Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Minggu, 18 April 2010

Doktrinasi Muda Praja! Mungkin demi Idealisme Seharusnya



SEMUA Calon Muda Praja sudah berbaris dengan rapi di Lapangan Plaza, sap dan banjarnya serta ketinggian sudah sesuai dengan ketentuan. Sesekali kecemasan hadir di hati kami, entah kegiatan apa lagi ini, yang jelas badan kami sudah tak mampu lagi untuk beraktifitas lebih. Biasanya kalau sudah seperti ini, dulu aku langsung menuju alun-alun kota dan minum jamu pegel linu. Tapi di Ksatrian, mana ada yang seperti itu ?

Beberapa Madya Praja dengan pakaian PDL lengkap datang dan mengecek barisan kami, beberapa diantaranya menunjukan wajah yang kurang bersahabat. Ah, senyum disini sangat mahal sekali rupanya. Setelah pengecekan selesai, mereka semua kembali berkumpul di depan kami. Hanya beberapa orang saja yang masih dan tetap berada di belakang barisan kami, mungkin mereka sengaja untuk mengawasi keseriusan kami dari belakang pasukan.

“Adek-adek Calon Muda Praja, selamat sore!”

“Selamat sore!!”

“Kalian sudah mengikuti kegiatan OPSPEK selama beberapa hari. Berbagai pemahaman dunia Ksatrian, mental dan ideologi, pembinaan fisik, serta orientasi kebagsaan. Itu semua adalah bekal kalian dalam menempuh pendidikan di Lembah Manglayang ini, terlebih lagi semuanya itu bertujuan untuk membentuk kalian menjadi kader-kader pemerintahan Departemen Dalam Negeri. Kader-kader yang tangguh dan mampu menggantikan tongkat estafet kepemimpinan masa depan, yang berdedikasi serta berjiwa nasional.

Ingat Dek, di tangan kalian masa depan bangsa ini digantungkan, bila kalian mampu menunjukan yang terbaik dari apa yang kalian mampu, bukan tidak mungkin akan membawa bangsa ini pada kemajuan yang lebih baik. Sebagai generasi penerus, kalian tidak cukup hanya mengandalkan apa yang kalian miliki sekarang, akan tetapi bagaimana upaya kalian dalam menggali potensi dari jiwa dan hati kalian. Bangsa dan negara ini menuntut banyak akan inovasi, prestasi dan kredibilitas kalian sebagi seorang kader. Ini terlihat dengan kesungguhan negara ini membiayai hidup kalian, membiayai makan dan pakaian kalian untuk dapat mengikuti pendidikan disini. Oleh karena itu jangan sia-siakan kepercayaan yang diberikan negara ini pada kalian. Ingat Dek, ini adalah amanah dan tugas mulia yang harus terus kalian emban. Oleh karena itu tunjukan pengabdian dan rasa terima kasih kalian dengan mengikuti segala kegiatan ini dengan baik.

Sampai hari ini, apakah masih ada diantara kalian yang ingin mengundurkan diri?”

“Siap, tidakk!!”

“Apakah masih ada yang merasa berat dan terpaksa untuk mengikuti kegiatan di sini?”

“Siap, tidakk!”

“Bagus! Ingat, Dek. Masih banyak pemuda pemudi di seluruh pelosok Indonesia yang ingin masuk dan menjadi Praja di Lembaga Penempaan ini, akan tetapi Tuhan telah mentaqdirkan kalian dan negara telah memilih kalian untuk mewakili mereka. Jadi jangan sia-siakan kepercayaan yang telah diberikan pada kalian semua!”

Begitu panjang doktrin yang mereka berikan pada kami. Aku benar-benar tak tahu kalau ternyata di lembaga seperti ini aku sekarang, seingatku aku cuma ingin kuliah. Aku cuma ingin lebih maju dari keadaanku semula, aku cuma ingin meneruskan harapan dan cita-cita almarhumah ibu. Tapi rupanya banyak amanah, banyak tuntutan, dan juga banyak harapan negara yang diembankan padaku kini. Subhanallah… andai memang ini adalah batas pencarianku tentang hakiki hidup ini, berikan aku kekuatan untuk dapat menempuhi segala ujian dan perjuangan ini… yaa Allah.

“Kenapa kamu tertunduk?” Eduk Da Maiya Praja utusan Timor Leste itu mengejutkanku.

“Mataku kelilipan…”

“Eh.. kamu oran (maksudnya orang) menangis?” aku cepat menyeka air mata yang tak kusadari mengalir di pipiku. “Ada apa, Rist. Kamu sakit, kah?”

“Hey, itu yang di belakang, kalian dengar aba-aba tidak?”

Astagfirullah, semua sudah berposisi push up! Aku langsung menyesuaikan diri begitu juga rekanku itu.

“Kamu tidak tahu sikap push up?” suara senior di ujung sana makin keras.

“Kamu sakit?” Kak Aries yang sedari tadi berada di belakangku langsung menghampiriku.

“Siap, tidak, Kak!”

“Jangan melamun, ikuti kegiatan dengan baik!!!”

“Siap, Kak!”

“Baik, hitung bersama-sama sampai dua puluh, mulai!!”

“Satu, Dua, Tiga…,” hingga dua puluh.

Push up ini seperti hukuman bagi kami yang selalu kurang ikhlas dalam menjalani. Tetapi sesungguhnya, kegiatan ini merupakan pembinaan fisik kami untuk selalu kuat memikul setiap ujian. Dan yang jelas ini akan membentuk dada lebih bidang dan otot-otot lebih kuat.

“Karena kamu tadi melamun, untuk kamu tambah sepuluh…” Kak Aries menendang kakiku yang masih dalam posisi push up, “masih kuat?”

“Siap, masih Kak!!”

“Bagus, ayo lakukan!!”

“Saatu… duua… tiiga…” aku harus bisa, aku harus bisa…

SENJA berarak di atas Gunung Geulis, gunung yang melingkungi lembah Jatinangor ini. Warnanya yang memerah jingga memberikan kesan keteduhan dan ketenangan pada siapapun yang memandangnya. Disertai hembusan angin dingin yang menyusur di antara lembahnya sepertinya menggerakan pucuk-pucuk cemara di tiap lerengnya. Suasana ini seolah membawaku pada kedamaian yang pernah kudapatkan dulu. Dalam timangan ibuku, atau kidung sendunya setiap mengantarkanku tidur.

Banyak harapan yang ia sampaikan pada masa depanku kelak, tentang kemandirianku sebagai seorang lelaki. Seorang lelaki yang siap atas segala cobaan hidup, seorang lelaki yang siap atas segala kepahitan hidup, atau juga seorang lelaki yang mampu berkata ‘saya sanggup’ dengan segala bentuk ketidakadilan zaman. Dengan wejangan ikhlas dan nerimo atas segala kuasa Allah, setidaknya aku telah dikenalkan resep pamungkas almarhumah ibuku pada setiap jejak lagkah hidupnya. Ah… aku jadi benar-benar kangen denganmu, Bu. Petuah dan nasehatmu selalu menentramkan aku atas segala kebingungan dan kegalauan hidup ini.

Menjelang sholat maghrib ini, aku berkumpul di salah satu petak asrama yang kami alih fungsikan sebagai mushola. Sedangkan yang beragama lain, menyesuaikan dengan kegiatan peribadatan mereka. Saat seperti inilah kami jadikan sebagai ajang saling berbagi dan memotivasi, untuk segala keluh dan kesah kami. Opspek yang penuh dengan ujian dan tantangan seakan merubah hampir semua pola fikir dan tingkah laku kami. Entah apa sebenarnya yang tengah para senior terapkan pada kami, yang jelas begitu banyak doktrin, aturan dan keharusan yang kami jalani. Sejujurnya kami mulai merasakan ada yang lain dalam cara berfikir kami. Sebagai seorang Praja, seorang kader pemerintahan, kami memang dituntut memiliki berbagai kapasitas dan kebiasaan yang mungkin selama ini tak pernah terfikirkan oleh kami.

Seperti saat ini, kami berdiskusi dan saling bantu dalam menghadapi permasalahan kami. Dengan berbagai latar belakang, adat, suku serta agama membuat bahasan kami berkembang dengan sudut pandang yang beragam. Mungkin ini salah satu upaya negara ini dalam menggodok calon-calon generasi penerusnya. Dengan beragamnya pandangan dan wawasan kami, tentunya akan menjadi pembelajaran dan pembentukan karakter kami yang komprehensif dan nasional tentang negeri ini. Sadar ataupun tidak, aku selalu merasa beruntung untuk menjadi salah satu bagiannya. Untuk pemuda miskin dan keluarga tak mampu, bagiku masuk ke dalam lembaga pendidikan ‘mewah’ seperti itu adalah anugerah. Anugerah yang dalam mimpikupun tak pernah kualami. Aku benar-benar mendapatkan sesuatu yang besar dalam kepencarian jati diriku, dan obsesiku untuk terus melanjutkan cita-cita dan harapan almarhumah ibuku.

Dalam sebuah komunitas, ketahanan mental setiap orang pastinya berbeda-beda, dan itu juga berlaku pada kami. Dari 650 orang seangkatan denganku, ada juga yang merasakan lain dengan tempaan mental dan pembinaan seperti ini. Mereka senantiasa berontak dan tidak bisa menyesuaikan diri. Dan kalau sudah seperti itu, biasanya cuma satu yang ada di benak mereka, kabur dan meninggalkan lembah penggemblengan ini. Ini terjadi pada salah satu Praja utusan Jawa Timur, ia baru saja kabur siang ini. Keterpaksaannya untuk mengikuti segala pembinaan di lembaga ini, membuatnya nekat untuk pergi dan melarikan diri. Entah apa yang melatarbelakanginya, yang jelas itu menjadi contoh bagi kami tentang perlunya ketahanan mental dan fisik kami. Beragam pendapatpun bermunculan dari segenap civitas akademika untuk kasus kaburnya Praja ini.

Ada yang berpendapat rekruitmennya yang perlu ditata kembali sehingga penyaraingan calon Praja benar-benar diutamakan bagi mereka yang berkualitas dan dipandang mampu untuk mengikuti pendidikan. Bukan mereka yang asal mampu menyediakan ‘fulus agar bisa lulus. Ada yang berpendapat penerapan disiplin dan mengadopsi sistem semi militer perlu dikaji ulang dikarenakan kader-kader pemerintahan bukan organik yang disiapkan untuk perang. Ada pula yang berpendapat sistem ‘jarlatsuh’ yang premature sehingga dalam implementasinya cenderung berpeluang melahirkan deviasi dan konflik. Dan yang paling menyeramkan adalah, latar belakang daerah Jatinangor yang katanya dulu tempat pembantaian DI/TII sehingga banyak arwah penasaran dan merasuk pada jiwa sebagian Praja. Khususnya senior ketika membina juniornya.

Pendapat yang terakhir meski berbau klenik, agaknya diyakini sekian banyak orang. Dari para pedagang atribut, pengusaha warung makan, penyedia jasa foto copy sampai pengusaha wartel di seputar Jatinangor, banyak yang meyakini hal tersebut. Dan ini makin menguatkan beberapa pendapat rekan kami tentang adanya dunia lain yang bersanding dalam kehidupan Praja. Beberapa orang diantara kami mengaku ada yang sempat mengalami beberapa kejadian aneh di seputar Ksatrian. Seperti munculnya wanita bergaun merah dengan wajah separuh cantik separung rusak. Belakangan wanita ini dikenal dengan ‘hantu lilis’. Kemunculannya biasanya diawali bunyi kucing-kucing yang gaduh diantara gedung-gedung asrama kami. Adalah Adjat Sudrajat, Muda Praja asal Jawa Barat yang kebetulan jaga asrama NTB menjelang maghrib. Entah karena tengah melamun, atau berhalusiansi, yang jelas, yang bersangkutan pernah agak ‘stress’ karena mengaku melihat ‘hantu lilis’ ini. Dan yang lebih mengerikan, menurut vesinya perempuan itu tidak lagi bergaun merah, akan tetapi tinggal kepalanya saja yang melayang-layang.

Kejadian lain adalah adanya pasukan berkuda yang mondar-mandir di depan Asrama Kalteng, bekas markas tentara dari Rindam III Siliwangi yang melatih kecakapan kemiliteran Praja. Di asrama ini suara pasukan berkuda itu begitu keras terdengar, akan tetapi memang hanya suaranya saja. Mereka tak terlihat satu pun. Lain Asrama Kalteng, lain pula asrama Maluku, di jalan yang menanjak ini diyakini sering muncul penampakan sepasukan tentara yang berbaris dan berjalan tanpa kepala. Ini hampir mirip seperti yang terjadi di depan asrama Irian Jaya, Agapito Araujo yang asli Tim-Tim mengaku melihat lelaki berpakaian PDL Praja dengan muka yang rata, alias tanpa wajah.

Kejadian-kejadian aneh seperti ini, seakan semakin menguatkan pendapat bahwa lokasi dan tempat Kesatrian STPDN ini angker dan memiliki aura mistis yang kental. Selain kejadian tersebut, masih ada lagi kasus bunyi kran air menyala tanpa air yang tercurah di asrama Tim-Tim, atau hantu yang menyamar menjadi Praja dan ikut tidur di asrama DKI atas. Atau hantu berambut panjang yang tiba-tiba membayang di cermin ketika Kak Nurhudaniyanto, Nindya Praja asal Kediri, tengah menyisir rambutnya.

Dan yang sering terjadi dan ini dialami oleh sebagian besar Praja adalah kemunculan mendadak pengasuh kami, Bapak Indrarto. Kami tidak mengklasifikasikan seperti kejadian aneh para hantu siih..., akan tetapi kehadirannya yang serba mendadak ketika kami membicarakannya, seolah perwujudan ‘candy man’ bagi kami. Untuk yang satu ini sebenarnya bukan kejadian yang berkorelasi atas berbagai pendapat, mengapa STPDN mendadak jadi ‘angker’. Akan tetapi memang salah satu moment yang turut mendukung mengapa, STPDN menjadi ‘beda’ dibanding yang lain, salah satunya yaa itu... pengabdian seorang pengasuh yang komit terhadap profesinya. Pengabdiannya yang teguh membuatnya melupakan beragam jabatan struktural pemerintahan yang menggiurkan di tempat asalnya. Niat dan tekadnya adalah, menciptakan kader pemerintahan yang tangguh, tanggap dan trengginas dari putiknya, tempat para kader dilahirkan. Salut, untuk beliau!

Kembali pada kasus kaburnya seorang Praja. Karena tindakannya tersebut, selain mencoreng nama angkatan kami, ia juga membuat kami semua menerima konsukuensi fisik dari para senior kami. Kami dipandang tidak memiliki kepedulian, kami kurang bisa menjaga kekompakan, kami kurang memiliki jiwa korsa… dan masih banyak lagi predikat jelek yang kami sandang karena peristiwa ini. Dan pemikiran seperti itu terus terbawa oleh kami hingga upacara makan malam ini. Entah tindakan apa lagi yang akan kami terima sebagai koreksi kelalaian kami ini.

Biasanya setelah apel malam kami akan diceramahi panjang-panjang. Di doktrin habis-habisan, dan yang paling mendebarkan adalah tindakan fisik! Selain push up, sit up, scot trash, lompat kodok, jalan jongkok, merayap seperti tentara menyerang musuh, dan yang paling sial yaa... mungkin seperti yang anda lihat di SCTV pada beberapa tahun kemudian setelah ini. Ada dada yang memerah, ada pipi yang memerah, ada lutut dan siku yang lecet dan yang jelas, ada rasa dan jiwa yang terluka! Itulah kami, masa Muda Praja yang tengah dibentuk menjadi anggota baru sebuah civitas akademika.

Namun kalau boleh aku lanjutkan ada satu scene adegan yang dipenggal dari tayangan tv tersebut, Sodare. Yakni makan roti dan nutrisari bersama antara kami dan para senior itu pada akhir kegiatan, ini merupakan bentuk kekeluargaan yang tak akan pernah lekang di hati kami. Menyadari sepenuhnya kalau mereka hanya ingin membuat kami menjadi lebih tangguh dan kuat, secara mental, sikap dan karakter. Bukan untuk membunuh! Kalaupun pada akhirnya terjadi, opsinya kembali pada beberapa pendapat di atas...

Dan kalau sudah pada kondisi seperti itu, bagiku yang telah memilih jalur ini lahir dan bathin, cuma bisa pasrah. Diam, terpejam dan membayangkan wajah ibunda, dengan senyum tulusnya, dengan senyum kasih sayangnya dan acungan jempolnya. ”Jangan ragu dan bimbang Mi, aku akan tetap kuat untuk melanjutkan harapan dan cita-citamu...”

8 komentar:

  1. subhanallah.. Sungguh berbahagia pernah memiliki memori ini...

    BalasHapus
  2. alhamdulillah, telah sudi mampir di blog saya dik Asriani Amir... salam ukhuwah yaa

    BalasHapus
  3. harusnya kupasan ini yang ditonjolkan dalam pencitraan kita sebagai purna maupun praja,bukan hanya tentang kekerasan.salam hangat dari manglayang kak :)

    BalasHapus
  4. terima kasih dek... mari sumbangsihkan karya kita dalam bentuk apa saja, demi bumi pertiwi... BNEB!

    BalasHapus
  5. kak di jateng buku di jual dimana ya? idrnya berapa?

    BalasHapus
  6. silahkan pesan di 085311678529, de...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hellow Bro,... masih ada novel ini?.... Salam.... BNEB...

      Hapus
  7. mantap dan penuh inspirasi. nice blog!!

    BalasHapus