Dua
Awal Talbiah Cintaku pada-Mu, Yaa Rabb....
Lapangan
Penggung, Cirebon
Semua pengantar yang datang saat itu
tumplek di lapangan udara Penggung, lapangan udara domestik di kota Wali ini.
Beragam kendaraan dari berbagai merk dan kondisi menyatu dan berebut untuk bisa
parkir dan menghantarkan kepergian anggota keluarga mereka. Tidak terkecuali
keluargaku, dengan mobil carry sewaan, kami duduk bertumpukan di ruangan mobil
yang sebenarnya hanya maksimal diisi delapan orang itu. Beberapa ipar dan
tetanggaku malah berkonvoi dengan motor bebek, mereka tak ingin ketinggalan
untuk melepasku ke embarkasi, Bekasi.
Sebetulnya hanya satu orang anggota
keluarga yang diperkenankan masuk dan menghantarkan kami yang akan berangkat
haji, di lapangan Penggung ini. Namun entah bagaimana awalnya, aturan itu jadi
tak berlaku, ketika hampir setiap anggota keluarga memaksa untuk masuk.
Beberapa diantara mereka malah sampai beradegan tangis penuh histeris untuk
bisa masuk ke dalam. Jadilah lapangan penggung yangtak seberapa luas itu penuh
sesak dengan para keluarga jamaah. Jumlah jamaah haji yang akan berangkat
sendiri, pada tahun ini hanya 318 orang, tak sampai satu kloter. Namun karena
para penghantar masing-masing jamaah bisa mencapai sepuluh, jadilah jumlah
jamaah dan penghantar melebihi seribu dua ratusan atau tiga kloter lebih.
Keluargaku sendiri lebih dari
sepuluh orang, ada kelima kakak-kakaku, bapak, bapak-ibu mertuaku, serta
beberapa iparku yang mendampingiku sejak keluar rumah ba’da isya tadi.
Pandangan mereka terlihat begitu haru, entah apa yang ada di fikiran mereka.
Mungkin gembira, karena akhirnya aku akan berangkat haji tahun ini, atau
mungkin juga sedih, karena di keberangkatnku ini, tak banyak bekal yang bisa
mereka berikan untuku. Setahu mereka aku memang hanya memegang satu juta rupiah
saja, sisa pembayaran ongkos haji. Anak dan isteriku tak menyertaiku di arena
pemberangkatan saat itu. Dengan berbagai pertimbangan anak-anaku, isteriku hanya melepasku sampai depan rumah saja. Ia
khawatir tangisan dan rontaan anak-anaku akan mengganggu perjalananku.
”Selamat jalan Yah, tunaikan ikhtiar cinta Ayah. Kami
akan berdoa dan menanti Ayah kembali dengan selamat...” ucapnya untuk terakhir
kali padaku.
”Iya sayang, insya Allah, Ayah akan kembali dengan
selamat. Jaga anak-anak, Bunda...,” jawabku seraya mengecup keningnya, ”Ayah
sayang Bunda. Ayah berangkat...”
Seluruh jamaah
dan penghantar telah memadati pelabuhan udara kecil di kota Cirebon, ketika
waktu menunjukan pukul sembilan tepat. Menurut jadwal, kami memang akan
diberangkatkan ke embarkasi, Bekasi pukul sembilan tepat. Sembilan bus yang
telah dinomori juga sudah penuh dengan beragam barang bawaan dan tas tentengan
kami. Aku mendapat bus nomor dua, mungkin karena sebenarnya aku keberangkatanku
yang tertunda di tahun kemarin, sehingga aku berada di urutan awal-awal.
Satu jam berlalu dari pukul sembilan. Jadwal
keberangkatanpun mulai meleset dari jadwal yang ditentukan. Entah apa yang
membuat panitia menunda keberangkatan kami. Kondisi yang demikian membuat kami
para jamaah gelisah dan turun kembali dari bus yang kami tumpangi. Seketika
kamipun mengulangi acara tangis perpisahan di bawah kendaraan. Mbak Atin yang
sembab menahan haru, Mbak Puji yang terus terisak, atau Mbak Kartini yang
sesegukan karena merasa tak lagi bisa menyuguhkan sajian makanan untuku. Setiap pulang ke
Cirebon, ia memang paling rajin mengurusi sajian makanku. Meskipun terkadang
ada isteriku, ia kerap melakukan itu.
”Jam berapa sih berangkatnya, Rist?” tanya Mas Adi
menahan jengah.
”Katanya jam sembilan, Mas. Ngga tahu kenapa belum di
lepas juga...”
”Menurut panitia, masih menunggu kedatangan Bapak
Walikota,” ucap Om Budi yang datang dengan kamera sakunya. Hoby barunya memang
seperti wartawan, mengambil gambar di setiap momen. Mungkin bakat terpendamnya
juga di situ.
”Tapi ini sudah lebih dari jam sepuluh, mau jam berapa
bus-bus ini diberangkatkan?” Mas Adi terlihat kesal. Aku tahu, ia bukan kesal
karena harus lama menungguiku, akan tetapi ia memang menginginkan agar aku
segera melewati proses perpisahan seperti ini. Bagi kami, keluarga yang
biasa-biasa saja, menunaikan ibadah haji adalah hal yang sangat luar biasa.
Beragam cerita dan kisah tentang perjalanan suci ini memang memberikan
kekhawatiran tersendiri. Bukan saja agenda kegiatan dan kondisi alam Arab yang
sangat keras, tapi juga karena kepergianku yang sedikit sekali membawa bekal.
”Nanti juga khan ada living cost, Mas...,” kataku saat
kami membahas hal ini.
”Tapi living cost yang akan diterima itu hanya 1500 SR
Rist, kita belum tahu kondisi harga dan kehidupan di sana. Bagaimana kalau
sampai di sana ternyata kamu kekurangan bekal...,” Mbak Puji berucap penuh
khawatir.
”Insya Allah cukup Mbak, 1500 SR itu khan hampir sama
dengan Rp. 3.750.000 Mbak,” ucapku mencoba mengkalkulasi kurs Saudi Real ke
rupiah.
”Tapi yang Mbak dengar, di sana khan mahal-mahal Rist,
uang segitu apa cukup untuk 40 hari hidup di sana?” suara Mbak Atin terdengar
lebih nelangsa. Mereka semua memang terlihat begitu khawatir, uang yang mereka
kumpulkan secara patungan, memang hanya cukup untuk melunasi ongkos naik
hajiku. Sedangkan bekalku berangkat malam ini hanya mengandalkan simpanan dari
isteriku dan bantuan seadanya dari
mertuaku. Banyak harapan yang mereka titipkan untuk kepergianku berhaji tahun
ini. Serangkaian hajat dan doa juga terekap penuh di buku kecil yang sengaja
aku bawa.
”Insya Allah, Allah akan mencukupi kebutuhan Harist,
Mbak. Semuanya tidak perlu khawatir seperti itu,” ucapku untuk menenangkan
mereka semua.
Dari sekian banyak kekhawatiran yang ditunjukan
kakak-kakaku, memang Mas Adi yang
terlihat begitu terpukul. Karena sebelum keberangkatanku, ia memang seringkali
meminjam uang kepadaku. Ia begitu menyesal tak jua bisa mengembalikan pinjaman
itu, justru ketika aku begitu membutuhkannya.
”Tidak usah terlalu difikir Mas, insya Allah, Allah akan
memudahkan semuanya ini,” ucapku pelan ketika Mas Adi menyampaikan
penyesalanya. Oleh karena itulah, berlama-lama menatapku yang akan pergi ke
embarkasi ini, makin membuatnya merasa
bersalah.
”Bagaimana sudah ada kabar apa dari panitia?” seorang
lelaki berperawakan gemuk nampak berucap pada salah satu rekannya. Seingatku ia
ketua rombongan kami. Sejak manasik dulu, ia memang terlihat begitu repot
mengurusi dan mengomandoi kami. Namanya
Djaja Suryaatmaja, pegawai PTP. Rajawali ini memang terlihat begitu antusias
dan berpengalaman dalam hal ini. Tahun ini memangkali kedua baginya berangkat
ibadah haji.
”Belum, Pak,” jawab seorang lelaki tinggi berkacamata.
Dia ini Pak Edi Sutisna, jabatannya ketua reguku. Penampilannya yang kalem dan
sedikit bicara ini juga senantiasa bertanggung jawab terhadap tugas yang
diembanya pada kelompok kami. ”Menurut informasi, Pak Walikota masih dalam
perjalanan dari Balaikota menuju kemari, jadi sekitar setengah jam-an kalau
tidak macet...”
”Ya sudah, yang penting semua anggota kita, Rombongan 2
harus tetap berada dekat bus No. 2, jadi kalau sekali waktu pemberangkatan
dimulai, tidak ada lagi yang tertinggal.”
”Baik Pak, saya akan sampaikan pada ketua-ketua regu yang
lain...”
Waktupun beranjak makin malam, kini hampir jam sebelas
malam, pimpinan daerah para wali ini ternyata belum hadir juga. Upacara
pelepasan jamaah haji kloter 38 dari Kota Cirebon inipun makin ngaret dari yang
di jadwalkan. Semua jamaah dan para penghantar sudah mulai gelisah dan mulai
dengan kalimat tak puas mereka. Semuanya berucap tak senang dengan
keterlambatan Pak Walikota.
”Sabar, khan kita sudah dilatih ini sejak manasik. Ini
belum seberapa, di Arab nanti kita akan dituntut lebih sabar lagi lho,” Pak
Djaja, Karom 2 mulai dengan petuahnya. Memang menggerutupun tidak akan langsung
membuat upacara pelepasan ini akan dipercepat. Jadi dari pada bikin hati makin
gelisah mending sabar dan memanfaatkan untuk bercengkerama kembali dengan
keluarga dan penghantar.
Seperti keluarga yang lain, akupun memanfaatkan waktu
pelepasan yang mundur dari jadwal ini untuk kembali berakrab-akrab dengan
saudara-saudaraku. Mengingat aku akan pergi cukup lama, dan yang pasti banyak
yang bilang pergi haji hampir sama dengan berjihad! Jadi siap datang kembali
juga siap untuk menerima tak kembali lagi. Setidaknya itu yang sedikit
merisaukan saudara-saudara perempuanku. Mata mereka seolah tak habis
menderaikan bulir beningnya. Mbak Kartini, Mbak Atin, atau Mbak Puji, sama
saja. Ketiganya paling gampang berkaca-kaca dan menangis tersedu-sedu.
Entah karena itu atau memang rasa haru yang sedemikian
dalam, tiba-tiba Mbak Puji menangis seraya memeluku. Suaranya sesegukan seperti
tercekat oleh kondisi yang begitu memilukan. Melihat itu Bapak melerainya
dengan mengatakan bahwa aku pasti kembali lagi dengan selamat. Jangan terlalu
berlebihan untuk melepaskan anggota keluarga yang akan pergi ’berjihad’.
Sesaat isak Mbak Puji mereda, dan melepaskan pelukanya.
Namun sikapnya mendadak jadi aneh, ia celingukan ke arah belakangku. Ia seolah
mencari seseorang dari arah belakangku. Melihat itu, akupun mengikuti arah
matanya dan memeriksa bagian arah belakangku. Tidak ada siapa-siapa! Hanya bus
bernomor 2 yang akan memberangkatkan aku ke embarkasi.
”Angji ndeleng Mimi
ning arepe bis...,”[1]
ucap Mbak Puji di sela isaknya.
Kontan kami semua menajamkan pandangan dan melihat
sekeliling kami. Tak ada siapa-siapa. Hanya kerumunan jamaah dan keluarganya.
Satupun juga tak ada yang mirip dengan ibuku.
”Mbak lihat Mimi dimana?” tanyaku penasaran.
”Tadi di belakangmu, tepat di depan bus nomor dua itu,
Mimi tersenyum dan melambai ke arah kita,” ucap Mbak Puji serius di sela
isaknya yang masih tersisa. Mungkin karena itu, ia tiba-tiba mendadak menangis
dan memeluku. Mungkin saja hanya ilusi, tapi apa yang dilihat Mbak Puji bisa
saja benar-benar ibuku. Dengan izin-Nya, ibu sengaja datang dan menghantarkan
aku berhaji.
Aku jadi teringat angin dingin semilir yang menerobos
persendianku ketika aku berpamitan di sore kemarin. Suasana pemakaman Tedeng
memang selalu sepi jika bukan musim ziarah. Namun angin yang menelusur begitu
dingin itu seakan membelai dan mendekapku. Mungkinkah sejak kemarin sore, ibu
memang tengah berada di sekitarku. Yaa Allah, andai memang Engkau memberikan
izin almarhumah ibuku untuk mendampingi kepergianku ini, semoga Engkau juga
ridho dengan ikhtiar cintaku untuknya....
”Sudah, mungkin kamu salah liat Ji,” Bapak mencoba
mengendalikan keadaan agar kami tak terjebak dengan emosi masa lalu. Namun
meski hampir semua saudaraku bisa menerima arahan Bapak, aku tetap menatap
berkeliling dan mencari sosok ibuku. Mungkinkah aku akan menjumpainya seperti
pada mimpi-mimpiku kemarin. Yaa Allah, muliakan wanita yang telah melahirkan
dan membesarkan aku...
Suara vooreijder bergema memenuhi jalanan yang menjadi akses
lapangan Penggung. Di belakangnya nampak mobil dinas warna hitam yang bergerak
melaju di jalanan yang macet dengan ribuan penghantar jamaah. Mungkin ini
iring-iringan orang yang paling ditunggu pada prosesi pelepasan jamaah haji
kloter 38 Kota Cirebon. Seorang lelaki berperawakan sedang nampak keluar dari
mobil yang dikawal ketat itu. Dialah Walikota yang telah memimpin kota udang
ini selama dua periode. Di tangannyalah harapan Sunan Gunung Jati untuk
mengurus tajug dan fakir miskin di pusat penyebaran islam tempo dulu ini,
berada. Sebagai putra daerah yang lahir dan besar di tatar para Waliyullah ini,
akupun berharap kalau orang nomor satu di Kota Cirebon ini dapat membawa
Cirebon pada tingkat kemajuan dan kemapanan. Cukup sandang dan pangan bagi para
fakir miskinnya, juga terawat semua tajug, mushola dan mesjid yang ada di
dalamnya.
Prosesi pelepasan jamaah haji Kota Cirebon tak memakan
waktu lama, tidak lebih dari setengah jam saja. Hingga tepat pukul dua belas
roda kendaraan bus yang beriringan ini mulai bergerak meninggalkan lapangan
Penggung. Dilepas oleh senyum dan tangis haru para penghantar, kamipun mulai
bergerak ke arah jalan Tol untuk menuju Pantura. Dari sana kami akan terus ke
asrama haji, Bekasi dan terus ke embarkasi.
Dari detik pertama roda bus ini berputar, terdengarlah
suara pembimbing ibadah haji kami melafadzkan doa berpergian. Dengan serta
merta kamipun mengikuti secara berjamaah sebagai tanda perjalanan haji kami di
mulai. Selepas doa hendak berpergian tanpa henti kamipun mulai bertalbiah di
sepanjang perjalanan dari Lapangan Penggung menuju Pantura ini.
Inilah awal talbiah kami. Talbiah cinta kami, sebagai
wujud kepasarahan dan keikhlasan kami menjalankan perintah-Nya untuk berhaji.
Melengkapkan rukun islam kami, dan menunaikan ikhtiar suci untuk pentaubatan
segala dosa dan kesalahan kami.
”Labbaik... Allahumma Labbaik,
Labbaik... laa syarikallaka labbaik...
Innalhamda, wal nikmata, lakawalmulk
laa syarikalaq....”
Air mata tergenang dari wajah kami, keharuan dan
kebahagiaan bercampur menjadi satu dan memenuhi rongga hati kami. Sejak malam
ini, kami telah memulai perjalanan suci kami untuk menjadi tamu-Nya. Setelah
sekian lama menunggu dan melengkapi berbagai persyaratan yang begitu rumit,
akhirnya saat yang dinanti itu terjela sudah. Tak terkecuali aku yang telah berharap dan berjuang lama sekaliuntuk bisa
mewujudkan semuanya ini.
”Terima kasih atas kesempatan yang telah Engkau berikan
yaa Rabb, kini aku mulai bergerak dan berjalan untuk menuju tanah suci-Mu.
Ridhoi ikhtiar kami yaa Allah, ridhoi perjalanan panjang ini, agar kami semua
mampu menjadi tamu-Mu seutuhnya... amiin...”
********
Мвевезар Певомжи занакин диз занакин
BalasHapusМвезар Певомжи 007 카지노 занакин 메리트 카지노 도메인 диз 제왕카지노 코드 занакин диз занакин 예스 벳 диз занакин диз baoji titanium занакин игров