LAPANGAN bola STPDN ini mendadak berubah menjadi kawasan yang sakral dan penuh dengan suasana yang mencekam, khususnya bagi kami Calon Muda Praja. Entah acara apalagi ini, setelah bangun subuh, steling pagi, dan makan pagi, kami semuanya dikumpulkan di lapangan yang penuh dengan debu di musim kemarau ini. Lapangan ini penuh dengan para Calon Muda Praja yang berseragam PDL hijau-hijau, sementara beberapa barisan lagi sarat dengan perbekalan dan kelengkapan kegiatan upacara. Hanya saja yang membuat kami agak tertegun adalah barisan yang berseragam putih-putih, pastinya tim medis. Wah, kalau mereka hadir, berarti kegiatan ini akan sarat dengan tempaan fisik. Lalu…
“Rapikan kembali sap dan banjarnya, setengah lengan lencang kanan… gerak!!!” seseorang berpakaian coklat lengkap dengan tali kur biru itu mengarahkan kami.
Beberapa saat kemudian, kegiatan yang tak kuketahui itupun dimulai. Diawali dengan masuknya seorang berseragam komando dengan tongkatnya yang khas. Perawakannya agak pendek, akan tetapi dari langkahnya yang pasti dan tegap menyiratkan betapa pentingnya orang ini. Kalau tidak salah, aku mengenal pangkat yang disandangnya, seperti levelan Jenderal begitu.
“Itu siapa, Mas?” tanyaku pada rekan samping barisanku.
“Katanya Bapak Brigjen Sartono Hadisumarto, Ketua Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri,” bisiknya.
Dengan langkah yang mantap, lelaki itu mulai memberikan komando untuk dimulainya acara yang telah disiapkan sejak kemarin sore itu. Seorang Nindya Praja nampak maju ke depan untuk laporan dan memandu acara ini.
“Anak-anaku, Calon Muda Praja, hari ini kalian akan menghadapi proses pemantapan mental dan kepribadian sebagai seorang Praja. Hari ini kalian akan dikenalkan tentang apa dan bagaimana hidup sebagai Praja di lingkungan Ksatrian dan almamater yang kita cintai ini. Karena itu siapkan fisik dan mental kalian untuk dapat mengikuti segala kegiatan yang telah disusun oleh kakak-kakakmu Nindya dan Madya Praja. Apakah kalian semua siap mengikuti OPSPEK ini dengan penuh tanggung jawab?”
“Siapp!!”
“Baik, kalau kalian siap semua. Orientasi Program Studi dan Pengenalan Ksatrian dengan ini secara resmi saya buka!”
BUMM!!
Dengan letusan TNT yang sangat keras tersebut, acara OPSPEK bagi kami Calon Muda Praja angkatan 06 resmi dimulai. Sebetulnya aku agak geli juga dengan semuanya ini, seingatku aku masuk sebuah lembaga pendidikan yang berbasis sipil, tetapi apa yang kurasakan sejak kemarin seperti masuk militer saja. Asal tahu saja, semasa SMA dulu, aku paling anti ikut yang seperti ini. Tapi yaa sudahlah, kepalang basah. Rupanya lembaga pendidikan sipil ini juga berorientasi pada pembentukan karakter dan kepribadian yang tegas, hingga penerapan semi militer merupakan formula yang dicobaterapkan. Pastinya memang membuat kami semua kaget dan seakan menyesal untuk mengikuti pendidikan di Lembah Manglayang ini. “Akan ada masanya kalian sangat bersyukur mengapa mengikuti pendidikan di Ksatrian ini, tapi itu nanti. Yang penting sekarang, kalian ikuti semuanya dengan kesungguhan dan niat yang tulus…” setidaknya kalimat seperti itu yang membuat aku tetap menerimai ketakmengertian ini.
Kegiatan ini diawali dengan diharuskannya kami merayap bersama-sama di lapangan yang sarat dengan debu ini. Kemudian kami diharuskan guling kanan dan guling kiri serta dilanjutkan dengan jungkir beberapa meter ke depan.
“Ini akan menguji sejauh mana kesiapan fisik kalian, jadi ikuti dengan sungguh-sungguh. Ingat jangan main-main, atau saya ulangi lagi…” seorang senior berteriak lewat megaphone seraya memencet sirenenya.
Ditimpali teriakan para senior yang mendampingi kami, suasana lapangan ini benar-benar jadi lebih mengerikan dari yang aku bayangkan. Kalau tidak salah ada juga diantara mereka yang tertawa terbahak-bahak melihat kami yang tertutup kain hitam ini jatuh dan saling bertabrakan. Beberapa senior perempuan juga tidak kalah sengitnya, mereka tertawa dan berteriak seakan puas melihat kekonyolan kami. Fuuh… senang kali kakak-kakak itu rupanya.
“Hey, Capra kamu bisa jungkir dengan baik tidak?!”
“Siap, bisa Kak!” wah itu suara Busri. Sedang diapain dia, kasihan bener. Di kondisi sepayah ini apa mungkin masih ada hukuman tambahan.
“Hey, kamu yang sebelahnya, bisa jungkir dengan baik tidak. Atau perlu dikasi ‘tepuk nyamuk’ (istilah tamparan di muka) hah?”
Eh, siapa yang disampingnya?
“Hey Gundul, rupanya kamu tidak bisa diajak baik-baik yah? Apa perlu saya kerasi dulu, bisa benar tidak!!?” wah, sepertinya itu ditujukan kepadaku.
Aku segera memperbaiki posisi jungkirku, tapi badanku sudah sangat letih… aduh, bagaimana ini? Ah, aku harus berusaha, aku tidak boleh menyerah! Aku harus memberikan yang terbaik…. Tapi kepalaku pening, pandanganku yang tertutup kain hitam ini makin gelap dan berkunang-kunang. Entah apa yang terjadi, yang jelas aku jatuh lemas. Aku pasrah, aku siap diberi hukuman apapun…
“Hey, Capra! Bangun kamu, jangan ‘makan tulang’ (istilah berlaku curang), atau saya kembalikan kamu ke daerah?!”
“Siapp, jangan Kak!!” teriaku sekeras-kerasnya.
Sesaat teriakan di sekelilingku berhenti, dan mendadak hening. Tapi kemudian mendadak jadi gelak tawa di sekelilingku. Loh, ngomong apa aku tadi? Rasanya aku tidak melawak…
“Bukan sama kamu, Ndul! Sama temanmu di ujung sana!” seseorang tertawa sambil memegang kepala gundulku.
Jadiii sedari tadi mereka berteriak bukan padaku to? Terus ngapain aku sedari tadi jungkar-jungkir memperbaiki posisi? Yaa Allah… nasiib.
“Perhatian, kepada seluruh Calon Muda Praja untuk dapat menghentikan gerakannya.” Seketika kami semua terdiam dan berhenti. “Dengar, sekarang buka tutup mata kalian. Kegiatan ini seharusnya menjadi pelatihan kalian untuk saling membantu satu sama lain dalam melewati setiap rintangan, tetapi keegoisan kalian dan kekurangkompakan kalian membuat kalian tercerai berai dan menyelamatkan diri masing-masing. Ingat Dek, di lapangan tugas nanti, siapapun yang tidak mampu bekerja sama takan dapat meraih apapun. Keberhasilan yang dicapai secara bersama-sama sesungguhnya adalah yang paling baik dari segala keberhasilan.”
Mmm… itu maksudnya yah. Pantas mata kami diikat dan kami diharuskan berjalan jongkok, jungkir dan lompat kodok berbaris-baris. Harus kuakui diantara kami memang belum saling berbagi, kami semua masih sibuk untuk menyelematkan diri masing-masing. Dan sekali lagi, aku merasa harus belajar banyak tentang semua penempaan kedewasaan ini.
“Setelah kegiatan ini, kalian akan kami antar berkeliling Kstarian untuk lebih memahami dan mencintai lingkungan almamater kalian. Oleh karena itu, dalam hitungan ke lima kalian harus sudah berada pada barisan kalian masing-masing. Satu, dua, tiga….”
Seketika kami telah berdiri sesuai barisan kami masing-masing, disini sepertinya semuanya harus gerak cepat. Tidak ada yang leha-leha apalagi klemar-klemer, waah, bisa habis jadi sasaran para senior itu. Beberapa dari kami saling berteriak menyebutkan nama satuannya, maklum kami baru dua hari di sini, hingga kami memang belum saling mengenal banyak. Dengan berteriak dan menyebutkan nama satuan kami, setidaknya membantu kami untuk menemukan satuan dan barisan kami dengan cepat. Dalam tiga menit, barisanpun terbentuk dengan rapi, kemudian para senior itu mulai mengambil alih komando kami.
“Baik, sekarang kalian dengarkan baik-baik. Kakak-kakak kalian akan membawa kalian mengelilingi Ksatrian, kalian akan menjumpai pos-pos tertentu untuk pengecekan jumlah kalian. Oleh karena itu kalian harus tetap kompak dan bersama-sama, hilang salah satu dari kalian berarti hukuman untuk semuanya. Bisa diterima?”
“Siapp!!”
“Bagus, sekarang barisan paling ujung mulai lari, lewati pos-pos dengan baik. Satu, dua, tiga!”
Barisan paling ujung berlari mengikuti komando yang telah diberikan untuk melewati pos-pos pemeriksaan. Pos pertama adalah di atas lapangan bola ini, kami disuruh lompat kodok sejauh lima meter, kemudian berjalan menurun ke titian jurang yang lumayan curam menuju sungai kecil. Sampai di sungai itu, tanpa terkecuali, kami diwajibkan merayapi sungai tersebut hingga ke ujung saluran.
Setelah melewati sungai kecil itu, sekujur tubuhku berubah menjadi coklat lumpur. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki dataran tinggi, dengan tangan yang lemas kutarik akar-akar tumbuhan sebagai peganganku. Dengan pandangan yang sudah tak karuan serta nafas yang tersengal-sengal, kucapai juga dataran tinggi itu.
LOUNDRY
Pos kedua yang kami lewati adalah tempat penyucian pakaian-pakaian dinas Praja. Pantas setiap dua kali seminggu ada mobil yang mengangkut pakaian kotor di asrama-asrama Praja. Rupanya pakaian-pakaian kotor itu dicuci disini, mmm… enak juga ya ngga harus mencuci sendiri.
“Kepada Calon Muda Praja yang baru datang, agar segera mengambil jatah minum di sudut taman!” seorang senior bertali kur kuning mengarahkan kami.
“Cepat ambil Dek, ingat tidak ada yang minum sambil berdiri. Bawa di bawah pohon sana, tunggu rekan-rekan kalian untuk minum bersama,” sambung senior yang berbintang satu alias Madya Praja.
Satu per satu rombongan barisanku sampai ke dataran tinggi ini, dengan susah payah mereka mengambil jatah minum mereka. Seorang Nindya Praja dengan lencana bunga di dada kanannya nampak menghampiri kami. Meski ia tak tersenyum, akan tetapi ia terlihat lebih ramah dibandingkan yang lain.
“Minumnya nanti, tunggu teman-temanmu kumpul semua,” katanya penuh wibawa. Ia menoleh ke rombongan senior berbintang satu, tangannya nampak melambai memanggil mereka. Seorang senior berbintang satu itu langsung menghampirinya.
“Saya Kak?”
“Tolong kamu ganti gelas adekmu yang di ujung sana, kelihatannya kotor tercampur lumpur. Pasti tidak layak untuk diminum..” ah, baiknya senior ini.
“Dek, kamu yang diujung ikut kakak!” Calon Muda Praja yang gelasnya kotor segera mengikuti dan mengganti gelasnya dengan yang lebih bersih. “Awas jangan sampai kotor lagi…”
“Siap Kak!”
“Sekarang kembali ke satuanmu!”
MATAHARI mulai meninggi ketika barisanku telah melakukan lompat gagak 15 meter, jungkir 5 meter, dan guling 3 meter untuk mencapai pos tiga ini. Aku terus berdoa agar kegiatan ini segera berakhir. Istirahat, mandi, dan mengisi perut yang sudah lama keroncongan, pasti akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
“Ini pos ke tiga, sebelum kalian melanjutkan ke pos berikutnya, Kakak akan mengecek jumlah personil kalian.” Seru seorang senior penjaga posko, “ Kamu Danton (maksudnya komandan pleton) maju kedepan!”
Khaidir yang perawakannya lebih tinggi dan menjabat Danton saat itu langsung datang menghadap. Dengan patah-patah ia melakukan pengormatan.
“ Yah, sekarang kamu laporkan kekuatan pasukanmu!”
“ Lapor, Dharma B2, Barak Jabar Atas, jumlah 41 lengkap!”
“ Bagus, sekarang semuanya jalan jongkok sampai keujung sana! Ingat tidak ada yang makan tulang kalau tidak mau diulangi! Mengerti?”
“ Siap Kak!!”
Dengan sisa-sisa tenaga yang tersimpan, kami mulai jalan jongkok ke batas ujung yang ditunjukan. Setelah sampai, kami diperintahkan lari melintasi daerah lapangan olah raga. Nampak dihadapanku, lapangan bola voli, lapangan tenis, serta lapangan olah raga lainnya, disana beberapa orang senior sudah siap dengan barisan pagar betisnya, mereka sepertinya bukan panitia OPSPEK . Tapi apa yang mereka bawa, sepertinya koq kantong-kantong plastik.
“Hey Capra, cepat lari itu!!”
Kami kontan lari sekuat tenaga kami, hingga melintas di hadapan mereka, dan…BYUUURR!!! Wah, kok nyiram sih! Tapi lumayan lah sepertinya bikin seger, tapi ..... air apa ini? Ya ampun ini air rendaman pakaian kotor! Kurang asem, iseng amat sih..
“Nah, selamat menjadi Praja yah! Ayo sekarang cepat lari lagi!” dengan bingung campur heran kami berlari kembali menuruti perintah senior-senior usil itu.
“Aduh Mak, kalau macam ini, mending aku pulang ke Medan aja.., “ Fauzan ngomel sepanjang jalan. Sedih bercampur kesal menimpali sepanjang jalan ini. Kok begini OSPEK itu. . . .
“Yo wis, ojo podo ngomel! Ini cuma tes mental lho, moso calon kader pimpinan ngeluh!” Iwan Setyawan Capra dari Surabaya menenangkan.
“Tes mental sih tes mental, mas. Lha ne’ koyo ngene ya njijihi! Moso air bekas rendaman dipake nyiram sih!” Hermawan yang utusan Jawa Tengah ikut menimpali.
“ Iya, mana bau tengik lagi! Dasar gelo itu senior. Mau enak sendiri saja!” giliran Anas Yulfan ikutan ngomel.
“ Lha wong badan kita semua sudah pada bau lumpur aja, diributin. Disiram atau ndda disiram tetap saja bau toh? Jadi ya wis ngga usah terlalu nesu to mas!” Fitri Hernadi nyambung menirukan gaya Hermawan.
“ Eh, sudah-sudah hentikan cakap kalian tu, nanti kedengaran senior bisa susah kita semua!” Khaidir ambil komando.
Matahari sudah tepat diatas kepala, perjalanan terus dilanjutkan hingga sampai di sebuah lapangan tanah merah dekat lapangan bola volly tadi. Waah… mudah-mudahan ini yang terakhir dan selesai!
“ Dengar, Dek perjalanan kalian sudah tinggal seperlima jarak lagi. Jangan sampai gagal, dan mengulang tahun depan. Karena jika kalian tidak sampai di pos terakhir, kalian akan mengulang OPSPEK tahun depan! Jadi jangan sia-siakan perjuangan kalian hari ini!”
“ Siap Kak!!”
Barisan kamipun segera melanjutkan perjalanan menuju pos terakhir. Lima belas menit berlalu, akhirnya sampai juga kami di pos terakhir yang ternyata adalah sebuah mobil pemadam kebakaran. Di pos terakhir ini, kami semua disiram secara bergantian untuk membersihkan badan kami dari lumpur.
Fuuh… Alhamdullilah, selesai juga.
“Dengar semuanya, acara setelah ini adalah makan siang. Masing-masing Pejabat Pati (maksudnya Dharmapati, Wirapati, Senapati atau Manggalapati) yang melekat di satuan segera membawa adek-adeknya menuju lapangan Plaza!” seru seorang senior bertali kur biru.
Kemudian kami digiring ke lapangan Plaza. Di sana kami dibariskan kembali, setelah rapi dan lurus diperintahkannya kami mengambil jatah makan kami di ompreng-ompreng yang sudah tersusun itu.
“Perhatian bagi semua Calon Muda Praja, bagi yang sudah mendapatkan jatah makan agar cepat kembali ke posisi semula. Dan untuk yang belum gerakannya supaya dipercepat !”
Semuanya telah mendapatkan jatah makan dan snack, semuanya juga sudah kembali duduk bersila di lapangan Plaza yang panas dan terik ini. Entah apalagi yang akan dilakukan pada kami, yang jelas rasa lapar kami mengesampingkan semua pertanyaan itu.
“Dengar semua, kalian akan makan sesuai dengan perintah kami. Apabila kami perintahkan berhenti semua harus cepat berhenti, begitu juga bila ada perintah tukar harus segera pula ditukar. Ingat, tidak ada gerakan lain selain yang kami perintahkan. Mengerti?!!”
“Siapp!!”
“Bagus, sekarang satu dari kalian pimpin berdoa. Ya, kamu yang paling depan pimpin!” yang ditunjuk langsung berdiri dan memimpin kami untuk berdoa sebelum acara makan.
“Persiapan makan siang, duduk siaaappp…. Gerak!!” dengan sigap kami semua menegakan punggung kami, “rekan-rekan senasib dan seperjuangan, sebelum makan mari bersama-sama berdoa. Mengawali makan siang, berdoa mulai…” semuanya hening dan menundukan kepala. “Berdoa selesai, istirahat di tempat… gerak!!”
“Selamat makaan!!!”
PRIITTT!!!
“Ayo cepat makannya, tidak ada yang lambat-lambat!” dengan kecepatan yang sangat tinggi kami segera menyantap jatah makanan kami. Namun di posisi makan yang berkecepatan hampir lima suap per detik itu berjalan, tiba-tiba salah satu dari senior itu berrteriak keras, “Hentikan!!!”
Semuanya berhenti, tanpa gerakan apapun,”sekarang tukar ompreng kalian dengan rekan yang ada di depannya masing-masing. Cepat!!”
Terus dan terus mereka mengomando gaya makan kami, untuk tukar ompreng ke depan, ke belakang atau samping kanan kiri rekan kami. Waaah, suasana siang itu bagaikan kapal pecah saja.
“Hey, itu yang diujung kiri cepat habiskan ayam dan sayurnya, awas kalau tidak habis yah!!”
“Awas kalau ngga habis , nanti saya yang habisin!”
“Apanya yang dihabisin, Mas?”
“Ya lauknya, memangnya senior bukan manusia?” eeuu… ini senior sempet-sempatnya ngelawak disaat stress seperti ini. Tapi kayanya bagus begitu ya, daripada sok-sok serem he he he….
Tujuh jam terlewat sudah, upacara pembukaan OPSPEK inipun usai. Semua rangkaian kegiatan telah kami lewati, kami semua kembali digiring ke barak dan asrama . Kami diberikan waktu untuk membersihkan diri dan menunaikan ibadah sholat dzuhur bagi yang muslim. Ah, ternyata pembukaan Opspek yang katanya bikin stress berat dan penuh dengan penyiksaan mental, tidak terlalu tuh, buktiya selepas kegiatan ini rekan-rekan seasramaku justru terlihat riang gembira. Entah apa yang dirasakannya, tapi kalau aku harus jujur, memang tidak seberat yang dibayangkan. Memang sih, aku banyak dongkol dengan sikap senior yang sok berkuasa banget. “Ingat, Dek. Anggap apa saja yang bikin kalian kesal sebagai ujian kedewasaan dan kemapaman sikap kalian dalam membina dan membentuk karakter juga mental kader kalian…” apa itu ya, yang membuatku tetap tegar hingga saat ini?
Jujurnya, aku tetap tak mengerti. Yang kutahu aku tetap terpatri pada tuntutan awalku masuk ke lembaga kedinasan ini, yakni ; aku tak tahu lagi harus kemana, untuk dapat melanjutkan harapan dan cita-cita almarhumah ibuku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar