Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Sabtu, 17 April 2010

Makan Tulang Kawan, Kelicikan dari sebuah Kebersamaan


Tidak ada acara tidur siang bagi kami, setiap waktu luang selalu diisi dengan beragam kegiatan. Tidak perduli seberapa ngantuk dan lelahnya kami. Seperti siang ini, kami tetap harus kurvey atau bersih-bersih asrama sambil menunggu kegiatan menjelang sore. Meski harus kuakui, di posisi badan yang sangat lelah ini aku sangat tidak semangat untuk mengerjakan apapun. Tapi itulah kami, loyalitas dan kedisiplinan merupakan bagian yang harus kami jalani dengan penuh. Tanpa tawar menawar, terima sepenuhnya atau tolak sepenuhnya.

Idealnya sebuah konsep pembinaan dan pembentukan karakter pemimpin senantiasa dikenalkan dengan kemampuan pengendalian diri, tidak mesti dalam kontek yang berat cukup dari yang sederhana dulu. Seperti menahan kantuk dan malas untuk melakukan kewajiban yang telah diperintahkan. Ini baik untuk kesehatan dan penyadaran mind kita, bahwa segala sesuat memang tidak didapat dengan mudah. Karakter pemimpin pada hakekatnya adalah kemampuan memimpin diri sendiri terlebih dahulu. Itu kira-kira yang tengah senior-senior kami terapkan, berlatih mengendalikan diri sebelum kita mengendalikan orang lain.

Sesaat kepalaku berdenyut kencang, mungkin kelelahan atau juga pening. Entahlah yang jelas aku ingin sekali istirahat, tapi dimana? Aku tidak mungkin tidur di ‘bed’ sementara yang lain sibuk menyikat dan menyemir lantai. Di wc… o ya, kenapa tidak terpikir ke sana yah? Aku segera bergegas menuju lokasi yang menurutku sangat aman untuk acara tidur siang. Setidaknya aku bisa pura-pura buang air besar kalau nanti kepergok senior. Aku benar-benar bertekad untuk bisa istirahat siang ini, meski cuma sebentar. Aku melangkah perlahan sekali, agar rekan-rekanku tidak curiga. Mereka masih asyik dengan obrolan dan kegiatan menyemir lantai . Eeh… yang kurvey di wc juga pada selesai rupanya, bagus kalau begitu usahaku untuk tidur lancar nih. Tapii…

“Rupanya kalian suka ‘makan tulang’ kawan yah, yang lain sibuk kurvey koq bisa-bisanya pada tidur di wc. Ayo cepat keluar!!” sebuah suara nampak terdengar keras sekali. “cepat, hitungan ke lima kalian sudah turun dan berbaris di depan asranma. Satu, dua, tiga….” Mereka yang tertangkap tidur itu berhamburan lari ke luar. Tinggal aku yang bingung harus bagaimana, ikut lari pasti dianggap yang tertangkap. Tapi kalau diam di sini….

“Kamu juga ingin tidur di wc?!”

“Siap, tidak Kak. Saya mau ambil gayung Kak…”

“Buat apa?”

“Siap, tanaman diluar mau saya siram kak, ada yang tidak terjangkau dengan selang air Kak..” ucapku sekenanya.

“Ya sudah, cepat kembali ke bawah!”

Fuuh… hampir saja. Untung senior itu dapat menerima alasanku, kalau tidak, mati aku. Aku segera bergegas turun, ketika lima orang rekan seasramaku itu menerima hukuman. Mereka nampak tengah bolak-balik lompat katak di halaman asrama, beberapa diantara sudah nampak pucat pasi hingga lompat kataknya sudah berubah jalan jongkok.

“Ayo cepat, atau saya ulangi dari awal!” Kak Aris Munandar, dia Madya Praja yang menjabat Dharmapati dan melekat di satuanku. Dia nampak marah sekali. “Ya, yang di belakang cepat susul temannya.”

Setidaknya sepuluh kali bolak-balik kalau tidak salah, jadi kalau panjang halaman asrama ini 30 meter, jadi mereka sudah lompat katak sejauh 300 meter. Wah, jarak yang tidak sedikit tuh. Pantas saja muka mereka sampai merah padam, kulihat si Ambrosius Peter Calon Muda Praja asal NTT nampak kepayahan sekali.

“Ingat, ini adalah hukuman bagi kalian yang belum bisa mengerti apa arti dari kawan dan berbagi. Andai kalian di posisi mereka yang loyal dan menunjukan kesungguhan terhadap kegiatan, lalu rekan-rekan kalian tidak peduli dan enak-enakan tidur. Apa kalian terima?”

“Siap, Tidak!!”

“Ini sudah menunjukan bahwa kalian kurang memiliki jiwa kebersamaan, kalian lebih mementingkan diri kalian sendiri. Kalian tidak menunjukan semangat ‘korsa’ dan itu berarti kalian masih belum layak untuk menjadi seorang Muda Praja.”

Kami semua tertunduk di barisan, merenungkan dan mendalami semua ucapan Kak Aris. “Ini juga peringatan buat yang lain, saya paling tidak suka dengan orang yang ingin menang sendiri. Apa gunanya sukses dan pinter kalau tidak berarti dan berguna bagi orang lain. Kalian dididik untuk menjalin kebersamaan di sini, susah dan senang akan selalu kalian rasakan bersama-sama. Setidaknya sampai selesainya pendidikan ini, jadi biasakan kalau kalian adalah indiviu yang saling memberi dan menerima sebagai wujud kekompakan dan kebersamaan kalian. Bisa dimengerti?”

“Siap, bisa!!”

“Bagus, sekarang bersihkan badan kalian untuk persiapan nanti sore. Ingat jangan lupa sholat ashar bagi yang muslim, dan jangan terlambat untuk mengikuti kegiatan sore di Lapangan Plaza.”

Sebetulnya hukuman yang diberikan Kak Aris Munandar yang asli Manna, Sumsel itu belum seberapa. Banyak jenis hukuman yang diberlakukan bagi kami yang kedapatan makan tulang kawan, seperti ditampar oleh seluruh rekan seasrama, lari keliling kesatrian dengan memanggul kasur, berdiri dan menghormat pada sang merah putih selama lima jam, dan yang paling parah apabila sikap makan tulang kawan itu dipergoki oleh para Pengasuh (Jajaran Pembina Kepribadian yang ditugaskan lembaga STPDN), biasanya mereka tidak segan-segan merendam kami dalam kolam limbah tempat berbagai ’lele’ baik yang sungguhan maupun jadi-jadian selama beberapa jam. Iiih... jangan sampai mengalami. Itu menyeramkan sekaligus menjijikan!

Seperti yang dialami kawanku Waskito Daulay atau Henry Chaniago, meski mereka pada akhirnya jadi lebih kuat dengan udara dingin, akan tetapi kenangan seperti itu membuat trauma di keduanya. Selain kalau tidur sering mengingau tentang ’lele-lele’ yang aneh, mereka jadi mendadak alergi dan tak mampu makan apabila lauknya berasal dari ikan yang berjenis atau mirip lele. He he he... sedemikian hebat shock terapi ’kolam lele’ itu. Setidaknya, mereka berdua menjadi rajin dan setia dengan yang namanya ’korsa’ dan menjadi Praja yang fanatik dengan slogan anti ’makan tulang kawan’. Ini terbukti dengan menyerahkan diri secara suka rela mereka ketika tak mengikuti kegiatan pembinaan massal, pada pejabat pati mereka. Salut, Bro!

Mungkin dari sini, asal muasal ’gerakan tutup mulut’ yang terpatri di hampir seluruh sikap Praja. Mereka merasa, korsa memberikan perasan yang nyaman, bangga dan berharga menjadi bagian dari sebuah komunitas. Ini juga yang disesali oleh sebagian pihak ketika beberapa kasus mencuat dan mereka mendapati ’pagar bisu’ dari praja yang ada di dalamnya. Sebetulnya itu bukan gerakan, itu juga bukan kesamaan sikap yang tersistem, akan tetapi konsistensi dan konsukuensi sikap dari penerimaan sebuah pembinaan yang ikhlas. Dan hal itu tanpa disadari membentuk dalam sikap keseharian. Saya yakin, jangankan pihak luar, lembaga STPDN sendiri tak kuat membongkar ’dinding gtm’ ini. Yang paling tragis, diantara kami sendiri juga rasanya tidak ada tuh, yang mengobral penderitaan akibat pembinaan. Mungkin karena kami sadar sepenuhnya kalau pembinaan itu pada akhirnya untuk membentuk kami lebih berani dan tegar menghadapi apapun.

Aku sendiri tak membayangkan, kalau sebagai ’penghuni baru’ hal itu mulai mewarnai gaya dan sikapku sedikit demi sedikit. Bukan karena takut! Akan tetapi karena aku menyadari apapun bentuknya, pembinaan didesign untuk membina dan membentuk ke arah yang lebih baik. Aku harus bisa menerima dengan ikhlas, karena yang jelas hukuman itu sendiri datang karena kelalaian dan kesalahan sikapku sehingga perlu dikoreksi dan ’perbaikan’. Deviasi atau penyimpangan dari pembinaan itu sendiri, bukan karena diniati pada awalnya, akan tetapi lebih banyak karena pengendalian diri dari para pelakunya yang perlu di ’charge’ ulang.

%%%%%%




2 komentar: