“Sebetulnya ini tidak mengandung konsukuensi apa-apa terhadap nilai kinerja, Pa Harist. Tapi bukankah menjadi sesuatu yang positif bila kita dapat memberikan yang terbaik dari apa yang bisa kita lakukan, Pak?” Pak Furqon mencoba memberiku masukan tentang keputusanku agar menunda kepulanganku ke Cirebon untuk turut merawat adiku.
“Benar, Pak. Pendapat pak Furqon sangat benar, saya juga tidak menyalahkan sedikitpun. Apalagi untuk pejabat baru seperti saya yang belum begitu memahami betul tentang bahasan kelembagaan secara utuh. Akan tetapi dengan kondisi keluarga yang seperti itu, rasanya saya ngga bisa ngga peduli terhadap mereka,” kataku mencoba menjelaskan alasanku untuk tetap mengambil cuti dan meninggalkan tugas pokok dan fungsiku sebagai pejabat kelembagaan di Biro Organisasi ini.
Sebetulnya di pertengahan tahun seperti ini, begitu banyak beban kerja yang harus saya pikul sebagai penghuni baru di instansi ini. Bukan saja karena memang disiplin ilmu yang tengah kujalani tergolong sangat baru bagiku, akan tetapi posisiku sebagai fasilitator Tim Evaluasi Kelembagaan Provinsi Banten, membuatku memerlukan perhatian dan tenaga ekstra. Dari menerima rancangan Perda SOTK Kabupaten/Kota, menjadwalkan agenda pembahasan, sampai pada perumusan klarifikasi atas evaluasi rancangan perda tersebut, memerlukan sekian banyak konsentrasi. Ini didasarkan tingkat kepentingan dan keberlangsungan dari sebuah pemerintahan daerah, dimana Struktur Organisasi dan Tata Kerja merupakan urat nadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
“Memang seberapa besar sih, kesulitan keluarga Bapak itu?” Pak Furqon memang tergolong rekan kerja yang akrab denganku, sehingga ia tak sungkan mengajukan pertanyaan itu. Dan yang jelas aku juga lebih menangkap semangat kekeluargaan daripada semangat sekedar ingin tahu. Karena alasan itu pula aku menceritakan apa yang sebetulnya terjadi dalam keluargaku.
“Berat sekali yah…,” ucapnya kemudian.
“Oleh karena itu Pak, saya benar-benar sangat terpaksa untuk menghadap Pak Karo dan mengajukan permohonan cuti untuk satu minggu ke depan…”
“Satu minggu untuk permasalahan seperti itu, rasanya juga tak dapat berbuat banyak, Pak,” Pak Furqon mencoba merenungi keputusanku.
“Iya, saya juga tahu itu. Akan tetapi mudah-mudahan bisa sedikit meringankan beban saudara-saudara saya yang telah berupaya semaksimal mungkin untuk kesembuhan adik saya Pak…”
Percakapan kami mendadak terhenti, ketika rapat pembahasan raperda SOTK Kabupaten Pandeglang yang dipimpin oleh Asisten Tata Praja dimulai kembali. Beberapa orang tim evaluasi kelembagaan yang baru saja selesai istirahat makan dan sholat dzuhur juga sudah kembali. Kami memang menargetkan hasil yang final untuk klarifikasi raperda itu hari ini, karena pembahasan kedepan sudah diagendakan untuk Raperda Kota Tangerang dan Kabupaten Serang yang katanya sudah samapi di meja Gubernur sejak seminggu yang lalu.
Setelah melalui perdebatan yang alot, hingga sharring yang cukup panjang antara tim evaluasi dan panitia penyusun raperda yang bersangkutan, beberapa pointers rekomendasipun tersusun. Pointers tersebut merupakan hasil klarifikasi dari raperda yang telah dikaji secara terinci, dari besaran organisasi, nomenklatur yang diberikan hingga kemungkinan adanya pengembangan struktur organisasi yang berbentuk UPT (Unit Pelayanan Teknis).
“Ah, akhirnya selesai sudah apa yang kita upayakan pada hari ini,” Pak Asisten Tata Praja nampak terlihat puas,” bagaimana Pak Cepi, Pak Syamsir dan Pak Agusman apa ada yang akan ditambahi?”
“Saya fikir cukup, Bapak Pimpinan,” ucap Pak Cepi kemudian, “setidaknya beberapa pointers yang kita rumuskan baru saja, merupakan bahan bagi pembuatan surat rekomendasi yang akan ditandatangani Ibu Gubernur Banten.”
