Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Senin, 25 Februari 2013

bagian kedua dari [Bukan] Lelaki Terindah



Dua

Bilakah Cinta Merubah Segalanya?


Sejak pertemuannya di bangunan yang merawat sekian banyak korban perang, Jeanette makin yakin dengan rasa yang ada di hatinya. Terlebih lagi Sayyida yang begitu tulus membantu dan membimbingnya untuk memahami dan mengerti cinta dalam islam. Meski hatinya tetap kukuh dengan keimanan agama yang di anutnya, namun ia bisa lebih terbuka kini. Bahwa kesejatian cinta pada akhirnya akan membawanya pada pemahaman arti ketulusan dan berbagi pada titian yang baik.
Beberapa perubahan sikap juga mulai dirasakan oleh Jeanette kini, ia lebih bisa berfikir jernih dan tidak mudah merendahkan siapapun. Ditambah jiwa kemanusiaannya yang tinggi, menjadikan Jeanette lebih perempuan dari biasanya. Kepeduliannya yang tinggi serta pengabdiannya yang tulus menjadikan Jeanette begitu dihargai dan dicintai rakyat Palestina saat ini. Dan tak terkecuali Syahid  yang selama ini tak memandang begitu jauh terhadap perempuan bule yang kini mulai berpakaian lebar itu. Meski hanya sekedar menutupi lengan dan kakinya, serta sedikit rambut bagian atasnya, Jeanette sudah terlihat bagai muslimah.
“Setahuku Jeanette menyukaimu Syahid,” ucap Abdul yang asli Pakistan itu.
“Aah, kamu bisa saja Dul. Jeanette relawan dari negara Kapitalis dan Liberal. Mana mau dia dengan kita pemuda-pemuda miskin dari negara muslim...,” Umar mendahului Syahid yang hanya  tersenyum simpul.
“Bukanya Syahid dulu juga tinggal dan sekolah di negara itu? Bisa saja pandangan Jeanette kepadanya berbeda, daripada kepada kita...,” Abdul berucap serius seolah menunjukan posisinya dalam pergaulan internasionalnya. Tidak dapat dipungkiri, dalam segala hal, para western selalu saja menganggap diri mereka itu lebih tinggi dan lebih beradap daripada mereka para kulit berwarna. Mungkin itu juga alasan mereka mengapa hingga hari ini, seolah membiarkan Israel melakukan genoside pada rakyat Palestina.
“Kaum barat mungkin seperti itu, Kawan. Tapi aku tak melihat itu dari Jeanette!” Jameelah berucap memenggal percakapan kedua pemuda relawan kemanusiaan itu. “Aku sudah lima tahun menjadi relawan dengan Jeanette, dan aku tahu betul prinsip dan kepribadiannya. Jika ia tidak begitu simpatik pada Islam, memang benar. Akan tetapi tidak membuatnya memandang rendah pada siapa saja. Apalagi hanya berdasarkan agama dan warna kulit. Jeanette sudah sangat teruji untuk hal seperti ini, dia aktifis anti rasial, lho...”
Abdul, Umar dan Syahid terdiam, mereka tak berani berucap apa-apa lagi. Kehadiran Jameela yang mematahkan anggapan mereka tentang Jeanette membuat keduanya merasa tak enak. Terutama Syahid, yang kehadirannya memancing   percakapan perihal prilaku orang barat.
“Tolong maafkan kami, sekiranya penilaian kami salah. Khususnya aku yang terlanjur menilainya sepihak...” Umar berucap penuh sesal.
“Tidak apa-apa Kawan, saya juga muslim seperti kalian. Memang sebagian besar para kuffar itu memandang rendah kita, terlebih aku yang berkulit hitam seperti ini. Dengan iman dan warna kulitku seperti ini, kadang mereka fikir hanya seonggok daging yang tak penting di muka bumi ini...,” Jameela berucap makin serius. Setidaknya ia menyuarakan masa lalunya ketika menjadi pengungsi Kenya, yang tidak begitu diperhatikan oleh dunia internasional, khususnya negara-negara barat. “Tapi kita semua di sini dan juga Jeanette adalah orang-orang merdeka yang melakukan segala aktifitas dengan hati nurani. Kita anti rasial, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Setidaknya itu yang kita emban dalam setiap misi kita...”
“Hai, sedang apa nih kelihatannya serius?” Jeanette datang dengan bahasa Parsi yang seadanya.
Nothings, honey. We just talking about our plan...,” Jameela segera menguasai keadaan dengan berucap rileks. Perempuan bule yang baru datang itupun tak memandang lebih dengan rasa ingin tahunya.
Ooh, I see. Syukurlah, semoga planing kedepan kita untuk membawa ajuan saran kita kepada pemerintah Palestina bisa diterima. Bagus juga khan kalau mereka mau bergerak dan mengusulkan negara mereka untuk menjadi bagian organisasi-organisasi di tubuh PBB...” Jeanette malah lebih serius menanggapi.
“Itu tenang saja Jeanette, kita khan punya Syahid! Selain jaga tekhnik, dia ini jago lho dalam berdiplomasi..,” suara Umar terdengar. Sikapnya lebih hangat dibanding awal pembicaraan tentang Jeanette.
“Oh begitu, bagus sekali. Berarti tim kita memiliki aset yang mahal dong yaa,” Jeanette terbawa suasana.
“Apalah kalian ini, terlalu melebih-lebihka begitu,” Syahid berucap datar, menahan malu dan risih terlalu disanjung.
“Kenyataannya memang begitu khan Dul?” Umar makin memojokan Syahid. Ditanggapi anggukan serius Abdul, Syahid makin memendam malu. Sikap umum masyarakat Indonesia memang demikian, malu bila di puji. Dan itu melekat sekali pada Syahid, pemuda lulusan Adelaide University lima tahun yang lalu. Entah apa yang melatarbelakanginya sehingga ia memutuskan untuk bergabung di relawan kemanusiaan internasional ini.
“Itu dia, kenapa kita harus yakin kalau misi kita kali ini akan berbuah kesuksesan,” Jeanette menyambung, “setidaknya bertambahnya personil seperti Syahid ini pasti memberikan kontribusi besar.”
“Insya Allah, Nona. Saya hanya mencoba memberikan apa yang saya mampu,” suara Syahid terdengar. Tidak mau rupanya ia hanya menjadi objek pembicaraan terus.
“Jadi tak salah yaa, kalau pimpinan tim kita ini memilih Syahid...,” Abdul malah menambahi dengan topik yang berbeda. Dan jelas ini membuat seseorang diantara mereka menahan semu merah di wajahnya. Iya, Jeanette mendadak terdiam tak bisa berucap. Perempuan bule itu ternyata sama saja seperti perempuan dimanapun di dunia ini. Tak mampu berucap bila hatinya telah bergetar atas nama cinta.
“Sst! Abdul...,” Jameela memberikan kode untuk diam pada Abdul. Akan tetapi lelaki keturunan Pakistan itu malah tertawa puas bisa membuat pimpinan tim mereka bersemu merah.
“Tidak apa-apa khan Nona Jeanettte...”
Jeanette tak mampu berucap, ia hanya tersenyum seraya menggamit lengan Jameela. Keduanya buru-buru pergi dari percakapan yang menjurus pada rasa simpati  pada Syahid itu. Entah mengapa, ini tidak pernah terjadi pada lima tahun masa pengabdianya sebagai relawan. Kehadiran Syahid   memang memberikan aura tersendiri pada tim mereka. Bukan saja karena Syahid  menguasi ilmu tekhnik dan ganteng. Akan tetapi sikapnya yang kalem menunjukan kesantunan khas Indonesia. Ini yang tidak dimiliki lelaki mana saja, bagi Jeanette. Sikapnya, bahasanya dan kepeduliannya yang lebih pada kemanusiaan membuat Jeanette merasa menemukan orang yang pas dalam hidupnya.
Apalagi disetiap kesempatan Jeanette mendapati Syahid yang muslim itu begitu tulus pada pengabdiannya. Ini yang membuat hatinya benar-benar berusaha untuk berdamai dan menerima islam dengan hati terbuka. Baginya Syahid benar-benar menunjukan kemulyaan sikap kepadanya   yang nota bene bukanlah non muslim.  Ia senantiasa perhatian dan  membantu Jeanette untuk bisa memahami islam, meski ia tak sungguh-sunguh ingin menjadi muslimah. Namun ketulusan dan keikhlasanya  membantu, membuat Jeanette benar-benar merasa nyaman. Inikah rasa cinta seutuhnya dari ukhuwah islamiyah yang tengah ia rasakan? Atau memang cahaya kearifan dalam dirinya mulai muncul dan berdamai dengan ajaran yang selama ini dianggapnya omong kosong itu.

“Jangan tinggalkan  aku nyonya, jangan tinggalkan aku...,” Jeanette menangis. Ia benar-benar menangis. Ketika di siang yang terik itu mendapati Sayyida yang taklagi bernafas. Kedekatan emosional  terhadap perempuan paruh baya itu membuat Jeanette sangat terpukul, ia benar-benar merasa kehilangan sosok pribadi yang begitu hangat dalam masa pengabdiannya.  Sayyida tak lagi mampu menghadapi infeksi luka kakinya akibat pecahan bom Israel di rumahnya. Meskipun luka itu sudah mulai mengering, akan tetapi luka infeksi di bagian dalam kakinya membawanya pulang untuk menyusul suami dana anak-anaknya yang mati syahid. 
“Ikhlaskan Sayyida, Jean. Biarkan ia pergi dengan tenang,” Syahid   mencoba menghibur Jeanette. Rupanya ia betul-betul memenuhi janjinya pada Sayyida untuk menjaga Jeanette.
“Dia wanita baik Syahid, aku merasa kehilangan wanita sebaik dan setulus Nyonya Sayyida. Dia muslimah taat dan berhati emas...”
“Kamupun bisa menjadi muslimah dengan hatimu yang berkilau bagai emas, Jean,” suara Syahid   terdengar begitu sejuk. Kalimat yang meluncur apa adanya itu justru menjadi sesuatu yang tak terbayangkan efeknya untuk Jeanette.
“Maksudmu?”
“Ada kehangatan dan ketulusan dalam jiwamu selama ini, dan itu karena cinta Sayyida padamu. Jikapun kamu tak ber-islam, jiwa muslimah telah bersemayam di hatimu. Dan itulah islam sesungguhnya...”
“Aku tak mengerti maksud ucapanmu,” Jeanette makin bingung dengan kosa kata Syahid. “Bukankah ber-islam adalah menjalankan apa yang biasa kalian lakukan. Bersyahadat, bersholat, berpuasa, berzakat dan berhaji?”
“ Betul Jean, namun ketulusan dan keluruhan budimu telah menunjukan inti kebaikan dari semuanya itu, tinggal satu hal untuk menyempurnakannya...”
“Apa itu?”
“Bersyahadatlah, maka engkau akan meraih kesejatian itu. Menjadi muslimah dengan hati emasmu...”
Itu momen yang tak terlupakan dalam masa perkenalan dan kedekatan mereka. Karena sejak saat itu, cinta yang mulai tumbuh di hati keduanya seolah membawa mereka untuk tunduk dan patuh pada titian keindahanya. Dikarenakan cinta keduanya mampu menepiskan rasa asing yang sejak lama menyelimuti hati dan kehidupan keduanya. Tidak hanya Jeanette yang selama ini hanya memikirkan obsesinya untuk menjadi relawan dunia sepanjang hidupnya. Akan tetapi Syahid Salman juga, yang mencoba mengubur semua kekalutan masa lalunya. Mencoba menghapuskan sebuah nama yang pernah begitu dekat hadir dalam hatinya.
“Aku telah ikhlaskan tubuh kotor ini untuk menjadi abdi-Mu di tanah kesedihan Palestina. Aku telah ikhlaskan jiwa galau dan labil ini untuk menjadi pelayan di jalan cinta-Mu, dan aku betul-betul ikhlas untuk itu yaa Rabb. Jika memang itu akan membuatku istiqomah pada pilihan hidupku di jalan-Mu. Meraih ampunan dari taubat dan rasa sesalku. Namun jika Engkau berkenan memberiku ujian   baru, semoga   itu karena aku memang layak menghadapinya yaa Rabb...
Jangan tinggalkan aku yaa Rabb, jangan biarkan kegalauan kembali membelenggu hati dan jiwaku. Setidaknya pada rasa indah yang baru saja kurasa, dari mahluk cantik-Mu yang bernama Jeanette. Aku tak yakin dapat menjaga semuanya itu yaa Rabb, aku juga tak yakin untuk bisa tulus mencintainya. Namun aku yakin, Engkau akan menjagaku pada batas akhir ikhtiarku. Jika memang ini jalan yang Engkau pilihkan untuku, bimbing hati dan jiwaku untuk mampu melewati semua itu yaa Rabb. Bantu aku, bantu hati dan jiwaku, yaa Rabb... Aku ingin benar-benar merasakan cinta yang sesungguhnya bagi titian taqdirku....”
Dan itulah cinta, pesonanya mampu merubah segalanya. Mampu merubah siapa saja yang berjuang untuk mengangkat makna dan kesejatiannya. Karena sejatinya cinta, adalah menempatkan rasa pada yang seharusnya. Menempatkan empati pada hal yang sewajarnya sebagai manusia. Sebagai mahluk Tuhan, yang karena-Nya pula manusia ada. Jadi kesejatian   arti cinta bukanlah hanya sekedar tautan emosi dan rasa yang menggelayut di hati. Akan tetapi jauh dari semuanya itu, menuntun para pemuja-nya untuk luruh pada  cinta yang tulus dan suci. Ketulusan dan kesucian yang membawa siapa saja pada jalan yang haq, jalan yang lurus dan jalan yang menciptakan cinta itu sendiri. Jalan cinta pada Tuhannya.
Meski satu hal, yang tak bisa kita lupa! Dikarenakan   cinta,   setiap ujian dan kepahitan hanyalah sebatas rasa yang mesti dilewati, apapun bentuknya.
Seperti apa yang dialami Syahid dan Jeanette pada lintasan waktu berikutnya. Ketika tentara Israel dengan sengaja mencoba mengintimidasi para relawan dengan kekuatan senjata dan perlindungan koloninya. Memberikan ujian terberat dalam kisah cinta mereka berdua, tepat ketika pernikahan menyatukan keduanya setahun kemudian. Kenyataan yang datang  setelah Jeanette menjadi muslimah     itu, seakan menjadi ujian cinta yang selama ini tumbuh   di hati keduanya.
Disuatu agresi militer, Israel memukul mundur kaum mujahidin Palestina dan menculik para perempuan Palestina. Dikarenakan Jeanette telah berbusana layaknya muslimah, ia termasuk yang diculik oleh tentara iblis itu. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Yang jelas pasca insiden tersebut, Jeanette bagai kehilangan harga dirinya. Berhari-hari, perempuan bule yang dulu sangat kuat dan tangguh itu seolah terenggut dunianya. Meski ia bisa kembali dan menjalani kehidupan layaknya dulu, namun waktu tetap memastikan akhir dari semuanya itu.
Jeanette menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Syahid, dengan senyum yang terkembang di bibirnya, lima hari yang lalu. Sementara Syahid hanya mampu mendekap perempuan itu dengan hati pilu. Inikah ujian cinta sebenarnya? Hatinya menangis dan menjerit sekuatnya, meluahkan segala rasa yang pernah ia alami dulu. Meski dalam ujud yang berbeda, namun yang ini lebih dari segalanya.
“Engkau maha segalanya Rabb, Engkau maha pemasti atas segala rencana dan ikhtiar hamba-Mu. Karena itu hamba serahkan semuanya ini pada-Mu. Hamba pasrahkan semua kenyataan ini pada-Mu, jika memang ini akan membawa hamba pada titian cinta-Mu seutuhnya...,” Syahid terisak di ujung malam. Syahid tak mampu lagi menahan gejolak dalam hatinya. Perjuangannya untuk menjadi muslim seutuhnya membuahkan        kekuatan dan keteguhannya yang lebih dari biasanya. Setidaknya kabar yang mengejutkan baru saja ia terima siang tadi dari Jameela.
“Israel kejam itu telah menularkan virus HIV ke tubuh Jeanette, Syahid. Dia melemah karena virus yang mematikan itu. Ini hasil lab yang baru kami terima dari dokter yang memeriksa jasad Jeanette kemarin....” suara itu seakan terus menggema di lubuk hatinya.
Syahid tak tahu lagi harus bagaimana, ini kenyataan terberat dalam hidupnya. Jeanette baru saja dimakamkan lima hari lalu, ia juga membawa pula janin bayinya yang berumur lima minggu. Dan yang menambah kepahitan ini makin lengkap adalah, ia telah pula terjangkiti virus laknat itu. Israel kejam itu telah merenggut semua kebahagiaan mereka kini. Meski ia tetap teguh dan berjuang untuk tetap sabar, namun air bening tak urung pula menitik di wajahnya yang penuh cambang kini.
“Yaa Allah, ajarkan sabar di lisan dan di hatiku, agar aku benar-benar mampu menghadapi semuanya ini. Agar aku tetap istiqomah di jalan-Mu...,” Syahid menangis pilu. Ia membenamkan wajahnya di atas sajadah Persia kado pernikahan baginya dan Jeanette. Sementara malam makin meremang, menuju pagi yang kian terang. Meski asap mesiu, mortir dan rudal masih begitu jelas tercium di bangunan yang nyaris runtuh semuanya ini.
Perlahan Syahid membuka buku tua yang selama ini tersimpan rapi di tas ranselnya. Itu buku perjalanan pengabdiannya sejak bergabung menjadi relawan kemanusiaan tiga tahun lalu. Banyak kisah dan cerita yang ia tulis di sana, tentang penderitaan dan kesusahaan sesama manusia di penjuru dunia yang pernah ia kunjungi. Catatan-catatan itulah yang membuatnya untuk berusaha tetap tegar dan besyukur dengan apa yang ia miliki saat ini. Meski kepedihan dan kebimbangan kerap hadir dalam langkahnya, namun dibandingkan penderitaan manusia yang lain, ia tetap harus bersyukur.
Syahid mencoba menangkap kembali semangat itu, dengan membuka-buka kembali catatan perjalananya. Lembar demi lembar yang ia tulis dari hati memang membuatnya harus bersyukur! Setidaknya hingga hari ini, ia masih bisa merasakan anugerah yang mungkin tak dirasakan mereka yang berada dalam kepahitan perang, becana alam dan kerusuhan di negaranya. Melihat beberapa bendera dari tiap negara yang ia kunjungi membuat Syahid teringat akan negara asalnya ; Indonesia.
“Sudah seramai apakah negeriku? Mungkinkah banyak cinta dan damai di sana?” ungkap Syahid dalam hatinya. Perlahan-lahan iapun membuka halaman-halaman buku yang memuat beberapa puisi dan catatan kecil tentang negerinya, almarhum kedua orang tuanya, hingga seseorang yang dulu membuatnya berjuang untuk berubah dan menjadi seperti sekarang ini. Kerinduan tiba-tiba menyelusup di hatinya. Wajah orang-orang yang dulu begitu lekat kini kembali membayang dan menyeretnya pada nostalgia masa lalu. Wajah-wajah itu pula yang membawanya pada lintasan waktu yang begitu indah dan penuh pesona. Saat dimana cinta melambungkan kegalauan dan kebimbangan akan jati dirinya. Saat cinta menunjukan sisi lain dalam hidupnya, juga saat cinta menciptakan jalan lain bagi titian hidupnya.
“Yaa Allah... mengapa cinta    seperti ini yang harus kumiliki. Mengapa kebingungan seperti ini yang harus aku lalui... “
Syahid menghapus titik air mata dari sudut kelopaknya, mencoba mengurai kembali beragam ingatan di hatinya. Ia mulai berdamai dengan suasana hatinya, meski masa depan mulai tak lagi menarik untuknya. Ia mencoba menerima semua yang ada dari sisi manisnya saja. Jika ia taklagi bisa menatap masa depan, setidaknya ia masih punya masa lalu yang bisa ia nikmati malam itu. Yah, kenangan masa lalu! Saat-saat indah masa lalu....
Sementara kekuatan dan daya tahan tubuhnya berpacu dengan waktu, berlomba untuk mencapai titik kulminasi taqdir. Entah apa yang akan dijalani lelaki tegar itu? Yang jelas mentari pagi membawanya untuk tetap optimis dan terus berjuang untuk bisa kembali bangkit.
“Demi masa lalu yang indah, yang pernah ada di hidupku; aku takan menyerah Jeanette, meski pada akhirnya aku akan menyusulmu. Namun setidaknya aku akan berusaha tetap di jalan-Nya, untuk meniti bersamamu kelak....”


*******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar