Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Senin, 22 Maret 2010

4. Senandung Rindu Masa Kecilku


Suara riuh yang sedari tadi menggema di lorong gerbong ini, berubah senyap ketika matahari sore mulai menyapa kami dengan bias jingganya. Roda kereta yang sedari tadi bergerak menyelusuri rel di atas gedung-gedung tinggi Jakarta, kini mulai melambat untuk sekedar berhenti di sebuah stasiun. Namanya stasiun Jatinegara, maklum kereta api Tegal arum biasa berhenti sejenak guna menarik penumpang yang memang menunggu atau beli tiket dari sana. Di stasiun ini pula segala derap nafas ‘masyarakat kebanyakan’ terlihat jelas dan sangat berbeda jauh dibandingkan Stasiun Gambir yang cenderung parlente dan menengah ke atas.

‘Masyarakat kebanyakan’ tersebut berwujud para pedagang asongan, pengamen, pengemis dan penyapu lorong-lorong gerbong kereta. Merekalah yang sebenarnya memberi warna pada tiap perjalanan di gerbong kelas tiga ini. Tingkah laku dan karakter mereka menunjukan ekspresi sepenuhnya sebagai masyarakat Indonesia seutuhnya, jauh dari kemapanan dan hanya berharap pada keberuntungan hidup hari ini.

Beberapa orang wanita nampak tersenyum ke arahku seraya menjajakan makanan kecil ke arahku, kalimatnya sangat halus dan meyakinkan untuk semua penumpang di gerbong ini. Mungkin itu trik yang biasa mereka lakukan untuk membujuk kami para penumpang. Namun dengan kondisi yang serba sesak seperti di gerbong kelas ‘rakyat’ ini, aku yakin hampir semua penumpang yang ada lebih berharap untuk segera berlalu. Namun Allah memang membagikan semua rezekinya dengan adil, di kondisi yang panas dan gerah seperti itu, ada saja yang mau membeli. Satu, dua hingga beberapa orang setelahnya malah berebut ikut membeli. Entah apa yang apa yang ada di fikiran mereka, mungkin sekedar iseng, atau juga karena kereta ini ternyata agak lama berhenti.

Seseorang menawarkan kacang garing yang dibelinya dengan jumlah banyak ke padaku. Wajahnya terlihat serius menawarkan apa yang baru saja ia beli. Namun dengan halus aku menolaknya dengan alasan bahwa aku masih kenyang dengan makan siangku. Namun karena lelaki muda itu terus mendesakku, akupun akhirnya menyerah.

“Tenang aja, Bang. Ini tidak ada obat biusnya, koq…” katanya kemudian membuatku agak malu dengan persangkaan yang mungkin saja terlewat di fikiranku.

“Maaf, sebetulnya saya memang masih kenyang, Mas. Saya makan agak terlambat tadi,” kataku menutupi rasa sungkanku, “tapi baiklah terima kasih.”

“Buat iseng, Bang,” katanya lagi seraya nyengir ke arahku.

“Iya, terima kasih.”

Lelaki muda yang mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun denganku itu kemudian membagikan beberapa bungkus kacang yang masih ada di tangannya kepada beberapa orang lain yang ada di sekitarku. Ia terlihat begitu tulus dan besemangat untuk membagikan kacang garing yang memang ia beli dengan jumlah yang banyak. Beberapa diantaranya menolak dengan tatapan yang penuh curiga, sedangkan yang lainnya menyambut seraya tersenyum dan berterima kasih. Di zaman seperti ini, kebaikan seperti itu memang sangat langka aku jumpai, untuk ukuran para penumpang yang nota bene tidak saling mengenal. Jadi akan menjadi sesuatu yang wajar ketika beberapa diantara mereka malah menghadapinya dengan tatapan sinis. Memang kasus perampokan dengan modus pembiusan kerap terjadi akhir-akhir ini, dan sikap beberapa orang tersebut bagiku mungkin lebih pada sikap kehati-hatian. Sebenarnya aku juga seperti beberapa orang itu, hanya saja aku segera sadar bahwa orang sepertiku apa yang harus dikhawatirkan. Aku tak pernah membawa uang banyak, apalagi dengan penampilanku yang apa adanya, rasanya tidak mungkin kalau ada yang menganggap kalau aku orang kaya.

“Bagaimana, Bang, enak?” tanya lelaki itu setelah ia membagikan semua kacang garing yang dibelinya.

Aku hanya mengangguk tersenyum mewakili jawabanku. Lelaki itu membalasnya dengan senyum pula, “syukur kalau Abang suka,” katanya kemudian.

“Maaf, saya belum kenal anda, “ kataku mencoba menyambung akrab.

“Oh iya, saya Syarif, Syarif Hidayatullah,” katanya seraya menjabat tanganku.

“Saya el Harist,” sambungku, “mau pulang atau sedang ada tugas di Cirebon?”

“Saya mau mengunjungi famili, Bang El, kemarin saya di telephone mereka katanya ada yang ingin disampaikan tetang perkembangan usaha rotan saya.”

“Oh, Mas Syarif pengusaha rotan yah?”

Ia mengangguk singkat menyiratkan kebanggaannya, “bukan usaha saya sepenuhnya. Sebetulnya ini perusahaan keluarga saya, hanya saja sejak kematian kedua orang tua saya, usaha rotan ini diserahkan pada saya. Cuma itu karena saya sendiri sudah sibuk dengan galery saya di Jakarta, saya tidak bisa mengelola langsung perusahaan itu.”

“Terus Mas Syarif mempercayakan perusahaan itu pada family, Mas?” tanyaku sok tahu, karena terpancing obrolan yang serius.

“Bukan family dekat sebenarnya, mereka itu dulunya kerja pada keluarga saya dan sudah lama sekali. Jadi kami telah menganggapnya sebagai keluarga, setidaknya karena ketulusan dan kejujuran mereka pada kami selama ini.” Sesekali lelaki muda itu beringsut dari tempat duduknya yang sudah tak nyaman karena banyaknya penumpang yang berdiri.

“Memangnya Mas Syarif hidup sendiri?” tanyaku agak jauh.

“Ya sejak kematian kedua orang tua saya, saya sekarang sendiri Bang El. Saya anak tutinggal, dan kebetulan sejak lima tahun yang lalu saya juga sudah hidup mandiri di Jakarta. Dulu saya sering bentrok dengan ayah saya karena saya tidak mau melanjutkan usaha rotanya. Ini dikarenakan hoby saya melukis. Saya ingin bebas mengembangkan kapasitas dan kemapuan saya, sehingga selepas kuliah saya memutuskan untuk merantau dan menetap di Jakarta. Sepuluh tahun lebih saya memperjuangkan obsesi saya untuk menjadi pelukis, dan selama sepuluh tahun itu saya hidup di jalanan. Dari satu terminal ke terminal lain, hingga dari satu stasiun ke stasiun. Saya benar-benar hidup layaknya anak-anak jalanan. Beruntungnya, kehidupan jalanan yang saya alami ada dalam kesolidaritasan yang tinggi. Kami biasa saling membantu dengan hati dan ketulusan, itu membuat saya jadi lebih bisa menghargai hidup ini, Bang.

Sepuluh tahun hidup di jalanan membuat saya lebih dewasa Bang. Saya bisa mandiri dengan segala kemampuan yang saya miliki, saya bisa hidup cukup tanpa harus merepotkan kedua orang tua saya. Meski pada akhirnya saya sadar kalau semuanya itu tak begitu berarti….” Syarif nampak menghela nafas dan menghentikan cerita panjangnya.

Kutatap ekspresi wajahnya yang seolah memendam rasa sesal masa lalu, begitu juga tatap matanya yang menerawang jauh. Penampilan Syarif sebetulnya lebih menunjukan orang berada, oleh karenanya ada semacam tanya di hati; mengapa ia mau duduk dan bergabung di gerbong yang dihuni masyarakat ‘jelata’ seperti ini.

“Maaf, Mas Syarif ….?” Tanyaku seraya memegang bahunya.

“Eh, maaf, saya melamun ya…,” kata Syarif mengatasi keterkejutannya.

“Saya yang mau minta maaf Mas, saya terlalu banyak nanya,”kataku menyadari kesalahanku yang terlalu ingin tahu.

“Oh tidak, tidak apa-apa Bang El, saya senang ada teman ngobrol,” Syarif langsung menguasai keadaan membawaku untuk tidak terlalu merasa bersalah “biasanya tiga jam setengah perjalanan ke arah Cirebon sering membuat ngantuk dan membosankan, tapi dengan mengobrol seperti ini rasanya jadi tak membosankan.”

“Saya seperti melihat sesuatu yang mengambang dari kalimat Mas Syarif, apa ada yang salah, Mas?” lelaki muda itu berbalik mentatap serius ke arahku. Jelas sekali kalau kalimatku yang asal keluar itu membuatnya terkejut. Namun detik berikutnya lelaki muda itu mengangguk perlahan.

“Bang El benar, “ katanya kemudian, “saya memang selalu menanggung beban berat ketika harus mengenang masa lalu. Ini karena khilaf saya yang senantiasa menentang kehendak kedua orang tua saya. Mereka pergi untuk selamanya lima tahun yang lalu, ketika baru saya sadari betapa berartinya mereka dalam hidup saya.” Suara Syarif terdengar makin berat, aku menangkap beban sesal yang begitu besar dibathinnya.

“Lima tahun yang lalu itu masih begitu melekat di hati ini, Bang,” katanya kemudian, “saat saya harus merelakan kepergian kedua orang tua saya.” Lelaki di hadapanku itu sesaat memejamkan matanya, banyak kegamangan yang kutangkap dari ekspresinya itu. “Saya tidak hanya menyesali karena terlalu sering menentang keinginan mereka, akan tetapi juga karena saya merasa belum mampu memberikan apa-apa. Saya merasa belum mampu membalas apa yang telah mereka berikan selama ini. Mengingat semua itu, membuat saya merasa tak berarti apa-apa dalam hidup ini…”

“Beristighfarlah Mas, Allah maha tahu akan setiap lintasan taqdir hamba-Nya,” ucapku mencoba meringankan bebannya, “setidaknya kita tetap mengingat dan mengagungkan mereka seperti layaknya kita mengagungkan orang-orang alim yang berjuang di jalan Allah.”

“Saya mencoba untuk itu Bang El, namun setiap kali mencoba mengingat dan memohonkan ampunan untuk mereka, saat itu pula terlintas akan semua tingkah laku saya yang kurang bisa menghormati dan memulyakan mereka…”

“Tapi Mas Syarif,” kataku memotong ucapannya, “ bagaimanapun itu, apa yang terjadi di masa lalu adalah taqdir yang mesti kita terimai dengan ikhlas. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian…”

“Benar Bang El, sekarang saya jadi sadar, kalau apapun yang kita kejar, apapun yang kita capai pada akhirnya hanya sebatas pada taqdir umur yang telah dijatahkan dalam hidup kita,” Syarif terlihat mulai tenang, gemuruh di hatinya terlihat mereda. “Saya jadi sadar akan pentingnya menghargai hidup ini, tidak sekedar mengejar obsesi, dan membebaskan apa yang kita inginkan. Tetapi jauh dari semuanya itu, akan ada batas akhir yang harus saya pertanggungjawabkan tentang apa yang kita lakukan sekarang.”

Aku memperhatikan serius lelaki muda ini, banyak tutur katanya yang menyiratkan kalau ia tengah berevolusi dan mengalami perubahan dalam hidupnya. “Setidaknya karena itulah, Mas, agama mengajarkan kita untuk tidak terlalu berlebih dalam mengerjakan atau melakukan sesuatu.”

“Betul Bang, itulah yang terjadi pada saya sekarang. Ketika Allah benar-benar telah memudahkan saya untuk mencari rezeki dari profesi saya , saya masih merasa ada yang kurang dalam hidup saya.”

“Kurang bagaimana, Mas?” tanyaku sedikit bingung,”apa Mas Syarif bingung mau berinvestasi?”

“Bukan, bukan karena itu,” sanggahnya cepat, “saya tak pernah berfikir kurang seperti itu…”

“Maksud, mas Syarif?”

“Hasil dari galery lukis yang saya pimpin dan usaha peninggalan orang tua saya sudah sangat berlebih, Bang. Saya hanya merasa bahwa semuanya itu tak memberikan ketenangan dalam hidup saya, saya selalu merasa bahwa semuanya tak berguna sama sekali. Apalagi bila saya ingat apa yang saya capai ini tak dirasakan sama sekali oleh kedua orang tua saya. …”

Subhanallah, pemuda ini begitu dalam terjebak pada rasa bersalah seperti itu. Aku memijit keningku mencoba menyelami ucapan lelaki yang duduk di sampingku ini.

“Semakin saya menyadari kesalahan saya, semakin tak berharga apa yang saya terima ini Bang…”

“Maaf, Mas, menurut saya Mas Syarif agak keliru…,” kataku mencoba meluruskan, “apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kita pada intinya merupakan ujian, Mas. Baik itu kesusahan ataupun kesenangan, karena pada akhirnya semua itu akan dimintai pertanggungjawabanya. Jadi menurut saya Allah telah mendesign semuanya itu dikarenakan memang Mas Syarif layak mendapatkan semuanya itu…” kataku akhirnya.

“Bang El benar, karenanya saya selalu mencoba menjalani apa yang dititipkan Allah ini dengan tidak berlebih. Saya ingin belajar berbagi dengan siapa saja, agar apa yang telah dititipkan Allah ini tidak malah membuat saya menjadi lupa dengan segala beban sesal dan salah saya …”

Sejenak aku terdiam, ucapan Syarif seolah membawaku pada kisah keteladanan seorang hamba Allah pada zaman Nabi Dawud, yang karena rasa bersalahnya sehingga ia harus beribadah mohon ampun hingga 700 tahun. Peristiwanya bermula ketika lelaki itu melintasi dataran tinggi dan sang Ibu berada di bawahnya, debu-debunya berhamburan di atas ibunya. Setelah kejadian itu si anak melarikan diri, karena takut akan kemarahan sang ibu. Kemudian ia mengasingkan diri dan beribadah siang malam tanpa makan dan minum.

Bila dibandingkan dengan kisah tadi, aku jadi bisa memahami kegalauan dan rasa penyesalan Syarif. Aku jadi ngilu! Hatiku merasa perih, jika kuingat bahwa akupun belum bisa memberikan banyak hal pada almarhumah ibu. Aah, Mimi… andai waktu dapat kuputar ulang.

“Bila ingat mereka, saya selalu berusaha untuk menawarkan beban bersalah ini dengan beramal dan bersodakoh pada siapa saja atas nama kedua orang tua saya, Bang …”

“Insya Allah, niat sebagus itu akan diridhoi Allah, Mas.”

Percakapan kami terhenti sejenak ketika seorang kondektur bersama seorang polisi khusus kereta api datang untuk memeriksa karcis kami. Pandangan mereka berusaha ramah pada kami, mungkin mereka ingin menunjukan bahwa standar pelayanan prima di maskapai BUMN ini. Memang beberapa kasus kecelakaan sempat mencoreng kualitas dan profesionalitas mereka dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Akan tetapi dengan manajemen road map to zerro accident[1], seingatku mereka mulai memperbaiki citra dan standar pelayanan mereka.

“Bisa lihat tiketnya, Pak?” sapa mereka kepada kami yang beruntung masih mendapatkan tempat duduk meski di ujung gerbong ini.

Segera aku dan beberapa penumpang yang lain menyerahkan tiket yang didapat dari susah payah itu. Petugas yang didampingi polisi itupun segera memeriksa tanggal dan jumlah ‘passenger’ yang tertera di tiket kami. Sejenak mereka terlihat serius pada lembar tiket yang kami sodorkan. “Terima kasih,” katanya kemudian seraya berlalu untuk memeriksa tiket di gerbong yang lain.

“Sudah sampai mana kita ya, Pak?” tanyaku pada lelaki yang duduk di depanku, sementara Syarif pergi ke kamar kecil. Dia lelaki tua dengan shal tebal di lehernya, mungkin untuk mencegah masuk angin.

“Kelihatanya baru sampai Keranji, Dek. Adek mau turun di mana?” tanyanya menyambung percakapan. Sejak berangkat dari Stasiun Jatinegara tadi ia memang menyimak percakapanku dengan Syarif namun ia tak ikut menyambung dan sebatas tersenyum ke arah kami.

“Saya , mau turun di Cirebon Pak, maklum sudah lama tak naik kereta api, jadi rasanya lama sekali,” kataku malu-malu.

“Lha Bapak yang sering pulang pergi Jakarta-Indramayu juga masih seperti itu, Nak. Mungkin karena Bapak sudah tua yah….” Katanya seraya menyungging senyum dari pipinya yang memang sudah keriput.

“Bapak bisa aja,” kataku membalas.

“Yang tadi itu teman Adek ya?” tanyanya kepadaku yang masih disebutnya dengan panggilan ‘Adek’ itu.

“Baru kenal di stasiun Jatinegara tadi, memang kenapa Pak?” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa, Dek. Cuma Bapak lihat kalian akrab sekali ngobrolnya,” katanya lagi seraya merapihkan shal di lehernya.

“Iya, saya juga tidak tahu. Mungkin karena ia juga tak segan bercerita banyak hal pada saya, Pak,” lanjutku, “sehingga kami bisa membangun percakapan yang akrab.”

Aku sebenarnya bisa menangkap arah pembicaraan ini, kebanyakan yang sering berpergian dengan fasilitas umum di Jakarta memang seperti itu. Cenderung curiga dan waspada pada orang asing, setidaknya ini memang wujud kehati-hatian demi menjaga hal-hal yang tak bisa duga. Namun entah mengapa ucapan Syarif seakan menariku untuk terus membangun percakapan lebih jauh. Entah karena pokok bahasan kami tentang orang tua yang kuakui sangat menarik perhatianku, atau memang karena sikapnya yang mudah ramah pada siapa saja. Ia juga ringan tangan untuk berbagi, beberapa orang yang berdiri dan duduk di lantai gerbong ini juga bisa makan kacang garing gratis karenanya.

Aku masih sibuk berfikir ketika Syarif memohon izin padaku untuk memberinya sedikit tempat duduk. Jatah tempat duduk kami memang sore itu diduduki oleh tiga orang. Ini idenya karena seorang lelaki kurus yang tak kebagian tiket yang bertempat duduk. Mungkin karena badannya yang kurus itu kami jadi masih bisa duduk bertiga.

“Di wc ngantri sekali,” katanya kemudian, “rupanya banyak yang keseringan minum di cuaca panas begini.”

“Oh iya ya?” kataku kemudian “memang menurut kesehatan juga tidak bagus menahan buang air kecil, Mas.”

Menit berikutnya, angin segar sore yang menerobos lewat jendela kereta api ini mulai membuai kami. Beberapa orang dari kami juga nampaknya sudah mulai masuk dalam dekapan mimpi, tak terkecuali dua orang yang duduk di samping kanan kiriku, Syarief dan seorang lelaki paruh baya. Sementara mataku rasanya tak jua bisa kupejamkan. Entah karena fikiranku yang masih tertuju pada khabar keluargaku, atau inti percakapanku dengan Syarief yang sedemikian terekam di hatiku. Tentang kemulyaan orang tua, dan beramal pada siapa saja atas nama mereka. Kalau pada orang lain saja kita punya kewajiban sebagai sesama muslim, apalagi pada keluarga dan saudara kita. Alangkah percumanya Allah menitipkan semua anugerah-Nya pada kita, bila kita tidak mampu berbagi dengan sesama kita. Aku jadi ingat ustadz Faisal yang sering menyampaikan pesan dasarnya tentang pondasi sikap sesama muslim, yakni ‘seseorang belum dikatakan beriman bila ia belum mampu mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri…’[2]

Ah, nasehat seperti itu membuatku makin tak menentu, menyadari akan kealfaan hatiku selama ini. Ketika sekian banyak kesibukan dan rutinitas hidupku menyita waktuku untuk memperhatikan saudara-saudaraku empat tahun belakangan ini. Seingatku, masih ada beban keluargaku yang belum tuntas hingga dering handphone dari Om Budi yang kuterima tiga hari yang lalu. Yah, dialah Ruby, adik bungsuku yang masih dalam masa halusinasinya.

Allah seakan sengaja mengirimkan Syarief kepadaku, untuk memahami kelalaianku sebagai bagian dari Ruby. Saudara kandungku, yang tengah meniti ujian taqdir Allah dalam hidupnya. Sejak kepulangannya dari Aceh serta menghilangnya istri dan kedua anaknya, kondisi adiku memang sangat jauh terpuruk. Halusinasinya tentang sadisnya perang, pembantaian, dan pembunuhan membuatnya sangat takut menghadapi siapa saja. Dalam kurun waktu empat tahun itu, yang kudengar ia tak lagi aktif di kesatuan. Ruby lebih banyak beristirahat di rumah dan dirawat oleh kakak-kakaku secara bergantian. Ada rasa bersalah di hati ini, ketika kuingat selama empat tahun itu, aku memang tak dapat merawatnya seperti kakak-kakaku. Karena tempat tinggalku yang jauh, aku hanya dapat membantu dengan berkirim uang sekali-kali untuk membantu membeli obat rujukan dokternya.

“Yaa Allah, apakah karena semuanya itu, Engkau batalkan keberangkatanku menjadi tamu-Mu. Apakah karena masih ada hak adikku yang belum aku tunaikan sebagai kakaknya, “ bathinku seraya menghela nafas.

Geletar hati seperti itu membuatku makin jauh menerawang, ke barisan pohon-pohon yang nampak berlarian meninggalkan kereta ini. Sesekali ingatanku juga terpaut pada rombongan asongan dan pengamen cilik di beberapa stasiun yang kami singgahi. Sebetulnya aku melihat ada sosok masa laluku di sana, masa dimana aku dan Ruby menggaris taqdir untuk tetap bisa bersekolah. Saat keterbatasan keluarga kami merupakan kendala terbesar bagiku dan Ruby untuk tetap bisa bersekolah dan merasakan indahnya dunia belajar.

Ah, ingatan seperti itu seolah mendendangkan senandung rindu masa kecilku. Ketika garisan nasib membawaku dan Ruby untuk menjadi bagian dari komunitas kereta di kota kecilku. Menjadi asongan kecil demi merenda masa depan kami yang lebih baik.

******


[1] Manajemen PT Kereta Api dalam meminimalkan kecelakaan yang terjadi

[2] Hadist diriwayatkan Buchari Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar