Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Senin, 25 Februari 2013

Bagian Satu Dari TTC3



Satu
Rindu Hati  di Sepertiga   Malam


Perempuan bertubuh kurus itu sesekali mendongakan wajahnya dari balik jendela kelas ini, surai rambutnya nampak melekat di dahinya yang kusam. Rupanya deras hujan yang turun tak urung membasahi sebagian wajahnya, meski  payung lapuk diposisikan untuk menghalanginya. Masih setengah sembilan,  setidaknya baru  setengah jam kedepan  pelajaran di kelas satu ini usai. Dan itu artinya perempuan kurus dengan baju hampir melekat di tubuhnya itu harus berdiri di samping kelas ini. Matanya yang masih terlihat lelah itu seakan tak menghalanginya untuk tetap berdiri dan menunggui kepulangan anaknya.
“Jadii sekali lagi Ibu sampaikan, mulai hari ini kalian harus mau membantu ii…,” suara perempuan berbaju rapih dengan tahi lalat di dagu itu nampak menunggu lanjutan suara untuk menjawab.
“Ibuu….!!!” Terdengar suara koor melanjutkan kalimatnya yang terpotong.
“Harus nurut apa kata iii…..”
“Ibuu…!!!”
“Jangan pernah membantah dan melawan iii….”
“Ibuu…!!!” begitulah koor suara anak-anak kelas satu yang baru masuk sekitar lima hari itu terdengar. Masa-masa penanaman ilmu kepribadian dasar bagi mereka yang baru mengenal pendidikan. Sungguh, bahan ajar yang sederhana, namun memberikan nilai yang sangat mendalam bagi anak-anak yang baru mengenal bangku sekolah itu. Khususnya aku, yang memang hanya mengenal ibu, karena ayahku berlayar  dan entah kapan singgah atau pulang ke rumah. Dari kecilku hingga aku mulai masuk sekolah dasar, yang kutahu memang hanya Ibu. Sosok perempuan kurus paruh baya, yang selalu tak rapi dengan kerudung karetnya.
“Baik, kalau semuaya sudah mengerti, berarti kita bersiap untuk puuu…”
“Laanggg….!!!” kali ini suara koor terdengar lebih kencang dari sebelumnya, mungkin luapan emosi gembira karena pelajaran usai. Dan itu berarti kembali kumpul ke rumah.
“Baik sekarang mari kita baca doa sama-sama….”        seru perempuan yang terlihat tegas tapi ngayom sebagai guru itu. Bu Marni memang di kenal baik oleh siapa saja, itulah mengapa ia begitu cepat akrab dengan kami semua yang rata-rata baru pertama kali mengenal bangku sekolah. Pada zaman itu taman kanak-kanak memang tidak tersebar luas, sehingga sekolah dasar betul-betul pengalaman pertama bagi sebagian besar kami.
“Wal ashri innal insyana lafil husri illa, illaa ladziinaa  aamanu, wa amilushoolihaati wa tawwashoubil haqqi, wa tawwa shoubishobr…” lafadz surah Al ashr  ini adalah surah kedua yang kami hapal setelah Al fatihah. Karena setiap pulang sekolah kami memang membaca doa ini bersama-sama.
“Baik, karena di luar hujan, Ibu berpesan agar kalian lebih  berhati-hati di jalan yaa…”
“Iya Buu…” koor kami masih terdengar sangat semangat.
 “Selamat pulang yaa…,” kata Bu Marni seraya mengulurkan tangannya pada kami yang bergiliran keluar kelas. Satu per satu kamipun mencium tangannya sebelum melangkah keluar kelas. Di luar beberapa orang tua sangat bersuka hati menyambut kami untuk kembali ke pengasuhan mereka. Beragam penampilan juga terlihat demi menunjukan strata social mereka pada orang tua yang lain. Dari yang bersahaja, apa adanya, hingga yang bak toko mas berjalan juga ada.
Diantara mereka yang berdiri dan menyambut dengan wajah suka cita itu adalah ibuku. Perempuan paruh baya dengan pakaian lusuhnya. Ibu pasti tak sempat berhias, karena sebetulnya pukul sembilan pagi adalah waktunya berjualan sayur keliling kampung. Ia sengaja menyempatkan untuk menjemputku karena ingin memastikan kalau aku pulang dengan selamat. Apa lagi di hari hujan seperti ini, Ibu pasti sangat mengkhawatirkanku.
Wis balik, Cung…?” [1]tanyanya dengan senyum terkembang lebar.
Sampun Mi,” [2]kataku seraya menyambut uluran tangannya lalu menciumnya. Seperti biasa Ibu akan mengelus rambutku bila aku sedang mencium tangannya. Entah apa yang selalu diucapkannya, namun yang jelas selalu ada udara segar yang kurasa setiap ia meniup-niup ubun-ubunku.
“Belajar apa tadi?”
“Adab pada kedua orang tua, Mi…” jawabku yang berjalan di sampingnya. Sesekali cucuran hujan nampak masih membasahi kami, meski hujan tak lagi deras. Mungkin karena payung ibu memang tak lagi utuh, hingga besaran diameternya yang terkoyak di beberapa sisi tak lagi dapat menaungi kami berdua.
Alhamdulillah, jadi Harist sudah diajarkan adab kepada orang tua yaa…” kata ibuku seraya merapihkan beberapa helai rambutku yang basah tertimpa air hujan. “Kalau sudah tahu pelajaran seperti itu, berarti Harist sudah harus mulai mengerti bagaimana cara menjawab dan bersikap sama Mimi khan?”
Nggih Mi[3]…” jawabku lagi.
Ibu tersenyum kembali mendengar ucapanku yang mencoba menjawab dengan kalimat halus bahasa sehari-hari kami. Tangan rapuhnya makin erat mendekatkan kepalaku ke tubuh ringkihnya.
Perjalanan pulang baru seperempat jarak, ketika hujan lebat tiba-tiba turun kembali. Seperti biasanya, beberapa ruas jalan Kapten Samadikunpun mulai terendam banjir. Mungkin karena memang berada di dataran rendah di bandingkan ruas jalan Moh. Toha atau Jalan P. Diponegoro, sehingga ruas jalan ini kerap mendapat kiriman air dari sana. Hanya beberapa menit, jalanpun tak bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, apalagi pejalan kaki seumuranku. Kalau tak hati-hati aku bisa hanyut terbawa arus banjir hingga ke muara pantai.
Melihat kondisi hujan dan banjir yang makin meninggi, Ibu memutuskan untuk berteduh sesaat di emperan toko H. Asmari, toko kelontong yang cukup besar pada saat itu. Berandanya memiliki toping asbes yang cukup lebar untuk siapa saja yang menumpang berteduh. Selain kami ada beberapa orang juga berteduh di sana, kebanyakan para pejalan kaki dan penjaja makanan keliling. Salah satu dari mereka ada yang terlihat begitu akrab pada ibuku, perempuan berperawakan besar dengan   se-cepon makanan yang terbungkus dari daun jati. Aku juga beberapa kali pernah melihatnya melintas di kampungku.
Namanya Jubaedah, namun karena badannya yang jumbo orang-orang memanggilnya Bi Jimbo. Pekerjaannya adalah penjaja Nasi Jamblang, makanan khas dari orang-orang di kampungku. Dia sangat akrab dengan ibuku, mungkin karena sama-sama pedagang keliling dengan rute yang hampir sama. Hanya bedanya, kalau ia menjual masakan matang sedang ibuku bahan mentahnya, alias ikan dan sayuran.
Tumben wis ana ning  kene sih Am, bli dagang tah?”[4]
Dagang Jim, cuma sampe setengah sanga doang[5],” jawab ibuku, “seminggu kien setengah sanga mananang, Kartini sing mider….”[6]
“Ini siapa ya Am?” tanyanya seraya melirik lurus ke arahku.
“Harist, anaku yang ke enam, dia baru  masuk sekolah seminggu ini…,” jawab ibuku seraya melirik dan membelai rambutku yang masih basah terkena air hujan.
Ooh, sing biasane digawa melu mider kaen tah?” [7]katanya seolah mengingat sesuatu, “tidak kerasa yaa, sudah besar dan sekolah… “
“Iya Jim, kian hari kian banyak kebutuhan anak-anaku,” jawab Ibuku lagi, ”dengan masuk sekolahnya si Harist, berarti tanggung jawabku untuk membiayai sekolah ada empat orang sekarang…”
“Iya yah, untuk ukuran pedagang sayur sepertimu pasti sangat berat yah, Am..”
“Iya Jim, tapi aku berusaha agar semua anak-anaku bersekolah, agar mereka tidak bodoh dan buta huruf seperti ibunya…”
“Kamu memang ibu yang baik Am, meski suamimu terkadang tidak jelas pulangnya, tapi tetap saja berjuang mencukupi semua kebutuhan anak-anakmu,” kata Bi Jimbo melanjutkan, “kalau saja aku yang di posisimu entah apa aku mampu. Hidup sendirian tanpa siapa-siapa yang kuurusi saja sudah susah seperti ini…”
Percakapan mereka berlangsung hingga beberapa saat, namun hujan nampaknya belum mau berhenti sepenuhnya. Rintik hujannya masih terlihat begitu tegas di mata kami. Namun bukan itu yang membuat ibu masih tetap berteduh di beranda toko kelontong ini, akan tetapi kondisi banjir sepaha orang dewasa yang Nampak masih menggenangi jalan pulang kami. Ia tahu, untuk ukuran tubuh sepertiku pasti tak mungkin melewati itu. Aku sendiri sebetulnya malah berdoa untuk tetap di kondisi seperti itu, karena dengan demikian aku bisa berenang sepanjang perjalanan pulang. Hehehehe… pemikiran anak seusiaku memang terkadang bertolak belakang dengan pikiran manusia dewasa.
Mii… Harist laper….,” kataku merasakan sesuatu di perutku. Memang sudah lazimnya di kondisi dingin seperti itu, kita memang gampang sekali lapar.
“Iya cung, sabar yaa, sebentar lagi banjirnya juga surut, kita bisa pulang dan makan…,” kata ibuku sambil mengusap kembali rambutku.
“Tapi Harist pengin roti….,” kataku seraya menunjuk pada barisan roti mentega yang berjajar rapi di toko kelontong itu.
Ibuku tersenyum menggeleng, pasti sangat berat jika ia harus melakukan itu kepadaku. Namun Ibu memang tak pernah mengajarkan kami anak-anaknya, untuk jajan di warung, apalagi di jam makan seperti sekarang ini. Ibu selalu mendisiplinkan kami untuk makan apa yang telah di sediakan di rumah, dan jajan adalah aktifitas tambahan dengan urutan kesekian, itupun bila ada rezeki berlebih.
Mii… laper pisan[8]…,” kataku separuh berbisik.
“Sabar yaa Cung…,” ibuku masih tetap dalam pendiriannya. Entah mengapa, biasanya ia akan luluh bila aku sudah merengek seperti itu, namun kali ini ia tak begitu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya berkeras seperti itu. Jarinya nampak memeriksa kantung bajunya beberapa kali, seperti mencari sesuatu. “Mimi ngga bawa uang, Cung…” katanya kemudian.
Mendengar itu akupun langsung tertunduk diam dan tak mau lagi merengek untuk meminta roti. Aku ngga mau Ibu terlihat bersalah karena rengekanku. Sebaliknya Ibu malah menatapku dengan bola mata yang berkaca-kaca, entah apa yang ada dalam fikirannya. Yang jelas aku paling tidak suka kalau sudah melihat mata Ibu seperi itu. Karena kondisi mata seperti itu akan membuat hatiku   bergetar dan ingin menangis pula.
“Kita pulang saja ya Cung,” katanya kemudian seraya berjongkok di depanku, “cepat naik, biar Mimi gedong kamu supaya kita bisa pulang…”
“Gendong Mi?”
“Iya, ayo cepat, biar kamu bisa langsung makan khan?” katanya lagi seraya menarik tubuhku untuk cepat naik ke punggungnya. Tangannya yang rapuh itu ternyata begitu kuat menarikku, membuatku tak lagi bisa menghindar untuk naik ke punggungnya. Sedetik kemudian akupun sudah berada di atas punggungnya yang tak pernah lelah menanggung beban barang dagangan itu.
Diantara debur rinai yang masih terlihat jelas, Ibuku mulai berjalan seraya menggendong tubuhku. Langkah kakinya tak pernah lelah terus menembus arus banjir yang makin menderas menuju arah muara. Sesekali ia juga berjongkok untuk memeriksa jalan yang akan dilalui. Dengan permukaan yang tertutup air bercampur tanah seperti itu kami memang tak dapat melihat lubang-lubang yang memang banyak ke arah rumah kami. Sesekali pula ia diam dan merapihkan letak tubuhku di punggungnya, ia ingin memastikan kalau aku tetap aman di posisiku.
Beberapa pengguna jalan yang melintas kencang nampak memercikan air ke     arah kami, beberapanya malah terkena wajah Ibu. Namun tak sedikitpun kudengar kalau Ibu marah, ia hanya menggeleng dan tetap memegangi pantatku untuk tetap di punggungnya. Beberapa kali terjadi seperti itu, namun Ibu malah makin berkeras dan mempercepat langkahnya menggendongku untuk cepat sampai rumah. Hingga beberapa lama kemudian langkahnya sampai di depan gang menuju rumahku. Ia menurunkan aku di sana, untuk berjalan bersisian di jalan yang sudah tak terlalu banjir itu. Meski udara masih menyisahkan basah dan dingin, namun tetap tak menghalangi tubuh Ibu untuk berkeringat. Ia kelelahan karena menggendongku hampir satu jam lebih…
“Setelah ini kamu ganti baju, Mimi buatkan lauk buat makan siang,” katanya seraya mengelap sebagian wajahnya yang nampak makin kusut karena lelah itu.
“Iya Mi…,” ucapku langsung menghambur ke arah kamar. Di sana nampak Ruby masih lelap tertidur. Anak itu memang menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk tidur setelah bermain sendirian. Biasanya Mbak Kartini atau Mbak Atin yang menjaganya, namun karena Mbak Kartini menggantikan Ibu untuk berjualan, jadilah anak empat tahun itu bermain sendirian di rumah.
Siang mulai datang, ketika hujan mulai benar-benar berhenti. Mbak Kartini juga sudah pulang dari berjualan dan mulai menghitung pemasukan hari ini. Sebagai anak tertua yang belum menikah, ia memang menunjukan bhaktinya lebih dari yang lain. Setelah selesai berdagang, biasanya ia tidak langsung istirahat, akan tetapi membawa pakaian-pakaian kotor kami untuk mencucinya di kampung sebelah. Di kampung Pesisir ini sedikit sekali yang mampu berlangganan PDAM atau yang memiliki sumur. Kalaupun ada juga airnya asin, sehingga tak bisa digunakan untuk mandi atau keperluan dapur.
Mbak Kartini harus pergi ke rumah Papih yang letaknya di seberang kampung kami untuk mencuci dan mengambil seember air untuk keperluan memasak keluarga ini. Papih adalah panggilan duda tua yang memiliki sumur dengan air jernih dan tidak      asin. Sebagian besar tetanggaku juga melakukan aktifitas mandi dan mencuci ke sana. Mungkin karena duda tua itu sangat baik dan membiarkan siapa saja melakukan aktifitas harian itu di belakang rumahnya. Seperti Mbak Kartini yang membawa sebakul penuh cucian siang itu, tak lupa tangannya juga menenteng satu ember kosong yang akan ia pergunakan untuk membawa air untuk minum kami.
“Jangan lama-lama ya Kar, nyucinya…,” suara ibuku terdengar serak.
“Iya Mi,” jawab kakaku dengan sebakul cucian di gendonganya.
Ndas Mimi puyeng… tulung tukunang PPO balike yaa[9],” ucap Ibuku lagi, kali ini makin serak seraya menyerahkan selembar uang ratusan.
Mimi gering tah, di gawa ning Puskesmas bae , mumpung masih buka?”[10]
“Ngga usah Kar, cuma masuk angin aja. Nanti juga sembuh, belikan aja minyak angin tadi…,” kata ibuku yang masih memegang keningnya.
“Tapi Mimi gemetaran begitu…,” ucap kakaku khawatir.
“Ngga, ngga apa-apa Kar…Mimi cuma kecapean aja,” Ibu terduduk lemas di kursi rotan, sementara tangannya masih terlihat memijit-mijit keningnya. Namun beberapa saat kemudian iapun terlihat lemah dengan tangan jatuh terjuntai. Ibu pingsan dengan kelelahan yang amat sangat. Rupanya kondisi fisik ibu yang makin menua itu tak lagi mampu menahan rasa lelahnya, ia benar-benar pingsan karena kelelahan dengan aktifitasnya hari ini.
Seketika Mbak Kartini kalap, mengangkat dan membawa ibuku keluar untuk segera dilarikan ke puskesmas. Sedang aku hanya bisa diam mematung seraya menyesali diri, kenapa harus digendongnya dan membuatnya jatuh pingsan seperti itu. Beruntunglah Ibuku memang hanya kecapaian, sehingga satu suntikan vitamin membuatnya langsung kuat dan sadar. Tinggalah aku yang menangis tersedu-sedu di sampingnya. Rasa menyesal yang sedemikian membuatku tak lagi menahan tangisku…
Wis kacunge aja nangis bae, ikah Mimie wis sadar[11]….,” seorang perawat nampak menenangkanku. 
“Mimi…. Mimi…,” aku masih tersedu-sedu disamping tubuh ibuku. Meski tangannya yang keriput kini membelai rambutku, aku masih tetap menangis. Begitu besar rasa sesalku hingga tangisan ini rasanya tak cukup untuk ungkapkan penyesalanku. Andai saja aku tak digendongnya, andai saja aku tak merengek minta makan yang berakibat Ibu memutuskan untuk pulang menabrak banjir. Andai saja… Oh, Ibu begitu tulusnya hatimu hingga kau korbankan kondisi fisikmu untuk menyenangkanku…
Aku masih terus menangis dan menangis. Rasanya aku tak puas untuk menunjukan kalau aku begitu sangat menyesal telah membuat Ibu pingsan. Aku ingin Ibu tahu kalau aku sayang padanya dan tak mau lagi membuatnya jatuh pingsan seperti itu. Aku ingin membuatnya bahagia, aku tak ingin ia terus susah karena anak-anaknya. Aku ingin Ibu gembira, aku ingin Ibu tak merasa susah dengan apa yang ada di sekitarnya.
“Mimiii…. Mimiii….!!!” Isaku makin kencang menyuarakan apa yang aku rasakan. Hingga pandangan mataku mulai kabur dan gelap terasa menyelimuti ruangan puskesmas ini. Tubuhku juga menggigil menahan rasa yang ada di hati ini, perlahan-lahan hingga cahaya terang begitu berpendar dari arah depanku. Akupun akhirnya jatuh tersungkur di bawah ranjang ibuku….

“Yah… Ayah…bangun…  Bangun Yah…,” sebuah suara kembali terngiang di telingaku. Kali ini jernih dan halus di telingaku. Intonasinya juga terdengar begitu sabar menghadapi aku yang tak juga segera tersadar dari mimpi masa lalu ini.
“Mimiii…,” aku masih terisak dengan memanggil ibuku.
“Yah… bangun Yah, istighfar Yah… istighfar,” suara itu terdengar lagi.
“Astaghfirullahaladziim…,” ucapku seketika seraya bangun dari tidurku. Aku masih merasa   berada di waktu aku masih kecil, ketika isteriku membelai rambutku. Air mataku juga Nampak masih menitik di ujung mataku.
“Ayah mimpi apa? Kenapa sampai mengigau seperti itu?” tanya isteriku.
“Ayah mimpi bertemu almarhum Ibu  …,” kataku pelan, “Ibu pingsan gara-gara menggendong Ayah…”
“Astaghfirullah kenapa bisa begitu,” isteriku berkomentar lagi, “tapi itu khan cuma mimpi Yah…”
“Iya tapi benar-benar terjadi dimasa lalu, Ayah seolah diingatkan kembali dengan peristiwa itu,” kataku mencoba mengingat lebih detil mimpiku.
“Istighfarlah Yah, Allah maha tahu dengan segala permasalahan hamba-Nya. Mohonkan saja maaf untuk almarhum Ibu Ayah dan rasa bersalah Ayah di masa lalu…”
“Iya Bunda…”
“Sudah hampir jam tiga Yah, sebaiknya Ayah sholat Tahajud saja. Pasrahkan semuanya ini pada Allah, insya Allah Ayah akan bisa sedikit lega,” ucap isteriku seraya merapihkan selimut bekas tidurku.
“Iya…,” aku mengangguk membenarkan, “sebaiknya Ayah sholat tahajud saja. Mungkin ada yang coba almarhum sampaikan pada Ayah, hingga bermimpi seperti ini…”
“Kalau begitu, biar Bunda siapkan air panas dulu yah,” kata isteriku seraya beranjak menuju dapur untuk memasak air. Tinggalah aku sendiri yang kembali mengingat mimpi yang begitu jelas itu. Mimpi yang benar-benar membawaku seolah kembali di masa kanak-kanaku. Masa dimana limpahan kasih sayang ibu kepadaku benar-benar tak berbatas. Kasih sayang yang tulus dari seorang wanita yang begitu berharap kalau kelak anak-anaknya mampu menjadi orang yang berguna dan bermanfaat. Ketulusan yang tidak bermotif untuk membalas dan mengangkat derajatnya, ketulusan yang agung sebagai seorang ibu atas titah wajibnya.

“Mi… kalau memang ada salah Harist dimasa lalu yang belum sempat Harist mintakan maafnya, semoga Mimi sudi memaafkan dan meridhoinya. Yaa Allah, kalau karena kelalaianku seperti itu, membuatku bermimpi seperti malam ini, izinkan ruh ibuku untuk memberikan maaf padaku yaa Robb….
Izinkan ia dengan kuasa-Mu untuk mengampuni kealfaan hatiku di masa lalu, izinkan ia dengan kuasa-Mu mengikhlaskan semuanya itu untuku. Yaa Robb, kabulkanlah permohonanku, kabulkanlah permohonan maafku pada ibuku…”
Air mataku tertumpah sudah. Entah yang keberapa kalinya aku memintakan permohonan seperti ini, karena memang almarhum Ibu beberapa kali datang dalam mimpiku. Aku tak tahu apa makna dari semuanya itu, yang jelas aku memang masih merasa bersalah akan apa yang telah aku lakukan semasa hidupnya. Apalagi di ujung usianya, aku tak sempat memintakan ridho dan maafnya atas segala salahku.  Hingga rasa bersalah itu rasanya tak pernah pupus di kehidupanku.
Mimi… Harist njaluk maape yaa[12]…,” kataku lirih menutup dzikir penghantar fajarku. Sementara tahrim sejuk lirih mulai membangunkan semua muslimin dan muslimat untuk kembali sujud di awal hari ini.
Aku mengulangi sholat sunahku menyambut fajar dua rakaat, kemudian perlahan kulafadzkan doa khusus untuk almarhumah ibuku. Doa wabil khusus [13]untuk pengampuanan semua salahnya, kelapangan kuburnya, penerangan di jalan kembalinya, hingga tempat terbaik yang semoga Allah ridho untuknya...

”Allaahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihii wa’fu ’anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’mad-khalahu waghsilhu bil-maa-i wats-tsalji walbaradi wanaq-qihii minal-khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minaddanasi wa abdilhu daaran khairam mindaarihii wa ahlam khairam min ahlihii wa zaujan khairam min zaujihii wa ad-khilkul jannata wa a’idzhu min ’adzaabil qabri wa fitnatihii wa shaghiirinaa wa kabiirinaa wan dzakarinaa wa un-tsaana...
Allahumma man ahyaytahu minnaafa-ahyihii ’alal islaami wa man tawaf-faytahu min-naa fatawaf-fahu ’alal iimaan. Allahumma laa tahrimna ajraha wa laa tudhil-lanaa ba’daha waghfirlanaa walaha birahmatika yaa arhamar-raahimiin walhamdulillahi rabbil aalamiin...”[14]


****

Suara deru pasir yang bergerak   karena angin yang melintas ini makin kencang di gendang telingaku. Sementara udara panasnyapun terasa   makin meningkat dan menusuk-nusuk kulit. Gugusan awan yang melintas tak jua menyurutkan terik matahari yang begitu menghujan titian tanah berpasir ini. Entah bagaimana awalnya, aku seolah berada di atasnya dan bergerak tanpa tujuan. Seingatku Indonesia atau Banten tempat tinggalku penuh dengan pepohonan hijau, tidak gersang dan panas seperti ini. Apalagi padang pasir yang hampir memenuhi seluruh daratan yang kupijak. Bahkan sejauh mata memandang, hanya hamparan pasir yang tergambar di mataku. Ada beberapa pohon di sekitar satu atau dua ratus meter ke depan, namun itupun hanya liukan ranting-ranting pohon yang mengering. Tak terlihat ada selembar daunpun di pucuk-pucuk dahannya. Entah tahun berapakah ini, mengapa tempat tingalku berubah menjadi gurun sahara seperti ini.
Sesekali kuusap keringat yang meleleh di sekitar wajah dan leherku, panas yang begitu menyengat ini seolah memicu seluruh permukaan kulitku untuk berkeringat. Mungkin karena proses adaptasi tubuhku untuk tetap membuatnya sejuk, sehingga keringat ini mengucur begitu deras. Beruntung pakaianku juga dapat menyerap keringat sehingga kondisi basahnya turut membantu tubuhku beradaptasi dengan panas yang makin menyengat ini. Sesekali pula aku kencangkan ikat pinggang dari kain ikhrom yang kupakai ini. Tapii...
Subahanallah, aku berpakaian ikhram? Benarkah aku berpakaian ikhram?” ucapku terkejut bukan kepalang. Setahuku aku tak berada di tanah para nabi, aku juga tak sedang dalam perjalanan umroh atau haji, lalu dimanakah aku? Lalu ada apa dengan pakaian yang kukenakan ini.
Belum habis rasa bingung dan heranku, tiba-tiba serombongan manusia berpakain ikhram pula beriringan dan berjalan di sisiku.  Langkah mereka tergesa-gesa seolah-olah hendak mengejar sesuatu, namun mereka seperti meracau atau berguman tak jelas. Entah apa yang mereka ucapkan, namun dari sikap buru-buru dan tergesa-gesa mereka seolah menggambarkan kalau mereka tengah mengejar sesuatu. Dan mereka seolah takut tertinggal dari yang lain.
Melihat itu, aku mencoba menegur salah satu darui rombongan manusia yang terlihat begitu tergesa-gesa tersebut. ”Maaf, Pak... kalau boleh tahu, bapak-bapak ini sedang menuju kemana dan mengapa begitu tergesa-gesa?”
Tak ada jawaban apa-apa dari mereka, semuanya diam. Hanya saja salah satu dari mereka menunjuk ke sebuah gumpalan awan yang nampak berarak di atas mereka. Awan itu bergerak perlahan namun  pasti dan berjarak hanya beberapa ratus meter dari mereka. Aku tak tahu, apakah rombongan manusia ini tengah berebut mengejar awan putih itu. Ataukah ada sesuatu yang mereka kejar diantara bergeraknya awan-awan itu.
”Apakah bapak-bapak ini mengejar awan putih yang bergerak pelan itu?” tanyaku lagi
Kembali mereka tak bersuara, hanya salah satu dari mereka yang mengangguk seolah membenarkan pertanyaanku. Namun detik berikutnya, manusia berpakaian serba putih itu kembali tergesa-gesa berjalan meninggalkan aku. Langkah mereka kini semakin cepat, seperti berlari-lari kecil, namun tetap tak jelas entah menggumamkan apa. Beberapa dari mereka malah ada yang mengangkat-angkat tangan seolah menggapai awan yang jelas-jelas jauh dari kepala mereka.
Karena terdorong rasa ingin tahu, akupun akhirnya membarengi langkah mereka dan mengikuti rombongan manusia berpakaian serba putih itu mengejar awan-awan yang berarak di depanku. Namun hingga beberapa langkah ke depan, kakiku seolah terasa berat dan sulit untuk digerakan.  Tubuhku juga mendadak menggigil dan tak lagi bisa bergerak, meski berulang kali  aku mencobanya. Hingga rombongan manusia berpakaian ikhram   ini berlalu dari hadapanku, aku tetap tak mampu untuk bergerak atau bergeser sedikitpun.
Sesekali tanganku menggapai mereka yang berlalu di hadapanku, bermaksud meminta tolong. Namun seperti kakiku, tangankupun kini sulit untuk kugerakan.  Suarakupun mendadak parau dan tak jelas untuk berucap. Kondisi apakah ini? Mengapa aku jadi seperti ini? Dimanakah sebenarnya aku berada, apakah ini akherat? Apakah aku berabris diantara para ruh yang tengah kebingungan mencari peneduh dari sengatan matahari yang begitu terik? Apakah ini   perjalanan menuju Padang Mahsyar  itu?
”Masya Allah, berarti akuu....” teriaku dengan suara yang tak jelas di gendang telinga. ”Astaghfirullah.... bahkan telingaku sendiri tak bisa mendengar ucapanku.....” Dengan sekuat tenaga aku mencoba menggerakan kembali kakiku untuk bisa bergabung dengan rombongan manusia yang tergesa-gesa itu. Namun tetap saja kakiku terasa kaku dan berat untuk digerakan.
”Yaa Allah.... jika ini karena dosa dan salah semasa hidupku, ampunilah aku... izinkan aku bergabung  dengan mereka untuk menggapai ridho-Mu yaa Robb. Jangan tinggalkan aku dari rombongan mereka yang telah Engkau beri ampunan dan ridho-Mu yaa Allah...,” ucapku separuh terisak. Meski aku tahu tak ada lagi pertaubatan setelah kematian membatasi hidupku, namun aku tak peduli! Aku ingin terus berteriak, dan mohon ampun atas segala kesalahan dan dosaku semasa hidupku.
”Yaa Allah, ampuni kesalahan dan kelalaianku dalam menyembah dan mengabdi pada-Mu, ampuni semua kelalaianku yaa Robb....” teriakku putus asa.  Detik terakhir dari teriakan itu tiba-tiba sebuah angin kencang bertiup dan menerbangkan semua yang dilaluinya. Debu-debu dan pasir di sekitarkupun mendadak membadai. Begitu juga aku yang makin bingung dengan apa yang tengah terjadi. Tubuhku   tersedot diantara putaran anginnya,  dan terhempas diantara debu dan pasir yang menggunung di depanku. Tak ada lagi yang dapat kurasakan, semuanya begitu cepat berlalu, bahkan sebelum aku bertakbir, tubuhku makin terlempar jauh entah kemana. Hingga beberapa detik kemudian angin yang serupa puting beliung ini telah menghempaskan aku kembali di sebuah dataran yang penuh dengan bebatuan cadas.
Kondisinya terasa berbeda dibandingkan padang sahara yang baru saja kualami, meski tetap tak kulihat tetumbuhan di sekitar bebatuan cadas ini, namun terasa begitu sejuk dan teduh. Kondisinyapun terlihat temaram, dengan bias jingga yang kemerahan. Entah ini waktu senja atau mulai terbitnya fajar. Namun sekelilingku terdengar  begitu sepi dan lengang. Bahkan suara desir anginpun nyaris tak terdengar. Alam mana lagikah ini?
”Yaa Allah, dimana lagi ini? Akan Engkau tempatkan kemana lagi tubuh kotor ini yaa Robb...,” suaraku lirih. Kali ini terdengar begitu jernih dan jelas di telingaku. Tangan dan kakikupun   kini dapat kugerakan   dengan leluasa, seperti teraliri udara segar yang menyelusup di sekujur tubuhku.
Perlahan-lahan kulangkahkan kakiku menuju bebatuan yang terhampar begitu luas di hadapanku. Masih dalam keadaan hening, matakupun berputar berkeliling, mencoba mengenali sekitarku. Namun tetap saja sebuah daratan asing yang belum pernah aku lihat sama sekali, bahkan tak pernah kulihat sekalipun kondisi alam seperti ini. Sementara kemilau langit jingga makin berarak di ujung bianglala. Seberkas kilatan cahaya putih yang membarengi di bias warnanyapun nampak memagut kaki langit nun jauh disana. Aku makin terasing di daratan yang sepi dan lengang seperti ini.
Sayup-sayup telingaku seolah mendengar lafadz suci dari sebuah arah.  Nadanya yang syahdu seolah mengingatkanku akan waktu yang baru saja aku masuki. Itu gema adzan maghrib. Suaranya makin jernih diantara cakrawala langit. Semakin jernih diantara padang bebatuan yang tak kutemukan satu suraupun. Sesaat hatiku bergetar, ”kalau benar itu sebuah panggilan sholat, berarti aku masih diberi kesempatan untuk sujud!”
Aku berharap cemas kalau ini memang gema adzan menjelang waktu maghrib, dan itu berarti Allah masih menyerukan sholat kepadaku. Artinya aku belum beada di alam akhirat! Aku belum mati, aku masih berada di dunia, aku masih diwajibkan untuk tunduk dan khusyuk menyembah-Nya. Aku segera bertayamum dengan debu-debu yang terhampar di bebatuan. Berniat untuk melaksanakan sholat maghrib, dan betul-betul berupaya   khusyuk untuk menghadap-Nya.
Dengan takbiratul ikhram yang dalam, kucoba untuk menenggelamkan diri pada penghambaan yang tulus. Penghambaan yang satu, tak lagi berniat men-tuhankan siapapun, kecuali Allah azza wazzalla. Dengan bekal hafalan yang tak seberapa, kucoba untuk mengkhusyukan sepenuh hati dan menyerahkan diri ini. Hingga tak terasa bulir-bulir bening mengalir di kedua pipiku. Dengan sholat maghrib itu, aku berharap kalau Allah berkenan memberikan ampunan dan ridho-Nya kepadaku.
Selepas sujud terakhir, kulafadzkan tahiyat dengan penghambaan sepenuh hati. Benar-benar berharap kalau Allah berkenan dengan sholatku kali ini. Aku juga berharap kalau Allah benar-benar bisa hadir di hatiku, di kebingunganku, dan dikeputusasaanku....
”Yaa Allah, begitu banyak kealpaan dalam hidupku, seperti juga begitu banyak kelalaian yang aku lakukan selama ini, namun bukan berarti karena aku berniat menjauh dari kuasa-Mu. Bukan karena aku mengagungkan tuhan selain Engkau yaa Robb. Namun bila itu telah menjadikan aku jauh dari titian-Mu, jangan tutup ridho-Mu untuk jiwa yang terasing dan tak berharga ini....,” aku terisak sendiri. Kesepian dan kesunyian ini makin membuat hatiku teriris dan hampa. Merasakan begitu banyak dosa yang telah aku lakukan di langkah hidupku.
” Aku telah menjadi seorang abdi negara dan aku selalu mencoba istiqomah dengan lingkungan birokrasi yang kerap menelikungku. Namun bila kerap kali aku tergelincir dan melupakan aturan-Mu, ampunilah kemunafikan dan ketakberdayaanku karena profesiku itu, yaa Allah....
Aku telah menjadi seorang suami dan seorang ayah, dan aku berjuang untuk berarti bagi anak dan isteriku. Namun bila ikhtiarku sangat jauh dari ketulusan dan keihklasan seperti yang Engkau harapkan, ampuni kekeliruan dan kebodohanku itu yaa Allah.....
Ya Robb, hamba memiliki orang tua     yang dulu membesarkan dan menyayangiku. Aku selalu berusaha  memberikan yang terbaik dengan mendengar nasehat dan memuliakannya, yaa Robb.... Namun bila   ada banyak tingkahku yang ternyata membuat hati mereka terluka, ampuni sikap dan bhaktiku yang tak sempurna itu yaa Allah. Ampuni segala kekurangan dan ketamampuanku untuk tetap berada di jalan-Mu yaa Robb.... ampuni kenistaan dan ketakberhargaan diri ini... ampuni hamba yaa Allah....”
Usai kulafadzkan doa hatiku, sebuah angin dingin tiba-tiba berdesir membelai surai rambutku. Langit yang sedari tadi menjingga berubah menjadi magenta dan bersaput gelap di beberapa bagiannya. Mungkin malam mulai turun sepenuhnya dan mengganti senja yang senyap itu. Beberapa cahaya bintang yang sedari tadi berkelip juga mulai menunjukan pendarnya. Namun kondisi seperti itu tak merubah sepi lengang yang ada. Hal itu pula yang membuatku melangkah dan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Semua penjuru mata angin coba aku telusuri, namun tetap hanya langit yang mulai menghitam berhias bintang-bintang yang mulai bermunculan.
”Yaa Allah, apakah sebenarnya yang tengah terjadi...” bathinku terus berkecamuk mencoba mencari jawab akan semuanya ini. Hingga malam kian jatuh, langkah kakikupun terus menapaki bebatuan yang   terhampar di depanku. Hingga di genap hitungan langkah ke sembilan puluh sembilan, telingaku seperti menangkap sesuatu. Sebuah suara! Yah, sebuah suara yang tengah bersenandung. Suara seorang perempuan dengan senandung lirih yang rasanya begitu kuhapal.
Perlahan-lahan kudekati sumber suara yang makin lirih itu. Namun semakin aku mendekat, semakin berat pandangan mataku. Hingga ketika pandanganku semakin kabur dan nanar, aku merasa kalau tubuhku limbung dan kemudian jatuh. Aku jatuh, namun tak kurasakan sakit di sekujur tubuhku. Hanya rasa lelap dan lenanya tidurku. Senandung itu bagai membuaiku dan mengembalikanku pada masa ketika aku dalam pelukan almarhumah ibuku. Aku benar-benar terlelap setelah itu. Tinggal sayu-sayup lirih yang menguasi gendang telingaku kini.
Tak lelo, lelo, lelo dung.... cep menengo koe ojo nangis.......”[15]
Sesaat suara lirih itu terhenti berganti usapan lembut yang kini kurasakan di ujung rambutku. Belaian yang begitu halus, seolah mengalirkan ribuan kesejukan di sekujur tubuh. Belaian tangan yang dulu kurasakan begitu erat di kegalauan dan keputusasaan hidupku. Belaian seorang wanita tua yang begitu dekat dan akrab dalam hidup, dulu hingga kini.
Mimi wis seneng, kacunge wis rumah tangga. Mandiri lan ora nyusahaken wong tua. Bli akeh sing dijaluk Mimi Cung, sing pada akur ngejalani rumah tangga. Pada sehat lan ora pada padu... Mimi wis puas dhelengakeun anak-anak kabeh pada sehat, gede  lan rumah tangga kabeh. Siji pesen Mimi sing saling bantu karo sedulur, sing saling ngedukung, supaya Mimi terus ngerasa adem[16]....”
Sesaat aku membuka mataku. Kudapati kalau aku tengah tidur di pangkuan seorang wanita tua dengan baju lusuhnya. Wanita yang begitu kuhapal wajah dan senyumnya. Kulitnya yang coklat kehitaman, serta beberapa surai rambutnya yang memutih adalah sosok dari seorang wanita yang berada di tahta tertinggi ruang hatiku. Dia ibuku, wanita teragung itu berkenan hadir dan membelai rambutku...
Mimi... pripun kabare, hariste kangenn[17]...”
Perempuan tua itu tersenyum sesaat, sebelum akhirnya membelai rambutku kembali. Namun detik pertama tangan keriput itu menyentuh rambutku, detik itu pula sosoknya mulai membayang di mataku. Perlahan-lahan iapun mulai menipis dan menghilang dari pandanganku...
”Mimi....” ucapku halus mencoba mencari sosok perempuan tua yang sedari tadi memangku kepalaku. ”Mimi... Mimi... Mimi....”
Seketika tubuhku serasa bergetar dan kembali terlempar entah jauh kemana. Hanya saja kali ini aku seperti terbang dan melayang diantara mega-mega malam yang bertaburan bintang. Diantara deru dan belaian angin malam yang sejuk menyegarkan, dan rasa hati yang penuh warna, tubuhku bagai kembali di keternyataan cahaya yang menyilaukan di hadapanku. Begitu silaunya hingga mataku seakan buta sesaat. Dan kesemuanya mendadak berubah ketika perlahan aku membuka mataku.  Langit yang bertaburan bintang, dataran bebatuan yang berpayung senja jingga, juga padang sahara yang terik hilang semua. Tak kulihat lagi semuanya itu, berganti warna coklat dengan deru exhouse fan yang terdengar lelah berputar. Ini kamarku! Jadi aku sudah kembali ke kamarku....

”Istighfar Yah...  , bangun  ...,” sebuah suara halus terdengar di telingaku. Sentuhan tangan lembutnya juga kurasakan dibahuku. ”Bangun Yah...”
Seketika aku terjaga dari tidurku. Di sampingku nampak isteriku menatapku cemas,, entah apa yang gundamkan hingga tatapanya begitu lurus ke arahku. ”Istighfar yah...”
Astaghfirullahalladziim...
 ”Ayah  mimpi lagi?” tanya perempuan berwajah tirus itu. Tangan mungilnya nampak membelai-belai punggungku. ”Ayah lupa baca doa menjelang tidur?”
Aku tak langsung menjawab, mencoba mengenali dengan yakin apa yang sedang terjadi. Mencoba mengingat apa   yang baru saja berlalu. Jika memang aku bermimpi lagi, mengapa aku merasa kalau perjalanan malam ini begitu membekas di tubuhku. Rasa panas itu, rasa sejuk itu, dan belaian lembut itu...
”Ayah mimpi bertemu Ibu lagi, Bunda...”
Subhanallah... semoga itu benar-benar ruh Ibu yang atas izin-Nya datang bersilahturahmi pada Ayah...,” ucap isteriku begitu tulus dan terdengar begitu menggembirakanku. ”Mungkin beliau tahu Yah....”
Aku menatap wajah tirus isteriku lurus-lurus, menunggu kelanjutan ucapannya.
”Mungkin almarhum Ibu tahu, kalau sebentar lagi Ayah akan menunaikan janji dan bhakti untuknya. Sebentar lagi Ayah akan menunaikan janji hati yang selama ini telah Ayah perjuangkan...”
”Berhaji maksud Bunda?”
”Insya Allah, mungkin begitu Yah. Bukankah besok adalah hari terakhir pembekalan Ayah dalam mengikuti persiapan menjelang keberangkatan...” isteriku menjelaskan  jadwal keberangkatan hajiku yang hanya tinggal menghitung hari itu.
Astaghfirullah... Bunda benar, ”kataku menyadari kehilafanku, ”mungkinkah karena hal ini almarhum Ibu datang kembali di mimpi Ayah. Mungkinkah Allah berkenan memperjalankan ruhnya untuk datang menyampaikan kegembiraannya pada ayah...”
”Semoga saja Yah, karena sejatinya mereka yang telah tiada bukan berarti tidak ada. Akan tetapi tetap bisa merasakan apa yang dirasakan sanak keluarganya, meski alam kita berbeda...”
”Yaa Allah terima kasih atas mimpi yang Engkau berikan padaku malam ini... jika memang itu pertanda kebaikan untuku, semoga ada ridho-Mu di titian hidup ini yaa Robb...”
Malam beranjak pergi, seperti juga perginya mimpi yang baru saja kualami. Sebuah mimpi yang lahir dari ikhtiar hati untuk sebuah penunaian janji. Sebuah janji dari serpihan nuraniku... izinkan aku berikhram untuk Ibuku, yaa Allah...

*******










[1] Sudah pulang, Nak?

[2] Sudah, Bu…
[3] Iya, Bu…
[4] Tumben sudah ada disini, Am, tidak berjualan yaa?
[5] Jualan Jim, tapi cuma sampai setengah sembilan aja
[6] Sudah seminggu ini, setengah Sembilan ke sana, Kartini yang berjualan keliling…
[7] Ooh, ini yang biasanya dibawa berkeliling jualan itu ya?
[8] Bu… lapar sekali
[9] Kepala Ibu pusing, tolong belikan PPO (sejenis obat gosok pengusir masuk angin) pulangnya yaa…
[10] Ibu sakit ya, dibawa ke puskesmas saja, mumpung masih buka?
[11] Sudah, anaknya jangan nangis terus, itu ibunya sudah sadar…
[12] Ibu, Harist minta maaf yaa…
[13] Doa yang dikhususkan
[14]  Yaa Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, sejahterakanlah dia dan maafkanlah kesalahan-kesalahannya, muliakanlah tempat kembalinya, luaskanlah tempat tinggalnya, dan bersihkan dia dengan air, salju, dan embun. Bersihkanlah dia dari segala kesalahan dan dosa, sebagaimana bersihnya pakaian putih dari segala kotoran. Gantilah untuknya rumah yang lebih bagus daripada rumahnya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, suami yang baik daripada suaminya, masukanlah dia ke syurga, lindungilah dia dari siksa kubur dan fitnahnya, serta lindungilah dia dari siksa api neraka.
Yaa Allah, ampunilah kami orang-orang yang hidup, yang mati, yang menyaksikan, yang ghaib, yang kecil, yang besar, yang laki-laki dan yang perempuan.
Yaa Allah, janganlah Engkau menghalangi sampainya pahala kepada kami, dan jangalah Engkau sesatkan kami sepeninggalnya. Dengan rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Pengasih. Segala puji bagi Allah yang menguasai seluruh alam….  (Doa Khusus bagi Mayat)
[15] Nyenyak-nyenyaklah nak… ayo diam janganlah menangis….
[16] Ibu sudah senang, kamu sudah berumah tangga. Mandiri dan tidak menyusahkan orang tua. Tidak banyak yang Ibu minta, nak, yang akur saja kamu menjalani rumah tanggamu. Yang sehat dan jangan sampai ada bentrok... Ibu sudah puas melihat anak-anak semuanya sehat, pada besar dan berumah tangga semua. Satu pesan Ibu, saling  bantulah kalian sesama saudara, yang saling mendukung, supaya Ibu terus merasa adem...
[17] Ibu bagaimana kabarnya, haristnya kangen...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar