Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Senin, 25 Februari 2013

bagian ke Lima dan Rembuln di Titian Pagi




5.Diantara Jalan Pulang




Pukul delapan tepat, ketika kantong-kantong ikan mas ini sampai di pelataran rumah Pak H. Jamil. Aku benar-benar bersyukur, setidaknya janjiku untuk dapat memenuhi permintaan lelaki terpandang di kampungku ini. Sesekali aku memeriksa jumlah kantong plastik dan kondisi ikan di dalamnya. Aku ingin memastikan kalau apa yang kubawa benar-benar masih dalam keadaan fresh. Setidaknya ini jaminanku untuk memberikan kepuasan dan pelayanan yang terbaik.
“Assallamu allaikum,” ucapku di depan pintu pagar yang bergaya Victorian ini. Rumah Pak H. Jamil memang terbilang paling megah dan bagus diantara orang-orang kaya di kampungku.
“Wa allaikum salam, nyari Bapak?” seorang wanita berbaju daster yang keluar dari  rumah  bergaya Victorian itu.
“Iya, Bu. Saya mau menyampaikan pesanan Bapak,” kataku seraya menunjukan kantong plastic yang penuh dengan ikan mas.
“Ooh iya, lauk pesenan Pak H. Jamil yah?” perempuan berbaju daster itu nampak bergegas menghampiriku, “mari biar saya bawa masuk ke dalam…”
“Biar saya saja Bu, berat. Nanti pinggang ibu sakit,” kataku  seraya meraih ikatan kantong plastic itu. “Mau di taruh dimana?”
“Lewat sini aja atuh,” katanya kemudian seraya menunjukan pintu samping dari rumah gedong itu. Aku pun dengan segera membarengi langkah perempuan berbaju daster yang mungkin salah satu pembantu dari rumah paling mewah di kampungku itu.
“Di sini, Bu?” tanyaku seraya meletakan kantong plastic ikan mas itu di sebuah sudut  area dapur basah. Sekelilingnya terdiri atas kolam ikan koi dan beberapa tanaman peneduh, jadi meskipun areal dapur, aku serasa berada di sebuah taman sari yang tertata rapi, mungkin seperti itu yah rumah orang kaya?
“Yah di situ aja, Jang. Eh ya, sudah lunas dibayar?”
Aku tersenyum menggeleng, jawaban ‘belum’ untuk ukuran orang kaya seperti Pak H. Jamil mungkin kurang begitu sopan menurutku. “Tinggal sebagian, Bu. Kalau Pak H. Jamil sedang berada di rumah, boleh kalau beliau dipanggil?”
“Oh iya atuh, ini khan hak Ujang,” katanya segera, “sekedap nyah[1], saya panggilkan dulu.”
Tak berapa lama seorang lelaki muda dengan tampilan yang parlente keluar dari pintu belakang rumah bagus itu. Terlihat sekali kalau lelaki muda ini sangat terpelajar dan terpandang. Mungkin ini anak Pak H. Jamil yang baru pulang dari kota dan menyelesaikan studynya. Aku membungkuk tersenyum memberinya salam dari jarak dua puluh meter ini. Melihatku begitu, lelaki muda itu berjalan mendekat ke arahku. Ia menunjukan adab santunnya padaku, meski telah lama merantau di kota. Kebisaaan di kampungku, siapa yang menyampaikan hormat duluan berhak mendapat balasan untuk dihormati kemudian. Seperti didekati seperti itu, sebagai tanda kalau ia juga menghormatiku.
Assallamu a’allaikum, dengan Jang Faridz?” tanyanya padaku
Waallaikum salam, benar Kang. Saya Faridz…”
“Oh ya, bapak bilang kamu yang akan menyuplai ikan mas untuk kebutuhan syukuran besok Kamis?”
“Betul Kang, itu sudah saya siapkan semuanya 60 Kg.”
“Oya, berapa lagi yang harus dibayar, Rid?”
“Jumlah seluruhnya Rp.840.000,- Kang, Pak H. Jamil kemarin sudah memberi panjar sebesar Rp. 240.000,- jadi tinggal Rp. 600.000,- lagi,Kang,” kataku menjelaskan.
“O … begitu,” lelaki muda yang berpakaian rapi itu nampak mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari dompetnya yang tebal, “ini enam ratus ribu lagi yah,” katanya kemudian.
Aku menerima uang kertas itu dengan anggukan terima kasih, kemudian menghitungnya untuk memastikan kalau jumlah yang diberikan itu pas. Aku memang diajarkan begitu oleh Kang Rusli bila sedang bertransaksi, bukan karena   tak percaya, akan tetapi justru menjamin kepercayaan kedua belah pihak. Karena menyampaikan complain apabila telah terlewat waktu bukan tidak mungkin akan menimbulkan permasalahan. Seperti saat itu,  ternyata uang pecahan yang ia serahkan padaku tidak sesuai dengan yang diucapkannya.
“Punten Kang, ini bukan enam ratus ribu rupiah,” kataku agak ragu.
Lelaki muda itu tersenyum, “kenapa?”
“Lebih Kang, lebih dua puluh ribu rupiah…”
“Iya, memang itu untuk tip mengantarkan ikan ke sini. Kenapa kurang ya, Rid?”
“Oh ngga, ngga Kang, ini sudah lebih dari cukup,” kataku dengan segera. Aku jadi merasa tak enak dengan ucapanku sendiri.
“Oke kalau begitu, ikannya saya ambil yah?” katanya kemudian seraya mengangkat kantong plastik berisi ikan.
“Iya, ya Kang, saya juga mau langsung pamit…”
Lelaki muda itu tersenyum seraya melambaikan tangan ke arahku yang mulai meninggalkan areal dapur rumah besar itu. Aku masih menangkap sedikit keramahan dan keakraban yang tak biasa dari seorang lelaki yang baru aku kenal. Apakah memang demikian pergaulan mereka yang terpelajar itu. Aku jadi merasa kurang dengan apa yang ada di hati ini. Ah, andai saja aku juga bisa mengenyam bangku kuliah, mungkin aku juga bisa seperti lelaki muda ini. Aku terus membathin membayangkan betapa berharganya sebuah ilmu pengetahuan, hingga mampu membuat penampilan seseorang seakan lebih terpelajar.
Pemikiran dan keinginan untuk terlihat seperti anak juragan H. Jamil itu seakan terus berputar di kepalaku. Setidaknya kalau Bapak masih hidup keinginan seperti itu bukanlah sesuatu yang mustahil dalam kehidupanku, karena ketika ia masih hidup, Bapak selalu menyemangatiku sekolah    sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Namun setelah ia pergi, meskipun aku lulus dengan rangking terbaik di kelas, tak memberiku kesempatan untuk bisa mewujudkan itu. Sebetulnya jika aku mau, banyak program beasiswa yang mungkin bisa aku tempuh, namun melihat kondisi ketiga adiku, rasanya itu tidak mungkin. Ini hanya akan membuat aku terlihat egois dan hanya mementingkan diriku sendiri.
Dengan beasiswa itu, mungkin aku tak begitu membutuhkan biaya, namun bagaimana dengan ketiga orang adiku? ketika mereka masih membutuhkan biaya untuk dapat menyelesaikan sekolah mereka. Ucu yang baru kelas empat Diniyah, Salam yang baru masuk Tsanawiyah, hingga Faiz yang sebentar lagi akan menyelesaikan tingkat SLTA-nya. Ini merupakan beban hidup yang mau tak mau harus aku tanggung. Setelah kepergian Bapak, jelas hanya akulah satu-satunya harapan mereka. Dengan berbekal lapak jualan ikan mas yang diwariskan Bapak, aku berjuang untuk mencoba mencukupi semuanya itu.

Aku masih merasakan penat telah menggotong 60 Kg. ikan mas pesanan ke rumah Pak H. Jamil, dua gelas air putihpun telah membasahi kerongkonganku dengan cepat. Beruntung, aku bisa sampai ke lapak pasar ikan ini ketika pasar masih ramai, sehingga aku bisa menjual beberapa ikan yang masih tersisa di lapak dagangku. Ikan mas memang hampir menjadi kebutuhan lauk harian bagi masyarakat Pandeglang, mungkin karena tradisi turun temurun mereka yang memang banyak berternak dan mengkonsumsi jenis ikan ini. Tak heran kalau pada akhirnya   jenis ikan mas yang bernilai potensi tinggi didapat dari daerah kaki Gunung Karang ini, yakni jenis ikan Si Nyonya. Entah mengapa jenis ikan mas yang satu ini begitu tinggi nilai ekonomisnya, mungkin karena banyak masyarakat Pandeglang yang begitu mencari dan mengkonsumsinya. Daging ikan ini memang lebih kenyal dan lebih gurih dari pada ikan mas kebanyakan, jadi tidak begitu lengket bila dibakar atau digoreng kering. Dan karena banyak dicari tersebut, jenis ikan ini juga sedikit lebih mahal dibandingkan ikan mas lainnya.
“Laukna Bu, ikan mas-ikan mas…!” teriaku pada beberapa pembeli yang lewat di lapak daganganku. Beberapa dari mereka ada yang tersenyum meski tak mampir, mungkin karena teriakanku terlalu keras di telinga mereka. Beberapa di antaranya malah memasang wajah cemberut karena merasa terganggu. Yaa, harus bagaimana lagi kalau teriakanku tidak kencang mana bisa bersaing dengan pedagang ikan yang lain?
“Rid, masih jualan hari ini?” sebuah suara tiba-tiba mengejutkanku.
“Eh, Kang Rusli, iya kang, masih ada sisa dagangan kemarin, sayang kalau harus dibiarkan,” kataku pada lelaki jangkung kurus berusia empat puluhan itu.. “Eh, ya Kang, saya baru saja menganterkan ikan pesanan Pak H. Jamil, dan ini jatah Kang Rusli.”
Aku menyerahkan beberapa lembar uang dua puluh ribuan yang pernah aku janjikan sebagai prosentase keuntungan. Namun Kang Rusli malah tersenyum dan mendorong uang yang aku sodorkan, “kenapa, hitungannya kurang yah Kang? Bagaimana kalau saya tambahi….”
“Ngga usah Rid, akang ikhlas  bantuin kamu, kamu simpan saja keuntungan penjualan ikan pesanan itu untuk kebutuhan adik-adikmu,” Kang Rusli berbicara dengan, tenang membuatku terharu. Ternyata perteman Kang Rusli dan Bapak masih begitu jelas tergambar di wajahnya, terima kasih Yaa Allah, Engkau titipkan orang-orang yang begitu tulus membantuku meniti jalan-Mu.
“Terima kasih Kang, ini sangat berarti dalam hidup saya..”
“Ngga usah terlalu jauh mikirnya Rid, saat ini Kang Rusli yang bantu kamu, suatu saat mungkin aku yang akan minta bantuan kamu,” katanya kemudian, “Eh ya, hari ini saya jualan setengah hari Rid. Ada keperluan dengan istri, katanya mau mengunjungi saudaranya yang sakit, dan saya akan mengantarnya…”
“Ooh, begitu, salam buat Teteh ya Kang…,” kataku seraya menjabat tangannya.
“Ya, nanti saya sampaikan. Saya berangkat dulu yah, assallamu ‘allaikum…”
Wa allaikum salam…,” aku melepas pandangan pada punggung lelaki baik hati itu. Sejujurnya aku memang telah berhitung tentang keuntunganku hari ini, andai saja tidak perlu kubagi, tentunya aku bisa memenuhi kebutuhan sekolah ketiga adiku. Dan Allah nampaknya telah menuntun hati Kang Rusli untuk menjawab harapanku.
Fikiranku masih berputar pada besarnya kebutuhan biaya sekolah di akhir tahun ajaran ini, ketika seorang pembeli dengan halus menegurku. Suaranya begitu nyaring dan bening meski hampir sekujur tubuhnya terbalut busana muslimah yang terlihat agak kusut. Dari penampilannya aku bisa menerka kalau perempuan muda di hadapnaku tergolong wanita yang menjaga akhlaknya meskipun pakaian lusuhnya menggambarkan banyak kesusahanya. Aku sempat menatap wajahnya sekilas sebelum akhirnya aku mencoba menundukan pandanganku pada ikan-ikan yang bebas berenang di kolam lapak daganganku.
“Berapa ikanya sekilo, Kang?” Tanya perempuan berkerudung lebar itu. Suaranya betul-betul nyaring dan halus di telingaku.
“Tiga belas setengah, Teh…”
“Boleh ngga   sebelas ribu saja?”
Sebenarnya itu hitungan yang paling murah yang bisa aku tawarkan pada setiap pembeli, keuntungan yang kudapat dari harga segitu juga sangat kecil dibandingkan cost operasionalnya.   Tapi aku juga tak bisa menolak ketika perempuan muda ini menawar dengan kalimat yang ramah seperti itu, ini bahasa terhalus yang pernah aku dengar sepanjang hari ini dari seorang pembeli.
“Memang Teteh perlunya berapa kilo?” tanyaku menyambung percakapan sembari mencuri pandang sedikit lewat ekor mataku.
“Sekilo aja Kang, untuk  pesanan Ummi, sejak kemarin ia ingin makan ikan…”
“Kenapa Umminya, lagi sakit…?” tanyaku terpancing untuk tahu lebih jauh. Mungkin karena keramahan perempuan  berkerudung lusuh ini yang membuatku jadi bertanya lebih jauh, dan sebetulnya ini sama sekali tidak ada hubunganya dengan standar berdagang ikan mas. Atau memang sudah pembawaanku yang tidak tegaan dengan kesulitan orang…
“Sudah seminggu, leveer Ummi kambuh, Kang. Meskipun sudah dibawa kemana-mana tapi tetap tak sembuh juga?” perempuan berkerudung lusuh ini berucap ringan meski pandangannya tak sepenuhnya ke arahku.
“Sudah ke dokter?”
Perempuan di hadapanku diam tertunduk, ada kondisi hati yang sungkan dengan  pertanyaanku seperti itu. Mungkin juga ia tak tahu harus menjawab apa. Aku jadi menyesal dengan pertanyaanku, setidaknya hatiku mengatakan kalau perempuan ini bukan golongan orang kaya yang sering bergantung pada dunia kedokteran yang nota bene memang mahal.
“Maaf saya terlalu banyak nanya, oh iya berapa kilo tadi ikannya?” tanyaku kemudian.
“Sekilo saja Kang, kalau boleh dengan harga segitu…”
Aku segera membungkus ikan-ikan mas yang ada di hadapanku, hitungannya lebih dari sekilo karena aku menambahinya dengan beberapa ikan dengan ukuran kecil. Kemudian dengan senyum yang kupaksakan kuserahkan ikan mas yang baru saja kubungkus itu…
“Terima kasih, Kang. Ini uangnya… Assallamua’alikum ..”
Ingin rasanya kutolak selembar uang puluhan dan seribuan itu, kalau saja perempuan yang ada di hadapanku itu tidak segera pergi meninggalkan lapak daganganku. Selintas ucap salamnya terdengar pelan di telingaku…
Wa allaikum salam,” jawabku seraya menatap langkah perempuan yang perlahan menjauh dari tempatku berdagang. Hingga tubuhnya menghilang diantara para pembeli dan pengunjung pasar yang lain, ada sesuatu yang tertinggal di kepalaku. Aku mencoba mencari tahu, namun tetap saja seperti processor computer yang kehilangan salah satu filenya. Hingga ketika tanganku menyentuh dinding pagar yang terbuat dari bambu ingatanku itu tiba-tiba hadir di kepalaku.
Astagfirullah, bukankah dia wanita yang pernah jatuh tersungkur beberapa hari yang lalu karena bertabrakan denganku?” kataku seketika menyadari kealpaan daya ingatku. Andai aku ingat sejak pertama kali dia datang, pasti akan menggratiskan ikan-ikan mas ini sebagai permohonan maafku… 

Matahari sudah bergeser dari tepat tegak lurusnya terhadap bumi, mungkin sekitar pukul dua siang. Ini menandakan aktifitas Pasar Badak Pandeglang mulai sepi dari para pengunjung baik yang menjual atau membeli. Seperti juga aktifitas di lapak ikan mas ini, beberapa pedagang telah meninggalkan kolam-kolam ikannya yang tinggal menyisakan ikan. Tinggal tiga atau empat orang saja yang tersisa dan itupun tengah berkemas untuk pulang ke rumah mereka. Salah satu dari mereka adalah aku, aku memang tengah berkemas untuk pulang ke rumah. Aku bersyukur karena hari ini semua daganganku habis, beberapa ikan mas yang matipun ada yang membeli meski dengan harga separuhnya.
Setelah semua perlengkapan dagangku aku kemas, akupun berniat langsung pulang. Di hari Sabtu ini, adik-adiku pulang lebih awal. Ucu biasanya pulang dari pondokan H. Mamad, sedangkan Faiz dan Salam dapat izin pulang dari pondokan H. Jamaksary. Setelah lima hari aku tak bertemu mereka, dua hari terakhir itulah saat aku bertemu dan berkumpul dengan ketiga adiku. Ada kebahagiaan yang tak pernah bisa kulukiskan ketika tawa dan canda mereka hadir di keseharianku. Setidaknya memang  tinggal mereka yang tersisa dari keluargaku yang dapat berbagi suka dan duka denganku, sekaligus amanat Bapak yang harus aku pegang penuh.
Aku berniat jalan kaki dari Pasar Badak ini untuk menuju ke rumahku di kampung Kadupandak, aku ingin sedikit berhemat dengan keuanganku. Jalan menuju kampungku dari pasar ini memang tidak seberapa jauh, meskipun juga tak bisa dibilang dekat.  Hanya berjarak 3 kilometer, dan bisa kutempuh dalam waktu dua puluh lima menit berjalan kaki kalau aku sedang tak bawa tandu ikan. Apalagi di cuaca yang tidak terlalu panas seperti hari ini, mungkin aku bisa mempercepat langkah menuju rumahku.  Aku sudah tak sabar ingin segera memasak cap cay kesukaan mereka, sejak Bapak pergi aku memang mendadak jadi senang memasak. Apalagi kalau masakanku dipuji oleh ketiga adiku, bukan apa-apa, pujian mereka membuatku menjadi lebih percaya diri untuk selalu memasak makanan kesukaan mereka. Ini sudah berlangsung cukup lama, meski pada awal-awal aku memutuskan masak sendiri ini melahirkan beragam kejadian  lucu diantara kami. Seperti Ucu yang buang-buang air terus karena harus menahan rasa pedas dari masakan yang kuracik, atau Faiz yang muntah-muntah karena memakan sayur bayam yang  telah lewat batas 14 jam, atau Salam yang hampir saja masuk rumah sakit karena pusing  kepalanya tak juga berhenti setelah memakan jamur kayu yang kubeli dengan harga murah. Benar-benar pengalaman yang mahal untuku, ketika aku dituntut untuk menjadi bapak sekaligus ibu bagi mereka. Namun   aku juga mendapatkan kebahagiaan yang tak terkira ketika makanan yang kumasak ternyata bisa membuat mereka lahap dan tertidur pulas karena kekenyangan. 
Semua kejadian seperti itu terlewat sudah, kini telah menjadi agendaku untuk bisa meladangi dan mencukupi kebutuhan mereka ketika ada saat untuk kami bertemu. Memasak makanan yang terbaik untuk mereka, dan memberikan suasana keakraban yang paling tulus dari keluarga yang masih tersisa ini. Semangat seperti ini akan senantiasa kujaga hingga aku mampu menghantarkan mereka pada jenjang pendidikan tertinggi dari apa yang aku mampu. Biarlah aku mengorbankan semangat belajarku, demi berbagi pada kemajuan mereka. Semoga prinsipku ini bisa memenuhi amanah dan tanggung jawab yang harus aku pikul dari Ayah dan Ibuku.
Aku masih mempercepat langkahku, dan berharap segera sampai di rumah. Aku ingin sayur mayur bahan pembuatan cap cay ini tidak terlalu layu ketika kuolah nanti, karenanya akan lebih baik kalau aku bisa sampai lebih cepat.   Wortel, kol, brokoli, cesim, tahu dan sedikit udang kupas, masih erat dalam genggaman tanganku. Langkah yang kupercepat nampak membuat bahan-bahan capcay itu terguncang-guncang. Ada terbersit rasa risih ketika beberapa orang nampak memperhatikanku dengan senyum simpulnya, namun aku tak peduli. Aku membalas mereka dengan senyum yang terulas tulus, berharap mereka mengerti akan kondisiku. Di awal-awal perasaan risih itu lebih cenderung ke malu. Namun sungguh, ketika niat tulusku berbuah senyum dan ucap terima kasih dari ketiga adikku, aku merasa kalau semuanya tak berarti apapun. Rasa risih dan malu ini malah berbuah kebanggan dalam hatiku. Seakan aku ingin menunjukan betapa berarti dan berharganya aku bagi keluarga kecilku.
“Tergesa-gesa amat, Nak Faridz?” sebuah suara menegur langkah cepatku.
“Oh eh, iya Bu Wardah. Hari ini ketiga adik saya pulang, saya takut belum bisa menyiapkan makanan jadi agak buru-buru. Maaf ya Bu, saya duluan,” kataku seraya melangkah cepat kembali.
Bu Wardah dan beberapa tetanggaku hanya bisa menggeleng kepala seraya menahan senyum simpulnya. Entah apa artinya, yang jelas aku tak peduli. Aku ingin cepat sampai dan memasak untuk ketiga adiku.
Tepat di persimpangan gang yang menuju rumahku, sesaat aku menghentikan langkahku. Beberapa wortel yang sedari tadi terguncang-guncang terlihat jatuh dari kantong kresek yang kubawa. Aku memungutinya segera dan berharap tak merusak kondisi sayuran yang kubeli sejak pagi itu. Beberapa ujungnya nampak kubersihakan dari tanah liat yang menempel, jalan menuju kampungku, Kadupandak, memang belum tersentuh aspal meski telah berulang kali di data untuk masuk dalam PPK[2] . Namun hingga beberapa tahun berselang jalan itu tetap saja becek dan tak tersentuh pembangunan.
Aku akan melangkah kembali menuju rumahku ketika tiba-tiba banyak orang-orang berbondong-bondong menuju sebuah arah gang kecil. Perempuan laki-laki nampak bergegas dan berbicara sesuatu. Selintas obrolan mereka sampai ke telingaku, dan sepertinya mereka tengah membicarakan sebuah musibah kematian dari salah satu warga gang sebelah. Ada yang membicarakan sebab kematiannya, ada pula yang menceritakan keluarga yang ditinggalkannya.
“Maaf, Kang ada apa rame-rame?” tanyaku sesaat pada lelaki yang melintas di sampingku.
“Bu Hasanah meninggal tadi pagi Jang, kasihan padahal anaknya banyak dan masih kecil-kecil,” kata lelaki itu.
“Bu Hasanah yang mana yah?”
“Itu istrinya Kang Marzuki, tukang gali sumur…”
Innalillahi wa innalillahi raajiuun…,” ucapku meski sebenarnya aku tetap tak tahu nama lelaki yang ia sebutkan. Sudah menjadi kewajiban sesama muslim untuk mengucapkan itu bila mendengar ada yang tertimpa musibah. Tanpa menghilangkan perasaan duka citaku, aku mendahulukan untuk sampai di rumah.   Setidaknya akan lebih khusyuk dalam bertakziah apabila urusan kita telah selesai dahulu. Sudah menjadi adat di kampungku untuk melaksanakan fardhu kifayah untuk anggota masyarakat yang meninggal meski terkadang kami tak begitu mengenal dengan yang bersangkutan.
Lima belas menit kemudian aku sudah selesai menanak nasi dan menumis sayur-sayuran serasa cap cay, karena aku tidak mengolah seperti seharusnya. Pasti adik-adiku maklum dengan kondisi seperti ini, bathinku.  Setelah membereskan rumah sebentar, aku menitipkan kunci pintu rumah kami ke tetangga sebelah yang kebetulan sudah lebih dulu bertakziah. Aku khawatir adik-adiku datang ketika aku masih di rumah sahibul musibah.
“Kalau mereka tanya, saya di rumah yang meninggal di gang sebelah ya, Bu,” kataku seraya menitipkan kunci rumah.
“Ya, nanti ibu sampaikan ke mereka,” jawab perempuan berkerudung karet yang tetangga sebelah rumahku.
Setelah itu aku bergegas menuju tempat dimana para warga melakukan takziah yakni di gang sebelah. Sebetulnya masih masuk dalam lingkungan Kampung Kadupandak, namun karena perbedaan satu gang   membuat kampung ini seolah terbagi-bagi. Namun untuk struktur masyarakat yang masih mengemban tradisi dan adat masa lampau, jarak dan luas wilayah itu tak menghalangi kami untuk bisa saling berinteraksi dan menunjukan empati.
“Assallamu ‘allaikum,” salamku pada beberapa orang yang nampak  berkumpul di depan rumah duka. 
“Wa allaikum salam, eh… Nak Faridz, ngga jualan hari ini?”
“Sudah pulang Pak, kebetulan hari ini dagangan saya habis lebih cepat,” kataku seraya menjabat tangan mereka satu persatu.
Isak tangis dan alunan yassin terdengar lamat-lamat di telingaku. Di siang yang menjelang sore itu, begitu banyak warga yang terlihat sibuk membantu keluarga yang tengah berduka. Yang kudengar Pak Marzuki memang warga kampung yang dikenal baik. Profesinya sebagai tukang gali sumur membuat ia dikenal banyak warga. Ia juga ringan tangan dalam membantu pekerjaan apa saja kepada setiap warga yang membutuhkan. Banyak cap ‘baik’ untuk laki-laki yang satu itu, setidaknya ini kudengar dari obrolan warga yang berada di sampingku. Mereka banyak bersimpati, apalgi anak-anak Pak Marzuki masih kecil-kecil dan membutuhkan banyak perhatian seorang ibu. Kini ia menjadi duda dengan kerepotan yang pasti sangat menghimpitnya.
“Untungnya, Pak Marzuki memiliki satu orang anak perempuan yang sudah besar dari perkawinan dengan almarhum istri terdahulunya, jadi ada sedikit harapan untuk bisa membantu,” ujar seorang bapak dengan kopiah merah tuanya.
“Iya, dan saya dengar selama Bu Hasanah sakit, gadis itu pula yang merawatnya,” tambah seseorang lagi dengan wajah serius, “meskipun bukan ibu kandungnya, namun Halimah sangat peduli dan memperhatikannya.”
“Memang berapa lama Bu Hasanah menderita sakit, Kang?”
“Yang saya dengar, sudah dua setengah tahun terakhir ini. Memang indikasi penyakitnya sudah diketahui lama, hanya dua setengah tahun terakhir itulah asam urat dan leever makin memuncak,” lelaki berkopiah merah itu masih semangat memberikan penjelasan.
“Baik sekali anak itu, kalau memang ia mau merawat dengan tulus ibu tiri selama itu,” giliran lelaki berkaos salah satu parpol ikut bersuara, “padahal untuk anak seusianya pasti tengah sibuk dengan kesenangannya.”
“Eh ya, ngomong-ngomong si Halimah itu sudah selesai khan sekolahnya?” tiba-tiba  lelaki berkepala botak menyela semangat.
“Seingat saya sih lulus tsanawiyah dua tahun lalu, karena kesulitan biaya ia tak melanjutkan. Sebentar,  memang kenapa nanya-nanya yang seperti itu, Jam?”
Lelaki yang dipanggil Jam tak langsung menjawab, ia hanya mesam-mesem dengan fikirannya sendiri. Namun dari ekor matanya yang agak melirik ke kerumunan perempuan yang berkumpul di dalam ruangan, menggambarkan kalau ia tengah berharap sesuatu.
“Anu pak… yaa, kalau Pak Marzuki bersedia menerima saya jadi menantunya, saya sangat senang sekali…”
“Waduuhh… mau dikasih makan apa, Jam. Istri dan anak-anakmu saja masih hidup susah seperti itu,” seorang bapak berkata dengan intonasi agak meninggi, dan sontak membuat beberapa bapak yang ada di sekitarnya tertawa tertahan.
“Sudah-sudah, kita ini sedang takziah lho, koq malah ngomongin anak perawan sih,” seorang lelaki yang berkopiah merah menyudahi kelakaran warga. Dan semuanya kembali diam dengan ucapan pelan separuh berbisik. Ada yang mengulas masa depan keluarga miskin ini, ada yang bercakap tentang prosesi pemakaman dan sebagian lagi malah sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Sedang aku hanya bisa terdiam mengamati tingkah mereka, aku yang termasuk warga kampung sebelah merasa tak memiliki bahan untuk ikut menyambung pembicaraan. Aku lebih banyak mendengar dan tersenyum ketika sesekali ekspresi mereka tertuju lurus ke arahku sekedar minta dukungan. Namun dari semua percakapan mereka, ada satu hal yang mengusik hatiku saat itu. Yakni ketika seorang lelaki mengacungkan jarinya dan menunjuk pada salah satu perempuan berkerudung yang tengah sibuk mempersiapkan pemandian jenazah. Itu beberapa menit yang lalu, dan kebetulan ekor mataku sempat tertuju pada yang ditunjuk.
“Apakah itu yang dimaksud Halimah? Gadis berkerudung lusuh itu…?” bathinku tertahan. Dan itu menjadi  awal pertanyaan panjang dalam hatiku, entah mengapa seperti mengalirkan sejuta rasa kepenasaran di hati ini. Meski sebenarnya ada ragam keraguan tentang   debaran halus yang ada di hati ini. Apakah ini? Mengapa aku jadi begitu cemas, dan ingin rasanya lebur dalam kedukaan keluarga ini…
“Yaa Allah, ada apa dengan hati ini, mengapa rasa pilu ketika Engkau mengambil ibuku tiba-tiba saja hadir di hati ini….”

%%%%%%


[1] Sebentar yah…
[2] PPK= Proyek Pengembangan Kecamatan, pada periode tahun 2000-an awal kegiatan ini merupakan proyek pusat yang diturunkan pada pemerintah daerah untuk pemberdayaan masyarakat tingkat kecamatan. Wujudnya bisa merupakan bantuan modal bergulir ataupun pembangunan sarana dan prasarana desa, seperti jalan, jembatan, atau sekolah-sekolah.

2 komentar:

  1. karya tulis yang menarik dg untaian kata dan kalimat yang halus dan dpt di cerna.. akan tetapi ending kurang menarik, krn tdk berakhir dg kebahagiaan / keterpurukan.. trims

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih tlh sudi berapresiasi... novel ini telah dibukukan dan terbit dg judul Shirat! Endingnya mmg blm finis kr msh dibuat sekuelnya sbg novel dwilogi... salam kenal yaa anonim...

      Hapus