“Tapi, bagaimana dengan pihak Kabupaten Pandeglang sendiri, apa ada yang ingin disampaikan?”
“Dari kami juga rsanya sudah cukup Pimpinan, hanya saja kami mohon surat rekomendasi yang nanti akan ditujukan pada Bapak Bupati kami agar bisa turun lebih cepat. Hal ini dikarenakan beberapa perubahan yang pastinya harus kami rapatkan kembali dengan tim penyusun terkait,” Pak Yudi yang utusan Pandeglang berkata penuh harap.
“Itu juga yang akan kami usahakan Pak,” Pak Syamsir menjawab,”hanya saja finishing dari surat tersebut tidak berada di kami, akan tetapi pimpinan puncak Banten. Mudah-mudahan saja beliau tidak begitu sibuk minggu-minggu ini, sehingga surat tersebut bisa segera kami serahkan ke Bupati Pandeglang.”
“Baik, kalau semuanya sudah jelas, saya fikir cukup yah?”
“Cukup!” paduan suara itu membuatku benar-benar lega. Setidaknya setelah ini aku akan bisa langsung pulang dan menemui anak-anaku yang lucu-lucu itu. Apalagi Noor Rivandy yang menginjak usia tujuh bulan, banyak gerakannya yang menciptakan hal yang lucu dimataku.
Aku baru akan memarkirkan sepeda motorku, ketika tiba-tiba beberapa orang berlarian mendahuluiku masuk ke dalam rumah. Ia Mak Emah yang biasa membantu istriku merawat rumah dan kedua anak-anaku dan beberapa tetangga. Mungkin karena paniknya, sampai-sampai ia harus menabrak dan mendahuluiku masuk ke dalam rumah. Aku yang bingung ikut lari dan menghambur ke dalam ruangan. Disana kulihat Ibu Mertuaku tengah sibuk membantu istriku yang tengah menangani anaku yang kedua, Noor Rivandy. Bayi berusia enam bulan itu tengah dilanda batuk hebat dengan beberapa cairan kental yang termuntah dari mulutnya. Sesekali tangisnya terdengar kencang menahan sakit yang mungkin ia rasakan.
Seketika aku panik dan langsung meraih anak keduaku itu dengan segala kecemasan, apa yang terjadi? Ada apa dengan anaku? “Ini Ayah, Nak. Ini Ayah, kenapa Noornya?” suaraku bergetar menahan tangis dan kalut. “Ada apa ini, Bunda?”
“Bunda juga ngga tahu Yah, sejak semalan si Noor memang batuk-batuk, nafasnya juga nggogrok seperti tercekat. Tapi tidak sampai muntah-muntah seperti ini?” jawab istriku , meski ia mencoba tenang aku dapat melihat kalau kekalutannya lebih besar dariku.
“Mungkin masuk angin, Rist, lebih baik kita baluri dengan parutan bawang saja dulu,” Ibu mencoba menyarankan pertolongan.
Aku segera bergegas ke dapur dan memarut bawang seperti yang diperintahkan oleh Ibu mertuaku, seketika itu juga bawang parut itu dibalurkan pada anak keduaku itu. Sesaat muntahan agak berkurang, dan tangisnya juga mulai mereda. Namun detik berikutnya berganti buang-buang air dengan feces yang sangat encer, beberapa kali. Wajah anakku mendadak pucat dan suhu tubuhnya juga merambat naik.
Di posisi yang sangat tak nyaman itu, tangis mulai terdengar dari istri dan anak pertamaku. Mungkin kepanikan ini memang memberikan aura negatif yang begitu kental, hingga sesaat kami semua kehilangan akal sehat. Emosi, marah, cemas dan bingung hadir diantara kami, Ibuku, istriku dan juga para tetanggaku. Ada diantaranya yang langsung berkomat-kamit seolah merapalkan sesuatu, entah apa itu. Ada yang bolak-balik dari dapur ke kamar dari kamar ke dapur, sambil sibuk membawa ember, air hangat dan lap.
“Di bawa ke Mbah Suryo saja, Nak Harist. Mungkin si Noor kesambet setan, masalahnya ini sangat serius. Panas badannya sangat tinggi, dan dari tadi buang-buang air terus...”
“Ke Pak Mantri Dulloh saja, barangkali dia salah makan biar disuntik sekalian. Kemarin juga anak si Ijah begini, ngga tahunya keracunan bubur bayi yang kadaluarsa...”
“Jangan panik dulu, Jeng. Anak saya juga begitu, tapi ternyata cuma pengen dibelikan mainan aja koq. Santai aja, anak bayi sakit itu biasa, yang penting kita jangan panik...”
Aku benar-benar bingung dengan semua ocehan tetanggaku yang pastinya berniat membantuku itu, tetapi malah membuatku makin panik dan bingung. Di saat seperti itu, Bapak mertuaku datang dengan gayanya yang khas. Tenang dan menyejukan. Pak Tarno memang terkenal dengan sikap tenang dan ngayominya, itu pula yang membuat sekian banyak guru-guru dan murid di SD Kakabu, Gunungsari, merasa kehilangan sosok orang tua ketika Bapak mertuaku itu pensiun. Jabatannya sebagai kepala sekolah tidak membuatnya berjarak dengan para guru, murid, penjaga sekolah atau tukang kebun sekalipun. Ia juga tak terlihat perlente dengan jabatannya itu, ia tetap sederhana dan sekali waktu malah mencari rumput sendiri untuk ternak kambingnya. Tangannya terkenal ‘dingin’, sehingga menanam apa saja selalu jadi. Kebun dan taman sekolah juga lebih banyak merupakan hasil karyanya di sela-sela kesibukannya memimpin para guru dalam mengajar pada anak-anak di desa terpencil di kaki Gunung Sulanjaya
“Noor Pak,” kataku mengadu seraya mencium tangannya. Lelaki berperawakan sedang itupun hanya mengangguk seraya menepuk pundaku mencoba untuk menenangkan.
“Sudah lama begini, Rist?” tanyanya kemudian.
“Yang begini baru kali ini, Pak,” kataku menerangkan, “tetapi panas dan muntah-muntahnya sudah dari tiga hari yang lalu.”
“Mana istrimu?”
“Kulo Pak,” isriku langsung menghampiri dengan logat Jawa halusnya.
“Piye, Nduk. Anakmu sakit koq, Bapak ra diaturi?”
“Nyuwun sewu, Pak. Kulo ajang matur kalih Bapak, tapi cape Mas Harist mboten usah, mangke dadi ngerepotke Bapak...”
“Nduk, Nduk... kowe ki pancen apik, nurut sakabehe mbe bojomu,” Pak Tarno manggut-manggut, meski ia agak kesal namun ekspresi wajahnya tak berubah, tetap tenang menatap kami. “Si Noor ini cucuku, Rist. Kalau ada apa-apa, Bapak juga pasti merasa kehilangan. Kamu ini khan sudah jadi anak Bapak lima tahun lebih, masa masih merasa risih untuk minta bantuan orang tuamu sendiri....”
Aku tak berani menjawab, ini memang salahku. Aku memang tak mengizinkan istriku menceritakan perihal si Noor pada orang tuaku, bukan apa-apa, aku hanya tak ingin merepotkan mereka. Terlebih pada tahun-tahun awal ia tak lagi bekerja sebagai kepala sekolah. Dan yang jelas itu memang sudah menjadi prinsip pada awal pernikahan kami, kalau aku tidak ingin terlalu merepotkan mereka. Itu pula yang membuatku berfikir kalau istriku lebih baik berhenti bekerja, agar dapat mengurus anak-anaku lebih baik dan tak harus merepotkan mereka, seperti rumah tangga muda pada umumnya. Meski pada awalnya aku juga merasa sayang dengan profesi istriku yang perawat itu sudah menjelang dengan pengangkatan status sebagai pengawai negeri sipil, namun dengan berbagai pertimbangan dan juga keikhlasan dari istriku, akhirnya istriku memutuskan untuk mengundurkan diri. “Insya Allah, Allah akan menitipkan rezekiku dan rezeki anak-anak kita pada nafkah yang Mas berikan padaku,” begitu kalimatnya yang membuatku makin yakin kalau ia memang istri terbaik bagi hidupku.
“Sekarang, apa yang akan kamu lakukan, Rist?” Pak Tarno bertanya serius.
“Insya Allah, saya akan membawanya ke Dokter, Pak,” kataku seraya berkemas perlengkapan.
“Kalau begitu cepatlah, biar si Fary, Bapak yang jaga. Kemana anakmu yang pertama itu?”
“Tadi main di rumah sebelah, Pak,” istriku menjawab mewakiliku.
“Ya sudah, kalau mau ke Dokter, biar Fary nanti Bapak yang ngurus, kalian berangkat saja,” Bapak berucap tegas,”jangan sampai kita kecolongan untuk penyakit seperti ini.”
Tak lama akupun segera memacu sepeda motorku dan membawa istri dan anku menuju kediaman Dokter Weni, ia memang membuka praktek di rumahnya dari sore hingga malam. Kedatangan kami yang terbilang lebih dulu dari yang lain membuat anaku mendapat giliran pertama. Hanya saja, ternyata hari itu ada operasi di Rumah Sakit tempat Bu Dokter Weni dinas sehingga ia harus pulang terlambat. Menurut informasi yang aku dengar, ia baru akan sampai menjelang maghrib nanti. Cemas dan bingung makin menyelimuti hatiku, meski aku mencoba menahan semuanya itu. Istriku malah lebih dari yang ku kira, meski ia mencoba untuk tetap tegar, tak ayal beberapa bulir bening menitik di sudut matanya.
“Jam berapa kira-kira, Mas?” tanyaku pada petugas yang biasa mengatur jadwal kunjungan pasien.
“Seharusnya sudah sampai Pak, tapi ini karena ada hal yang mendadak. Mungkin sebentar lagi juga sampai, mohon bersabar ya Pak,” lelaki berperawakan sedang itu mencoba menenangkanku. Sementara batuk dan muntah Noor Rivandy semakin kencang terdengar. Beberapa orang tua pasien yang kebetulan ikut menunggu kedatangan Bu Dokter Weni nampak ikut sibuk membantu istriku.
“Mengapa ngga di bawa langsung ke rumah sakit saja, Bu?” tanya salah satu dari mereka.
“Iya Bu, ini sepertinya sudah sangat kritis…”
“Bagaimana Bunda, kita bawa saja ke rumah sakit?” tanyaku ikut menyambung pendapat para ibu yang membantu istriku.
“Kita tunggu sebentar lagi Yah, mudah-mudahan ada rujukan yang lebih tepat untuk si Noor,” istriku mencoba bertahan. Aku tak tahu apa yang ada dalam fikiran istriku, yang jelas ia berusaha untuk tetap bertahan dan menunggu Bu Dokter Weni dari pada harus langsung ke Rumah Sakit.
Tepat ketika aku berniat mengajak istriku untuk pergi ke Rumah Sakit, sebuah mobil sedan Honda Civic berwarna perak meluncur kencang dan berhenti pas di carpot rumah gaya Belanda ini. Seseorang dengan pakaian putih-putih nampak bergegas turun dan mengahmpiri kami. Dia Bu Dokter Weni, perempuan Bandung yang telah mengabdi sebagai dokter di kota ini belasan tahun yang lalu. Kapasitasnya sebagai dokter anak tergolong bagus, setidaknya dari banyaknya orang tua yang membawa anaknya untuk berobat kepadanya. Dia juga dikenal sangat merakyat, yakni tidak pernah mematok harga yang tinggi untuk ukuran seorang dokter spesialis anak. Beberapa pasien malah sempat ia bebaskan dari biaya konsultasi dikarenakan ketidakmampuannya. Setiap memberikan resep juga, ia senantiasa menanyakan dahulu kemampuan orang tua pasien, sehingga diupayakan resep yang ia tulis selain langsung pada inti pengobatan juga pada harga-harga obat yang bisa terjangkau.
Mungkin karena alasan ini pula istriku berkeras untuk tetap menunggunya terlebih dahulu. Setidaknya Bu Dokter Weni adalah atasannya dulu ketika istriku masih praktek sebagai perawat di rumah sakit yang dikelolanya.
“Waduh maaf, maaf, sudah pada lama menunggu ya…,” katanya seraya langsung masuk ke ruang praktek yang berhadapan langsung dengan carpot rumah tua ini. “Siapa dulu, Mas Janu?”
“Ini Bu, Noor Rivandy,” seru petugas pengatur jadwal kunjungan pasien seraya menyerahkan kertas pendaftaran ke arahku.
“Ayo mari silahkan masuk.”
Aku dan istrikupun segera bergegas masuk ke ruang prakteknya. Di dalam Bu Dokter Weni dengan cekatan langsung memeriksa kondisi anaku dengan seksama. Raut mukanya mendadak berubah, sepertinya ia menangkap sesuatu yang tak biasa pada kondisi anaku.
“Sudah berapa lama kondisi seperti ini, Bu?”
“Kalau panasnya sudah hampir lima harian Dok, tapi batuk dan muntahnya baru dua hari terakhir ini. Bagaimana anak saya Dok?” istriku menjawab penuh was-was.
“Kalau dari pemeriksaan saya, sepertinya ada gumpalan atau tumpukan lendir yang bersarang di paru-paru anak Ibu,” Bu Dokter Weni menjelaskan,” dan muntah-muntahnya ini salah satunya yaa karena endapan lendir yang berada di paru-parunya. Dan karena kondisi itu pula membuat ia batuk-batuk dan menimbulkan iritasi atau peradangan di tenggorakannya, dan ini membuat gejala bronchitis pada anak Ibu…”
“Astagfirullah… ada apa dengan anaku, Yaa Allah…,” bathinku nelangsa. Hatiku serasa tersengat listrik ribuan volt mendengar penjelasan dokter anak ini. Seingatku Noor Rivandy lahir normal dengan kondisi fisik yang prima, beratnya saja mencapai 4 Kg lebih, kalau sekarang ia mengidap gejala bronchitis pasti karena ada yang salah selama ini… “Apakah ada nafkah yang haram yang telah kuberikan pada anaku?”
“Mau dibuatkan kwitansi,Pak?” suara Bu Dokter Weni mengejutkan lamunan sesaatku, akupun jadi tergagap karenanya.
“Kuitansi?”
“Iya, ini istri Bapak membayar biaya konsultasinya Rp. 50.000, apa perlu dibuatkan kuitansinya?”
“Ngga usah Dok,” kataku seraya menyerahkan lembaran pecahan uang tertinggi. Itu salah satu lembar dari dua lembar uang kertas yang kumiliki, sepertinya aku harus mendesign ulang recanaku untuk pulang pakai kereta besok.
******
“Bapak bukan tak percaya kalau kamu mampu membiayai dan menghidupi anak istrimu, tapi ini hanya sekedar bentuk kepedulian kami akan kesusahan yang sedang kamu alami, Rist,” suara Bapak mertuaku terdengar berat menyiratkan keputusan yang sangat bulat.
“Sekali lagi maaf, Pak. Ini bukan berarti saya tidak mau menerima pemberian bantuan Bapak dan Ibu, akan tetapi saya rasa belum perlu untuk saat ini,” aku mencoba mengelak untuk menerima bantuan uang dari kedua orang tuaku itu,”lagi pula menurut Dokter, penyakit si Noor masih meninggu tiga hari ke depan. Kalau memang tidak ada perubahan kondisinya, mungkin akan kami rujukan ke rumah sakit….”
“Tapi sebaiknya diterima saja Rist, Ibu dan Bapak khan tidak tinggal dekat-dekat sini, kalau ada kebutuhan yang mendadak bagaimana?” Ibu mertuaku ikut membujuku agar aku menerima amplop yang disodorkan Bapak mertuaku.
“Maaf Bu, sekali lagi Harist minta maaf,” kataku mencoba teguh pada prinsipku,”nanti bila kami benar-benar membutuhkan, kami akan segera menghubungi Bapak dan Ibu. Harist sendiri yang akan minta bantuan sama Bapak dan Ibu…”
Kalau sudah begitu, Bapak dan Ibu mertuaku cuma bisa tersenyum simpul dengan keputusanku. Mereka memang sudah sangat hapal dengan prinsipku yang satu itu. Aku memang berusaha untuk menahan diri agar tidak merepotkan mereka, setidaknya karena itu merupakan janjiku pada istriku kala pertama aku mengkhitbahnya, bahwa apapun yang terjadi dalam pernikahan kami, aku akan senantiasa berusaha mandiri dan tidak merepotkan siapapun.
Menjelang isya, kedua orang tuaku pamit untuk kembai ke kediamannya di daerah Gunung Sari yang berjarak lebih dari 25 Km dari tempatku tinggal. Sebetulnya mereka ingin lebih lama menemani kami untuk mengikuti perkembangan kesehatan anaku, akan tetapi karena malam itu juga akan ada rapat pemilihan kepala desa dimana Bapak bertindak sebagai panitia pemilihan, akhirnya mereka memutuskan untuk berkunjung kembali besok.
“Jangan lupa, beri tahu kami kalau ada apa-apa!”
“Insya Allah, Pak,” kataku seraya mencium tangan kedua mertuaku itu.
“Assallamualaikum…”
“Wa allaikum sallam… hati-hati di jalan Pak…”
*****
Malam beranjak turun, angin kering yang bertiup di musim kemarau itu meninggalkan suara malam yang kian mencekam hatiku. Mengiris kengiluan hatiku yang tengah bingung dengan permasalahan yang tengah kuhadapi. Sementara suara asbes dan seng penutup atap yang tertiup angin malam seolah menambah kegetiran hidup yang tengah kujalani. Ini sangat tak mudah bagiku, ketika beberapa saat yang lalu aku merasa telah mendapatkan anugerah terbesar dalam hidupku untuk dapat segera menunaikan janji hidupku pada almarhumah ibuku. Kini semuanya itu berganti kegalauan dan ketakmenentuan hatiku.
Ingatanku kembali terpaut pada kabar dari Cirebon yang keduanya membuatku terpojok dan menyadari kekeliruan diri kalau bagaimanapun kita memang harus menjaga hati. Tetap menjaganya untuk tidak terlena dan lengah dengan apa yang kita rasakan. Pembatalan keberangkatanku ke tanah suci serta kabar perkembangan adiku yang memasuki fase kritis mental jiwanya, cukup membuatku tersadar kalau masih ada yang lebih berhak menentukan segalanya selain rencana dan kepastian kita. Yakni rencana dan kepastian Allah! Aku sendiri tak percaya kalau apa yang telah lama kuperjuangkan selama ini akan tergenti begitu saja hanya dalam hitungan menit. Allah memang maha berkuasa atas segalanya, maafkan aku karena kelancanganku ini yaa Allah….
“Belum tidur Yah?” istriku membawakan teh panas dengan takaran gula yang pas. Dia memang selalu begitu bila melihatku nampak sibuk atau terdiam di meja kerjaku. “Memang masih banyak yang harus dikerjakan?”
“Tinggal sedikit lagi Bunda,” kataku seraya menghirup air teh yang disuguhkannya perlahan, “Cuma menyiapkan berkas yang akan Ayah limpahkan pada rekan kerja Ayah sehubungan cuti Ayah besok.”
“Jadi berangkat siang-siang?”
“Insya Allah, setelah Ayah serahkan beberapa tugas dan berkas ini. Mudah-mudahan tidak ada halangan…” istriku terdiam termangu. Aku jadi bingung dengan keputusanku untuk pulang kampung dan meninggalkan mereka, terlebih di kondisi anaku yang tengah sakit seperti sekarang.
“Ada apa, Bunda? Sepertinya ada yang mengganggu….”
“Ngga, Bunda cuma sedang memikirkan semua rencana yang telah Ayah susun itu,” katanya seraya menatapku sedikit bingung. Karena tatapan itu pula, aku berasumsi kalau istriku sepertinya berkeberatan akan rencanaku pulang mengurus adiku, Ruby.
“Apa sebaiknya, Ayah batalkan saja pulang ke Cirebon besok?” kataku ragu-ragu. Istriku menatap lekat-lekat ke arahku, namun detik berikutnya senyumnya tersimpul. Aku jadi bingung dengan apa yang baru saja kuucapkan.
“Kenapa harus dibatalkan, Yah?”
“Yaa ngga ada apa-apa siih, Ayah hanya ngga enak meninggalkan Bunda sendiri terlebih di saat si Noor sedang sakit seperti ini,” kataku akhirnya.
Istriku tersenyum seraya menggeleng perlahan. “Jangan begitu mikirnya Yah,” katanya kemudian,”Ayah harus tetap bisa menentukan skala prioritas dalam hal ini…”
“Tapi Bunda…”
“Yah… jadikan Bunda istri yang baik di mata Allah. Ajari Bunda untuk mampu berkorban setulusnya pada suami dan keluarga. Bunda sangat tahu, Ayah bisa seperti ini juga tidak terlepas dari dukungan dan bantuan keluarga, jadi adalah hal yang wajar kalau Ayah juga menempatkan mereka menjadi sesuatu yang penting dalam hidup Ayah selain kami, istri dan anak-anak Ayah. Oleh karena itu, beri kesempatan Bunda untuk bisa turut ikhlas membantu dan meringankan beban mereka, meski hanya dengan doa dan ketulusan mendukung semua yang ditetapkan suami.
Berangkat saja Yah, kehadiran Ayah sangat dinanti di sana. Insya Allah tidak akan ada apa-apa, Allah akan menjaga Bunda dan anak-anak kita…”
Ah, kalimat istriku benar-benar sedikit menawarkan kegelisahan dan kegalauan hatiku. Ternyata aku memang tak salah memilihmu sebagai pendamping istriku, kemulyaan dan kebaikan hatimu adalah sesuatu yang membuatmu sangat berharga dibandingkan wanita manapun dalam hidupku sekarang ini. Terima kasih, atas segala pengertianmu sayang…
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar