Malam belum lagi berujung, ketika suara desah halus mengusik tidur lelahku. Sesaat mataku terpicing dan mencoba menguasai keadaan dengan mengumpulkan segenap kesadaranku. Perlahan, kulangkahkan kakiku menuruni ranjang papan tempatku dan Ruby tidur. Sekilas kulirik Ruby yang masih terlelap dalam mimpi anak-anaknya. Wajahnya sedikit tersenyum seolah berekspresi dengan bayangan dalam mimpinya. Adiku yang bungsu ini memang tidak banyak mengerti tentang apa yang tengah dialami keluarga ini. Ia tak tahu, kalau sudah seminggu ini, kami makan seadanya. Kadang hanya sekali sehari, itupun terkadang hanya dengan kecap atau kerupuk yang dibagi dua. Kami tak pernah berani menanyakan semuanya itu, apalagi yang kutahu ibu sudah dua minggu ini tak lagi berjualan sayur seperti biasanya. ibu tidak lagi pergi ke pasar setiap pukul tiga pagi. Kata Mbak Atin, modal ibu sudah habis.
Aku menarik selimut kain batik sisa peninggalan Mbak Kartini yang sudah usang ke tubuh Ruby. Aku ingin adiku yang bungsu itu tak terganggu dengan bangunnya aku. Setidaknya udara di musim hujan ini memang sangat dingin bila menjelang pagi. Aku ingin dia tetap merasa hangat, agar tetap nyenyak dalam tidurnya.
Aku menajamkan telingaku untuk dapat menangkap lebih jelas lagi suara desah halus yang mulai berubah isak itu. Dengan hati-hati sekali kulangkahkan kakiku menuju ruang tengah yang selalu gelap bila malam. Kami terbiasa mematikan lampu minyak yang menempel di dinding pagar anyaman bambu kami bila kami hendak tidur. Selain menjaga kemungkinan terjadinya kecelakaan karena tumpahnya lampu minyak, ibu lebih menekankan kami untuk lebih berhemat minyak tanah di saat-saat susah seperti ini.
Makin mendekat ke arah belakang, makin jelas suara isak itu ditelingaku. Meski dalam keadaan temaram dan cenderung gelap, karena cahaya yang ada hanya dari langit-langit genteng kami yang tertimpa cahaya bulan. Gerimis sedang tak turun saat itu, sehingga bulan yang sedang purnama seolah mewakili temaramnya malam. Namun aku masih bisa mengenali sosok perempuan yang tengah bersimpuh dengan mukenah lusuhnya. Dia ibu...
Rupanya ibu masih sibuk bersimpuh dan berdzikir seperti biasanya di ujung malam seperti ini. Seingatku ibu memang biasa sholat malam, akan tetapi tidak seperti yang ia lakukan selama sebulan ini. Ibu nampak lebih memanjangkan waktu sholatnya, tidak lagi hanya di tengah malam, akan tetapi jauh menjelang ujung malam hingga fajar menghantar subuh. Meski bukan hal yang aneh, akan tetapi membuatku merasakan ada yang lain dari Ibu. Sesuatu yang lain yang membuat ia selalu terisak di ujung malam seperti ini.
“Yaa Robb... hamba tahu, bahwa segala keputusan dan taqdir-Mu adalah design yang terbaik bagi kami. Hamba mengerti kalau apapun yang Engkau lakukan adalah sesuatu yang sarat hikmah dan ujian bagi peningkatan iman hamba...
Tapi untuk semua ini, untuk saat seperti ini, tiada lagi tempat hamba bergantung dan berserah diri akan segala keterbatasan kami selain hanya pada berkah dan anugerah-Mu Yaa Robb...
Beri hamba kekuatan untuk menghadapi kondisi kemiskinan kami ini dengan ridho-Mu, agar hati kami tetap lapang, agar jiwa kami dapat terus ikhlas berharap kemudahan berikutnya hanya dari tangan dan taqdir-Mu, Yaa Robb...
Jika benar malam ini adalah saat engkau berkenan untuk mendengar pinta hamba yang hina dan papa ini, andai benar Engkau berkenan mengijabah permohonan hamba-Mu yang tulus berserah diri pada-Mu, dan andai semua itu mungkin untuk hamba yang selalu alpa dan tak lepas dari dosa....
Cukuplah bagi hamba untuk menghadapi esok pagi, dengan perut kenyang anak-anak hamba, senyum tawa dan ceria mereka, serta tidur nyenyak mereka karena kebahagiaan di hati mereka, Yaa Robb...
Hamba tak mampu menghidupi mereka secara layak, hamba juga tak mampu mencukupi segala kebutuhan hidup mereka, karena itu hamba serahkan semua ini kepada-Mu. Yaa Roob....
Bahagiakan mereka meski dengan kondisi kemiskinan mereka, tenangkan mereka meski dengan kelaparan mereka, tuntun mereka untuk tetap menjadi anak-anak yang selalu ada dalam ikhlas dan ridho-Mu terlahir di dunia ini, Yaa Robb....
Hamba telah merasakan begitu banyak kepedihan dalam setiap langkah hidup hamba, sedari hamba kecil hingga hamba menjadi seorang ibu... karenanya cukuplah segala kemiskinan dan kesusahan itu hanya milik hamba, yaa Robb...
Jangan Kau timpakan pula semuanya itu pada anak-anak hamba, andai semua itu akan membuat mereka terpaling dari-Mu. Jangan Kau susahkan mereka andai itu tak membuat mulia dan tegar mereka, Yaa Robb...
‘Katakanlah, Yaa Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau mulyakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Engkau masukan malam kepada siang dan Engkau masukan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup dan Engkau beri rezki kepada siapa saja yang Engkau kehendaki tanpa hisab’[1]
Alloohumma inna haadzaa idbaaru lailika wa iqbaalu nahaarika wa ashwaatu du’aatika fagfirlii...”[2]
Air mataku menggenang di kelopak mataku, aku tak tahu apa yang kurasakan. Yang jelas bulir bening itu hadir begitu saja. Meski aku belum akhil baligh seutuhnya, namun reaksi phiskis seperti ini adalah alamiahku sebagai manusia. Aku cukup memahami kalau isak tangis dari seorang wanita yang selama ini membelai rambutku dengan tulus dan mendekapku dengan rasa sayang, adalah manifestasi kepedihan yang harus pula kutanggung. Ini ikatan bathin yang sesungguhnya bagiku, ketika isak yang kudengar menggetarkan trenyuh di hati kecilku.
Tak sengaja tanganku menyentuh sapu yang diletakan di sudut pintu kamar ibu. Jatuhnya menimpa tumpukan perkakas ibu yang terbuat dari alumunium hingga menimbulkan bunyi yang cukup gaduh. Seketika ibu menoleh dan menangkapku yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Ekspresinya nampak terkejut, entah apa yang ada dalam lintasan fikiran sesaatnya. Namun ketika pandangannya terpaut padaku yang nampak pucat ketakutan, ekspresinya mendadak berubah teduh. Ia tersenyum ke arahku, dan itu sangat menenangkan hatiku yang diliputi rasa bersalah.
“Kamu Rist?”
“I.. iya, ini Harist, Mi,” kataku mencoba untuk mendekat.
“Ada apa masih gelap begini sudah bangun, Rist?” ibu sejenak merapihkan mukenah lusuhnya. Tangannya yang keriput juga terlihat cekatan merapihkan sajadah yang sudah botak di beberapa sisinya.
“Harist haus, Mi. Harist mau minum...,” jawabku datar.
“Ohh, dikira ada apa?” ibu bangkit dan membuka jendela kamar belakang yang sangat sempit itu lebar-lebar. Ibu ingin membiarkan udara malam menjelang fajar ini memasuki kamarnya, mungkin agar lebih sedikit segar dari kepengapan dan rasa gerah. “Nanti sudah minum jangan tidur lagi yaa, bangunkan adikmu dan Mas Adi. Sebentar lagi subuh, tidak baik kalau kamu harus tidur lagi...”
“Iya, Mi,” kataku masih dengan jawaban singkat.
“Mimi mau bangunkan kakak-kakakmu yang perempuan, meski hari ini sudah tak lagi menemani ibu ke pasar, mereka harus tetap bangun dan beres-beres rumah,” ibu pergi meninggalkan aku dengan setengah mukenah yang masih menutupi bagian atas kepalanya.
Tak lama kemudian, suara ibu nampak terdengar membangunkan Mbak Atin dan Mbak Puji untuk segera bangun menyambut subuh. Meski dalam dua bulan terakhir mereka sudah tak dibebankan lagi untuk menemaninya ke pasar untuk mencari bahan dagangan, akan tetapi ibu memang berharap kalau bangun subuh tetap menjadi kebiasaan kami. Banyak berkah dan hikmah yang di dapat dengan bangun subuh, seperti juga banyak rezki yang dibagikan malaikat menjelang subuh, begitu nasehat ibu kepada kami.
Seketika aktifitas rumah sempit dengan sarat penghuni itu menjadi ramai, di kamar mandi, di dapur atau juga di halaman depan terdengar. Mbak Atin biasanya sudah sibuk dengan sebakul penuh cucian, Mbak Puji sibuk dengan berbagai peralatan dapur yang harus ia cuci. Mas Adi seperti biasanya merapihkan halaman depan dengan membenahi setiap pojok rumah bilik yang mulai doyong kanan kiri, sedangkan aku dan Ruby menyapu dan mengepel lantai yang terbuat dari acian semen ini. Mungkin karena sudah sangat lama, lantai semen itu terlihat begitu mengkilat karena hampir tiap hari di pel. Ibu memang agak rewel bila melihat lantai kotor dan berdebu, meski dengan kondisi yang sangat sederhana ia selalu menginginkan rumah dalam kondisi bersih.
Selepas tak berjualan sayur keliling kampung lagi, Ibu biasanya membantu Uwak Rokhanah, kakak perempuan ibu, menyiapkan makanan kecil yang akan dijual di warung rokoknya yang berada di terminal. Oleh karenanya selepas sholat subuh, biasanya ibu langsung ke rumah saudara perempuannya yang bersebelahan dengan rumah kami.
Pada awalnya Wak Rokhanah menolak kehadiran ibu membantu usahanya itu, namun karena ibu bersikeras ingin, akhirnya saudara ibu satu-satunya itu tak bisa lagi menolak. Kata Mbak Puji, ibu kadang hanya mendapatkan makan siang dan beberapa nasi bungkus saja setiap pulang dari terminal. Namun ibu tak mau menceritakan semuanya itu, ia tak ingin kami semua tahu. Setidaknya ibu memang tidak mau diam di rumah dan menunggu khabar bapak yang hingga bulan ke tiga ini tak jua berkirim wesel. Biasanya setiap tanggal muda, bapak rutin mengirimkan wesel dan khabar tentang kondisi kerjanya yang berpusat di Singapore sana.
Bapak memang masih menggantungkan harapan di perusahaan jasa pengantar barang via laut itu. Meski gaji bapak tak begitu besar dan tak sebanding dengan taruhan jiwanya, akan tetapi ia tetap bertahan. Demi kami kelima anaknya yang masih membutuhkan biaya sekolah. Pernah sekali waktu, kalau kapal tempat kerjanya yang bermerek MN. HAI HUI itu, melintas ke perairan Atlantik untuk mengantarkan ratusan kontainer pesanan perusahaan sebuah negara. Dengan kondisi cuaca yang buruk serta suhu jauh di bawah nol derajat, membuat beberapa orang anak buah kapal tak sadarkan diri. Ada yang membeku dengan bibir dan hidung yang perih, ada juga yang hampir mati lemas karena oksigen yang minim. Beberapa yang lain ada yang kehilangan beberapa jari karena telah beku dan kaku sehingga harus di potong. Ini dilakukan karena jaringan sel dari anggota tubuh yang telah mati itu berdampak pada anggota tubuh yang lain sehingga harus dipotong.
Bapak juga juga bercerita kalau sebelah kakinya hampir saja hilang dan dipotong dikarenakan cuaca dan suhu yang sedemikian buruk itu. Namun Allah rupanya masih berkenan dan mengijabah permohonan ibu yang selalu mendoakan kesehatan dan keselamatan bapak. Hingga akhirnyanya, sebelah kaki bapak yang sempat beku dan mati rasa itu bisa kembali digerakan.
Tragisnya pengalaman berat seperti itu bukan hanya sekali. Kejadian kritis seperti itu hampir terjadi setiap tahun, dan kami selalu mendengarnya ketika bapak berkesempatan sandar di Pelabuhan Tanjung Priok dan mendapatkan izin cuti pulang. Selama cuti beberapa hari itu, kami bisa merasakan kasih sayang seorang Bapak. Ada kebahagiaan sesaat diantara kami sekeluarga. Tidak hanya kami dan ibu, akan tetapi juga bapak. Setelah lebih dari setahun, pertemuan beberapa hari itu seolah menjadi obat dari segala kepedihan dan kepahitan yang ia rasakan selama mencari nafkah. Setelah ribuan mil jarak, ribuan riak gelombang hingga ujian kesabaran yang sarat dengan ancaman jiwa itulah, bapak dapat merasakan kalau ternyata ia masih memiliki kami. Seorang istri dengan kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Pengabdian dan pengorbanan yang tidak memungkinkannya untuk dapat selalu melihat bagaimana kami, anak-anaknya tumbuh dan berkembang.
Aku melihat air mata haru dan bahagia dari kelopak matanya, ketika ternyata bayi atau anak-anak kecilnya tumbuh tanpa sering memanggilnya ‘Bapak’. Ia harus melewatkan semuanya itu, hingga sekali waktu apa yang ia ingat dulu sangat berubah sekali ketika ia pulang. Mas Adi yang mulai menjadi seorang pemuda, Mbak Atin dan Mbak Puji yang mulai meniti hidup sebagai gadis remaja, hingga aku dan Ruby yang telah melewati masa balita kami.
Namun rasa asing seperti itu selalu ia tahan kuat-kuat. Bapak sadar betul, kalau ia bertanggung jawab atas segala keringat dan air mata ibu. Bapak juga tahu kalau ia harus turut merasakan apa yang dirasakan ibu. Tidur yang sedikit dengan persendian tulang yang ngilu karena lelah bekerja , atau terjaga di ujung malam untuk mengadu dan berpasrah segalanya pada Sang Khalik.
Dan satu hal yang membuat Bapak ikhlas dan siap menjalani profesi sebagai pelaut dan berlayar di seluruh penjuru lautan, yakni dorongan dan dukungan yang tulus dari ibu. Kepercayaan dan ketulusan hati ibu membuat bapak tegar dalam berjuang mencari nafkah. Keteguhan dan ketabahan ibu membuat bapak merasa kalau ia mampu mencukupi dan membesarkan anak-anak, meski nyawa taruhannya . Dengan kejujuran dan kesederhanaan ibu pula, bapak merasa kalau ia tak mungkin dikhianati meski ia terjarak jauh. Itu berlangsung puluhan tahun, hingga kami semua tumbuh dewasa. Dan kondisi seperti itu membuat kami seperti anak yatim, meski sebetulnya kami ber-ayah.
Beberapa bulan yang lalu, kami masih melihat ibu sibuk merapihkan diri dengan memilih baju yang mungkin layak pakai. Biasanya baju terusan berwarna putih dan bermotif bunga-bunga, karena memang cuma baju itu layak untuk dikenakan. Baju itu pemberian bapak, lima tahun yang lalu. Bapak memberikannya ketika sempat sandar di Jakarta setelah berlayar melewati India, Sri Langka, Pakistan, Filiphina dan Bangkok, Thailand. Ketika transit di Bangkok itulah katanya bapak sempat membeli baju terusan yang sangat pas dikenakan oleh ibu. Seingatku ibu memang terlihat sangat cantik dengan baju seperti itu, meski terkesan sebagai seorang chi chi (perempuan China). Dengan tubuh ibu yang berperawakan kurus itu, membuatku berfikir kalau ibu memiliki aura kecantikan yang tak dimiliki oleh perempuan-perempuan kebanyakan. Mungkin karena di usia yang tak muda lagi, ibu masih sibuk membantu mencari nafkah dengan berjualan sayur, hingga badan ibu tidak gampang mekar dibandingkan perempuan lain seusia ibu. Atau karena memang ia jarang bahagia, sehingga membuat badan ibu menjadi lebih langsing. Aaah, aku tidak tahu, seingatku, ibu memang sangat cantik dengan pakaian terusan putih yang bergaya mandarin seperti itu.
Kalau Ibu sudah mengenakan pakaian seperti itu, satu yang membuat kami semua ikut senang, yakni khabar kalau hari itu ibu akan ke Bank Panin yang ada di Jalan Cokroaminoto, Cangkol. Ibu biasa mengambil wesel kiriman Bapak di sana. Setelah itu, kami semua dapat melunasi SPP kami dan membeli beragam kebutuhan sekolah kami. Kalau ibu sedang senang hati, ibu akan masak sayur emes dan belonceng yang dicampur dengan bihun serta ceker ayam untuk kami. Masakan Ibu yang satu itu sudah sangat teruji kelezatannya, dan terbukti menambah nafsu makan kami. Atau paling tidak, Ibu akan memasak sayur nangka muda dengan dicampur kikil, mmm... sedap! Bagi kami ibu adalah koki yang hebat, melebihi profesi bapak yang memang koki masak kapal. Ibu juga libur dari berdagang sayuran dan sengaja menghabiskan satu hari itu untuk berbagi keceriaan dengan kami semua anak-anaknya.
Namun sejak tiga bulan terakhir ini, aku tak lagi melihat ibu mengenakan baju kesayangannya. Tak kulihat lagi ia mematut agak lama di depan kaca lemarinya yang sudah mulai menghitam karena karat. Entah apa yang terjadi, seingatku ini jarang terjadi di awal bulan. Apa bapak sudah tidak lagi mengirim wesel pada ibu? Apakah bapak juga sudah lupa pada kami? Mengapa tidak ada khabar dan berita tentang semuanya ini?
“Mimi jadi mau pinjam modal sama, Wawa Rokh?” Mbak Atin memulai percakapan di sela-sela cucian yang tengah dibilasnya.
“Iya, mudah-mudahan bae dipai ya, Nok[3]...,” jawab Ibu datar seraya merajut kain celanaku dan Ruby yang sudah pada bolong.
“Terus mau buat jualan apa, Mi?”
“Yaa, kalau bisa tidak jualan getuk lindri, mata roda juga bagus,” ucapnya kemudian, “selain modalnya tidak begitu banyak, makanan seperti itu khan gampang dibuatnya, Nok.”
“Mesin gilingnya memang sudah ada, Mi?” Mbak Puji yang sedari tadi sedang menyikat panci hitam ikut menyambung.
“Kata si Adi, mesin seperti itu murah, Nok. Apalagi kalau kita cari yang seken saja di Pasar Talang,” ibu makin semangat.
“Memang Mas Adi sudah pernah mencari di Pasar Talang, ya?”
“Pasar Talang khan dekat dari sekolahan kakakmu itu, pastinya ia sudah pernah melihat barang-barang itu di sana,” sesaat ibu menghentikan rajutannya, ia nampak menggigit benang yang berlebih dari celana seragamku. Meski sudah beberapa kali di jahit celanaku itu memang gampang robek, maklum karena sudah sangat usang. Ibu masih menyimpannya, katanya sayang kalau harus dibiarkan begitu saja. Meski sudah tidak dipakai ke sekolah, aku bisa memakainya untuk bermain. Ahh, Ibu memang sangat cermat dalam memberdayakan pakaian usang. Ia tidak akan asal membuang semua pakaian lama, baginya akan sangat bermanfaat kalau kita bisa merawat dan menjaganya hingga akan tetap bisa terpakai. Untukku yang masih jauh dari beger (puber) tidak pernah berfikir tentang bentuk dan potongan pakaian. Asal enak kupakai, dan melindungiku dari panas dan kotor, sudahlah. “Fungsi pakaian yang paling penting adalah menutup aurat dan menjaga kesopanan, selain melindungi tubuh kita dari panas dan kotoran. Cari saja yang enak dipakai dan pas disandang, dan satu lagi yang murah dan sedang saja, supaya tidak menimbulkan ujub,” begitu pesan ibu pada Mbak Atin atau Mbak Puji kalau sedang membicarakan baju.
“Nanti Harist ikut bantu menjual di sekolah ya Mi, di SD Kebon Melati jajananya begitu-begitu saja, pasti bosan. Kalau Harist bawa getuk lindri ke sekolah pasti banyak yang mau beli,” kataku penuh semangat.
“Pasti, Cung.Tapi janji, jangan jualan di terminal lagi, Mimi tidak seneng kalau Kacunge [4]jualan di sana, “ Ibu mewanti-wanti.
“Iya Mi, Harist Janji,” kataku seraya tersenyum meyakinkan.
“Ruby juga boleh jualan khan, Mi?” kami semua melihat dan tersenyum pada adiku yang baru masuk sekolah dasar itu. Wajahnya yang putih serta matanya yang sipit membuatnya semakin lucu dengan kalimat seperti itu. Yang jelas anak bungsu Ibu itu seakan aset keluarga yang paling berharga. Kehadirannya seakan membawa keceriaan diantara kami.
“Sudah bisa menghitung uang, belum?” Mbak Atin menggoda adiku yang kadang keras kepala itu.
“Ya bisa lah, Ruby khan sudah belajar matematik di sekolah, tambah-tambahan, kali-kalian, pengurangan dan hasil bagi,” katanya serius.
“Kalau lima ratus dikurangi seratus berapa?” giliran Mbak Puji ikut menggoda.
“Yaa... berapa ya?” Ruby terlihat berfikir serius, ia kesulitan dengan nilai hitungan yang masih jauh dari pelajaran kelas satu SD, “jangan banyak-banyak begitu hitungannya...”
Kami semua tertawa mendengar Ruby yang akhirnya menyerah. Keceriaan seperti itu sesaat membuat kami lupa akan apa yang tengah hadapi, terutama ibu. Wajahnya kulihat tersenyum geli, dan tak menyiratkan kesusahan. Ah, aku rindu saat-saat seperti itu. Aku rindu saat ibu mengumpulkan kami untuk sekedar bercengkerama dan saling berbagi peduli. Seingatku saat seperti itu juga sangat jarang. Aktifitas ibu yang sampai pukul sembilan malam, membuat ia terkadang tak lagi menyimpan energi untuk bercengkerama dengan kami.
Dengan kondisi seperti itulah, hari-hari kami lewati. Sambil menunggu kepulangan ibu dari menagih hutang , biasanya Mbak Atin, Mbak Puji, aku dan Ruby bercengkrama di beranda rumah. Masih jelas dalam ingatanku, ketika kami kecil banyak hal yang sering kami lakukan bila sedang menunggu Ibu. Seperti meniru kontes nyanyi dengan mengambil undian di dinding. Ini terinspirasi dari acara adu bakat nyanyi TVRI yang di asuh oleh Bu Kasur. Hal itu kami lakukan setelah kami tidak diperkenankan lagi numpang nonton di rumah salah satu tetangga kami. Aku dan Ruby sebetulnya tak begitu tertarik dengan agenda permainan yang digagas oleh kedua kakak perempuanku itu, akan tetapi karena mereka sedikit memaksa dengan menakut-nakuti kami akan diberikan ke ‘gulang-gulang’ [5] kalau tidak mendukung. Jadi yaa begitu deh... namanya juga anak kecil, kami hanya bisa menurut dan mengikuti keinginan mereka.
Bukan hanya karena acara nyanyi-nyanyi seperti itu tidak menarik buat kami, akan tetapi yang membuat kami enggan adalah sikap Mbak Atin dan Mbak Puji kalau sedang bikin acara kontes nyanyi. Mereka tidak berhenti pada satu atau dua lagu, kadang-kadang sampai enam atau tujuh lagu. Dan itu membuat kami jadi bosan menunggu giliran! Mereka selalu ingin menang sendiri. Dan kalau sudah seperti itu, aku dan Ruby hanya bisa pasrah sampai salah satu diantara kami tertidur karena terlalu lama menunggu giliran.
Selain acara kontes menyanyi, biasanya Mbak Atin atau Mbak Puji mengajak kami main rumah-rumahan dengan alur cerita orang-orang miskin yang sering melakukan gadai pakaian. Kalau yang satu ini bukan terinspirasi dari acara televisi, akan tetapi kebiasaan masyarakat di kampung kami yang menggadaikan pakaian, kain, jam dinding atau apa saja di musim paceklik. Keturunan Tinghoa yang paling terkenal menerima gadai barang pada waktu itu adalahTachi Meylan. Dia termasuk yang tidak pilihan dalam menerima aset gadai. Dari pakaian, barang berharga sampai peralatan rumah tangga ia terima. Ciri khasnya adalah ia tidak mematok bunga atau jasa pengembalian uang yang besar dibandingkan tachi-tachi yang lain.
“Saya yang jadi Tachi Meylan-nya ya?” Mbak Puji menawarkan diri.
“Enak saja, Tachi Meylan yang cocok itu yaa saya!” Mbak Atin nampak menunjukan powernya sebagai anak tertua. Usianya yang menginjak sebelas saat itu, kadang bisa error kalau sedang main rumah-rumahan dengan kami. Padahal seingatku, di keseharianya Mbak Atin cenderung dewasa dengan membantu ibu dan hampir mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mungkin karena kami memang dituntut seperti itu, hingga terkadang nalar dan psikis kami tidak tumbuh seimbang. Sekali waktu kami menjadi anak-anak yang ‘didewasakan’, sekali waktu kami bersikap seperti masa kanak-kanak yang kurang bahagia! Contohnya yaa agenda malam itu.
Permainan baru terhenti ketika ibu mendadak pulang dan langsung menjewer kedua kakak kami karena isi lemari pakaian berhamburan di atas kasur. He he he... syukur!
******
“Dudu bli percaya, Kum. Tapi ira gen weru khan, gede sepira sih modale warung rokok kien,” [6] Wawa Rokhanah masih beralasan untuk menolak permohonan ibu untuk meminjam modal, ”kalau saja aku punya modal banyak pastinya untuk memperbaiki warung pojokan ini Kum.”
“Tidak banyak, Yu. Cuma buat beli mesin gilingnya saja, kalau singkongnya saya akan cari pinjeman di pasar,” Ibu masih berharap saudara perempuan satu-satunya itu mau sedikit berbagi.
“Maap bae, ya Kum, dudu kita bli melu priatin[7]. Tapi kondisinya memang tidak memungkinkan,” kilahnya lagi,” tapi kalau kamu mau saya akan coba carikan pinjaman sama Tante Berty yang Batak itu, cuma itu... bunga hariannya besar. Kamu mau tidak?”
“Tidak usah Yu,” Ibu menjawab cepat, “saya mau usaha pinjeman tempat lain saja. Terima kasih sudah mau ikut memikirkan.”
Langkah ibu terlihat gontai, harapannya untuk mendapat pinjaman uang dari kakaknya untuk membeli mesin giling getuk lindri hilang sudah. Dan ibu tak tahu lagi kemana ia harus meminjam uang, ketika Wawa Rokhanah yang menjadi harapan terakhirnya juga tak membuahkan hasil. Sebelum ini sebenarnya ibu telah mencoba meminjam modal dari beberapa teman seprofesi ibu, namun tak berhasil.
Aku melihat ekspresi keputusasaan dari wajah Ibu, peluh dan keringat yang mengiringinya sejak dari terminal elp[8] Gunung Sari, masih membekas jelas di guratan wajahnya. Sesekali tangan kurusnya menyeka keringat yang mulai bercampur dengan titikan air mata. Helaan nafasnya terdengar begitu berat di telingaku. Hari Minggu ini aku sengaja tidak pergi kemana-kemana, kata Mbak Atin hari ini ibu akan mulai jualan. Aku harus membantu mengupas singkong-singkong yang akan ibu pinjam dari langganan ibu di Pasar Pagi. Namun dengan melihat ekspresi ibu seperti itu, kami dapat menerka kalau usaha ibu mendapatkan mesin giling gagal.
“Jadi bagaimana, Mi?”
Ibu hanya menggeleng perlahan. Meski kutahu otak ibu tengah berputar keras layaknya processor core 2 duo, namun kelihatannya tetap menemui jalan buntu. Ini yang kadang kusesali, mengapa aku harus berhenti dari usaha mencari rongsokan. Andai saja aku masih mengumpulkan barang bekas, setidaknya aku masih mungkin memiliki tabungan dan bisa membantu kesulitan ibu.
“Memang Wawa Rokh, tidak ngasih pinjam yah?” tanya Mbak Puji memastikan, “padahal kita khan cuma pinjam, tidak minta, masa dia tega sih?”
“Memang Wawa Rokh bilang apa, Mi?”
“Dia tidak punya uang, Tin. Dan kita tidak bisa memaksa seseorang untuk membantu kita. Itu akan menjadi beban kita seumur hidup. Kita akan merasa hutang budi selamanya,” kalimat ibu terdengar lirih seakan menyesali keadaan, “tapi kita tidak boleh putus asa. Pasti ada jalan keluar dari semuanya ini...”
“Mimi mau pinjam ke siapa lagi?”
Ibu menggeleng perlahan seraya bangkit dan menuju kamarnya. Tak lama kemudian, ia kembali dengan bungkusan koran dan senyum yang agak tertahan. Kami tidak tahu apa yang tengah ibu fikirkan.
“Nok Atin tahu tempat Tachi Meylan khan?” tanyanya kemudian.
“Di Pamujudan, memang kenapa Mi?”
“Coba bawa ini kesana, bilang saja dari Yu Am, dan minta supaya agak dilebihkan harganya,” Ibu nampak menyodorkan bungkusan koran itu kepada Mbak Atin.
“Apa ini, Mi?”
“Sudah bawa saja, sana!” perintahnya,”bilang saja kalau Mimi mau jualan getuk lindri dan butuh uang untuk beli mesin giling...”
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Ibu sudah mulai sibuk dengan berbagai perkakas yang akan ia persiapkan untuk proses pembuatan getuk. Di sampingnya Mbak Puji membarengi, ia juga ikut sibuk mengelap dan membersihkan beragam perkakas ibu yang terbuat dari plastik dan alumunium. Sementara itu Ruby masih sibuk dengan mainan mobil dari kaleng susu bekas di depan, dia salah satu anggota keluarga yang tak terpengaruh dengan semuanya ini.
Aku diminta menemani Mbak Atin ke rumah Tachi Meylan untuk membawa bungkusan koran yang dititipkan ibu. Kami masih belum tahu apa isi bungkusan itu. Dan itu membuat Mbak Atin membolak balik bungkusan koran itu, seolah menyelidiki. Mungkin karena terdorong penasaran, tangan Mbak Atin nampak merobek ujung dari bungkusan koran itu. Seketika sehelai kain putih nampak terlihat dari ujung bungkusan koran yang robek itu. Itu...
“Ini khan baju kesayangan, Mimi,” Mbak Atin seperti tercekat melihat benda yang terbungkus koran itu.
“Memang kenapa Mbak?” tanyaku makin tidak mengerti.
“Ini baju kesayangan Mimi, baju yang dibelikan bapak 5 tahun yang lalu sewaktu kamu berumur lima tahun. Seingat Mbak, Mimi sangat menyayangi baju pemberian Bapak ini, Rist.”
“Terus...”
“Mimi ingin menggadaikan baju ini,” kalimat terakhir Mbak Atin ini membuatku mulai sadar kalau ibu telah mengambil keputusan yang berat dalam hidupnya. Bukan hanya karena benda kesayangannya itu harus dijadikan modal membeli mesin giling getuk, akan tetapi juga akan menghilangkan kenangan tentang bapak. Ibu ingin menggadaikan benda kesayangannya yang kami tahu adalah pengobat rindunya selama ini. Pengobat rindu pada seorang suami yang hanya dapat ia temui setahun sekali. Pengobat rindu akan kasih sayang yang tergadai karena tanggung jawabnya membesarkan kami. Namun karena itu pula, Ibu rela menggadaikan harta terakhirnya.
“Kenapa Mbak menangis,” tanyaku melihat air mata yang menggenang di pipi Mbak Atin. Ia terduduk diam di ujung gang menuju Kampung Pamujudan tempat Tachi Meylan tinggal. Mbak Atin terlihat gamang dengan amanat Ibu. Mungkin ia ingin pergi dan membawa lari baju kesayangan ibu dan batal menggadaikan. Tapi ibu membutuhkan mesin giling…
“Kita tidak jadi menggadaikan pakaian Mimi, Mbak?” tanyaku membuyarkan isak tertahannya. Tangannya meraih pundaku, Mbak Atin nampak tersedu dan memeluku erat. Ia menangis, pilu sekali. Hatiku mengatakan kalau ia menangis untuk ibu.
Langkah kami terhenti di sebuah rumah yang tertutup dengan pagar besi tinggi, kanan kirinya ditumbuhi tanaman yang merambat. Kami tidak melewati pintu gerbang itu, akan tetapi jalan memutar dan melewati pintu sampingnya. Di situ biasanya Tachi Meylan melayani para pegadai barang. Antreanya cukup panjang, rupanya tidak hanya ibu yang tengah di rundung masalah. Diantara mereka nampak seorang balita yang menangis kencang. Mungkin karena lapar atau sedang sakit, yang jelas aku melihat wajah kalut dan cemas dari perempuan muda yang menggendongnya. Ada juga yang sejak kami datang hingga dua puluh menit kami menunggu, batuknya tak reda-reda juga. Sementara beberapa yang lainnya menampakan betul kesengsaraan dan kemiskinan mereka, itu terlihat jelas dari barang yang ingin mereka gadaikan. Mungkin seperti kami, itu barang berharga terakhir yang mereka punya.
Yaa Allah, semoga Engkau membalas segala kesusahan dan kemiskinan kami ini dengan kemudahan dan kesenangan di hari akhir kelak, atau setidaknya mengurangi dosa yang kami lakukan karena kami tak sanggup lagi menahan lapar kami...
*****
Sore itu aku dan Ruby baru pulang menjajakan getuk lindri, daganganku lumayan laku. Di belakangku Mbak Puji juga terlihat berseri-seri dengan hasil jualannya. Kami seolah telah menyelesaikan tugas besar bagi keluarga ini. Kami berharap kalau apa yang kami lakukan ini dapat membantu mengembalikan keceriaan dan kegembiraan ibu. Kami sudah terlalu lama melihat wajah pilu ibu, kami juga sudah terlalu sering melihat ekspresi duka dari orang yang sangat berarti dalam kehidupan kami. Kami ingin ia gembira dan tersenyum dengan apa yang kami lakukan hari ini. Kami ingin ia sedikit merasa lega hari ini.
Mungkin niatan itulah yang membuat aku dan Ruby berlari-lari ke dalam rumah demi ingin menunjukan kalau kami berhasil menjual dagangan ibu. Kami ingin ibu kembali mendapatkan baju kesayangan pemberian Bapak, baju pengikat rindu antara ibu dan bapak. Namun langkah ceria kami, aku, Ruby dan Mbak Puji mendadak terhenti ketika pandangan kami terpaut pada ibu yang tengah berlinang air mata. Disampingnya nampak Mas Adi membacakan surat yang datang dari Bangkok sore itu. Mbak Atin juga terlihat sembab dan tak dapat berkata apa-apa.
Kami bertiga tak dapat berkata apa-apa lagi. Apa yang kami rancang, apa yang ada di hati kami sebelum memasuki rumah, seakan hilang seketika. Berganti cemas dan bingung melihat apa yang tengah terjadi...
“Ada apa, Mi?” tanyaku ragu-ragu.
Ibu diam tak menjawab apa-apa. Tangannya nampak memeluk surat yang baru saja selesai di baca oleh Mas Adi. Air matanya terlinang dan membasahi pipinya yang mulai menua. Ibu menangis! Menangis pilu sekali...
“Kapal Bapak tenggelam, Rist. Dan sampai saat ini, Bapak belum diketemukan,” Mas Adi menjawab mewakili ibu. Tak ada lagi suara setelah itu. Semuanya berganti sunyi dan sepi....
Langit sore itu seakan menjadi gelap dan tak menampakan keakraban sama sekali. Semburat jingga yang biasa datang menghantar maghribpun seakan lenyap entah kemana. Sepertinya keadaan sore itu mewakili hati kami semua. Mewakili kami yang menanti sebuah khabar dari seorang yang paling kami cintai. Dan sore yang sepi sembilu itu menjadi penggambaran dari akhir sebuah penantian khabar ayah kami...
*****
[1] QS ; Al Imran ; 26 -27
[2] Salah satu dzikir Rasulullah dalam al Ma’tsurat
[3] Iya, mudah-mudahan saja di kasih ya, Nak…
[4] Kacunge = sebutan anak laki-laki
[5] Hantu jadi-jadian yang sering menculik anak-anak sebagai tumbal pesugihan
[6] Bukan tidak percaya, Kum. Tapi kamu juga khan tahu, seberapa besar sih modal warung rokok ini…
[7] Maaf saja ya Kum, bukan saya tidak ikut prihatin.
[8] Mini bus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar