6. Dan Tanggung
Jawab Itu
Minggu pagi seperti ini, suasana rumah kecil kami
mendadak ramai. Bukan karena ada syukuran atau perhelatan, akan tetapi karena
ketiga adiku pulang dan melepas liburan mereka bersamaku. Setelah satu minggu
hidup di pondok pesantren, hari Minggu seperti inilah saat kami melepas kangen
dan rindu diantara kami. Saat seperti ini pula saat kurasakan betapa keakraban
dan kasih sayang hadir diantara kami. Meski di posisi yatim piatu seperti ini,
kebahagiaan dan kedamaian hadir bila kami dapat duduk dan bercengkarama
bersama.
Faiz sibuk menyiapkan kayu bakar untuk tungku masak hari
itu, sementara Salam sibuk dengan ikan mas pesanannya. Hari itu mereka sengaja
reques padaku untuk menyisakan beberapa ekor ikan mas untuk di bakar pagi itu. Untuk itu aku sengaja menyisakannya untuk makan kami pagi
ini. Salam sangat cekatan dalam mengolah ikan, dari membuang sisiknya hingga
membersihkan kotoran bagian dalamnya. Sayatannya juga rapi dan melingkar pada
jalur yang seharusnya. Selain kerjaanya rapi, Salam sangat telaten dengan
sisa-sisa kotoran ikan, sehingga sisa pekerjaannya tidak menimbulkan baru amis
yang menyebar. Biasanya ia selalu menyiapkan
jeruk nipisnya sebelum mulai bekerja, sehingga ketika selesai dapur yang
seadanya ini tetap terlihat rapih dan nyaman.
Berbeda dengan Salam, Ucu memiliki kelebihan tersendiri.
Dia sangat mirip dengan Ibu. Setiap bekerja selalu menyediakan tempat sampah
yang diletakan mengikuti kemana ia berada. Jadi ketika meracik sayur, bumbu
atau apapun di dapur selalu bersih dan tak meninggalkan sampah. Ucu juga sangat
cermat dalam memanfaatkan bahan-bahan masakan atau bumbu dapur. Setiap sisa
garam, terasi, cabe atau bawang ia
simpan dengan rapi. Ia juga sangat hapal dimana letak kesemuanya itu, tidak
seperti aku yang selalu sibuk mencari letak bumbu atau bahan masakan, meski aku
berada di rumah lebih lama dibandingkan
mereka.
Diantara ketiga adiku yang terlihat agak kurang cekatan
memang Faiz, ia lebih menunjukan bakat dan minatnya dalam dunia pergaulan.
Diantara kami sekeluarga, Faiz memang agak beda sendiri. Kami yang rata-rata
agak pemalu tak berlaku bagi Faiz. Ia
terlihat sangat supel, periang dan gampang akrab dengan siapa saja. Tak heran
kalau di usianya yang baru menginjak lima belas tahun, namun sering dilibatkan
dalam beberapa kegiatan kepemudaan di kampung Kadupandak ini. Teman-temannya
juga banyak, bukan saja dari satu pondoknya, akan tetapi juga beberapa pondok pesantren
yang tersebar di seluruh wilayah
kecamatan. Berangkat dari semua itulah,
Salam memiliki kapasitas lebih dari sekedar santri dan pelajar tsanawiyah. Ia pandai di bidang organisasi, kepemudaan,
kemasyarakatan juga sedikit dunia politik. Kadang-kadang kalau sedang
bercengkerama denganku, ulasan atau opininya tentang perkembangan zaman atau
pemerintahan sangat tajam dan dalam. Tak jarang kalau banyak kata-kata asing atau istilah kata yang aku dapat
darinya. Pendek kata, dibalik kekurangcekatannya bekerja, Faiz memiliki
kapasitas lain yang berbeda dari kami semua.
“Hidup ini harus mampu menganalisa kondisi dan keadaan
secara kompleks Kang. Kita mesti mampu
membaca apa yang tengah berlaku dalam hidup ini, entah itu dunia bisnis,
pemerintahan, politik ataupun hukum dan kemasyarakatan…,” demikian ucapnya bila
sedang berbicara dengan kami.
“Memang kalau kita paham dengan semuanya itu, kita bisa
makan kenyang, Kang?” tanya Ucu mencoba menyambung percakapan.
“Yaa tidak secara langsung, Cu. Tapi dengan menguasai
semuanya itu, kita akan dapat bersikap dan bertindak dengan keputusan terbaik.
Meminimalkan resiko dan terhindar dari kerugian besar…”
“Ah, gayanya seperti yang pakar aja. Kemarin saja harus dihukum KH. Jamaksary karena ngga
hafal tamsil qur’an,” Salam yang agak cemburu mulai membuka kontra dengan
adiknya.
“Yaa itu khan hanya sementara, bisa diperbaiki dan
dimaksimalkan di kemudian hari. Dengan analisa yang baik dan memperbaiki setiap
kekurangan, saya juga akan segera bisa menghapal tugas dari KH. Jamaksary….,”
Faiz masih sibuk dengan retorika hidupnya. Tak bisa kupungkiri, kalau semangat
hidupnya sangat bergelora bila sudah berbicara tentang analisa politik dan
manajemen. Meski aku sebenarnya tidak yakin dengan semangatnya itu. Bukan
apa-apa, untuk dapat melanjutkan semangat seperti itu, setidaknya ia harus bisa
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, sedangkan kondsi keluarga
ini? Aaah… mudah-mudahan aku sanggup menghantarkan semangat dan gelora jiwa
mereka meraih cita-cita mereka.
“Memang kalau sudah lulus nanti, Kang Faiz mau jadi apa?”
Ucu bertanya sambil mengupas bawang.
“Yaa jadi Birokrat lah, kalau ngga jadi Menteri atau
Gubernur, yaa anggota dewan juga boleh. Mereka khan gajinya besar, nanti kita
semua bisa hidup enak dengan gaji Kang Faiz…”
“Amiin…,” aku berseru dari ruang tengah rumah bilik ini.
Setidaknya meski hal itu sangat jauh dari mimpi kami, namun semangat adiku
memang sangat tulus untuk keluarga ini. Semoga Allah bisa menjaga semangat kami
dalam meraih semuanyan itu.
“Jadi Anggota Dewannya sih boleh-boleh aja, tapi mana
kayu bakarnya? Ikannya sudah selesai di bersihkan nihh, jadi ngga manggang ikan
masnya?” Salam tiba-tiba keluar dari kamar mandi.
Mendengar itu, Faiz terlihat celingukan berusaha
menemukan kayu bakar hasil karyanya. Tak berapa lama jarinya menunjuk pada
tumpukan kayu yang belum banyak di cacah sebagai bahan bakar. Satu hal yang ia
sadari sekarang, ia belum bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Melihat
itu, aku dan Ucu tertawa menanggapinya. Sementara Salam dengan cemberut merebut
golok yang sedari tadi hanya dipakai aksen bicara adiknya.
“Makanya jangan omongan aja yang dibesarkan!” seru Salam
masih dengan cemberut.
“Habis Ucu sih, ngajak ngobrol terus…”
“Yaa koq jadi nyalahin Ucu!?” kini giliran adik bungsuku yang
ikut cemberut.
“Sudah-sudah, biar Kang Faridz yang bikin kayu bakarnya,”
kataku melerai kondisi yang mulai memanas. Jauh di dalam hatiku tersenyum geli dengan kondisi
seperti ini. Meski ini tak mudah, namun aku merasakan bahagia dengan segala
tingkah mereka. Sejak kepergian kedua orang tuaku, memang hanya tingkah
merekalah yang senantiasa membuatku tersadar kalau aku telah menjadi orang tua
kini. Individu yang dipandang mapan dan bertanggung jawab untuk dapat
melindungi dan mencukupi kebutuhan mereka.
Kami baru saja akan melahap nasi hangat dengan ikan mas
bakar ketika tiba-tiba pintu rumah bilik ini diketuk dari luar. Suaranya agak
tergesa-gesa, entah siapa orang yang datang dengan kondisi seperti itu. Aku menatap penuh tanya kea rah Salam yang
sedari tadi ikut mendengarkan, tanpa kusuruh anak itu langsung beranjak menuju
pintu depan rumah. Kami semua berada
dalam tanya, ada apa dengan orang yang datang ke rumah bilik kami.
“Assallamu allaikum, Kang Faridz, Kangg….,” suara
dari terdengar makin keras. “Kang, Kang
Faridz….!!!”
“ Wa allaikum salam,” suara Salam terdengar, berbarengan derit pintu dari albasiah ini,
“Kang Ujang, ada apa Kang?”
“Anu, saya ada perlu dengan kakakmu, Kang Faridz ada?”
tanya lelaki yang sedari tadi mengetuk pintu dengan tergesa-gesa itu.
Intonasinya sangat berat dan gemetar seolah memendam permasalahan yang serius.
“A.. ada, di dalam. Memang ada apa?”
“Bisa saya ketemu kakakmu sebentar?”
“Bisa, bisa,” terdengar salam ikut terbawa suasana, “mari
masuk Kang…”
“Ada siapa, Yi?”
tanyaku dari arah tengah rumah ini, “suruh masuk ke dalam.”
Lelaki yang dipanggil Ujang itu, langsung masuk dan
menemuiku yang tengah duduk bersila menghadapi sebakul nasi hangat dan beberapa
ikan mas bakar. Tatapannya sangat serius dan menyiratkan ketakutan, entah apa
yang tengah dialami lelaki yang hanya terpaut umur satu tahun denganku itu.
“Aya naon Jang?”[1]
“Aduh Kang,
tulungan abdi Kang. Tulungan abdi…”[2]
“Iya ada apa, ceritakan dulu!” kataku yang mendadak ikut
cemas. Melihat itu Ucu cekatan membawakan segelas air minum ke arahnya. “Sok ngaleueut heula, sina tenang…” [3]
Sesaat lelaki yang berprofesi sebagai tukang ojek di
kampung kami itu meminum air putih yang disodorkan Ucu dan seketika nafasnya
yang tak beraturan mulai bisa ia kendalikan.
“Sudah tenang?” tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan
singkat, “sok ceritakeun, aya naon Jang?”[4]
“Anak saya Kang, si Melati badannya panas sekali, sudah
tiga hari ini….,” lelaki berperawakan
gempal itu mendadak dramatis menceritakan anak semata wayangnya, “saya takut
ada apa-apa dengan Melati, Kang…”
“Sudah dibawa kepuskesmas?”
“Sudah Kang, tapi hanya diberi obat saja. Dan dua hari
terakhir ini panasnya makin menjadi, saya takut ada apa-apa dengan Melati. Saya
ingin membawanya ke rumah sakit umum…”
“Lalu kenapa malah kamu datang kemari Jang, ayo cepat
kita bawa ke sana,” kataku yang ikut bingung dengan kondisi seperti itu. Kuakui
aku belum pernah mengalami apa yang dialami Ujang sekarang, jadi kalau harus
jujur mungkin kepanikanku malah lebih besar dari orang tua bocah yang sedang
sakit ini.
“Yeee akang mah, kenapa jadi ikut bingung seperti itu
sih?” tiba-tiba Faiz menyadarkan sikapku yang jadi lebih bingung daripada
Ujang.
“Iya nih, Kang Faridz. Sudah sekarang dimana Melatinya,
Kang?” Salam ikut menyambung percakapan. Dari keempat bersaudara, dia memang
tergolong paling tenang dalam menghadapi segala situasi.
“Di rumah Lam, saya tinggal dirumah…”
“Kenapa di tinggal di rumah, kang bisa dibawa ke rumah
sakit dulu baru akang kesini,” Faiz masih sibuk mengomentari.
“Itu masalahnya Iz, saya ngga punya uang sepeserpun, saya
takut rumah sakit menolak anak saya…,” suara Ujang makin parau menceritakan apa
yang tengah dialaminya. Itu suara kekalutan dari seorang ayah yang tengah
bingung dengan kondisi keselamatan anaknya. Aku makin bisa memahami mengapa
Ujang jadi error seperti itu, meninggalkan anak dan istrinya bukan ke Mantri
kesehatan, atau ke dokter malah datang kepadaku.
“Sudah, sekarang ayo jemput anak dan istrimu, sementara
aku dan Faiz akan mendahului ke Rumah Sakit Umum ,” kataku mengambil keputusan.
“Salam, Ucu, kalian tunggu rumah ya, Akang dengan Faiz ke rumah sakit
sekarang…”
“Tapi Kang…”
“Sudah, kita bahas nanti,” kataku seraya bergerak menuju
ke dalam kamar untuk mengambil dompet kopiahku. Ini akan jadi pengalaman yang
terbaik bagiku sebagai orang tua, fikirku. Bertindak cepat dan tepat untuk
kondisi yang serba genting seperti ini.
Tak berapa lama, aku dan Faiz telah sampai di ruang UGD
untuk menjaga segala kemungkinan. Aku lebih memilih melakukan semua ini karena
seperti yang kudengar, untuk hari libur seperti ini, terkadang UGD juga kurang
bisa diandalkan. Aku ingin memastikan perawat atau dokter jaga stanby ketika
Ujang dan anaknya sampai di ruangan gawat darurat itu.
“Yaa saya bisa mengerti, tapi mana yang sakitnya?” tanya
seorang lelaki dengan pakaian perawat.
“Sebentar lagi, Pak. Tolong jangan pergi dulu,” kataku
yang ikut-ikutan error.
“Lah, kalau yang sakitnya belum ada, apa yang bisa saya
lakukan di sini?” kata lelaki itu lagi,
“didalam banyak pasien yang harus saya cek dan saya rekomendasikan ke
kamar-kamar rawat inap.”
“Tapi pak…”
“Itu! Itu Kang Ujang datang membawa Melati….,” teriak
Faiz menyela pembicaraan kami.
Mendadak aku dan lelaki perawat itu bergegas menghampiri
motor ojek yang membawa perempuan kecil dan ibunya. Dan tak ketingglan pula
seorang perawat lagi bergegas membawa ranjang dorong ke arah kami. Sesaat kami
melihat wajah perempuan kecil yang sudah sangat pucat dengan kesadaran yang
hampir hilang dari tubuh ringkihnya. Aku beristigfar tak putus-putus dalam
hati, sungguh ini pemandangan yang tak pernah kualami sebelumnya. Tubuh dan
hatiku mendadak ngilu dan tak mampu berbuat apapun.
Sementara dua lelaki berpakaian perawat terlihat lebih
cekatan dibandingkan kami. Ia langsung membaringkan Melati di ranjang dorong,
memeriksa urat nadi gadis kecil itu, dan langsung memeriksa bagian lengannya.
Detik berikutnya mereka dengan cekatan pula memasangkan masker oksigen dan
membuat aliran infuse dari punggung tangan Melati yang sudah sangat kurus itu.
Setelah mengalirkan oksigen dan cairan infuse ke vena tangan gadis kecil itu,
merekapun segera mengambil sampel darah dari lipatan lengannya untuk diuji di
laboratorium. Tindakan cepat dan tegas itu sejenak menenangkan kami terutama
Ujang yang sudah tak ‘berbentuk’ itu.
Beberapa saat berlalu, saat-saat kalut dan cemas itu
mulai berangsur pergi. Kini tinggalah kami yang menunggu dalam diam ketika
tetes-tetes cairan infuse mulai memasuki
seluruh tubuh gadis kecil itu. Kesadarannyapun mulai pulih, ia sudah
mulai bisa menangis dan merengek pada ibunya. Gadis empat tahun itu mulai
menunjukan perkembangannya. Ujang masih duduk terpaku dengan memeluk lutut di
sudut kamar rumah sakit kelas tiga ini, berbarengan dengan beberapa orang tua
pasien yang juga dalam suasana gundah. Tidak hanya memikirkan kesembuhan sanak
keluarga mereka, tapi juga gundah akan besarnya biaya perawatan yang kelak
harus mereka bayar. Meski Negara ini telah merdeka lebih dari enam puluh tahun,
namun kecemasan akan adanya perobatan dan kesehatan yang murah dan layak memang
masih menjadi mimpi bagi sebagian besar orang miskin seperti kami. Benar
memang, kalau katanya pemerintah telah memprogramkan bantuan pengobatan bagi kaum miskin seperti kami, tapi entah dimana
benang merahnya, rasanya program yang satu itu masih jauh dari harapan.
Kesehatan dan pengobatan murah rasanya betul-betul masih sekedar slogan saja
bagi masyarakat miskin.
“Bagaimana keadaan Melati, Jang?”
“Mereka belum bisa memastikan penyakitnya Kang, baru
sekedar menyatakan kalau Melati suspect Demam Berdarah. Hasilnya baru positif
setelah hasil lab dari sampel darah Melati dibaca oleh dokter besok…” Ujang
mencoba menjelaskan. Sementara istrinya hanya bisa diam berkaca-kaca seraya
membelai rambut anak kecil mereka.
“Yaah… mudah-mudahan ada kabar baik untuk kita besok
Jang,” kataku mencoba menenangkan. “Kalau ngga ada yang ingin disampaikan lagi,
saya izin pamit dulu Jang. Hari sudah sore, Ucu, Faiz dan Salam mungkin akan
kembali ke pondok. Saya harus melepas mereka dulu…”
“Ooh, iya! Iya Kang, terima kasih…”
“Kalau ada apa-apa, bilang saja jangan sungkan….”
“Iya Kang, terima kasih atas segala bantuan Kang Faridz…”
Aku menepuk punggung tukang ojek langgananku itu. Aku
hanya ingin sedikit menenangkan seorang bapak yang tengah dirundung malang ini.
Jauh di lubuk hatiku berdoa, kalau Allah mengijabah doa mereka untuk
mengembalikan kesehatan Melati. Setelah memberikan sedikit uang jaminan
perawatan dan membayar beberapa administrasi pasien, akupun pamit meninggalkan
keluarga muda itu. Aku harus pulang dan bersiap melepas ketiga adiku kembali ke
lingkungan pondok, karena setiap malam senin aka nada pengecekan anggota pondok
dari para pengurus.
Sesaat aku terdiam, ada yang terlupa dalam fikiranku.
Yah, aku memang benar-benar lupa, kalau besok Senin adalah awal bulan dan itu
berarti saatnya aku memberikan infak operasional pondok, sekaligus bantuan
untuk makanan sehari-hari ketiga adiku. Tapi uang yang kutabung selama sebulan
ini, sudah aku serahkan untuk jaminan perawatan dan perobatan Melati. Lalu
bagaimana dengan biaya ketiga adiku? Yaa Allah, mengapa harus seperti ini…
Ashar terlewat beberapa saat lalu, namun aku masih duduk
terpekur di dalam kamar kecilku. Di atas sajadah yang telah lapuk itu, aku
masih terus berfikir diantara lafadz dzikir yang tak jua kuselesaikan. Entah
apa yang harus kulakukan ketika sekian besar tanggung jawab yang kuemban
ternyata tak selalu berbanding lurus dengan kemampuan yang kumiliki. Dan hari
ini adalah saat semuanya itu sangat nyata dihadapanku, aku mulai rapuh dan tak
tahu lagi harus berbuat apa. Yang jelas hanya satu yang kuharap kini, semoga Allah berkenan
memberikan pertolongan-Nya padaku yang tengah bingung ini.
“Yaa Allah, jika karena menolong saudaraku Ujang membuat
hatiku menjadi sempit dan merasakan kesusahan akan hidupku, maka berilah aku
petunjuk bahwa aku memang salah. Berilah aku petunjuk kalau aku memang tak
tepat melaksanakan amanah-Mu. Karena sesungguhnya, aku melakukan semuanya itu
hanya karena hendak mengemban amanah dan titah-Mu untuk saling berbagi. Aku
hanya ingin mencoba membantu hamba-Mu yang tengah dalam kesulitan, Yaa Allah…
Namun bila karena
menolong saudaraku Ujang adalah hal yang benar, maka kiranya Engkau berkenan
melapangkan hatiku dan mengurangi kebimbangan hatiku akan kesusahanku, Yaa Allah… karena keihlasanku menolongnya,
benar-benar ada di hatiku. Aku tak berharap apapun selain hanya karena
keridhoaan-Mu…….” air mataku menitik ketika doa terakhir itu kuucapkan. Meski kutahan untuk tak terisak, namun bulir bening itu seperti mewakili segala
kegundahanku. Semoga Allah berkenan mengijabah doa tulusku…
“Kang, sudah hampir maghrib. Kami mau pamit ke pondok…,”
suara Faiz nampak terdengar dari balik kain penutup kamarku. “Kami takut kemalaman di jalan, nanti ngga ada ojek
lagi…”
“Iya, tunggu sebentar, Yi…,” kataku dalam kamar. Aku
masih belum tahu apa yang akan kuucapkan pada ketiga adiku itu, bila bekal yang
telah kupersiapkan selama ini telah aku berikan untuk membantu Ujang. “Akang
rapihkan baju sebentar…”
Tak lama aku keluar dan menemukan ketiga adiku yang telah
tegak berdiri di depan kamarku. Mereka semua sudah lengkap dengan tas ransel
masing-masing, mereka memang telah bersiap lama untuk kembali ke pondok
pesantren. Aku menatap wajah mereka
satu per satu, ada rasa lain dari yang bisaanya. Rasa berat dan pahit akan
kenyataan yang akan kuucapkan pada mereka.
“Akang sakit…?” Ucu membuka keheningan sesaat diantara
kami.
“Akang terlihat pucat sekali, masuk angin yah? Saya kerik
dulu Kang…,” giliran Salam ikut menambahi.
“Ngga, Akang ngga apa-apa Yi,” kataku segera
menghilangkan kerisauan tanya mereka, “hanya sedikit capek saja…”
“Kami mau pamit, Kang. Kami mau kembali ke pondok…,” Faiz
agak terbata berucap. Dia terlihat ingin memastikan kalau sore menjelang
maghrib itu tak ada yang perlu dikhawatirkan kakaknya…
“Iya, Akang tahu, Akang hanya ingin….”
Belum selesai aku berucap, tiba-tiba sebuah suara
mengejutkan terdengar dari arah luar rumah bilik ini. Suaranya terdengar sangat
berat dan tak asing di telingkaku.
“Assallamu ‘allaikum… Rid, Faridz…”
“Wa allaikum salam,”
jawabku seraya bergerak menuju arah pintu depan dan membukanya, “Mang
Janah, ada apa Mang…?”
“Begini Rid, boleh Mamang ngomong di dalam…”
“Oh iya, Mang. Mari masuk, maaf saya lupa
mempersilahkan…,” kataku seraya membuka pintu kayu ini lebar-lebar. Kemudian
dengan bahasa isyarat aku meminta Ucu untuk mengambilkan air minum untuk tamu
pelanggan almarhum ayahku itu.
“Diminum dulu, Mang,” kataku menawarkan air putih yang
dihantarkan Ucu dari belakang, “Cuma air putih…”
“Iya terima kasih, “ kata lelaki bertubuh agak tambun
itu. Setelah beberapa teguk air putih masuk ke kerongkongannya, lelaki yang
juga dikenal kawan dekat dengan almarhum Abah itu melanjutkan bicaranya,”
begini Rid, kemarin pagi, orang Jakarta yang akan membeli kebon Mamang telah
sepakat untuk melunasi pembayarannya besok Selasa. Dan Mamang ingin menjamunya
dengan panggang lauk emas. Sekalian Mamang lewat rumahmu tadi, dari pada
harus menunggu besok untuk ke
pasar dan pesan ke kamu, mending pesan sekarang khan. …”
“Pesan ikan mas?” tanyaku agak sangsi.
“Iya, ikan mas, dua puluh kilo bisa?”
“Dua hari lagi, dua puluh kilo? Bisa. Bisa, Mang…,” kataku tergagap menahan gembira. Allah
mengabulkan doaku, Allah mengijabah doaku… bathinku penuh syukur.
“Naah, kalau begitu ini uang DP-nya, tiga ratus lima
puluh ribu rupiah. Sisanya kalau ikannya sudah Mamang terima yaa…”
“Iya Mang, Insya Allah saya akan segera menghantarkan
ikan mas pesenan Mang Janah tepat besok sore…”
“Baik kalau begitu, Mamang pamit pulang ya… Assallamu
‘allaikumm…”
“Wa allaikum salam warrohmatullahi wabarokatuh…,” jawab
kami serempak mewakili kerianganku menerimai anugerah senja itu. Yaa Allah
terima kasih, kalau ternyata Engkau memang sangat dekat dalam hidup kami,
sehingga kesusahan ini tak begitu berarti kami rasakan… “
Aku memeluk
ketiga adiku dengan hati yang penuh haru dan bahagia, mungkin inilah janji yang
selalu diajarkan kaum salaf tentang kebesaran dan kasih sayang-Nya dalam hidup
kita… Hasbunallahu wa ni’mal wakiil,
ni’mal maula wa ni’mat nasiir… laa haulla walla quwwata illa billah..
%%%%%%
Tidak ada komentar:
Posting Komentar