Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Rabu, 17 Maret 2010

01. Banten, permata religi di masa lampau...


Istriku menyambut uluran tanganku, kemudian menaruh di keningnya. Banyak doa dan restu yang ia ucapkan untuku mencari nafkah hari ini. Dia Ninik, perempuan keturunan Solo-Jogja, kelembutan dan kehalusannya bukan sesuatu yang aneh bagiku. Setidaknya sejak kecil ia memang dibesarkan dengan semua itu, begitu Bude Tumi kalau sedang serius ngobrol denganku . Sejak kelahiran anakku yang pertama, ia memang memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai perawat rumah sakit dan konsentrasi sepenuhnya untuk berbhakti pada kami . Ia tidak pernah bosan membuatkan air hangat untuku mandi dan menyuguhkan teh panas dengan takaran gula yang pas untuku. Itu yang membuatku merasa bahwa Allah telah menganugerahkan seorang bidadari kepadaku, ketulusan dan keikhlasannya mendampingiku menjadi berkah terindah dalam hidupku. Dan aku memang bersyukur sekali bisa menyuntingnya untuk mendampingi hidupku.

“Ayah ke kantor dulu yah…” sapaku pada kedua jagoan kecilku .

Ayah mau kelja yah?”

“Iya, ayah mau kerja. Ayah mau cari uang, buat beli susu dede dan jajan Fary khan?”

“Jangan Yah, buat beli pesawat aja, tiga!” Giffary anak pertamaku itu memang suka sekali pada mainan pesawat dan angka favoritnya memang tiga. Aku memeluk tubuh mungil itu, kemudian mengecup kepalanya sebagai salam kepergianku ke kantor. Biasanya ia langsung melambaikan tangan dengan kalimat kecilnya, “da da Ayah….”

”Jangan lupa nanti sore di tunggu Ustadz Faisal, Yah,” sesaat aku mengalihkan pandangannku pada istriku, ”Ayah ada janji sama beliau sore ini khan?”

Aku terdiam sejenak mencoba mengingat, ”memang ini hari apa, Bunda?”

”Hari Kamis, Ayah janji ingin ziarah keliling Banten dengan Ustadz Faisal seminggu yang lalu...”

”Astagfirullah, Ayah lupa. Padahal hari ini ada pekerjaan yang harus Ayah selesaikan, mungkin sampai malam,” kataku menyesali kealfaan.

”Apa tidak bisa ditunda dulu Yah? Ayah sudah dua kali membatalkan janji loh, ngga enak sama Ustadz Faisal.”

”Benar-benar, lagi pula memang Ayah yang perlu sama dia,” kataku mengingat kembali apa yang telah aku lupakan. ”Masalahnya hari ini Ayah ingin beres-beres ke tempat kerja Ayah yang baru.” Tiga minggu yang lalu aku baru saja mendapat SK penempatan tugas di kantor yang baru, sehingga semua pekerjaan yang tersisa sebelum aku tinggalkan memang harus aku selesaikan dahulu.

”Kalau pekerjaan Ayah tidak bisa ditunda lebih dulu, apa sebaiknya Ayah batalkan saja janji dengan Ustadz Faisal?”

”Tidak, tidak. Ayah tidak enak kalau harus menunda kembali rencana yang sudah disusun sebulan yang lalu,” otaku berputar mencoba mencari solusi, ”coba Ayah lihat dulu kondisi kantor pagi ini, kalau memungkinkan Ayah bisa tunda beberapa pekerjaan.”

”Bunda fikir mungkin memang harus begitu.”

”Oke, kalau begitu. Ayah berangkat dulu Bunda, assallamu ’allaikum...”

”Wa allaikum sallam, hati-hati Yah....”

Ini hari terberatku menjalani profesi sebagai pegawai negeri, setelah aku menerima SK kepindahanku tiga minggu yang lalu, setidaknya aku harus memulai segalanya dengan sesuatu yang baru. Rencana kerja baru, DPRK baru, pimpinan baru, disiplin ilmu baru, dan yang tak kalah penting lingkungan kerja yang baru. Tupoksi jabatan baruku memang sangat berbeda jauh dengan yang kujabat lima tahun terakhir ini. Kalau dulu aku terlibat pada kesekretariatan dengan ragam tugas kerumahtanggaan kantor seperti arsip, tata naskah, tata acara dan pelayanan pada pimpinan langsung. Sekarang di posisiku yang baru, aku dibebankan pada pengelolaan kelembagaan yang pastinya sarat dengan berbagai konsep dan kajian teknis.

Seingatku, untuk membentuk sebuah instansi pendukung dari perangkat pemerintah daerah, memang diperlukan kajian yang komprehensif. Selain dasar hukum yang melatarbelakangi, kondisi finasial daerah, SDM yang tersedia, juga bidang tugas yang diolah. Jadi bukan sekedar berdasarkan keinginan sesaat, apalagi hanya dilatarbelakangi kearoganan kekuasaan. Berangkat dari kondisi seperti itulah, aku mencoba untuk belajar kembali, spesifikasi tugas dan fungsi dari jabatan yang aku emban. Aku ingin segera beradaptasi dengan bidang tugasku yang baru itu, oleh karenanya selama satu minggu terakhir aku tenggelanm dengan beragam literatur dan dasar hukum yang akan menjadi ’kunci’ dan ’cangkul’ kerjaku.

Pripun rencane ziarahe, cios mboten?” suara Ustadz Faisal terdengar dari ujung handphoneku, ”mumpung bulan Mulud, Dek Harist, bagus untuk ziarah keliling Banten.”

”Insya Allah, Ka Ustandz, cios ziarahe. Ka Ustadz tunggu di rumah saja dulu, nanti dari kantor saya jemput,” jawabku meyakinkan lelaki yang sudah setahun ini akrab denganku. Sebagai ustadz muda, ia tergolong pejuang yang tangguh dalam menegakan dien dan kalam Allah. Meski ia hanya terpaut satu tahun denganku, namun dengan kemampuan keilmuan yang dimilikinya membuatku lebih menyepuhkannya. Seperti orang Banten kebanyakan, aku memanggilnya dengan sebutan Kaka sebagai ujud penghargaan padanya.

Kami memang ada rencana ziarah keliling Banten sebulan yang lalu, namun karena kesibukanku, baru hari ini dapat aku penuhi. Dia sudah seperti keluarga bagiku, setidaknya beragam petuah dan nasehat kudapatkan darinya. Ide ziarah ini juga darinya, katanya agar apa yang menjadi hajat kita mudah terkabul. Sebetulnya inti ziarah itu sendiri adalah berkirim doa dan mengingat mati. Akan tetapi Ziarah membuat kita lebih ikhlas untuk menerima kenyataan, karena dengan ziarah kita disadarkan akan batas akhir dari hirup pikuk kehidupan ini, yakni kembali kepada Allah. Belajar dan mengkaji sejarah dari para Waliullah, atau orang-orang yang bersih itu sendiri membuat kita sadar, akan segala kekurangan dan kealfaan kita dibandingkan mereka. Ziarah juga merupakan terapi positif bagi peningkatan ibadah kita, karena perjalanan ziarah biasanya sepaket dengan keikhlasan untuk beramal dan shodaqoh, kemanapun kaki ini melangkah. Dan untuk yang terakhir inilah, sebenarnya aku melakukan ziarah. Aku mencoba untuk meningkatkan ibadahku yang sangat jauh dari predikat sempurna, aku juga mencoba untuk sejenak merenung dan berlari dari keruwetan ritme kehidupanku. Aku ingin mendapatkan sedikit ketenangan dan keteduhan dari tidurnya para ’kekasih’ Allah ini. Belajar dari keikhlasan dan kesahajaan mereka dalam menjalani hidup yang memang sebentar ini. Aku juga ingin bisa sedikit merasakan suasana kebathinan mereka dalam berjuang dan mengabdi pada Sang Khaliq.

Aku begitu bersemangat, ketika langkah kaki ini memasuki pintu gerbang kompleks Masjid Agung Banten Lama. Banyak doa dan harap dari setiap salam yang terucap di sini. Tempat beristirahatnya Sultan Agung Maulana Hasanudin, seorang pembesar Banten, Penegak agama Allah, dan putra dari Sultan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Di kompleks ini pula terdapat menara banten yang menjadi symbol kebesaran tatar Banten.

Ustadz Faisal mengajaku untuk masuk ke bagian dalam makam Sultan Maulana Hasanudin yang terletak di samping kiri dari Masjid Agung Banten Lama. Malam jum’at seperti ini, begitu banyak pengunjung dan peziarah dari berbagai kota, tidak hanya dari pulau Jawa tapi juga luar Jawa. Kebesaran dan keagungan nama Sultan Maulana Hasanudin dalam menyebarkan islam di Tatar Banten tidak diragukan lagi, karena Beliau juga Banten maju pada awal-awal pembangunannya sebagai kota tua yang memiliki ragam kekayaan alam ini. Pada zamannya Banten juga menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara selain sebagai Pusat Penyebaran Agama Islam di Jawa.

Keberhasilannya mengalahkan Prabu Siliwangi membuat penyebaran agama islam semakin meluas, dari Banten Lama ke bagian selatan Gunung Karang, Pulo Sari, hingga Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Pada masa pemerintahannya pula Banten mencapai zaman keemasannya. Tercatat dalam sejarah mata uang kita juga pertama kali di cetak di tatar Banten. Karena hal ini pula, banten seolah menjadi negara dari masa lampau.

Ziarah di Makan Sultan Maulana Hasanudin selesai. Sebetulnya yang searah dengan kompleks Banten Lama masih ada beberapa lagi. Seperti Sultan Maulana Yusuf di Kasunyatan, dan Sultan Ageng Tirtayasa. Akan tetapi karena ini ziarah keliling Banten-ku yang pertama, Ustadz Faisal memutuskan hanya di makam Sultan Maulana Hasanudin saja. Dengan pertimbangan masih ada beberapa lokasi ziarah yang membutuhkan waktu dan jarak tempuh yang cukup jauh. Oleh karena itu menjelang jam sembilan ini, aku telah meninggalkan kompleks Kesultanan Banten Lama untuk menuju lokasi ziarah selanjutnya, Gunung Santri.

Nafas kami mulai habis ketika langkah kaki kami mulai menapaki jalan berbukit dengan jumlah ratusan anak tangga ini. Namanya Gunung Santri, sekaligus nama dari kampung di Desa Bojonegara, Kabupaten Serang. Jaraknya kurang lebih 7 Km dari Kota Cilegon. Bukit ini diapit oleh gugusan pegunungan dari Gunung Lamaran, Gunung Gede, hingga Gunung Brigil yang terletak di sebelah barat. Sedangkan sebelah timur dari Gunung Santri ini dibatasi oleh Teluk Banten dengan ketinggian sekitar 500 m dari permukaan laut. Dari ketinggian ini pula kita bisa melihat keindahan laut ketika malam dengan segala kelap-kelipnya.

Gunung Santri sendiri sebetulnya tempat beristirahat dan ’tidur panjang’nya Kyai Haji Muhammad Sholeh yang dikenal sangat dekat Sultan Maulana Hasanudin sekaligus murid dari Sunan Ampel. Kehadirannya di tatar Banten atas perintah Sultan Syarif Hidayatullah guna mencari putra sang guru yang telah pergi lama dari Cirebon. Di sepanjang perjalanannya, Kyai Haji Muhammad Sholeh melakukan dakwah pada masyarakat Banten yang waktu itu masih menganut ajaran Hindu di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Padjadjaran dengan pusat pemerintahannya di Banten Girang.

Karena keuletan dan kesabarannya iapun dapt berjumpa dengan Sultan Maulana Hasnudin yang tengah mermunajat kepada Allah SWT di Gunung Lempuyang, dekat kampung Merapit, Desa Ukirsari, Kecamatan Bojonegara. Namun karena putra sang guru bersikukuh untuk tetap tinggal di Banten iapun kembali Ke Cirebon untuk memberitahukan hal tersebut pada Sultan Syarif Hidayatullah. Rencanapun berganti, kini ia mendampingi Sultan Syarif Hidayatullah untuk menjemput pulang Sultan Maulana Hasanudin dan kembali ke Cirebon. Namun karena Sultan Maulana Hasanudin masih tetap pada pendiriannya, akhirnya ia di utus untuk tetap menemani putra Sang Guru untuk mencapai tujuannya menyebarkan agama islam. Karena kesetiaannya, Syekh Muhammad Sholeh diangkat menjadi penasehat sekaligus pengawal Sultan Maulana Hasanudin berserta tiga orang yang dikenal sebagai Puna Kawan. Syekh Muhammad sendiri dikenal sebagai cili kored, hal ini dikarenakan keberhasilannya menyebarkan agama islam melalui ilmu pertanian yang kerap dijadikan alat dakwahnya. Kored adalah salah satu alat pertanian yang diajarkan beliau dalam menggarap lahan pertanian, sementara dua kalimat syahadat adalah ramuan mujarabnya untuk pertama kali bercocok tanam. Keberahsilannya dalam bercocok tanam di Sawah Su Derup, Blok Beji membuat Syekh Muhammad Sholeh disegani dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat yang kemudian secara sukarela memeluk islam.

Aku masih merasakan keuletan dan ketekunannya itu, setidaknya dari bangunan makan yang terletak jauh di perbukitan ini. Perlu kesabaran dan keuletan untuk bisa duduk dan berziarah di depan makamnya. Seingatku aku harus berhenti sampai tiga kali untuk bisa menyelesaikan jarak menanjak sepanjang setengah kilo meter ini. Dan ini kali pertama sejak aku mengabdi di tatar Banten.

Setelah hampir setengah jam, kami sampai di kompleks makam ’orang sholeh’ yang sarat dengan perjuangan dan keistiqomahanya. Sejenak lelaki penunggu makam berdialog dengan Ustadz Faisal, entah apa yang mereka percakapkan. Yang jelas setelah itu, Ustadz Faisal memintaku duduk di sebelahnya. Rupanya guru kunci tadi menawarkan diri untuk memimpin ziarah kubur ini, dan setahuku Ustadz Faisal memang sangat toleran dan menghargai siapa saja. Meskipun ia fasih betul dengan kegiatan seperti ini, ia tetap menghargai sang guru kunci untuk memimpin doa dan ziarah kepada Syekh Muhammad Sholeh.

Tepat setengah dua belas malam, ketika acara ziarah di lokasi ke dua ini selesai kulakukan. Aku mengumpulkan sisa tenagaku untuk kembali menuruni bukit yang lumayan tinggi ini. Meski berjalan turun tidak secapek ketika naik, akan tetapi kehati-hatian tetap diperlukan. Masalahnya kalau sampai jatuh dari ketinggian ini, kita akan terguling jauh hingga ke dasar bukit.

Langkah kami sampai pada kompleks makam yang masih ramai menjelang pukul satu dini hari ini. Beragam kendaraan dan peziarah lalu lalang di hadapanku, tujuan mereka beragam meskipun kegiatan kami sama, berziarah tentang kebesaran Kyai Haji Asnawi Caringin murid dari Syekh Abdul Karim Mekah, Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Ahmad Khatib Sambas, Kyai Haji Abdul Karim Tanara dan putra dari Abdurrahman yang masih memiliki garis keturunan dari Sultan Agung Mataram. Ibundanya, Ratu Sabi’ah adalah keturunan keluarga Sultan Banten. Kyai Haji Asnawai atau biasa di kenal Syekh Asnawi Caringin lahir pada tahun 1850 di Caringin Banten dan wafat pada tahun 1937 sebagai ’waliullah’ yang disegani tidak hanya saja orang Banten tapi di luar Banten.

Beliau dikenal sebagai ulama yang membangun kembali Kota Caringin setelah hancur berantakan diterpa bencana meletusnya Gunung Krakatau pada 23 Agustus 1883. Ia membangun kembali desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur, Carita dan jalan raya Anyer – Carita (pada zamannya jalan ini dianggap lebih indah dibandingkan Jalan Riviera di Perancis Selatan) setelah lenyap diterpa tsunami setinggi 30 meter. Syekh Asnawi Caringin atau Kyai Agung Caringin membangun kembali daratan yang luluh lantak itu dengan pengembangan ilmu toriqot Qodiriah dan Naqsabandiyah pada masayarakat yang tersisa. Darinya juga pada perkembangan selanjutnya, Banten dikenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama islam dalam melawan penindasan kompeni Belanda.

Tercatat beberapa muridnya datang dari dalam dan luar Banten yakni; Kyai Sochri Cibeber, Kyai Haji Afifi, Kyai Haji Tubagus Mursyid, Kyai Haji Jauhari Ceger, Kyai Haji Kobak Rante Bekasi, Ajengan Satibi Warung Kondang Cianjur, Ajengan Tubagus Bakhri Plered Purwakarta dan Ajengan Falak Pagentongan Bogor. Mereka-mereka inilah yang kemudian menyebarkan toriqot Qodiriah dan Naqsabandiyah secara luas. Sumbangan terbesar dari Kyai Haji Asnawi Caringin adalah menyemangati masyarakat Cilegon dalam melawahan kolonial Belanda pada peristiwa ’Geger Cilegon’ pada 1888. Mungkin ini yang membuat makamnya dianggap keramat dan diziarahi oleh banyak orang.

”Shodaqohnya Pak Haji, semoga Allah memurahkan rezki dan serta mengabulkan hajat Pak Haji,” seorang lelaki tua menyadarkan aku dari ketermenunganku menatap bangunan makam yang memilki kisah besar pada zamannya ini. Dan satu hal yang membuatku kemudian menatap lurus dari lelaki kurus ini, panggilan ’Pak Haji’ seolah membuat getar halus di nuraniku. Aku belum berhaji, aku belum ’mampu’ menunaikan itu.

”Amiin...,” Ustadz Faisal mendadak mengamini.

Aku sendiri hanya cengar-cengir menahan malu seraya menyerahkan selembar uang ribuan. Jauh di lubuk hatiku, turut mengaminkan panggilan itu, semoga ini akan menjadi kenyataan.

”Kalau ada yang memanggil Dek Harist begitu, amini saja. Semoga jadi doa...” Ustadz Faisal menasehatiku.

”Iya Kak Ustadz,” jawabku seraya mengangguk setuju.

”Kita langsung ke dalam saja, Dek. Biar lebih afdol kita berdoa di depan makam Syekh Asnawi Caringin, tidak apa-apa mengantri sedikit.” Aku hanya kembali mengangguk seraya mengikuti langkah ’guide’ wisata rohani ini.

Tak berapa lama kamipun bisa sampai di depan makam Kyai Agung Caringin, setelah mengantri dengan urutan yang panjang. Ustadz Faisal bertawasul seperti biasanya. Segala puja-puji ia panjatkan untuk Rasulullah, keluarganya, sahabatnya, hingga para ulama yang segaris dengan Beliau. Ada kekhusyuan yang dalam dari setiap lafadznya, ini menunjukan kepiawaiannya sebagai seorang ustadz. Setelah salam dan doa terpanjat, ziarah di Makam Syekh Asnawi Caringin inipun selesai. Kami melanjutkan pada lokasi ziarah lainnya, Kyai Haji Tubagus Manshurudin, Cikaduen, Saketi Pandeglang.

Pukul dua lewat lima belas menit, ketika kakiku yang mulai lelah ini menapaki barisan anak tangga yang menghubungkan pintu gerbang Cikaduen ke makan Kyai Haji Tubagus Manshurudin atau di kenal juga dengan Syekh Mansyur Cikaduen. Banyak sekali mobil besar dan kecil yang terparkir di kompleks makam ini. Dari plat nomor polisi yang kubaca, nampaknya mereka dari berbagai kota di Pulau Jawa. Umumnya mereka datang secara rombongan, untuk melakukan ziarah keliling Banten. Dari antusiasme yang mereka tunjukan, membuatku merlambung jauh untuk mengenal sosok ’orang suci’ yang sedang istirahat ini.

Sudah menjelang fajar, tepatnya setengah tiga pagi, ketika kami meninggalkan kompleks makam Syekh Masyur Cikaduen. Ustadz Faisal nampak serius dengan dzikir di perjalanan pulang, sementara mataku rasanya sudah tak bisa berkompromi lagi. Kantuk begitu kuat menyergapku, aku tak biasa begadang seperti ini. Hingga laju kendaraan ini sampai kembali ke Serang, mataku masih terpicing menahan kantuk. Setidaknya nazar dan keinginanku untuk ziarah keliling Banten ini telah kulakukan. Memang belum semuanya kukunjungi, akan tetapi aku sudah memulai dengan empat lokasi yang melintasi gunung dan laut selat sunda ini.

Aku baru saja menarik selimutku ketika seseorang nampak berdiri tegak di hadapanku. Gamisnya berwarna putih bersih dengan lebar terjuntai menyerupai gordyn istana kepresidenan. Wajahnya tak begitu kuhapal, hanya saja raut mukanya seakan menggambarkan keagungan dan kesalehan. Seulas senyum juga terarah kepadaku, aku jadi bingung dengan pemandangan yang ada di depanku. Di tangannya terdapat sebuah topi mahkota yang terbuat dari emas akan tetapi terlihat agak menghitam dan berkarat. Seingatku ia mengulurkan mahkota itu kepadaku, meski tak berucap, aku merasakan kalau ia menyuruhku mendekat. Ia mempersilahkan aku untuk melihat lebih dekat dan memegang benda itu, namun detik pertama kupegang mahkota itu, tiba-tiba benda itu menjadi rapuh. Beberapa bagiannya rontok di tanganku. Aku benar-benar terkejut. Dan keterkejutanku itu membuatku terjaga dari adzan subuh yang mulai menggema. Subhanallah, apa maksud dari mimpi itu? Ada apa dengan keagungan dan kebesaran Banten di masa lalu, hingga aku diperlihatkan lambang kebesaran dengan ujud serapuh itu.

Kusujudkan mukaku yang tak berharga ini di sajadah merah pemberian Pak Haji Mamad. Banyak kisah yang tertumpah pada lapisan kain yang sering kubasahi dan kuciumi ini. Ketika begitu berat beban dan tanggung jawab yang kuterima sebagai aparatur di tatar Banten ini, juga ketika begitu berat untuk menjadi istiqomah dari sebuah nurani, sajadah merah ini yang senantiasa memeluk dan menghiburku. Seperti apa yang tengah aku alami sekarang. Ketika jiwa dan sesak dada ini begitu menghimpitku. Hingga perjalanan ziarah sepanjang malam yang baru saja kulakukan, sepertinya juga belum banyak mengurangi rasa ini.

”Mungkin ada janji yang belum Ayah tunaikan?” begitu kata istriku, ”janji itu hutang, kalau kita tak menepati berarti kita masih berhutang.”

”Seingat Ayah, janji yang selama ini tertangguh yaa itu, ziarah keliling Banten, Bunda,” kataku mencoba mengingat. Tapi meski aku telah melakukan ziarah keliling Banten, rasanya memang masih ada yang mengganjal di hati. Ada sesuatu yang hilang dari hidupku, seperti juga ada sesuatu yang tak pernah kutemui selama ini. Ketenangan, keteduhan atau kedamaian hatiku yang dulu selalu kurasakan. Apakah ada dosaku dimasa lalu yang belum kumohonkan maaf dan ikhlasnya, atau memang masih ada janji yang benar-benar belum kutepati...

”Janji lain? Janji di masa lalu barangkali...?”

Kalimat yang terakhir itu yang membuatku menangis di subuh yang teduh ini, kalimat yang terakhir itu pula yang membuatku teringat akan sosok yang paling kurindui selama lima belas tahun terakhir ini. Wajah yang tak pernah lekang dalam ingatanku, hadir di sanubariku, dan wakil dari setiap serpihan nuraniku. Yah, aku ingat semuanya sekarang, aku ingat sebuah janji yang belum mampu aku tunaikan selama ini. Sebuah janji untuk ibuku, sebuah janji yang telah membuatku ibuku menangis terharu, sebuah janji yang membawaku pergi jauh dari tanah kelahiranku, menempa segala keterbatasanku, melintasi ketaknyamanan hidupku, serta membuatku terus semangat dan berjuang pada setiap langkah hidupku...

Kutatap wajah istriku yang masih terdiam dan bingung, ekspresinya seperti menunggu aku berucap sesuatu, sesuatu yang membawaku pada kenangan masa lalu...

”Ayah ingin tunaikan janji untuk ibu....”

%%%%

1 komentar: