Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Minggu, 21 Maret 2010

3. Pulang ke Cirebon


Aku merogoh saku di celana dinasku, aku berharap menemukan sisa lebih uangku cukup untuk membeli tiket kereta menuju Cirebon. Setidaknya harga obat yang kutebus dari resep Dokter Weni tidak sebesar seperti yang kubayangkan. Dari dua lembar sisa uang terakhir yang kumiliki ini, harapanku masih memungkinkan untuku pulang memenuhi panggilan orang tuaku. Namun rupanya ada yang terlupa dari ingatanku, kalau kemarin aku membayar ongkos konsultasi dengan Bu Dokter Rp. 50.000,- sehingga dua lembar uang pecahan tertinggi itu sudah tak utuh lagi. Setelah menebus resep untuk anak keduaku, praktis uangku hanya tinggal beberapa lembar lima ribuan saja. Ini belum memenuhi harga tiket Cirebon Ekspress atau Argo Jati jurusan kampung halamanku.

“Ada apa Yah?” istriku menatap bingung dengan ekspresiku yang menyadari kelupaan jumlah uangku.

Aku menggeleng tersenyum, aku tak mau menambah kecemasan dan kebingungan istriku. Biarlah ini menjadi urusanku. Menghadapi penyakit si Noor saja rasanya ia tak pernah berhenti menyeka air mata, apalagi harus kutambahkan permasalahan ini. “Ayah cuma berfikir, ucapan Dokter Weni tadi, Bunda.”

“Ucapan yang mana Yah?” Istriku menatapku serius.

“Itu, kalau sampai tiga hari ke depan batuk si Noor tidak kunjung reda dan peradangan di tenggorokannya makin parah, berarti kita harus membawanya ke rumah sakit dan harus di rawat…”

“Mudah-mudahan tidak demikian, Yah,” kata istriku perlahan seraya merapihkan gendongan si Noor, “bukan hanya masalah biaya yang Bunda khawatikan, akan tetapi untuk bayi seusia si Noor akan sangat rentan tertular penyakit yang lebih berat bila harus di rawat di rumah sakit.” Istriku mengulas langsung pada inti permasalahan, mungkin karena ia mantan perawat membuatnya lebih mengerti apa yang sebaiknya di lakukan.

“Tapi seandainya…,”

“Pasrahkan saja pada Allah, Yah. Mudah-mudahan semua itu tak terjadi,” ucap istriku datar dan penuh harap. Aku jadi diam dan beristigfar dalam hati, mengapa aku sampai melupakan Dzat yang paling sempurna dan paling mampu menetapkan segalanya. Astagfirullahalladziim… ampuni kehilafan hati ini, Yaa Allah.

Kupacu perlahan Honda win ini meninggalkan apotik Gama tempatku menebus resep untuk anaku. Besar harapanku kalau obat-obat yang tak murah itu bisa manjur dan dapat menyembuhkan penyakit anaku yang didiagnosa menderita bronchitis. Sudah seminggu ini, si Noor memang kerap dilanda batuk bila menjelang malam, tak jarang ia juga muntah-muntah. Itu pula yang membuat badannya lemas dan tak seceria beberapa minggu yang lalu. Sementara karena batuknya yang sering itu telah membuat peradangan dan luka di tenggorokan kecilnya. Subhanallah, Engkau telah titipkan ujian itu kepadaku, Yaa Allah. Berikan hamba-Mu ini jalan untuk dapat melalui semuanya itu.

Tak berapa lama, motor ini telah kembali terparkir di halaman rumah mungilku. Di sana Bapak dan Ibu mertuaku menungguiku dengan harap cemas, sementara Ghiffary masih sibuk dengan mainan kereta-keretaannya. Sesaat kucium kedua tangan orang tuaku itu setelah kuucapkan salam di depan pintu bercat putih ini. Tatapan mereka masih menyiratkan kecemasan dan kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan cucunya.

Piye, Rist?” Ibu mertuaku mendahului bertanya.

“Menurut Bu Dokter, si Noor terkena gejala bronchitis Bu. Ada endapan lendir di paru-parunya, dan batuknya yang sering itu telah membuat radang dan luka di tenggorokannya,” kataku perlahan.

Astagfirullah, nesahke koe le...”

“Terus bagaimana, Rist?”

“Kita tunggu tiga hari ke depan, Pak. Kalau dalam tiga hari itu batuk si Noor tidak juga reda, dan muntah-muntahnya masih sering, Harist harus membawanya ke rumah sakit untuk di rawat,” ucapku menahan sesak di hati.

“Mudah-mudahan, tiga hari itu ada keajaiban Allah untuk si Noor yah Rist,” ucap Bapaku perlahan namun penuh harap. Itu yang membuatku terdiam dan menatap lekat kepadanya. Ucapan itu seolah menarik semua syaraf nalar dan sadarku. “Berdo’alah Rist, Allah sayang pada setiap hamba-Nya,” ucapnya kemudian seraya membarengi langkah Ibu dan istriku membaringkan si Noor yang mulai pulas dalam buaian. Sementara aku masih diam terpaku dengan dada yang bergemuruh, menahan segala rasa yang bercampur aduk dalam hatiku.

******

“Yaa Allah, hamba memohon syafaat-Mu untuk Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan alim ulama yang sejalan dengannya. Yaa Allah, hamba juga mohon rahmat dan hidayah-Mu untuk aku dan keluargaku. Beri kami jalan untuk dapat menjaga dan merawat anak-anaku. Beri kami ridho dan kekuatan untuk dapat melewati semua ujian-Mu… Sembuhkan anaku Noor Rivandy, yaa Allah. Selamatkan ia dari sakitnya, Yaa Allah. Izinkan aku tetap dapat merawat dan menjaganya hingga dewasa, menjadikannya pengikut-Mu, peneguh tiang agama-Mu dan penuntun langkah kami untuk senantiasa di jalan-Mu…. Yaa Allah, kabulkanlah permohonanku, hanya kepada-mu hamba berserah, laahaulla walla quwwatta illa billah….”

Kusujudkan penuh wajahku. Aku berharap wajah yang tak berharga ini mampu mengetuk pintu arsy malam, dan mengijabah segala doa yang tak kutahu layak ataukah tidak untuku. Tak kupedulikan penat dan perih yang kian kutanggung, hingga tak kusadari isakku membarengi linangan air mataku yang membasahi sajadah. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa, ketika begitu banyak beban masalah yang harus kutanggung. Aku benar-benar tak tahu harus kemana mengadukan semuanya ini. Apakah ini peringatan untuk hatiku yang lalai dalam hidupku, ketika keinginan untuk menjadi tamu-Mu mengalahkan semua kewajiban dan tanggung jawab yang semestinya ku pikul? Atau memang sebenarnya aku memang belum layak untuk itu? Yaa Allah, andai memang semua itu karena salah dan khilafku, ampuni aku….

Aku baru saja akan membuka al-qur’an, ketika tiba-tiba suara batuk terdengar keras dari arah kamar si Noor. Beberapa diantaranya malah ditingkahi suara cairan yang termuntah dari mulutnya. Astagfirullah, ada apa dengan Noor Rivandy? Aku segera menutup dan mencium kembali al-qur’an ini kemudian menaruhnya di atas meja kerjaku. Kakiku langsung menghambur ke sumber suara, kamar anaku .

“Batuk si Noor, kambuh lagi, Bunda?”

“Iya, Yah,” ucap istriku dengan wajah penuh kecemasan, sementara tangannya sibuk membenahi cairan yang termuntah dari mulut kecil anaku. Muntahan itu membasahi baju dan bantal kecilnya. Reflek aku ikut membantu dengan mengambil handuk kecil untuk menampung cairan muntahan itu.

“Obatnya sudah diminumkan khan sebelum tidur tadi?”

“Sudah, malah sebelum tidur batuknya sudah mulai reda,” ucap istriku yang kian kalut dengan kondisi anaku.

Saat seperti itu, anak pertamaku Ghiffary bangun. Ini kebiasaannya beberapa bulan terkahir ini. Ia terbiasa bangun untuk buang air kecil dan meminta minum susu di botolnya. Ghiffary memang sudah tak menyusu pada istriku sejak usia enam bulan. Jadilah aku dan istriku berbagi tugas, ia menguus si kecil sedangkan aku kakaknya.

“Fary, mau pipis Yah…,” ucapnya setengah menahan kantuk.

“Ayo buka celananya dulu, terus ke wc,” kataku seraya membopong tubuhnya ke arah kamar mandi. Setelah buang air kecil aku membersihkan tangan dan mencebokinya, agar ia terbiasa melakukan itu setelah besar nanti. Setelah buang air kecil, biasanya Ghiffary langsung meminta minum susu botolnya. Mungkin karena sudah terbiasa, aku langsung refleks mengambil kaleng susu, menakarnya empat sendok takar dan mengaduknya dengan segelas air putih yang terlebih dahulu kucampur dengan sedikit air panas. Campuran yang sedikit meleset membuat anaku rewel dan tak mau meminumnya. Aku sering kali salah di awal-awal menggantikan tugas istriku itu, hingga aku benar-benar memperhatikan takaran pembuatan susu botol anaku. Ini sepele, tapi menjadi hal yang besar bagiku. Setidaknya, kusadari sepenuhnya kalau peran istriku demi membesarkan anak-anaku sedemikian berat. Hanya dari membuat takaran susu seperti itu membuatku sadar, kalau peran istriku sebagai ibu mengalahkan segala lelah dan capeku mencari nafkah.

Ghiffary menyedot botol susunya dengan cepat, entah karena memang haus atau karena sudah saatnya ia harus minum dari gelas bukan dari botol lagi. Setidaknya ia memang hampir tiga tahun, dan sudah saatnya minum dari gelas. Ia menyerahkan botol susu yang sudah kosong itu lengkap dengan kalimat kecil yang senantiasa kuajarkan padanya, “terima kasih, Ayah!”

“Sama-sama, Nak,” ucapku tersenyum seraya membelai kepala botaknya untuk cepat tidur kembali. Setelah anak pertamaku itu kembali dalam tidurnya, aku segera menghampiri istriku yang masih sibuk dengan anak keduaku. Batuknya mulai mereda, hanya saja nafasnya terdengar ‘ngorok’ seperti tersumbat sesuatu. “Bagaimana, Bunda?”

“Tadi sudah ‘mimi’ batuknya agak mereda, Yah. Hanya saja wajah si Noor terlihat pucat dan lemas, mungkin karena banyak cairan yang termuntah dari mulutnya…”

Aku membelai kepala si Noor perlahan, banyak harap dan doa yang kupanjatkan ketika tanganku menyentuhnya. Sesaat aku teringat ucapan Bapak mertuaku kalau selalu ada keajaiban dari apa yang kita harapkan, Allah sayang pada setiap hamba-Nya…

“Yaa Allah, andai Engkau berkenan, berikan keajaiban itu untuk anaku,” ucapku dalam hati. Sesaat kutatap wajah istriku, kecemasan yang kulihat sejak kemarin masih nampak jelas di sana. Aku tahu sebesar apapun kecemasan yang kutanggung tak sebanding dengan apa yang dirasakan olehnya, seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkannya. Meski itu tak kudengar dari ucap keluh kesahnya, namun ekspresinya bagiku cukup untuk memahami kalau ia lebih siap berkorban demi kesembuhan anaku dari pada aku, ayahnya. Aku jadi teringat sebuah frasa yang pernah diucapkan almarhum ibu ketika melihat adik bungsuku tergeletak sakit dan ibu tak lagi memiliki uang untuk membeli obat. “Andai kulit Ibu ini laku, Ibu ikhlas dikuliti untuk bias membayar obat adikmu,” ucap Ibu saat itu di sela isaknya.

Aah, begitu besar rasa ikhlas dari perempuan yang bernama ‘Ibu’, dan itupun kutemui pada istriku yang setahuku sangat kurang istirahat demi merawat kedua anaku.

“Bunda istirahat saja, biar Ayah gantian menjaga si Noor,” kataku seraya memegang pundaknya.

“Ngga apa-apa Yah, Ayah istirahat saja, besok masih harus ke kantor sebelum ke Cirebon khan?” istriku mencoba mengingatkan beberapa rencana kegiatan yang memang harus kujalani. Ke kantor untuk melimpahkan sejenak tugas dan tanggung jawabku sementara aku izin cuti, sedangkan ke Cirebon adalah memenuhi panggilan kakaku untuk permasalahan Ruby yang sudah tergantung selama empat tahun terkahir ini.

“Ayah sudah tidur dari tadi, sedang Bunda belum dari tadi sore,” kataku mencoba berkilah, “istirahat saja dulu, mumpung si Noor pulas tidurnya.”

Istriku tak lagi berucap, ia langsung merebahkan tubuhnya di samping anaku, kemudian tak lama ia pun terlelap dengan segala letih dan lelahnya. Kasihan istriku, tekadmu mengabdi pada suami dan anakmu membuatmu terlihat letih seperti itu. Semoga semua keikhlasan dan kesabaranmu menjadi amal soleh teragung dalam hidupmu…

Aku masih lirih melafadzkan doa peneguh hati dan mohon kesembuhan ini, ketika fajar mulai mengintip dari ayunan gelap malam. Ditingkahi desau angin yang mulai menghantarkan pagi, sayup-sayup suara tahrim membuatku terjaga akan berakhirnya malam. Saat paling afdol untuk berdoa dan memohon terijabahnya segala harapan. Segera kukhusyukan kembali doa dan harapan yang kupanjatkan sepanjang malam untuk kesembuhan anaku.

“Yaa Allah… sembuhkan anaku, sembuhkan Noor Rivandy, izinkan kami membesarkan dan merawatnya, sebagai wujud tanggung jawabku terhadap amanah-Mu. Izinkan hamba menjadikannya hamba-Mu, penguat iman kami kepada-Mu, dan penyempurna amal sholehku kepada-Mu….”

Doa tahrim masih mengalun di ujung mushola sana, ketika gelap malam mulai berganti remang temaram. Suara kokok ayam juga mulai terdengar meningkahi kesyahduan fajar ini. Sementara angin yang berhembus lembut di musim kemarau ini seakan menyampaikan melodi ketenangan alam. Udaranya yang sedikit terasa dingin, menambah hikmat pada setiap percik air wudhu yang membasahi setiap wajah yang bersegera untuk dating dan tunduk akan seruan-Nya.

Perlahan aku membangunkan istriku yang masih terlelap dalam tidur lelahnya, aku ingin ia ikut merasakan kesyahduan dan ketenangan fajar seperti ini. Namun rasa lelahnya seperti tak mau beranjak dari tubuhnya yang berbalut kain gendongan anaku. Aku jadi tak tega membangunkannya lagi, biarlah nanti setelah adzan subuh berkumandang beberapa menit, bathinku.

Perlahan kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk mengulangi bersuci, dan merasakan kesejukan air wudhu di subuh yang masih temaram ini. Kemudian hati-hati sekali aku melangkah keluar dari rumah mungil di kompleks tukang baso ini, aku sengaja menguncinya dari luar kalau-kalau istriku masih pulas. Ini membuatku lebih tenang dari fikiran akan adanya orang lain yang masuk ke dalam rumah. Aku ingin melaksanakan sholat subuh berjamaah yang beberapa minggu terakhir sudah jarang kulakukan. Beberapa kesibukan dan tanggung jawab di kantor yang menuntutku pulang selalu larut dan bangun menjelang adzan subuh membuatku tak banyak memiliki waktu bersosialisasi dengan jamaah mushola yang ada di Lingkungan Sempu Seroja ini.

Beberapa jamaah yang rupanya selama ini memperhatikanku terlihat tersenyum demi melihatku kembali bergabung. Tak ada pertanyaan berlebih dari mereka selain salam dan khabar kesehatanku dan keluargaku. Umumnya mereka memang tahu, kalau aku sering pulang larut, sehingga mengenalku sebagai pegawai yang super sibuk, meski kondisiku tak sebaik PNS yang lain, meski santai tapi bergelimang kesejahteraan. Ah, semoga Allah senantiasa menuntunku untuk tetap di jalan yang seharusnya…

Aku benar-benar kalut dan bingung dengan apa yang kuhadapi pagi ini. Batuk Noor Rivandy makin parah, seingatku muntahnya juga makin banyak. Istriku nampak kerepotan dengan keadaan itu, belum lagi tangis Ghiffary yang meminta nasi kecap dengan telur dadar kesukaannya setiap pagi. Masya Allah, ada apa dengan keluargaku ini?

“Bundaa…. Fary mau nasi kecap pake telor…!!!” rengek anaku yang pertama.

“Iya, Nak. Sebentar, Bunda bantuin dede dulu ya, muntahnya banyak…”

“Tapi Fary-nya laper, mau makan Bundaa….”

“Iya, sebentar. Fary jangan nakal doong…,” istriku terus berusaha menenangkan anaku Ghiffary seraya membenahi muntahan Noor Rivandy. Jelas sekali ekspresi kerepotanya. Aku yang membantu menjemur pakaian basah dan membenahi kondisi rumah ini jadi benar-benar merasa bersalah. Andai aku mampu menggaji pembantu atau pengasuh anak, tentu tidak akan seperti ini.

“Bundaaa…”

“Fary… tunggu Bunda selesai Nak, kasihan dede…”

Mendengar itu, aku segera mempercepatkan kegiatanku dan membantu istriku menyiapkan telur dadar dan nasi kecap permintaan anaku. Sesaat dadaku merasa sesak dengan kondsisi seperti itu, terlintas di fikiranku untuk menitipkan salah satu dari mereka pada neneknya. Namun keinginan itu selalu kutahan, aku tak ingin terlihat tak mampu mengurus dan mencukupi keluargaku. Setidaknya karena itu juga kesepakatanku dengan istriku, untuk tetap berusaha mandiri dengan apa yang kami miliki.

“Ini nasi kecap pake dadar telurnya,” kataku seraya memberikan sepiring nasi pesanan anaku. Ghiffary terlihat sumringah menerima buah karyaku, rengekanyapun berganti senyum dan kalimat kecilnya yang selalu kuajarkan setiap menerima pemberian…

“Terima kasih, Ayah…”

Melihat itu, aku segera bergegas ke arah kamar untuk melihat perkembangan anak keduaku. Wajah lelaki kecil itu terlihat begitu memelas dengan tatapan matanya yang kosong. Tak kulihat lagi keriangan dan kelincahan seperti beberapa waktu lalu. Dan itu rupaya tersambung pada istriku, demikian pula ekspresi wajanya kuperhatikan.

“Kita bawa ke rumah sakit saja, Bunda?”

“Bunda ngga tahu, Yah. Terserah Ayah saja…,” kalimat istriku datar dan mengambang. Aku dapat melihat keraguan dari ucapanya. Mungkin ia tengah mengukur kemampuanku yang memang tak sedang memegang uang banyak.

Di saat ragu dan bimbang itu, seseorang nampak mengetuk pintu rumahku. Ia rekan sekantorku, Isal. Entah ada apa pagi-pagi sudah mendatangiku.

“Assallamu ‘allaikum…”

“Wa allaikum sallam… Eh, Isal, masuk,” kataku mempesilahkan rekanku untuk masuk ke dalam rumah.

“Ada apa, Rist,” katanya menangkap kekalutan ekspresi wajahku, “ kamu seperti yang sedang bingung….”

“Anu Sal, anaku si Noor muntah-muntah terus,” kataku seadanya.

“Kamu sudah bawa dia ke dokter?”

“Sudah kemarin, tapi sampai hari ini batuk dan muntahnya tak juga reda,” ucapku penuh rasa sesal.

“Sudah mencoba ke alternative?” ucap Isal dengan yakin. Aku jadi menatapnya lekat-lekat. Aku memang tak pernah berfikir ke arah sana selama ini.

“Apa bisa sembuh, Sal?” tanyaku ragu-ragu.

“Lah, tapi ngga ada salahnya di coba khan. Buktinya berobat secara medis juga tidak menjamin sembuh, Saudaraku. Kita berikhtiar saja, mudah-mudahan cocok,” Isal berucap penuh semangat menghadirkan kekuatan tersendiri dalam hatiku.

“Tapi aku tidak tahu pengobatan alternative untuk penyakit seperti ini, Sal,” kataku masih agak ragu.

“Aku ada kenalan yang menunjukan tempat pengobatan alternative, Rist. Kita bias mulai mencobanya ke sana,” kata Isal seraya memijit-mijit nomor hand phone-nya. Tak lama iapun terlihat bercakap dengan orang yang ia panggil dengan alat komunikasinya.

“Bagaimana?” tanyaku serius.

“Kita bawa ke sana sekarang, kata temanku dia praktek hanya sampai jam delapan pagi. Biar cepat pake mobilku saja, tadi aku parker di ujung gang sana.”

Tak ada lagi percakapan setelah itu. Aku segera mnenutup pintu rumah dan membawa istri serta anaku untuk berangkat ke tempat yang ditunjukan Isal. Rekanku yang satu itu memang terbilang sangat dekat denganku, meski tergolong orang berada, Isal tak pernah menunjukan perbedaan itu terhadapku. Itu yang membuatku lebih nyaman untuk bergaul lebih akrab dengannya.

Tak berselang lama, kamipun sampai di sebuah rumah yang Nampak dipadati pengunjung dengan beragam keluhan penyakit. Namun dari sekian banyak yang mengantri, lebih banyak kulihat orang tua yang membawa atau menuntun anak-anaknya. Aku jadi makin yakin kalau aku dating pada orang yang tepat.

Lebih dari satu jam aku mengangtri dan menunggu giliran, hingga Noor Rivandy akhirnya ditangani oleh seorang Bapak paruh baya yang selalu tersenyum ramah. Namanya Bapak Irwandi, hanya orang-orang biasa memanggilnya Pak Ii. Kepiawaiannya dalam hal pengobatan alternative sudah di kenal di sebagian masyarakat Kota Serang. Mungkin karena dikenal manjur dan tak pernah mematok harga tinggi untuk biaya pengobatannya. Media yang dipakai juga lebih mudah, biasanya ia hanya meminta pasien membeli botol minuman yang kemudian ia jampi-jampi untuk diminumkan atau dipakai balur si pasien. Seingatku penyakit yang ditanganinya juga beragam, tidak sebatas terkilir atau masuk angin saja. Akan tetapi juga berbagai penyakit dalam yang mungkin secara medis sangat membutuhkan perhatian penuh. Seperti anaku Noor Rivandy, yang katanya didapati gumpalan lendir di paru-parunya. Kondisi seperti itu tak juga berkurang meski aku telah mencoba fisioteraphi hingga lima kali.

“Kalau radang dan luka tenggorokanya Insya Allah, besok juga sudah agak berkurang, Pak. Hanya saja tumpukan lendir yang ada di paru-paru si ‘dede’ perlu beberapa hari untuk bias dikeluarkan. Dengan air di botol ini, mudah-mudahan akan bisa mempercepat proses pengeluaran, baik lewat ingus atau kotoranya. Minumkan setiap pagi dan sore, sisanya buat dibalurkan…”

“Terima kasih, Pak. Saran Bapak akan saya jalankan,” kataku kemudian, “terus berapa saya harus membayar, Pak?”

“Ah, silahkan saja terserah Pak Harist. Saya hanya berusaha membantu,” ucap Pak Ii tersipu malu. Aku jadi malu hati menanyakan yang tidak semestinya untuk orang semacam Pak Ii.

Setelah sekedar berbasa-basi dan menyambung akrab, kamipun mohon pamit untuk pulang. Besar harapanku, kalau ikhtiarku pagi itu membawa perubahan banyak pada kesehatan anaku, Noor Rivandy. Setelah kuantarkan istri dan anak-anaku pulang, akupun melanjutkan kembali rencanaku hari ini. Aku bermaksud melimpahkan beberapa tugas kantor yang harus kuselesaikan pada Agus Sulhi bawahanku. Mulai besok aku akan izin cuti untuk beberapa urusan keluargaku. Setidaknya di pertengahan tahun ini tugas rutinku memfasilitasi Tim Evaluasi Raperda SOTK Kabupaten/Kota se Provinsi Banten ini memang tengah banyak-banyaknya. Seingatku beberapa Raperda malah sudah menunggu dua minggu untuk dievaluasi.

Namun sepanjang perjalananku ini, fikiranku tak bisa lepas pada beberapa lembar sisa uangku yang pastinya sudah jauh berkurang untuk harga tiket kereta api. Namun meski begitu aku harus tetap pulang, aku tak bisa membiarkan beberapa orang keluargaku menungguku. Menunggu kehadiran dan keputusanku tentang permasalahan Ruby, adik bungsu kami. Terjebak pada pemikiran seperti itu, aku berharap kalau Allah benar-benar berkenan menolongku. Menitipkan rezekinya untuku pulang hari ini.

“Maaf Pak Harist, bukannya saya tidak percaya dengan janji Bapak untuk segera mengembalikan pinjaman begitu biaya lumpsum perjalanan dinas Bapak sebulan lalu cair, tapi saya betul-betul tidak memegang kas kantor dalam jumlah banyak. Itupun hanya untuk persediaan dan pembiayaan yang sangat penting saja. Apalagi saya belum mendapatkan kepastian kapan biaya lumpsum perjalanan dinas Bapak akan cair…”

Aku menarik nafas panjang, mencoba menerimai kenyataan hari ini. Setidaknya aku sudah berusaha meminjam uang pada tiga orang dengan hasil yang sama, nihil! Otaku berputar kencang mencoba mencari solusi untuk keberangkatanku pulang kampung hari ini.

“Ya halo, dengan siapa ini?” suara dari ujung handphone.

“Saya Teh, Harist. Teteh bade ke kantor moal?” kataku menjawab pertanyaan.

“Nya bade ke kantor, tapi rada siangan, aya naon Rist?”

“Ngga Teh, cuma mau minta tolong,” kataku pada Bu Kabag Iis Darlina yang belakangan akrab denganku sebagai keluarga alumni pamong praja. Karena kedekatannya itu aku tak segan memanggilnya dengan sebutan Teteh (kakak perempuan).

“Minta tolong apa, Rist?” suara dari ujung hand phone sana terlihat serius dan menunggu jawaban dari kalimatku yang terkesan ragu.

“Kalau Teteh ngga keberatan, saya mau minjam uang Teh. Hari ini saya mau pulang ke Cirebon…,” ucapku ragu dan malu.

“Berapa Rist, Teteh lagi ngga pegang banyak nih.”

“Cuma buat ongkos pulang pergi, Teh…”

“Oh, kalau segitu sih ada, kebetulan Teteh mau ambil uang di ATM, tunggu aja di kantor yah…”

“Oh ya, iya Teh. Harist tungguin,” ucapku penuh syukur. Alhamdulillah, terima kasih yaa Allah, Engkau kirimkan bantuan itu untuku pulang hari ini.

******

Aku mengecup kening istriku pelan, sebelum akhirnya kutatap wajah wanita yang setulus hati mendukungku itu. Tak sedikitpun raut masam kudapati di wajahnya meski kutahu ia tengah menanggung cemas yang dalam akan kesehatan Noor Rivandy. Keputusanku untuk pulang sejenak dan membantu urusan keluargakupun tak sedikitpun ia cegah. Ia malah terus mendorongku untuk bisa membantu keluargaku.

“Setidaknya karena merekalah, Ayah bisa seperti sekarang. Sebagai istri, Bunda hanya bisa berharap kalau Allah memberikan jalan dan kemudahan untuk semuanya ini. Insya Allah, Bunda ngga apa-apa, lagi pula si Noor juga sudah mulai membaik,” ucapnya beberapa jam yang lalu ketika aku meragu dengan keputusanku untuk pulang.

“Tapi si Noor belum sembuh benar khan Bunda, Ayah takut kalau…”

“Serahkan saja semuanya pada Allah, Yah. Setidaknya Ia juga tahu ikhtiar yang telah kita lakukan untuk Noor Rivandy. Mudah-mudahan ada berkah dan ridho-Nya dari apa yang sudah kita lakukan…”

Dengan semangat itulah, akhirnya kuputuskan untuk pulang siang ini setelah kuterima uang pinjaman dari Bu Kabag. Beberapa kali aku memeluk istri dan anak-anaku, banyak ucap syukur dan terima kasih yang kusampaikan atas keikhlasannya. Jauh di lubuk hatiku, aku menangis melewati semuanya ini. Aku ingin tetap mendampingi istriku melewati penyakit anaku, namun aku juga tak bisa mengacuhkan permohonan kakak-kakaku untuk turut memikirkan kesembuhan Ruby. Dan terlebih lagi, keputusanku ini demi menjunjung amanah almarhumah Ibu untuk dapat saling berbagi diantara kami juga menjaga dan merawat anak terakhirnya.

“Ayah pulangnya jangan lama-lama yah, nanti Fary ngga ada yang nemenin…,” Ghiffary seolah tahu kalau beberapa hari ke depan tak ada lagi yang akan menemaninya jalan-jalan pagi di stasun kereta atau alun-alun kota.

“Ngga lama, Nak. Kalau semuanya selesai, Ayah langsung pulang koq.”

“Janji ya, Yah…”

“Iya dong…,” ucapku seraya meraih pundak lelaki kecil itu, “mari sini, Ayah cium dulu.”

Setelah itu lambaian istri dan anak laki-laki kecilku tergambar jelas di pupil yang sedari tadi menahan kuat bulir bening ini. Kutarik nafas panjang seraya melangkahkan kaki ini menuju ujung gang rumahku. Aku memutuskan naik kereta dengan pertimbangan agar bisa cepat sampai dan tidak terlalu terjebak pada keruwetan jalur pantura. Memang bila dengan bus, ongkos yang dikenakan lebih murah, namun ulah para supir yang kadang ugal-uagalan membuatku kurang nyaman menikmati perjalanan.

Satu jam setengah bus patas PRIMAJASA ini menghantarkanku di pintu tol Kebon Jeruk. Dari sana aku harus menyambung dengan ojek untuk bisa mencapai Stasiun Gambir. Aku sedikit was-was karena pemberangkatan terkahir dari Gambir tujuan Cirebon adalah pukul 3 sore, dan itu tinggal dua puluh menit lagi dari sekarang. Aku meminta tukang ojek ini agar memacu kendaraannya lebih kencang dengan harapan tak tertinggal kereta sore.

Seperempat jam kemudian aku sudah sampai di Stasiun Gambir, beruntung lima menit terakhir ini aku masih bisa mengantri dan mendapatkan tiket jurusan Cirebon. Segera kumasuki kereta Cirebon Ekspress yang akan berangkat menuju Cirebon. Di gerbong nomor 6 kelas bisnis ini, aku memperoleh bangku paling ujung tepat di samping pintu keluar. Beberapa penumpang yang agak memaksakan diri untuk ikut kereta sore ini nampak berdiri dan berusaha mencari posisi yang pas untuk ‘ngampar’, dan itu biasanya di pojokan tepat di samping tempat duduku.

Peluit petugas PPKA terdengar nyaring ketika roda kereta api ini perlahan mulai bergerak. Beberapa wajah yang sedari tadi sibuk dengan beragam barang bawaan, mulai dapat menghela nafas lega kalau pada akhirnya mereka dapat ikut serta kereta ‘kloter’ terakhir ini.

“Bismillahi tawwaqaltu allahu laa haula walla quwwata illa billah… Yaa Allah selamatkanlah perjalananku menuju keluargaku…” gumanku mengiringi roda kereta yang mulai bergerak kencang meninggalkan Stasiun Gambir ini.

*******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar