Dua
Bilakah Cinta
Merubah Segalanya?
Sejak pertemuannya di bangunan yang merawat sekian banyak korban
perang, Jeanette makin yakin dengan rasa yang ada di hatinya. Terlebih lagi
Sayyida yang begitu tulus membantu dan membimbingnya untuk memahami dan
mengerti cinta dalam islam. Meski hatinya tetap kukuh dengan keimanan agama
yang di anutnya, namun ia bisa lebih terbuka kini. Bahwa kesejatian cinta pada
akhirnya akan membawanya pada pemahaman arti ketulusan dan berbagi pada titian
yang baik.
Beberapa perubahan sikap juga mulai dirasakan oleh Jeanette kini, ia
lebih bisa berfikir jernih dan tidak mudah merendahkan siapapun. Ditambah jiwa
kemanusiaannya yang tinggi, menjadikan Jeanette lebih perempuan dari biasanya.
Kepeduliannya yang tinggi serta pengabdiannya yang tulus menjadikan Jeanette
begitu dihargai dan dicintai rakyat Palestina saat ini. Dan tak terkecuali Syahid yang selama ini tak memandang begitu jauh
terhadap perempuan bule yang kini mulai berpakaian lebar itu. Meski hanya
sekedar menutupi lengan dan kakinya, serta sedikit rambut bagian atasnya,
Jeanette sudah terlihat bagai muslimah.
“Setahuku Jeanette menyukaimu Syahid,” ucap Abdul yang asli Pakistan
itu.
“Aah, kamu bisa saja Dul. Jeanette relawan dari negara Kapitalis dan
Liberal. Mana mau dia dengan kita pemuda-pemuda miskin dari negara muslim...,”
Umar mendahului Syahid yang hanya
tersenyum simpul.
“Bukanya Syahid dulu juga tinggal dan sekolah di negara itu? Bisa
saja pandangan Jeanette kepadanya berbeda, daripada kepada kita...,” Abdul
berucap serius seolah menunjukan posisinya dalam pergaulan internasionalnya.
Tidak dapat dipungkiri, dalam segala hal, para western selalu saja menganggap
diri mereka itu lebih tinggi dan lebih beradap daripada mereka para kulit
berwarna. Mungkin itu juga alasan mereka mengapa hingga hari ini, seolah
membiarkan Israel melakukan genoside pada rakyat Palestina.
“Kaum barat mungkin seperti itu, Kawan. Tapi aku tak melihat itu
dari Jeanette!” Jameelah berucap memenggal percakapan kedua pemuda relawan
kemanusiaan itu. “Aku sudah lima tahun menjadi relawan dengan Jeanette, dan aku
tahu betul prinsip dan kepribadiannya. Jika ia tidak begitu simpatik pada
Islam, memang benar. Akan tetapi tidak membuatnya memandang rendah pada siapa
saja. Apalagi hanya berdasarkan agama dan warna kulit. Jeanette sudah sangat
teruji untuk hal seperti ini, dia aktifis anti rasial, lho...”
Abdul, Umar dan Syahid terdiam, mereka tak berani berucap apa-apa
lagi. Kehadiran Jameela yang mematahkan anggapan mereka tentang Jeanette
membuat keduanya merasa tak enak. Terutama Syahid, yang kehadirannya
memancing percakapan perihal prilaku
orang barat.
“Tolong maafkan kami, sekiranya penilaian kami salah. Khususnya aku
yang terlanjur menilainya sepihak...” Umar berucap penuh sesal.
“Tidak apa-apa Kawan, saya juga muslim seperti kalian. Memang
sebagian besar para kuffar itu memandang rendah kita, terlebih aku yang
berkulit hitam seperti ini. Dengan iman dan warna kulitku seperti ini, kadang
mereka fikir hanya seonggok daging yang tak penting di muka bumi ini...,”
Jameela berucap makin serius. Setidaknya ia menyuarakan masa lalunya ketika
menjadi pengungsi Kenya, yang tidak begitu diperhatikan oleh dunia
internasional, khususnya negara-negara barat. “Tapi kita semua di sini dan juga
Jeanette adalah orang-orang merdeka yang melakukan segala aktifitas dengan hati
nurani. Kita anti rasial, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Setidaknya
itu yang kita emban dalam setiap misi kita...”
“Hai, sedang apa nih kelihatannya serius?” Jeanette datang dengan
bahasa Parsi yang seadanya.
