Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Rabu, 26 Juni 2013

Bandung, Segalanya Berawal, episode ke-4




Bandung, segalanya berawal


Bandung, 1994, ketika segalanya berawal...
Waktu itu Bandung sedang berbunga, bukan karena selesai musim dingin atau berganti musim panas. Akan tetapi karena banyak hal yang ditawarkan kota sejuta warna ini.   Bermunculannya pusat-pusat perdagangan kelas internasional, tempat-tempat refreshing,  serta beraga tempat yangmenawarkan aneka ragam hiburan bagi tua dan muda tumbuh pesat saat itu. Istilah kata, Bandung sedang menjadi sorotan sekian banyak mata di negeri ini. Banyak dari mereka yang ingin berada di  dalamnya. Tak terkecuali Aldi. Anak dari keluarga sederhana itu   nekat ingin menggapai cita-cita di ‘kampung’ orang. Meski dengan bekal yang serba pas-pasan, Aldi terus menguatkan hati untuk bisa menjadi mahasiswa.  Lapisan masyarakat yang katanya intelek.
Namun dibalik beragam kebanggaan postif seperti itu, ternyata Bandung juga memiliki sisi negatif, dari banyaknya anak muda negeri    yang bergantung padanya. Sikap individual, materialis dan hedonis mulai menggejala dalam kehidupan mahasiswa. Beberapanya malah membuat mereka lupa dengan tujuan mereka datang ke kota ini. Kehidupan berkelompok dengan beragam atribut, membuat kota ini memiliki kelompok masyarakat yang terkotak-kotak. Beragam penyimpangan dan perbedaanpun membuat kota ini sarat dengan permasalahan yang multi kompleks. Dan beberapa persennya terjadi di kalangan  mahasiswa.
Latar belakang inilah yang mengawali kisah Aldi dan Rudi. Kisah persahabatan yang harus diuji dengan perbedaan yang mendasar diantara keduanya.

Meski katanya kota dingin, jika menjelang siang, Bandung panas sekali...

Seperti biasa, di siang yang terik ini Aldi baru saja menyelesaikan kuliahnya. Sisa uang yang tak seberapa membuatnya memilih berjalan kaki setelah sekali naik angkot. Aldi berniat menghemat uang bulanannya. Dari angkot yang sekali jalan itu, Aldi juga masih harus melanjutkan   sekitar satu kilo meter  lagi untuk mencapai tempat kostnya. Dan ini pasti melelahkan untuk kondsisi yang terik seperti  itu. Namun demi tekad dan obsesinya menyelesaikan study, hal itu tak seberapa untuk seorang Aldi.  


Meskipun di siang itu pula,    tekad dan obsesinya itu mulai diuji. Entah dari mana asalnya,   tiba-tiba saja sekelompok  orang berlarian dari kedua arah yang berlawanan. Beberapanya malah menunggangi motor dengan kecepatan tinggi! Aldi terjebak diantara keduanya,  ketika tawuran antar mereka terjadi. Aldi tak lagi bisa menghindari pukulan dan lemparan dari kedua kubu itu. Satu dua batu mendarat di kepala dan pelipisnya. Sesekali perut dan kakinya terkena tonjokan dan tendangan. Meski Aldi berjuang untuk bisa lepas dari tawuran seperti itu, namun jumlah mereka yang besar tak memungkinkan ia bergerak terlalu jauh.  
Darah mulai merembes dari kepala dan pelipisnya, pandangannyapun juga mulai berputar.   Sebuah teriakan keras mengarah padanya, bersamaan itu pula sebuah tangan mendorong lelaki itu   ke arah  samping. Aldi terjatuh ke aspal, yang kemudian disusul seorang yang mendorongnya tadi dengan luka tusuk di perutnya. Pisaunya masih terlihat nempel ketika jatuh,  dengan darah yang mengucur deras dai arah perutnya. Sesekali lelaki yang terjatuh itu mengerang untuk menahan sakit, pandanganyapun  sudah semakin gelap. Tak berapa lama, lelaki yang mencoba membantu menyelamatkan Aldi itupun jatuh tak sadarkan diri.
Itulah saat pertama kali Aldi mengenal sosok Rudi, mahasiswa Teknologi Mesin yang terkenal ganteng tapi penyendiri. Sikapnya yang agak tertutup membuat hampir seisi kampus tak begitu memperhatikannya. Karena hal itu pula Rudi dikenal sebagai pria aneh di kalangan mahasiswa.
 Beruntung pada insiden tawuran itu, Aldi hanya dijahit empat jahitan di kepala jadi dalam satu hari Aldi sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Akan tetapi berbeda  dengan Rudi, luka tusukan di bagian perutnya memerlukan perawatan yang lebih intensif. Beberapa hari ke depan daya tahan tubuh dan kesadarannya juga menurun drastis. Hal ini dikarenakan ada sebagian ususnya yang ikut robek mengalami infeksi  karena tusukan pisau yang ternyata telah berkarat . Dengan kondisi seperti itu, dokterpun tidak berani menjamin akan adanya   kesembuhan yang cepat, oleh karena itu mereka memutuskan untuk merawat Rudi lebih lama dan lebih intensif.
Beberapa utusan teman dan Senat datang untuk menjenguk mereka, khususnya Rudi yang masih dalam perawatan intensif.   Aldi yang merasa bersalah dengan semuanya ini memutuskan untuk terus menjaganya hingga beberapa hari ke depan. Oleh karena hal itu pula, ia belakangan jadi akrab dengan Tante Lien, mamanya Rudi. Banyak hal yang diceritakan perempuan paruh baya itu   pada Aldi, tentang apa dan bagaimana Rudi. Mungkin karena   itu pula yang membuat Aldi merasa makin bersalah dengan kondisi Rudi sekarang ini.
“Sebelumnya ia sangat periang Nak, namun entah sejak ia memutuskan untuk pergi dari Jakarta dan melanjutkan kuliah di Bandung, seperti ada sesuatu yang menghinggapinya. Ia jadi penyendiri dan jarang bergaul. Hari-harinya banyak di habiskan di rumah. Rudi hampir tak pernah keluar rumah meski di hari libur sekalipun bila tidak Tante yang mengajaknya...”
“Memang ada apa sebenarnya Tante?”
“Itu dia yang ngga pernah Tante tahu hingga sekarang, Nak. Yang Tante ingat dulu ia sangat aktif dengan beragam kegiatan sewaktu SMA. Namun sejak ia bermasalah dengan teman akrabnya ia jadi pemurung dan penyendiri seperti itu. Entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas pertengkaran mereka sangat hebat Tante lihat!”
“Memang mereka bertengkar di mana?”
“Di rumah Tante, kebetulan teman dekatnya itu memang sering menginap di rumah kami dulu. Tapi yah, mungkin karena usia muda mereka, mereka lebih banyak menurutkan emosi mereka. Hingga beberapa minggu berikutnya, Tante tidak melihat lagi mereka jalan besama. Namun setiap Tante mencoba untuk bertanya mengapa, Rudi selalu menghindar dan tak mau bercerita ada apa...”
“Mmm, mungkin belum saatnya saja Tante...”
“Mudah-mudahan begitu, Nak Al. Masalahnya hingga tiga tahun berlalu, Tante tetap tidak tahu ada apa. Kalau saja hal ini tak membuat ia menjadi pendiam seperti itu, pasti Tante juga ngga terlalu peduli. Namun ini khan....”
“Mudah-mudahan ada waktu untuk itu, Tante...”
“Yah, mudah-mudahan saja begitu,” wanita paruh baya itu seperti tak yakin dengan ucapannya terakhir.“Nak, Al pulang saja dulu. Biar tante yang jagain Rudi...” katanya kemudian, “dari pagi kamu sudah tungguin Rudi. Seharian ini  kamu juga ngga kuliah khan...”
“Ngga apa-apa Tante, saya akan menjaga Rudi sampai dia siuman...”
“Ngga usah Nak Al, biar kami saja,” Tante Lien tetap menyuruhku pergi, “kalau Nak Al mau nungguin Rudi, besok saja kesini lagi. Tapi sepulang kuliah yaa...”
Aldi tak bisa menolak apalagi Om Ratno, papanya Rudi ikut menganggukan kepala dan meminta agar ia   menuruti keinginan istrinya. Aldi tak bisa berkata apa-apa lagi, selain mengangguk dan melangkah pergi dari ruangan perawatan intensif ini.
“Terima kasih yaa, Nak...,” ucap Om Ratno pada Aldi sebelum akhinya menepuk pundaknya di ujung pintu ruangan ini.
“Saya permisi Om, assallamu allaikum...”
“Wa allaikum salam...”
Sore itu Aldipun kembali ke kostan, beberapa temannya sudah banyak yang menunggu untuk sekedar menengok dan menyampaikan kepedulian mereka. Salah satu yang paling akrab dari mereka adalah Emma, sahabat Aldi sejak mereka SMP. Dulu keluarganya tinggal di Cirebon, bertetangga  dengan keluarga Aldi, karenanya mereka lebih terlihat sebagai keluarga. Apalagi sejak SMP hingga masuk kuliah, mereka memilih tempat sekolah yang sama.
“Bagaimana keadaanmu Al?”
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja, Ma. Luka di kepalaku ngga terlalu parah, hanya empat jahitan. Yang kasihan Rudi, dia masih belum sadar, karena banyak mengeluarkan darah. Ususnya ada yang ikut robek karena tusukan pisau para preman itu...”
“Yah mungkin ini cobaan buatmu Al,” kata Emma kemudian, “tapi sebenarnya apa yang kamu lakukan di jalan itu, sampai harus terjebak tawuran preman seperti itu sih? Terus bagaimana juga ceritanya anak penyendiri itu bisa ada di situ, Al...”
“Aku sendiri tak tahu, Ma,” kata Aldi melanjutkan, “yang kutahu, aku sedang berjalan pulang sendiri ketika bentrokan antar preman itu terjadi. Namun entah dari mana awalnya, tiba-tiba Rudi datang dan menyelamatkanku dari pukulan orang-orang yang mengira aku musuh mereka...”
“Koq bisa begitu?”
“Iya, Rudi sampai harus mengorbankan motor dan tubuhnya untuk menyelamatkan aku Ma,” kata Aldi penuh haru, “ngga heran kalau orang sekampus akhirnya banyak yang simpati dan respek sama mahasiswa penyendiri itu...”
Emma nampak terdiam , entah apa yang difikirkannya. Yang jelas, ada ekspresi keseriusan dari apa yang baru saja ia dengar.
“Ohya, ini aku bawakan bubur ayam,” katanya kemudian, “nanti malam, anak-anak yang lain mau nengok kamu Al, mereka masih ada kegiatan sore ini...”
“Iya makasih ya Ma,” ucap Aldi seraya meraih rantang yang disodorkan Emma.
Malamnya, banyak rekan-rekan sekampus Aldi yang datang menengok. Demi mendengar adanya kecelakaan yang menimpa rekan mereka. Beberapa diantaranya malah datang dengan pasukan, menjaga kemungkinan adanya   tawuran lagi.
“Kamu masih beruntung Al, setidaknya peristiwa kacau seperti itu tak merenggut nyawamu,” ucap Rahmat yang terkenal jago karate, “aku yang sudah ban hitam juga kalau terjebak di situasi seperti itu entah bagaimana akhirnya...”
“Iya lho Al, gua juga ngga nyangka kalau Lo bisa selamat dari bentrokan para preman itu. Padahal menurut berita yang gua dengar, bentrokan itu sampai memakan korban jiwa lima orang lebih...,” Fredi ikut berkomentar dengan gaya cuekya.
“Dan untungnya ada pria aneh itu, yaa Al, “ Riko ikut menambahi, “kalau ngga ada dia mungkin juga ceritanya lain...”
“Namanya Rudi,” Aldi menambahi cepat, tak senang dengan sebutan ‘aneh’ pada orang yang telah menyelamatkannya.
“Ia, Rudi, ternyata baik juga yah dia...”
“Itu dia Ko, aku jadi ngerasa bersalah banget sama dia. Gara-gara mau menyelamatkanku dia harus kehilangan motornya dan masuk rumah sakit seperti sekarang ini...” kata Aldi sesal.
“Bagaimana dengan keluarganya Al?”
“Mereka ngga marah sama sekali. Biaya perobatanku juga malah mereka yang bayari, itu juga yang membuatku   makin merasa bersalah dengan semuanya ini...”
“Bukan Lo Al, tapi para preman itu...,” Riko memotong ucapan Aldi.
“Iya, andai aku bisa bertukar tempat...”
“Sudahlah Al, ini musibah siapapun tak ada yang bisa disalahkan,” Rahmat melanjutkan, “sudah malam nih, kelihatannya kami harus kembali.”
“Iya nih Al, aku ada tugas makalah yang harus dikumpul besok,” Riko ikut menambahi.
“Ok, terima kasih yaa sudah pada nengokin aku..”
“Sama-sama Al, cepat sembuh yaa...”
Tak laa kemudian mereka semua pulang! Tinggalah Aldi sendiri dikamar kost ini, dengan  fikiranya yang  terus jauh melayang ke sosok Rudi. Pria penyendiri yang berkorban sebegitu jauh untuknya.
“Apakah   Allah sengaja mengirimkan Rudi untuk menyelematkanku, ataukah memang Allah menggerakan hatinya untuk menjadi temanku,” Aldi masih berfikir sendiri.
Masih erat dalam ingatannya dulu saat kala pertama ia betemu dengan sosok penutup bernama Rudi itu. Ada keinginan untuk akrab atau sekedar berbincang singkat, namun dengan sikap diam Rudi membuatnya selalu mengurungkan nitanya. Kesan angkuh dan cuek Rudi memang terkadang membuat siapa saja jadi malas untuk bertegur sapa. Apalagi dengan predikat anak kalangan atas dengan segala macam atribut kemewahannya, membuat siapapun mengukur diri untuk bergaul dengannya. Tidak hanya yang laki-laki, sepertinya yang perempuan juga begitu. Bahkan Wawan, yang satu kelas dengan Rudi pernah menyampaikan pendapatnya kalau Rudi sosok lelaki yang aneh dan angkuh.
Namun   sejak sikap   berkorbannya pada Aldi,   ia jadi bahan pembicaraan di   kalangan mahasiswa kini. Tak heran   kalau     senat kemahasiswaan menjadikannya contoh, sebagai pribadi yang peduli pada sesama almamater dan berjiwa spirit the corp yang tinggi .    Dikarenakan hal itu pula banyak anggota senat mahasiswa yang bergantian menengok atau menjenguknya.
“Rudi, ternyata kamu tak seangkuh yang difikirkan banyak mahasiswa selama ini,” Aldi masih merasakan nyut-nyutan di kepalanya, rupanya proses berfikir seperti ini membuat luka di kepalanya makin terasa sakit. Dan tak beberapa lama, akhirnya Aldipun rebah  dan tertidur dengan rasa sakitnya...

******

Kamis, 20 Juni 2013



Tiga

Facebook  


Indonesia, saat ini...

Masih subuh sekali, ketika secara iseng lelaki yang masih bersarung itu membuka  beranda Facebook-nya. Sejak ikut situs pertemanan setahun yang lalu, ia memang agak sedikit kecanduan untuk terus berselancar di dunia maya. Entah bagaimana awalnya, yang jelas seperti makan atau minum yang tidak bisa ia tinggalkan. Sehari saja ia tak membuka statusnya atau status teman-teman maya-nya, rasanya seperti ada yang hilang. Oleh karena itulah, di hari yang masih temaram itu, ia telah duduk manis di depan laptopnya hanya sekedar membaca wall dan beranda Facebook. Tidak ada yang ditunggu saat itu, hanya saja setelah sholat subuh, tiba-tiba ia merasa kangen dengan beberapa teman  masa lalu yang kebetulan telah tergabung dalam list teman-temannya.
 Namun karena rasa kangen itulah, lelaki yang masih besarung   itu  menemukan sebuah pesan masuk inbox dari seseorang yang belum ter-add sebagai temanya.   Facebook memang terbuka untuk siapa saja dan pertemanan apa saja. Seperti pesan masuk yang  terdapat di wall profile-nya. Sejenak ia memperhatikan judul pesan, dan nama pengirim pesan tersebut. Tak ada foto yang terpampang di sana, membuat lelaki ini agak sedikit memutar ingatannya untuk coba mengenali nama si pengirim pesan. Beberapa saat tak jua ia ingat nama si pengirim pesan tersebut, akhirnya ia membuka juga isi dari pesan tersebut. Sebaris kalimatpun muncul dari pesan dengan judul ‘Apa kabar?’ itu.

....Assallamu ‘allaikum, saudaraku,
semoga selalu dalam  berkah dan lindungan-Nya...
Bagaimana kabarmu sekarang, lama kita ngga ketemu, mudah-mudahan kamu ngga lupa sama aku,
kalau kamu baca ini, tolong balas dan add aku jadi temanmu yaa...
Salam hangat selalu,
Rudi...
Wassallamuallaikum...

Sesaat ia mengusap  wajahnya yang mulai bereekspresi bingung, mencoba mengingat kembali nama yang tertera pada pesan pendek yang diterimanya itu. Lama sekali ia mencoba memutar kembali memori di kepalanya, hingga beberapa saat.  Dan tak lama kemudian, ia mulai  terpaut pada sebuah ingatan masa lalu yang sebetulnya senantiasa ada di dalam titian hidupnya. Rudi Prasetyo, sahabat terbaik masa lalunya yang pernah begitu dekat dalam hidupnya lima belas tahun yang lalu. Yah, seorang kawan lama yang selalu  ia jaga di ruang hatinya. Setelah sekian lama mereka terpisah, rupanya  Allah berkenan mengembalikan kenangan  persahabatan diantara mereka....
“Apakah ia Rudi sahabatku dulu? Orang yang telah begitu berjasa dalam hidupku,” sesaat lelaki itu ragu. Dipijit keningnya yang mulai berkerut karena proses berfikir, “yah lima belas tahun yang lalu! Kalau memang dia Rudi Prasetyo, dimana ia sekarang. Infonya tak menyebutkan banyak hal, aku tak begitu yakin kalau pengirim pesan ini Rudi sahabatku...”
Lelaki yang berumur sekitar tiga puluh limaan ini mendadak menerawang, mencoba menautkan ingatan yang tak lagi jelas itu dengan info si pengirim pesan yang super irit itu. Tak ada foto profile, tidak ada foto diri, apalagi foto-foto album. Benar-benar sangat misterius dan membuatnya semakin ragu dengan apa yang ada dalam benaknya. Sempat terlintas di kepalanya, kalau Rudi yang ia baca ini memang teman di masa lalunya. Namun Rudi yang mana, ia punya puluhan bahkan ratusan teman dengan nama Rudi. Dari sekian teman yang bernama Rudi, hampir semuanya ia kenal dan tak semisterius seperti pengirim pesan itu. Ada status menikah di info wallnya, namun tak menemukan alamat, kontak person dan dengan siapa ia menikah. Benar-benar  membuatnya tak merasa akrab dengan si pengirim pesan.
Ada selintas di fikirannya, untuk mengabaikan isi pesan dan ajakan untuk menjadi teman. Namun, cuek dan jual mahal dalam pertemanan bukanlah sifatnya. Lelaki yang baru saja dikaruniai anak kedua ini terkenal supel dan pandai bergaul dengan siapa saja.   Ia memutuskan untuk menerima ajakan perteman dari si pengirim pesan ini.
Sambil mengetik kalimat untuk membalas dan menerima ajakan pertemananya, fikiran lelaki ini masih saja mencoba menemukan sesosok manusia dengan nama yang tertaut di pesan masuk itu. 

Wa allaikum salam...
Maaf ini dengan Rudi mana ya,   tak ada satupun  yang menjadi teman bersama kita. Apakah kita pernah kenal sebelumnya? Atau dari jalur mana anda mendapatkan nama akun saya? Terima kasih sekali, bila anda berkenan menjelaskan  semuanya ini. Untuk pertemanan yang lebih baik...

Lelaki itupun mulai meng-klik send untuk pesan yang baru saja ia tulis untuk membalas pesan yang baru saja ia baca. Sementara ajakan pertemanan yang telah ia klik di awal-awal menerima berita pemberintahuan, membuatnya memiliki akses untuk   terus mencari info lain-lain. Namun seperti kolom infonya, dinding, catatan, ataupun tautan videonya tak memberikan aktifitas apapun. Benar-benar pengguna facebook yang aneh, fikirnya.
“Paah...,” sebuah suara tiba-tiba mengejutkannya dari arah kamar.
“Iya mah, Papah di ruang kerja, ada apa?” jawabnya agak malas.
“Katanya ada meeting penting di kantor, koq belum mandi juga?” perempuan yang ternyata istrinya ini terdengar mengingatkan agenda kerja suaminya hari itu. 
“Iya sebentar lagi Mah, Papah selesaikan ini dulu...”
“Bikin apaan lagi sih, bukannya bahan untuk presntasi sudah Papah selesaikan malam tadi?” perempuan yang masih terlihat cantik di usianya yang kepala tiga ini mulai menyelidik ke dalam ruang kerja suaminya. Sementara sang suami tersenyum simpul mendapati isterinya masuk dan langsung melihat aktifitasnya...
“Eh Mamah....”
“Facebook terus Papah ini, awas nanti menyita seluruh waktu kerja Papah lho,” perempuan yang dipanggil Mamah ini tersenyum geli mendapati suaminya yang malu-malu menutupi layar laptop. Ia memang sudah maklum dengan hobi baru suaminya ini. Dulu ia  sering ditinggalkan karena   hobi memancingnya, jadi kalau dibandingkan dengan kegemaran barunya sekarang. Ini lebih ringan, selain jadi anteng di rumah, ia juga jadi  bisa melihat aktifitas suaminya tanpa harus bertanya banyak.
“Ini juga sudah di sign out, koq Mah...,” sang suami makin nyengir menutupi malunya. Ah, facebook memang membuai siapa saja akhir-akhir ini. Tak terkecuali seorang Aldi Bramanthya yang terkenal sangat alim dan arsitektur ulung dari sebuah perusahaan jasa konstruksi ternama di Jakarta. Harus menjadi pecandu status dan koment wall facebook.

*****

“Jadi semuanya sudah jelas yaa, kalau proyek ini merupakan ujung pangkal dari proyek-proyek selanjutnya?” Presiden Direktur yang berkenan hadir itu menyampaikan opsi terakhirnya.
“Jelas Pak!” jawab semua peserta rapat berbarengan.
“Baik, oleh karena itu, untuk pimpinan proyek kali ini saya percayakan pada Saudara Aldi Bramathya. Silahkan anda buat proposal dan rinci detail dari proyek kita ini, dan silahkan anda ekspose satu bulan nanti.”
“Baik Pak, saya akan membuat proposal itu, berikut maket dan perhitungan detil proyek secara lengkap,”
“Bagus, dengan demikian briefing staff pagi ini saya fikir cukup. Assallamu allaikum...” Presiden Direktur PT. Global Wiratama Persada meninggalkan ruangan rapat. Dibelakangnya para komisaris dan petinggi perusahan membarengi. Senyum mereka cerah, berkaitan dengan adanya tawaran proyek besar dari Pemerintah Provinsi Banten. Setidaknya tawaran perdana ini merupakan jalan pembuka bagi perusahaan mereka untuk bisa bekerja sama dengan pemerintah-pemerintah daerah lainnya secara leluasa.
“Selamat ya Al, semoga sukses!”
“Terima kasih, Pak!”
“Selamat Al,”
“Trima kasih-terima kasih!” Aldi menerima ucapan selamat dari beberapa rekan seprofesinya. Kepercayaan yang diterimanya pagi itu merupakan hal yang sudah diprediksikan selama ini. Berkat keberhasilannya pada lima proyek yang ia tangani di Kalimantan dan Sulawesi, membuatnya menjadi pimpro kembali di Provinsi Banten kali ini.
Senyum lebar terukir di wajahnya kini,  “semoga aku bisa mengemban amanah ini dengan baik, dan memberikan yang terbaik untuk isteri dan anak-anaku...,” bathin Aldi seraya menutup laptopnya. Fikirannya terus berputar untuk segera berproses dengan amanah yang baru saja ia dapat. Setidaknya bulan depan merupakan saat ia menunjukan kelayakkanya  sebagai pimpinan proyek. Berbagai arsip dan dokumen pelengkap  ia buka dan ia pelajari kembali penuh semangat.  Ia juga mempelajari  apa saja  yang membuat sekian proyeknya  berhasil. Namun dari antusias dan semangatnya itulah, tiba-tiba tanganya beradu pada sebentuk benda usang. Sepertinya  amplop coklat tua yang pernah ia simpan lama di meja kerjanya. Itu property usang ketika baru menginjakan kaki di perusahaan jasa konstruksi ini.
Perlahan Aldi membuka bungkus coklat yang sudah mulai melapuk itu. Melihat-lihat dan mencoba mengenali beberapa benda yang ada di dalamnya. Beberapa daftar riwayat hidup, copy ijazah, hingga tumpukan buku-buku catatan. Namun dari beberapa buku catatan itu, ada yang begitu serius menyedot pemikirannya. Catatan kecil yang sudah usang dengan tera-an tahun belasan tahun lalu, terukir pula pemilik buku usang itu di halaman depannya.
“Rudi... Rudi Prasetyo, dimana kamu sekarang, Kawan?”


******

Selasa, 23 April 2013

17. simphony malam di Tepi Pom Bensin




Simphony malam di Tepi Pom Bensin



Ini bulan ketiga, sejak warung makan kaki lima ini beroperasi. Banyak kenangan antara aku, Ruby dan ibuku di sana. Sejak berhenti bekerja, bapak sempat memutuskan untuk membuka warung kaki lima dengan menu ala sea food. Di awal-awal pembukaan, warung ini memang sangat ramai. Itupula yang membuat kami sekeluarga berharap kalau suatu saat usaha ini akan menggantikan sumber penghasilan keluarga. Setelah bapak berhenti berlayar dan ibu tak lagi bisa berjualan, harapan kami yaa usaha warung kaki lima ini.

Untuk menjaring pemasukan dan penghasilan yang lumayan, sengaja bapak mendesign manajement usaha dengan waktu yang agak panjang. Oleh karena itu pula, ia mengerahkan kami anggota keluarganya yang masih tinggal bersama ibu untuk bisa membantu. Bapak membagi dua shift dalam menjalankan usaha warung ini. Hal ini tentunya ketika bapak telah melatih dan mentransfer ilmu memasknya pada kami, khususnya aku dan adiku. Shift pertama biasanya dimulai sejak jam 3 sore hingga jam delapan malam. Di pegang langsung oleh bapak, ibu dan Mbak Atin. Sementara shift kedua dipercayakan padaku dan Ruby. Keempat anak ibu yang lain memang sudah tidak tinggal bersama ibu lagi. Mereka memutuskan untuk mencoba mandiri dengan mengontrak rumah atau pindah ke uar kota.

Dua bulan pertama, hasil usaha dari warung kaki lima kami lumayan sekali. Setidaknya aku baru tahu kalau dari usaha seperti itu, bapak dan ibu bisa tetap menafkahi dan membiayai sekolah kami. Aku baru lulus SMU tahun lalu, dan tak terasa kini tinggal adik bungsuku Ruby, ia masih duduk di bangku STM kelas dua. Banyak harapan dalam ibuku kalau suatau saat warung kaki lima ini akan berubah menjadi warung makan atau restorant yang besar hingga seluruh potensi keluarga akan banyak terserap di sana. Dengan harapan itu pula kami semua berharap dapat mencegah bapak untuk pergi berlayar kembali.

Namun harapan memang tak selalu tepat seperti kenyataan. Di bulan ketiga usaha warung makan kami mulai mengalami kemunduran, mungkin para pelanggan sudah mulai bosan dan jenuh dengan aneka makanan yang kami tawarkan. Atau setidaknya karena mulai banyak warung makan sejenis yang bermunculan setelah warung makan kami. Meskipun kami berupaya semaksimal mungkin, penghasilan dan perkembangan warung makan kami tetap tak berubah. Kami jadi mulai berfikir apa karena letak warung makan ini yang kurang diminati para pengunjung. Letaknya memang di jalan yang kurang begitu ramai dilewati kendaraan pribadi, di sana lebih banyak angkot yang berlalu lalang. Itupun hanya sekedar untuk mengisi BBM, karena letak warung ini memang bersebelahan dengan SPBU, pom bensin pesisir.

Di tepian pom bensin itu pula sebuah kenyataan kami terima, kala ibu terjatuh tak sadarkan diri. Katanya ibu terlalu lelah, hingga kesehatannya yang baru pulih pasca perawatan rumah sakit menjadi drop. Berangkat kejadian itu pula, praktis keberlangsungan rumah makan dititik beratkan pada aku dan Ruby. Mbak Atin memutuskan untuk merawat dan menemani ibu di rumah, sementara bapak berupaya untuk mencari sumber penghasilan lain.

Kenangan beberapa bulan terakhir itu seakan masih lekat di hati kami, aku dan Ruby. Hingga di malam yang telah sepi dan berselimut angin dingin ini tak jua menyurutkan kami untuk tetap bertahan. Membuka warung makan ini demi pengorbanan yang pernah ibu tunjukan untuk terus membesarkannya. Kami tetap bertahan di keheningan malam, di tepian pom bensin pesisir ini.



Sesekali aku mengecek sumbu lampu petromak yang kami pakai sebagai alat penerang warung makan ini, aku juga harus selalu  memompa angin di tabungnya agar sumbu itu terus berkembang dan menyala penuh. Sementara Ruby seperti biasa terlihat sibuk dengan beragam  bahan dagangan. Cumi, udang, ayam, kepiting dan ikan memang harus terus dalam kondisi beku terselimut es batu. Ini diupayakan agar mereka tak cepat busuk dan tetap bisa untuk di olah. Begitu juga tomat, daun bawang, wortel, paprika, kembang kol, mentimun dan kubis harus sering disiram air dingin, agar tetap segar pula. Hasil pemeriksaan Ruby biasanya melahirkan rekomendasi pada upaya menyamarkan kekurangsegaran bahan dagangan dengan mengolah mereka sebelum akhirnya terbuang percuma. Seperti menggoreng ikan dan daging, atau mengolah sayur-sayuran yang setengah layu menjadi soup atau cap cai kuah. Ini bisa untuk konsumsi kami atau anggota keluarga nanti.

Mungkin itu manajemen prihatin kami, jadi meski kami senantiasa memberikan yang terbaik untuk para pembeli, kalau untuk konsumsi kami sendiri hanya dari barang-barang yang tersisa atau kurang bagus kondisinya. Yaa, sebenarnya hal ini tak begitu berbeda dengan manajemen pasar negara ini. Ketika beragam komoditi terbaik negeri diperuntukan untuk ekspor sedangkan yang sedang dan biasa-biasa saja untuk konsumsi dalam negeri. Apa mungkin negeri ini juga menerapkan manajemen prihatin yah?

“Bagaimana kondisi dagingnya, Rub?” tanyaku pada adiku yang masih sibuk memilah-milah bahan dagangan.

“Kalau untuk udang dan cumi, kelihatannya tahan sampai dua atau tiga hari lagi, Mas. Tapi untuk kepitingnya, kelihatannya hanya sampai malam ini. Kalau malam ini tak laku, besok harus kita masak…” ucap adiku serius memperhatikan asset dagangan kami.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku kemudian.

“Paling masih jam sembilanan, Mas…”

Aku mengangguk-angguk meski isi kepalaku tengah berputar dan berfikir, “kalau ke jam dua belas, masih ada tiga jam lagi Rub. Mudah-mudahan ada yang pesan kepiting yah…”

“Iya nih Mas, dari tadi sore baru ada yang pesen nasi goreng doang, Cuma satu lagi…,” Ruby terlihat manyun menahan kesal. Memang seminggu terakhir ini usaha warung kami memang tak berjalan mulus seperti waktu yang telah lewat. Kadang kami hanya membawa pulang uang seadanya, itupun belum dipotong ongkos operasional minyak tanah, angkut-angkut barang dan sumbu petromak.

  “Sabar yah, ingat pesan Mimi khan? Ini juga untuk biaya sekolah Ruby khan..”

Ruby diam tersenyum simpul, meski sudah seringkali ia dengar kalimat itu, namun tetap saja masih ampuh untuk membuatnya diam. Setelah kepergian ibu, kalimat-kalimat ibu memang masih mengandung petuah tersendiri bagi kami. Setidaknya karena kenangan sosok ibulah yang membuat kami semua merasa bertanggung jawab terhadap apapun yang telah dikatakan ibu. Mungkin ada semacam kekuatan yang besar dalam hati kami yang membuat setiap ucapan ibu seakan menjadi sabda dan amanah yang harus kami pegang teguh.



Entah apa yang terjadi malam ini, meski malam minggu yang katanya malam panjang namun kondisi jalan Samadikun tempat kami berjualan seakan sepi sekali. Hampir tak ada mobil atau kendaraan pribadi yang lewat dalam satu jam terakhir ini. Semuanya hanya angkot dan becak yang berseliweran mengantarkan para penumpang yang entah bertujuan kemana. Kondisi sepi seperti ini makin terasa di hatiku, ketika angin malam berdesir menghantarkan dingin. Saat ini memang penhujung musim kemarau, mungkin tak lama lagi akan berganti menjadi penghujan.

“Anginnya dingin sekali ya, Mas?”

Aku mengangguk perlahan seraya terus memperhatikan jalanan yang mulai sepi dari pejalan kaki, waktu memang mulai merambat malam. Tak terasa pukul sepuluh terlewat sudah, itu kudengar dari suara siaran berita radio daerah yang teralun dari radio transistor Pak Sosro tukang tambal ban. Sudah tinggal dua jam lagi batas waktu kami berjualan, tetapi kami belum mendapatkan pemasukan seperti yang kami harapkan. Sesekali aku memperhatikan wajah adiku yang menatap kosong ke depan, entah ia tengah memikirkan apa. Yang kutahu, ia memang kerap mengantuk dan terganggu di ruang kelas karena berjualan sampai malam begini. Meski aku kerap menyuruhnya  memanfaatkan waktu sepi pelanggan untuk tidur, namun adiku seringkali menolak. Tak enak katanya jualan sambil tidur, bisa menolak rezeki. Melihat kesabaran dan keteguhannya, membuatku terpacu untuk terus bersemangat berjualan meski dengan ketaknyamanan seperti itu. Aku tak boleh mematahkan semangatnya mengais rezeki untuknya tetap bisa bersekolah.

“Ujian semeseteran kapan Rub?” tanyaku mencoba membuatnya untuk tidak terdiam dan melamun.

“Masih dua bulan lagi Mas, setelah itu Ruby sudah mulai mencari lokasi untuk praktek lapangan,” katanya seraya beringsut dari duduk terpakunya.

“Ngga kerasa yah, padahal baru kemarin kita berangkat sama-sama di SD Kebon Melati, kini semuanya hampir selesai pada tingkat sekolah seperti yang kita inginkan. Mas Harist selesai SMU setahun lalu, dan setahun depan tinggal kamu,” kataku mengenang masa lalu.

“Iya, Mas. Setidaknya apa yang telah diperjuangkan Mimi, sebentar lagi akan menjadi kenyataan,” Ruby ikut terbawa suasana, pandangannya ikut menerawang jauh.

“Kalau saja Mimi masih hidup, ia pasti akan senang melihat anak-anaknya dapat menyelesaikan sekolah seperti yang diharapkannya,” kataku kemudian, “meski sejatinya keberhasilan sesungguhnya bukan hanya sekedar lulus sekolah sampai SLTA, tetapi setidaknya ini semua harapan Mimi sejak pertama kami kita masuk sekolah dasar…”

“Mas Harist mash ingat?” aku menoleh serius ke arah Ruby, “ dulu, Mimi sampai harus menjual baju kesayangannya untuk dapat terus melanjutkan sekolah kita semua,” kalimat Ruby seolah menyadarkan aku kalau peristiwa sepuluh tahun yang lalu itu seakan baru kemarin terjadi, “meski Ruby belum tahu betul peristiwa itu, namun Mbak Atin sering menceritakan itu pada Ruby. Dan itu membuat Ruby merasa wajib untuk terus tegar dan tak putus asa menghadapi kekurangan ini.”

Aku tersenyum ke arah Ruby, perlahan kupegang bahu adiku yang kini lebih tinggi lima centi meter dariku itu. “Kamu benar Rub, pengorbanan dan pengabdian seperti itu tak boleh kita sia-siakan. Ibu harus mendapatkan balasan yang setimpal dari kita semua. Kita harus bisa membanggakan dan membahagiakannya meski hanya sebatas melihatnya dari alam sana.”

“Iya Mas, meski kini hanya doa yang bisa kita panjatkan untuk Mimi, namun Ruby tetap bertekad untuk menunjukan kalau Ruby anak yang bisa berbhakti. Ruby ingin, Mimi tak pernah menyesal melahirkan dan membesarkan Ruby…”

Kalimat itu, aku sering memikirkan kalimat itu dalam hidupku. Kini hadir dari mulut adikku, apakah Allah sengaja mengingatkan aku akan janji yang sering aku ucapkan untuk ibu?

Aku hendak menjawab ucapan Ruby, ketika seorang lelaki dengan tergesa-gesa datang ke arah kami. Matanya agak nanar, entah apa yang terjadi. Yang jelas aku menangkap aroma minuman beralkohol dari mulut lelaki yang datang tiba-tiba ini.

“Di sini jual nasi goreng khan?” tanyanya.

“Iya Mas, mau pesan?” jawabku mencoba menguasai keterkejutanku.

“Sssaya mau lima bungkus, tolong dibuatkan. Nanti saya ambil, saya mau beli rokok dulu…,” lelaki itu jalan terhuyung dan kembali meninggalkan warung kami.

Ruby menatap bingung padaku, begitu juga aku ke arahnya.

“Laki-laki tadi mabuk ya, Mas?”

“Iya,” kataku setengah sadar, “apa perlu kita buatkan, Rub?”

“Dia ngasih uang tidak Mas?” Tanya Ruby seakan menyadarkan keteledoranku, “kalau tidak ngasih uang dp yaa ngapain dibuat Mas. Kita tunggu saja dia datang dulu Mas, baru kita buatkan.”

“Tapi kalau bener-bener pesan bagaimana, ngga enak mengecewakan pembeli Rub.”

“Yaa tapi khan mencurigakan seperti itu.”

Aku bingung dan tak bisa memutuskan apa-apa, hingga dua jam berlalu dan lelaki yang pesan tadi tak juga datang. Namun ketika kami berniat akan tutup dan mengemasi barang dagangan kami, lelaki yang memesan nasi goreng tadi datang lagi seraya mengajak empat orang temannya.

“Sudah selesai nasi gorengnya?”

“Eh jadi ya? Saya fikir ngga jadi…” kataku sekenanya.

“Eeh, ini orang ngga percayaan ya,” lelaki yang memesan tadi terlihat tak senang dengan ucapanku, “kalau ngga percaya sama pembeli jangan berjualan!”

Kalimat   lelaki ini terdengar kurang enak , namun aku mencoba untuk tak mengambil  hati. Kuambil wajan penggorengan untuk segera meracik nasi goreng pesananya. Namun belum selesai bumbu nasi goreng teracik, tiba-tiba dua orang dari mereka menunjukan sikap arogannya. Kaki mereka menendang kursi dan meja kayu tempat pelanggan makan, beberapa piring dan gelas yang tertata nampak terhambur dari tempatnya.

“Wei sopan dong, kalau mau dilayani dengan baik!” Ruby yang sedari tadi sudah menahan diri lepas kendali.

“Apa, ngga terima?!” lelaki yang bertubuh lebih besar Nampak menghampri Ruby seraya mengepalkan tinjunya, “sini kamu!!”

“Mas, Mas sabar Mas,” kataku mencoba menahan pertengkaran, “ini nasinya sedang dibuatkan…”

“Ngga perlu, saya ngga senang ada orang ngomong keras sama saya!”

“Lho, siapa yang keras duluan. Bukannya kalian yang kurang sopan pake acara nendang-nendang meja kursi!!” Ruby tetap tak mau diam. Suaranya makin keras menandingi ucapan lelaki bertubuh gempal itu.

“Jadi kamu benar-benar nantangin berkekahi yaa…”

“Kamu yang mulai, kenapa saya harus takut!”

“Rub, Rub jangan Rub,” ucapku mencoba menahan adiku yang sudah tak terkendali untuk maju menghadapi lima orang lelaki yang mabuk itu.

“Ngga Mas, biar saya kasi pelajaran orang kurang ajar ini!” Ruby makin maju merangsek dan mendekati lima orang lelaki itu, “jangan kamu fikir karena kalian berlima saya takut ya! Ayo sini, saya ajari kalian sopan santun…”

“Eeh, benar-benar ngelunjak kamu! Nih rasakan!!!” lelaki bertubuh gempal itu melayangkan tinjunya ke arah Ruby, namun detik itu juga Ruby menagkis dan balas meninju bagian perutnya.

WUUT!!! Bugh!!! Sebuah tendangan lebih keras mampir ke tubuh lelaki mabuk tadi. Setidaknya Ruby memang belajar beberapa jurus Pajajaran dan Tapak Suci[1], dan rupanya saat inilah ia praktekan. Melihat temannya terkena tinju, yang lainnya mulai bertindak. Perkelahianpun jadi benar-benar tak imbang. Ruby menghadapi lima orang sekaligus. Beberapa kali tendangan dan pukulan di terima oleh adiku seperti juga beberapa pukulan dan tendangan berhasil membuat beberapa orang lelaki mabuk itu roboh. Seseorang nampak tak senang melihat Ruby gesit mengelak dan berhasil membalas, ia mengeluarkan pisau dari balik bajunya dan berusaha menikam adiku dari belakang. Saat seperti itulah aku tersadar dari bingung dan diamku. Segera kuangkat wajan yang masih berisi minyak panas untuk menggoreng telur, dan menyiramkan ke arah lelaki berpisau tadi. Seketika ia menjerit dan melepaskan pisaunya.

“Awas Mas, hati-hati!!!” teriak Ruby dari arah belakangku.

Belum sempat aku berbalik, seseorang berhasil memukulkan sebatang kayu kaso ke kepalaku. Darah segar mengalir deras dari kepalaku, pandangaku pun mendadak nanar. Namun aku masih bisa bergerak dan melihat lelaki yang memukulkan kayu ke arahku. Saat itulah secara reflek kuambil pisau besar yang sering kupakai untuk meracik bumbu masakan, lalu meyabetkannya ke arah lelaki yang kini berada tepat di depanku.

BRETT!!! Pisauku merobek baju dan kulit perut lelaki berkayu kaso itu, darah segar juga mengalir deras dari tubuhnya. Saat itulah beberapa orang pemuda nampak berlarian menghampiri kami. Pandangan mereka beringas dan memburu ke arah kami dengan jumlah lebih dari sepuluh orang. Aku yang sudah tak tahan menahan sakit di kepala langsung jatuh dan ambruk tak sadarkan diri. Dan tak tahu lagi apa yang terjadi kemudian.



“Itu Haristnya sudah siuman!” sebuah suara terdengar di telingaku. Samar-samar kulihat pula wajah bapak dan saudara-saudaraku, mereka nampak mengelilingiku.

“Bagaimana Rist, masih terasa sakit?” suara Mbak Atin terdengar.

“Iya, bagaimana Rist?” bapak melanjutkan pertanyaan.

Aku memejamkan mataku sesaat, mencoba untuk menjawab dan mengingat apa yang telah terjadi. “Ruby! Ruby, mana Ruby?!” kataku seketika.

“Ngga apa-apa, tenang aja. Ruby ngga apa-apa, Rist!”

“Mereka berlima pak, berlima dan bersenjata tajam…”

“Semuanya sudah diurus yang berwajib,Nak. Mereka memang anak-anak muda yang biasa mabuk dan meresahkan masyarakat, “ bapak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dari bapak juga baru aku tahu kalau saat malam itu sebenarnya tengah berlangsung tawuran antara  pemuda kampung Pesisir dan pemuda kampung Samadikun. Beruntung, kami tak terlibat terlalu jauh dalam tawuran itu, karena pak Sosro yang kebetulan terbangun dari tidur langsung membawa dan menolong kami. Kampung Pesisir dan Kampung Samadikun memang kerap terlibat konflik. Ini sudah berlaku lama sekali, jauh sebelum kami lahir. Entah apa awal mulanya, yang jelas dalam setahun tawuran itu bisa dua atau tiga kali terjadi. Beruntungnya, ketika hal itu terjadi kami tak menjadi korban.  Nasiiib nasib, uang ngga dapat, malah kepala bocor karena tawuran. Namun meski begitu aku tetap bersyukur, karena aku dan Ruby berhasil diselamatkan.

Setelah kejadian itu, kami   berniat memindahkan lokasi berjualan kami, namun karena satu dan lain hal warung kaki lima itu malah tak   beroperasi sama sekali. Bapak memutuskan untuk menutupnya.  Dengan pertimbangan ujian semesteran Ruby yang sudah dekat serta waktu kerja bapak di hotel yang hampir seharian, warung kaki lima itupun tutup. Tinggalah aku menjadi pengangguran kembali dan berjuang untuk mencari pekerjaan demi masa depanku.



******






[1] Aliran Pencak Silat yang ada di Cirebon saat itu