Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Kamis, 18 Maret 2010

resensi Takbir Takbir Cinta


TAKBIR-TAKBIR CINTA, BUKTI CINTA SANG PENGAWAL PEMERINTAH
(Catatan Pembacaan Novel Karya Riyanto El-Harits)
Oleh: Muhammad Nursam
Alumni Sastra Inggris UNM

Pertama kali melihat novel Takbir-Takbir Cinta (TTC), saya cukup takjub dengan sampulnya. Tampak seorang pria dengan tubuh kekar sedang mendekat ke arah Kakbah. Di sudut kanan atas, samar-samar terlihat seorang pria sedang mengalirkan air mata.

Aneh rasanya, hampir semua novel yang judulnya diakhiri dengan kata “Cinta”, desain sampulnya selalu menampilkan wajah wanita nan cantik jelita. Sebut saja Ayat-ayat Cinta, Makrifat Cinta, Kasidah-kasidah Cinta, Munajat Cinta, dan lain-lain.

Sebelum memutuskan membeli novel ini, saya perhatikan lagi dengan seksama novel setebal 431 halaman tersebut. Novel ini ternyata mendapat sambutan tertulis dari Bupati Tangerang H. Ismet Iskandar yang wakilnya adalah Rano Karno (Si Doel). Pun yang paling mempengaruhi keinginanku untuk segera memiliki novel ini adalah hadirnya kata pengantar dari bapak Inu Kencana Syafiie (Dosen IPDN yang mengundurkan diri) yang tak lain adalah dosen Kak Riyanto sendiri saat masih aktif sebagai praja STPN (sekarang IPDN).

Sebenarnya saya sudah cukup akrab dengan penulis novel ini di jejaring sosial. Walaupun kami belum pernah bertemu langsung, namun Alhamdulillah beliau banyak memberi masukan dan support buat saya dalam menjalani hidup yang penuh liku.

***
Awalnya saya mengira novel ini tak jauh beda dengan novel-novel lain yang judulnya diakhiri dengan kata “Cinta”. Ya, pasti mengisahkan lagi liku-liku hidup dua insan yang berlainan jenis. Tapi ternyata, saya salah.

Pada bab 1, kita langsung disuguhi bagaimana gambaran kehidupan keluarga kecil sang tokoh utama dalam novel ini, yang tak lain adalah Kak Riyanto sendiri.
Tak pernah ia bosan membuatkan air hangat untukku mandi dan menyuguhkan teh panas dengan takaran gula yang pas (TTC, halaman 17). Salah satu kalimat yang menggambarkan bagaimana indahnya sebuah rumah tangga yang sakinah. Hidup bersama istri yang solehah yang setia menemani dan melayani suami serta menjaga anak-anaknya. Rumah tangga yang tentu sangat diidamkan oleh setiap orang, terutama bagi pemuda seperti saya.

Kemudian pada bab-bab selanjutnya kita bakal meneteskan air mata kala membaca lembar demi lembar pengalaman hidup sang tokoh semasa kecil. Harits dan keenam saudaranya dibesarkan oleh seorang ibu yang luar biasa. Ibu yang rela banting tulang demi menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya.

Sang Ibu yang disapa Bi Am oleh masyarakat dan Mimi oleh putra-putrinya ini, tetap berkeras hati menyekolahkan anak-anaknya, karena ia merasakan betul betapa gelapnya hidup tanpa ilmu.
“Jangan pikirkan biaya. Tugas kalian cuma sekolah. Biarlah Mimi dan kakak-kakakmu yang berjuang memenuhi semua kebutuhan sekolahmu” (TTC, halaman 33).
Alangkah indahnya jika setiap ibu di negeri ini punya semangat untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya walau berbagai kendala menghadang. Kendala fisik atau pun materi.

Jika sebuah novel telah menarik perhatian kita, maka kita tak akan puas jika belum habis membacanya. Seperti itu pula yang saya rasakan ketika membaca novel Takbir-takbir Cinta. Lembar demi lembar saya buka untuk mengobati rasa penasaran saya terhadap isi novel ini. Dalam bab 5 hingga bab 18 kita akan merasakan bagaimana gambaran kehidupan praja di STPN. Kak Riyanto menuliskan secara singkat dari awal masuk hingga menyelesaikan studi di kampus para calon abdi negara tersebut. Kampus yang pernah menjadi pusat perhatian akibat proses perpeloncoan yang memakan korban jiwa.

Dari buku ini pula saya mendapatkan informasi tentang tingkatan praja di kampus itu. Dimulai dari Muda Praja sebagai tingkatan pertama, kemudian Madya Praja sebagai tingkatan kedua dan Nindya Praja adalah tingkatan yang ketiga. Pun seperti halnya di kampus lain pada umumnya, Kampus Jatinangor ini ternyata juga memiliki UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang bernama Manggala Korps Praja (MKP). MKP ini memiliki beragam unit kerja yang melahirkan beragam Lembaga Swadaya Praja (LSP) yang meliputi Sanggar Seni Praja, Sanggar Teater Praja, Gerakan Cinta Lingkungan, English Conversation Club, dan Drum Band Gita Abdi Praja.

Setelah menamatkan studi di STPN, kesungguhan dan keikhlasan Harits sebagai abdi negara betul-betul di uji. Ia di tempatkan mengabdi di Kecamatan Subur yang berada di sisi Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Ada banyak peristiwa yang cukup mempengaruhi emosi kita sebagai pembaca. Mulai dari penyimpangan yang terjadi di kecamatan dan pedesaan, perburuan liar badak bercula dua yang makin punah, peristiwa gempa bumi, dan peristiwa kekerasan yang disebabkan oleh fanatisme dan radikalisme yang berlebihan. Namun sang tokoh utama dalam novel ini tidak tinggal diam. Sebagai abdi negara yang memiliki loyalitas tinggi, Harits telah melakukan segala daya upaya yang dimilikinya demi kemaslahatan warga yang berdomisili di Kecamatan Subur, wilayah terujung pulau jawa. Sayangnya ia hanya manusia biasa yang mempunyai keterbatasan.

Ada pula kisah misteri yang Kak Riyanto sisipkan dalam novel ini, kisah yang terinspirasi dari cerita rakyat. Hal lain yang cukup membuat saya salut sekaligus bangga sebagai keturunan Bugis-Makassar, di dalam novel ini Kak Riyanto menuliskan tentang pengaruh ketokohan seorang perantau keturunan Makassar, namanya H. Andi Jumalo.
Memang, di kompleks perkampungan nelayan ini, namanya sudah tak asing lagi. Selain taat pada setiap kebijakan pemerintah, Pak Haji juga terkenal jujur dan gemar menolong siapa pun. Tak heran, masyarakat sekitar menokohkan beliau layaknya panutan yang dihormati. (TTC halaman 305)

Kak Riyanto mengakhiri kisah Takbir-takbir Cinta dengan menuliskan bagaimana proses menunaikan janjinya yang telah lama terpendam. Yaitu menghajikan Al-Marhumah Ibunda tercinta.
Air mataku tertumpah merasakan keharuan yang paling dalam dari serpihan nurani ini, demi menantikan terpenuhinya sebuah janji.
“Izinkan aku berihram untuk ibuku, ya Allah…” (TTC halaman 427)

***
Takbir-takbir Cinta adalah novel yang mengajak kita untuk merenungi dan belajar dari banyak peristiwa yang kita alami dalam hidup ini. Novel ini menginspirasi kita untuk memberikan bukti kecintaan kita pada negeri ini, pada masyarakat, alam sekitar, pada keluarga, dan terutama pada Tuhan sebagai Pencipta, dan Pemelihara.

Seperti halnya pendapat KH. D. Zawawi Imron (Sastrawan senior Madura), saya pun yakin, novel ini benar-benar segar temanya, menarik tuturannya, menyentuh isinya, menghadirkan kesadaran terdalam akan rahasia Cinta anak manusia…##

*Penulis tergabung dalam Majelis Penulis FLP UNM
Sekaligus Pengurus FLP Wilayah Sul-Sel
e-mail: muhammadnursam@ymail.com

1 komentar:

  1. Selain emang topik friendship yg diangkat sbg main point buku ini is totally awesome, satu hal penting yg bikin impressed sm penulis satu ini adalah ending cerita ditulis bang ri dengan sangat mantab, i luv that words, klimax nya dapet, meweknya juga dapet... gaya bahasanya simple,ngebangun emosi pembaca juga juaraa bener....
    Two Thumbs Up 4 My Big Bro !!!

    BalasHapus