“Nothings, honey. We just
talking about our plan...,” Jameela segera menguasai keadaan dengan berucap
rileks. Perempuan bule yang baru datang itupun tak memandang lebih dengan rasa
ingin tahunya.
“Ooh, I see. Syukurlah,
semoga planing kedepan kita untuk membawa ajuan saran kita kepada pemerintah
Palestina bisa diterima. Bagus juga khan kalau mereka mau bergerak dan
mengusulkan negara mereka untuk menjadi bagian organisasi-organisasi di tubuh
PBB...” Jeanette malah lebih serius menanggapi.
“Itu tenang saja Jeanette, kita khan punya Syahid! Selain jaga
tekhnik, dia ini jago lho dalam berdiplomasi..,” suara Umar terdengar. Sikapnya
lebih hangat dibanding awal pembicaraan tentang Jeanette.
“Oh begitu, bagus sekali. Berarti tim kita memiliki aset yang mahal
dong yaa,” Jeanette terbawa suasana.
“Apalah kalian ini, terlalu melebih-lebihka begitu,” Syahid berucap
datar, menahan malu dan risih terlalu disanjung.
“Kenyataannya memang begitu khan Dul?” Umar makin memojokan Syahid.
Ditanggapi anggukan serius Abdul, Syahid makin memendam malu. Sikap umum
masyarakat Indonesia memang demikian, malu bila di puji. Dan itu melekat sekali
pada Syahid, pemuda lulusan Adelaide University lima tahun yang lalu. Entah apa
yang melatarbelakanginya sehingga ia memutuskan untuk bergabung di relawan
kemanusiaan internasional ini.
“Itu dia, kenapa kita harus yakin kalau misi kita kali ini akan
berbuah kesuksesan,” Jeanette menyambung, “setidaknya bertambahnya personil
seperti Syahid ini pasti memberikan kontribusi besar.”
“Insya Allah, Nona. Saya hanya mencoba memberikan apa yang saya
mampu,” suara Syahid terdengar. Tidak mau rupanya ia hanya menjadi objek
pembicaraan terus.
“Jadi tak salah yaa, kalau pimpinan tim kita ini memilih Syahid...,”
Abdul malah menambahi dengan topik yang berbeda. Dan jelas ini membuat
seseorang diantara mereka menahan semu merah di wajahnya. Iya, Jeanette
mendadak terdiam tak bisa berucap. Perempuan bule itu ternyata sama saja
seperti perempuan dimanapun di dunia ini. Tak mampu berucap bila hatinya telah
bergetar atas nama cinta.
“Sst! Abdul...,” Jameela memberikan kode untuk diam pada Abdul. Akan
tetapi lelaki keturunan Pakistan itu malah tertawa puas bisa membuat pimpinan
tim mereka bersemu merah.
“Tidak apa-apa khan Nona Jeanettte...”
Jeanette tak mampu berucap, ia hanya tersenyum seraya menggamit
lengan Jameela. Keduanya buru-buru pergi dari percakapan yang menjurus pada rasa simpati pada Syahid itu. Entah mengapa, ini tidak
pernah terjadi pada lima tahun masa pengabdianya sebagai relawan. Kehadiran
Syahid memang memberikan aura tersendiri pada tim
mereka. Bukan saja karena Syahid menguasi
ilmu tekhnik dan ganteng. Akan tetapi sikapnya yang kalem menunjukan kesantunan khas Indonesia. Ini
yang tidak dimiliki lelaki mana saja, bagi Jeanette. Sikapnya, bahasanya dan
kepeduliannya yang lebih pada kemanusiaan membuat Jeanette merasa menemukan
orang yang pas dalam hidupnya.
Apalagi disetiap kesempatan Jeanette mendapati Syahid yang muslim
itu begitu tulus pada pengabdiannya. Ini yang membuat hatinya benar-benar
berusaha untuk berdamai dan menerima islam dengan hati terbuka. Baginya Syahid
benar-benar menunjukan kemulyaan sikap kepadanya yang nota bene bukanlah non muslim. Ia senantiasa perhatian dan membantu Jeanette untuk bisa memahami islam,
meski ia tak sungguh-sunguh ingin menjadi muslimah. Namun ketulusan dan
keikhlasanya membantu, membuat Jeanette
benar-benar merasa nyaman. Inikah rasa cinta seutuhnya dari ukhuwah islamiyah
yang tengah ia rasakan? Atau memang cahaya kearifan dalam dirinya mulai muncul
dan berdamai dengan ajaran yang selama ini dianggapnya omong kosong itu.
“Jangan tinggalkan aku
nyonya, jangan tinggalkan aku...,” Jeanette menangis. Ia benar-benar menangis.
Ketika di siang
yang terik itu mendapati Sayyida yang taklagi bernafas. Kedekatan emosional terhadap perempuan paruh baya itu membuat
Jeanette sangat terpukul, ia benar-benar merasa kehilangan sosok pribadi yang
begitu hangat dalam masa pengabdiannya.
Sayyida tak lagi mampu menghadapi infeksi luka kakinya akibat pecahan
bom Israel di rumahnya. Meskipun luka itu sudah mulai mengering, akan tetapi
luka infeksi di bagian dalam kakinya membawanya pulang untuk menyusul suami
dana anak-anaknya yang mati syahid.
“Ikhlaskan Sayyida, Jean. Biarkan ia pergi dengan tenang,”
Syahid mencoba menghibur Jeanette.
Rupanya ia betul-betul memenuhi janjinya pada Sayyida untuk menjaga Jeanette.
“Dia wanita baik Syahid, aku merasa kehilangan wanita sebaik dan
setulus Nyonya Sayyida. Dia muslimah taat dan berhati emas...”
“Kamupun bisa menjadi muslimah dengan hatimu yang berkilau bagai
emas, Jean,” suara Syahid terdengar
begitu sejuk. Kalimat yang meluncur apa adanya itu justru menjadi sesuatu yang
tak terbayangkan efeknya untuk Jeanette.
“Maksudmu?”
“Ada kehangatan dan ketulusan dalam jiwamu selama ini, dan itu
karena cinta Sayyida padamu. Jikapun kamu tak ber-islam, jiwa muslimah telah
bersemayam di hatimu. Dan itulah islam sesungguhnya...”
“Aku tak mengerti maksud ucapanmu,” Jeanette makin bingung dengan
kosa kata Syahid. “Bukankah ber-islam adalah menjalankan apa yang biasa kalian lakukan. Bersyahadat,
bersholat, berpuasa, berzakat dan berhaji?”
“ Betul Jean, namun ketulusan dan keluruhan budimu telah menunjukan
inti kebaikan dari semuanya itu, tinggal satu hal untuk menyempurnakannya...”
“Apa itu?”
“Bersyahadatlah, maka engkau akan meraih kesejatian itu. Menjadi
muslimah dengan hati emasmu...”
Itu momen yang tak terlupakan dalam masa perkenalan dan kedekatan
mereka. Karena sejak saat itu, cinta yang mulai tumbuh di hati keduanya seolah
membawa mereka untuk tunduk dan patuh pada titian keindahanya. Dikarenakan
cinta keduanya mampu menepiskan rasa asing yang sejak lama menyelimuti hati dan
kehidupan keduanya. Tidak hanya Jeanette yang selama ini hanya memikirkan
obsesinya untuk menjadi relawan dunia sepanjang hidupnya. Akan tetapi Syahid
Salman juga, yang
mencoba mengubur semua kekalutan masa lalunya. Mencoba menghapuskan sebuah nama
yang pernah begitu dekat hadir dalam hatinya.
“Aku telah ikhlaskan tubuh kotor ini untuk menjadi
abdi-Mu di tanah kesedihan Palestina. Aku telah ikhlaskan jiwa galau dan labil
ini untuk menjadi pelayan di jalan cinta-Mu, dan aku betul-betul ikhlas untuk
itu yaa Rabb. Jika memang itu akan membuatku istiqomah pada pilihan hidupku di
jalan-Mu. Meraih ampunan dari taubat dan rasa sesalku. Namun jika Engkau
berkenan memberiku ujian baru, semoga itu karena aku memang layak menghadapinya yaa
Rabb...
Jangan tinggalkan aku yaa Rabb, jangan biarkan
kegalauan kembali membelenggu hati dan jiwaku. Setidaknya pada rasa indah yang
baru saja kurasa, dari mahluk cantik-Mu yang bernama Jeanette. Aku tak yakin
dapat menjaga semuanya itu yaa Rabb, aku juga tak yakin untuk bisa tulus
mencintainya. Namun aku yakin, Engkau akan menjagaku pada batas akhir
ikhtiarku. Jika memang ini jalan yang Engkau pilihkan untuku, bimbing hati dan
jiwaku untuk mampu melewati semua itu yaa Rabb. Bantu aku, bantu hati dan
jiwaku, yaa Rabb... Aku ingin benar-benar merasakan cinta yang sesungguhnya
bagi titian taqdirku....”
Dan itulah cinta,
pesonanya mampu merubah segalanya. Mampu merubah siapa saja yang berjuang untuk
mengangkat
makna dan kesejatiannya. Karena sejatinya
cinta, adalah menempatkan rasa pada yang seharusnya. Menempatkan empati pada
hal yang sewajarnya sebagai manusia. Sebagai mahluk Tuhan, yang karena-Nya
pula manusia ada. Jadi kesejatian arti
cinta bukanlah hanya sekedar tautan emosi dan rasa yang menggelayut di hati.
Akan tetapi jauh dari semuanya itu, menuntun para pemuja-nya untuk luruh
pada cinta yang tulus dan suci.
Ketulusan dan kesucian yang membawa siapa saja pada jalan yang haq, jalan yang
lurus dan jalan yang menciptakan cinta itu sendiri. Jalan cinta pada Tuhannya.
Meski satu hal, yang tak
bisa kita lupa! Dikarenakan cinta, setiap ujian dan kepahitan hanyalah sebatas
rasa yang mesti dilewati, apapun bentuknya.
Seperti apa yang dialami Syahid dan Jeanette pada lintasan waktu berikutnya.
Ketika tentara Israel dengan sengaja mencoba mengintimidasi para relawan dengan
kekuatan senjata dan perlindungan koloninya. Memberikan ujian terberat dalam kisah cinta mereka berdua, tepat ketika
pernikahan menyatukan keduanya setahun kemudian. Kenyataan yang datang setelah Jeanette menjadi
muslimah itu, seakan menjadi ujian cinta yang selama
ini tumbuh di hati keduanya.
Disuatu agresi militer, Israel memukul
mundur kaum mujahidin Palestina dan menculik para
perempuan Palestina. Dikarenakan Jeanette telah berbusana layaknya muslimah, ia
termasuk yang diculik oleh tentara iblis itu. Entah apa yang terjadi
selanjutnya. Yang jelas pasca insiden tersebut, Jeanette bagai kehilangan harga
dirinya. Berhari-hari, perempuan bule yang dulu sangat kuat dan tangguh itu
seolah terenggut dunianya. Meski ia bisa kembali dan menjalani kehidupan
layaknya dulu, namun waktu tetap memastikan akhir dari semuanya itu.
Jeanette menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Syahid, dengan
senyum yang terkembang di bibirnya, lima hari yang lalu. Sementara Syahid hanya
mampu mendekap perempuan itu dengan hati pilu. Inikah ujian cinta sebenarnya? Hatinya
menangis dan menjerit sekuatnya, meluahkan segala rasa yang pernah ia alami
dulu. Meski dalam ujud yang berbeda, namun yang ini lebih dari segalanya.
“Engkau maha segalanya Rabb, Engkau maha pemasti atas segala rencana
dan ikhtiar hamba-Mu. Karena itu hamba serahkan semuanya ini pada-Mu. Hamba pasrahkan semua
kenyataan ini pada-Mu, jika memang ini akan membawa hamba pada titian cinta-Mu
seutuhnya...,” Syahid terisak di ujung malam. Syahid tak mampu lagi menahan
gejolak dalam hatinya. Perjuangannya untuk menjadi muslim seutuhnya
membuahkan kekuatan dan
keteguhannya yang lebih dari biasanya. Setidaknya kabar yang mengejutkan baru
saja ia terima siang tadi dari Jameela.
“Israel kejam itu telah menularkan virus HIV ke tubuh Jeanette, Syahid. Dia
melemah karena virus yang mematikan itu. Ini hasil lab yang baru kami terima
dari dokter yang memeriksa jasad Jeanette kemarin....” suara itu seakan terus
menggema di lubuk hatinya.
Syahid tak tahu lagi harus bagaimana, ini kenyataan terberat dalam
hidupnya. Jeanette baru saja dimakamkan lima hari lalu, ia juga membawa pula
janin bayinya yang berumur lima minggu. Dan yang menambah kepahitan ini makin
lengkap adalah, ia telah pula terjangkiti virus laknat itu. Israel kejam itu
telah merenggut semua kebahagiaan
mereka kini. Meski ia tetap teguh dan berjuang untuk
tetap sabar, namun air bening tak urung pula menitik di wajahnya yang penuh
cambang kini.
“Yaa Allah, ajarkan sabar di lisan dan di hatiku, agar aku
benar-benar mampu menghadapi semuanya ini. Agar aku tetap istiqomah di
jalan-Mu...,” Syahid menangis pilu. Ia membenamkan wajahnya di atas sajadah
Persia kado pernikahan baginya dan Jeanette. Sementara malam makin meremang,
menuju pagi yang kian terang. Meski asap mesiu, mortir dan rudal masih begitu
jelas tercium di bangunan yang nyaris runtuh semuanya ini.
Perlahan Syahid membuka buku tua yang selama ini tersimpan rapi di
tas ranselnya. Itu buku perjalanan pengabdiannya sejak bergabung menjadi
relawan kemanusiaan tiga tahun lalu. Banyak kisah dan cerita yang ia tulis di
sana, tentang penderitaan dan kesusahaan sesama manusia di penjuru dunia yang
pernah ia kunjungi. Catatan-catatan itulah yang membuatnya untuk berusaha tetap
tegar dan besyukur dengan apa yang ia miliki saat ini. Meski kepedihan dan
kebimbangan kerap hadir dalam langkahnya, namun dibandingkan penderitaan
manusia yang lain, ia tetap harus bersyukur.
Syahid mencoba menangkap kembali semangat itu, dengan membuka-buka
kembali catatan perjalananya. Lembar demi lembar yang ia tulis dari hati memang
membuatnya harus bersyukur! Setidaknya hingga hari ini, ia masih bisa merasakan
anugerah yang mungkin tak dirasakan mereka yang berada dalam kepahitan perang, becana
alam dan kerusuhan di negaranya. Melihat beberapa bendera dari tiap negara yang
ia kunjungi membuat Syahid teringat akan negara asalnya ; Indonesia.
“Sudah seramai apakah negeriku? Mungkinkah banyak cinta dan damai di sana?” ungkap Syahid
dalam hatinya. Perlahan-lahan iapun membuka halaman-halaman buku yang memuat
beberapa puisi dan catatan kecil tentang negerinya, almarhum kedua orang
tuanya, hingga seseorang yang dulu membuatnya berjuang untuk berubah dan menjadi
seperti sekarang ini. Kerinduan tiba-tiba menyelusup di hatinya. Wajah
orang-orang yang dulu begitu lekat kini kembali membayang dan menyeretnya pada
nostalgia masa lalu. Wajah-wajah itu pula yang membawanya pada lintasan waktu
yang begitu indah dan penuh pesona. Saat dimana cinta melambungkan kegalauan
dan kebimbangan akan jati dirinya. Saat cinta menunjukan sisi lain dalam hidupnya, juga saat
cinta menciptakan jalan lain bagi titian hidupnya.
“Yaa Allah... mengapa cinta seperti ini yang harus kumiliki. Mengapa
kebingungan seperti ini yang harus aku lalui... “
Syahid menghapus titik air mata dari sudut kelopaknya, mencoba
mengurai kembali beragam ingatan di hatinya. Ia mulai berdamai dengan suasana
hatinya, meski masa depan mulai tak lagi menarik untuknya. Ia mencoba menerima
semua yang ada dari sisi manisnya saja. Jika ia taklagi bisa menatap masa
depan, setidaknya ia masih punya masa lalu yang bisa ia nikmati malam itu. Yah,
kenangan masa lalu! Saat-saat indah masa lalu....
Sementara kekuatan dan daya tahan tubuhnya berpacu dengan waktu,
berlomba untuk mencapai titik kulminasi taqdir. Entah apa yang akan dijalani
lelaki tegar itu? Yang jelas mentari pagi membawanya untuk tetap optimis dan
terus berjuang untuk bisa kembali bangkit.
“Demi masa lalu yang indah, yang pernah ada di hidupku; aku takan
menyerah Jeanette, meski pada akhirnya aku akan menyusulmu. Namun setidaknya
aku akan berusaha tetap di jalan-Nya, untuk meniti bersamamu kelak....”
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar