...” perempuan paruh baya itu bergumam.
”Tuh khan Bu, kata Bapak juga lebih baik ke toilet dulu,” sambung lelaki yang duduk disampingnya, ”apa Ibu sanggup menahan pipis selama itu?”
Mendengar itu sang ibu mendadak merona wajahnya menahan malu, sementara aku berusaha keras untuk bisa menahan tawa. ”Memangnya Ibu ingin buang air?” tanyaku.
”Iya Nak, tadi Ibu sebetulnya ingin ke toilet dulu, tapi karena takut ketinggalan jadi ibu tahan sampai sekarang...”
”Ada yang bisa saya bantu Bu?” suara seorang pramugari terdengar disamping kami. Mungkin karena ia melihat kecemasan kami.
”Iya Mbak, ibu ini mau buang air kecil...” kataku menjawab pertanyaannya.
”Ooh, mari saya antar,” kata pramugari itu kemudian,” di pesawat ini juga ada toilet Bu...”
Perempuan paruh baya itupun akhirnya beranjak dari tempat duduknya setelah terlebih dahulu melewati kursiku. Tak berapa lama iapun  kembali ke kursinya yang berada tepat di sisi jendela. Namun selang hanya beberapa detik, ia kembali beranjak ke toilet dengan tergesa-gesa. Rupanya rasa cemas itu membuahkan stress ringan, sehingga harus buang air kecil beberapa kali. Dikarenakan hal itulah akhirnya suami perempuan ini memintaku untuk bertukar kursi dengan isterinya. Ini dimaksudkan agar ia tak bolak balik melangkahiku, bila ingin buang air kecil.
”Tolong Dek ya..” pintanya padaku.
”Ngga apa-apa Pak, biar saya yang di ujung, dekat jendela,” kataku seraya menggeser tempat duduku di posisi dekat jendela. Dan itu berarti aku   bisa melihat bagian sayap dan kondisi luar dari pesawat ini. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu, yang jelas aku sedikit bingung   membayangkan bagaimana rasanya berada di ketinggian nanti.
”Mohon perhatian,” suara operator terdengar berbarengan dengan berdirinya dua pramugari berkerundung biru di tengah selasar pesawat ini, ”sebentar lagi pesawat akan segera berangkat. Kami berharap bapak ibu sekalian mematuhi apa yang baru saja di sampaikan oleh visualisasi operator kabin, untuk tetap duduk di tempat masing dan mengencangkan seat belt-nya....”
Tak lama kemudian, terdengar kembali suuara operator itu menuntun kami untuk membaca doa bepergian ketika pesawat sudah mulai bergerak perlahan...
”Bismillahi majraha wa mursoha innarabbi laghofurrahiim...”
Perlahan-lahan pesawatpun mulai bergerak menuju landasan pacu, deru mesin pesawat inipun seolah seirama geletar lembut di hati kami semua. Berbalut dzikir dan talbiah, rombongan jamaah asal Kota Cirebon itupun mulai meniti perjalanan sucinya. Hati kami semua terus berdzikir dan melafadzkan syukur atas anugerah yang tengah Allah limpahkan dalam hidup kami. Tak jarang dzikir khusyuk dari mulut kami bercampur pula dengan isak haru mengawali keberangkatan kami.
Labbaik Allahumma labbaik... Innalhamda, wal nikmata, lakawalmulk laa syarrikalla....”
”Kami datang yaa Allah... kami datang memenuhi kewajiban kami, memenuhi panggilan-Mu, menjadi tamu-Mu..., ridhoi langkah kami yaa Robb...,” geletar syukur terlafadz di hatiku menanti hal terindah dan teragung sepanjang hidupku.
”Bismillahirrahmaanirraahiim.... kami datang Yaa Robb...”

*********