Satu
Rindu Hati di Sepertiga
Malam
Perempuan bertubuh kurus itu sesekali mendongakan
wajahnya dari balik jendela kelas ini, surai rambutnya nampak melekat di
dahinya yang kusam. Rupanya deras hujan yang turun tak urung membasahi sebagian
wajahnya, meski payung lapuk diposisikan
untuk menghalanginya. Masih setengah sembilan,
setidaknya baru setengah jam
kedepan pelajaran di kelas satu ini
usai. Dan itu artinya perempuan kurus dengan baju hampir melekat di tubuhnya
itu harus berdiri di samping kelas ini. Matanya yang masih terlihat lelah itu
seakan tak menghalanginya untuk tetap berdiri dan menunggui kepulangan anaknya.
“Jadii sekali lagi Ibu sampaikan, mulai hari ini kalian
harus mau membantu ii…,” suara perempuan berbaju rapih dengan tahi lalat di
dagu itu nampak menunggu lanjutan suara untuk menjawab.
“Ibuu….!!!” Terdengar suara koor melanjutkan kalimatnya
yang terpotong.
“Harus nurut apa kata iii…..”
“Ibuu…!!!”
“Jangan pernah membantah dan melawan iii….”
“Ibuu…!!!” begitulah koor suara anak-anak kelas satu yang
baru masuk sekitar lima hari itu terdengar. Masa-masa penanaman ilmu
kepribadian dasar bagi mereka yang baru mengenal pendidikan. Sungguh, bahan
ajar yang sederhana, namun memberikan nilai yang sangat mendalam bagi anak-anak
yang baru mengenal bangku sekolah itu. Khususnya aku, yang memang hanya
mengenal ibu, karena ayahku berlayar dan
entah kapan singgah atau pulang ke rumah. Dari kecilku hingga aku mulai masuk
sekolah dasar, yang kutahu memang hanya Ibu. Sosok perempuan kurus paruh baya,
yang selalu tak rapi dengan kerudung karetnya.
“Baik, kalau semuaya sudah mengerti, berarti kita bersiap
untuk puuu…”
“Laanggg….!!!” kali ini suara koor terdengar lebih
kencang dari sebelumnya, mungkin luapan emosi gembira karena pelajaran usai. Dan itu berarti kembali kumpul ke rumah.
“Baik sekarang mari kita baca doa sama-sama….” seru perempuan yang
terlihat tegas tapi ngayom sebagai guru itu. Bu Marni memang di kenal baik oleh
siapa saja, itulah mengapa ia begitu cepat akrab dengan kami semua yang rata-rata
baru pertama kali mengenal bangku sekolah. Pada zaman itu taman kanak-kanak
memang tidak tersebar luas, sehingga sekolah dasar betul-betul pengalaman
pertama bagi sebagian besar kami.
“Wal ashri innal insyana lafil husri illa, illaa
ladziinaa aamanu, wa amilushoolihaati wa
tawwashoubil haqqi, wa tawwa shoubishobr…”
lafadz surah Al ashr ini adalah surah kedua yang kami hapal setelah
Al fatihah. Karena setiap pulang
sekolah kami memang membaca doa ini bersama-sama.
“Baik,
karena di luar hujan, Ibu berpesan agar kalian lebih berhati-hati di jalan yaa…”
“Iya Buu…” koor kami masih terdengar sangat semangat.
“Selamat pulang
yaa…,” kata Bu Marni seraya mengulurkan tangannya pada kami yang bergiliran
keluar kelas. Satu per satu kamipun mencium tangannya sebelum melangkah keluar
kelas. Di luar beberapa orang tua sangat bersuka hati menyambut kami untuk
kembali ke pengasuhan mereka. Beragam penampilan juga terlihat demi menunjukan
strata social mereka pada orang tua yang lain. Dari yang bersahaja, apa adanya,
hingga yang bak toko mas berjalan juga ada.
Diantara mereka yang berdiri dan menyambut dengan wajah
suka cita itu adalah ibuku. Perempuan paruh baya dengan pakaian lusuhnya. Ibu
pasti tak sempat berhias, karena sebetulnya pukul sembilan pagi adalah waktunya
berjualan sayur keliling kampung. Ia
sengaja menyempatkan untuk menjemputku karena ingin memastikan kalau aku pulang
dengan selamat. Apa lagi di hari hujan seperti ini, Ibu pasti sangat
mengkhawatirkanku.
“Sampun Mi,” [2]kataku seraya menyambut uluran tangannya lalu menciumnya.
Seperti biasa Ibu akan mengelus rambutku bila aku sedang mencium tangannya.
Entah apa yang selalu diucapkannya, namun yang jelas selalu ada udara segar
yang kurasa setiap ia meniup-niup ubun-ubunku.
“Belajar apa tadi?”
“Adab pada kedua orang tua, Mi…” jawabku yang berjalan di sampingnya. Sesekali cucuran hujan
nampak masih membasahi kami, meski hujan tak lagi deras. Mungkin karena payung
ibu memang tak lagi utuh, hingga besaran diameternya yang terkoyak di beberapa
sisi tak lagi dapat menaungi kami berdua.
“Alhamdulillah,
jadi Harist sudah diajarkan adab kepada orang tua yaa…” kata ibuku seraya
merapihkan beberapa helai rambutku yang basah tertimpa air hujan. “Kalau sudah
tahu pelajaran seperti itu, berarti Harist sudah harus mulai mengerti bagaimana
cara menjawab dan bersikap sama Mimi
khan?”
Ibu tersenyum kembali mendengar ucapanku yang mencoba
menjawab dengan kalimat halus bahasa
sehari-hari kami. Tangan rapuhnya makin erat mendekatkan kepalaku ke tubuh
ringkihnya.
Perjalanan pulang baru seperempat jarak, ketika hujan
lebat tiba-tiba turun kembali. Seperti biasanya, beberapa ruas jalan Kapten
Samadikunpun mulai terendam banjir. Mungkin
karena memang berada di dataran rendah di bandingkan ruas jalan Moh. Toha atau
Jalan P. Diponegoro, sehingga ruas jalan ini kerap mendapat kiriman air dari
sana. Hanya beberapa menit, jalanpun tak
bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, apalagi pejalan kaki seumuranku. Kalau
tak hati-hati aku bisa hanyut terbawa arus banjir hingga ke muara pantai.
Melihat kondisi hujan dan banjir yang makin meninggi, Ibu
memutuskan untuk berteduh sesaat di emperan toko H. Asmari, toko kelontong yang
cukup besar pada saat itu. Berandanya memiliki toping asbes yang cukup lebar
untuk siapa saja yang menumpang berteduh. Selain kami ada beberapa orang juga
berteduh di sana, kebanyakan para pejalan kaki dan penjaja makanan keliling.
Salah satu dari mereka ada yang terlihat begitu akrab pada ibuku, perempuan
berperawakan besar dengan se-cepon
makanan yang terbungkus dari daun jati. Aku juga beberapa kali pernah
melihatnya melintas di kampungku.
Namanya Jubaedah, namun karena badannya yang jumbo
orang-orang memanggilnya Bi Jimbo. Pekerjaannya adalah penjaja Nasi Jamblang, makanan khas dari
orang-orang di kampungku. Dia sangat akrab dengan ibuku, mungkin karena
sama-sama pedagang keliling dengan rute yang hampir sama. Hanya bedanya, kalau
ia menjual masakan matang sedang ibuku bahan mentahnya, alias ikan dan sayuran.
“Tumben wis ana
ning kene sih Am, bli dagang tah?”[4]
“Dagang Jim, cuma
sampe setengah sanga doang[5],” jawab ibuku,
“seminggu kien setengah sanga mananang, Kartini sing mider….”[6]
“Ini siapa ya Am?” tanyanya seraya melirik lurus ke
arahku.
“Harist, anaku yang ke enam, dia baru masuk sekolah seminggu ini…,” jawab ibuku
seraya melirik dan membelai rambutku yang masih basah terkena air hujan.
“Ooh, sing biasane
digawa melu mider kaen tah?” [7]katanya seolah mengingat sesuatu, “tidak kerasa yaa,
sudah besar dan sekolah… “
“Iya Jim, kian hari kian banyak kebutuhan anak-anaku,”
jawab Ibuku lagi, ”dengan masuk sekolahnya si Harist, berarti tanggung jawabku
untuk membiayai sekolah ada empat orang sekarang…”
“Iya yah, untuk ukuran pedagang sayur sepertimu pasti
sangat berat yah, Am..”
“Iya Jim, tapi aku berusaha agar semua anak-anaku
bersekolah, agar mereka tidak bodoh dan buta huruf seperti ibunya…”
“Kamu memang ibu yang baik Am, meski suamimu terkadang
tidak jelas pulangnya, tapi tetap saja berjuang mencukupi semua kebutuhan
anak-anakmu,” kata Bi Jimbo melanjutkan, “kalau saja aku yang di posisimu entah
apa aku mampu. Hidup sendirian tanpa siapa-siapa yang kuurusi saja sudah susah
seperti ini…”
Percakapan mereka berlangsung hingga beberapa saat, namun
hujan nampaknya belum mau berhenti sepenuhnya. Rintik hujannya masih terlihat
begitu tegas di mata kami. Namun bukan itu yang membuat ibu masih tetap
berteduh di beranda toko kelontong ini, akan tetapi kondisi banjir sepaha orang
dewasa yang Nampak masih menggenangi jalan pulang kami. Ia tahu, untuk ukuran
tubuh sepertiku pasti tak mungkin melewati itu. Aku sendiri sebetulnya malah
berdoa untuk tetap di kondisi seperti itu, karena dengan demikian aku bisa
berenang sepanjang perjalanan pulang. Hehehehe… pemikiran anak seusiaku memang
terkadang bertolak belakang dengan pikiran manusia dewasa.
“Mii… Harist
laper….,” kataku merasakan sesuatu di perutku. Memang sudah lazimnya di kondisi
dingin seperti itu, kita memang gampang sekali lapar.
“Iya cung, sabar yaa, sebentar lagi banjirnya juga surut,
kita bisa pulang dan makan…,” kata ibuku sambil mengusap kembali rambutku.
“Tapi Harist pengin roti….,” kataku seraya menunjuk pada
barisan roti mentega yang berjajar rapi di toko kelontong itu.
Ibuku tersenyum menggeleng, pasti sangat berat jika ia
harus melakukan itu kepadaku. Namun Ibu memang tak pernah mengajarkan kami
anak-anaknya, untuk jajan di warung, apalagi di jam makan seperti sekarang ini.
Ibu selalu mendisiplinkan kami untuk makan apa yang telah di sediakan di rumah,
dan jajan adalah aktifitas tambahan dengan urutan kesekian, itupun bila ada
rezeki berlebih.
“Sabar yaa Cung…,” ibuku masih tetap dalam pendiriannya.
Entah mengapa, biasanya ia akan luluh bila aku sudah merengek seperti itu,
namun kali ini ia tak begitu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya berkeras
seperti itu. Jarinya nampak memeriksa kantung bajunya beberapa kali, seperti
mencari sesuatu. “Mimi ngga bawa
uang, Cung…” katanya kemudian.
Mendengar itu akupun langsung tertunduk diam dan tak mau
lagi merengek untuk meminta roti. Aku ngga mau Ibu terlihat bersalah karena
rengekanku. Sebaliknya Ibu malah menatapku dengan bola mata yang berkaca-kaca,
entah apa yang ada dalam fikirannya. Yang jelas aku paling tidak suka kalau
sudah melihat mata Ibu seperi itu. Karena kondisi mata seperti itu akan membuat
hatiku bergetar dan ingin menangis pula.
“Kita pulang saja ya Cung,” katanya kemudian seraya
berjongkok di depanku, “cepat naik, biar Mimi gedong kamu supaya kita bisa
pulang…”
“Gendong Mi?”
“Iya, ayo cepat, biar kamu bisa langsung makan khan?”
katanya lagi seraya menarik tubuhku untuk cepat naik ke punggungnya. Tangannya
yang rapuh itu ternyata begitu kuat menarikku, membuatku tak lagi bisa
menghindar untuk naik ke punggungnya. Sedetik kemudian akupun sudah berada di
atas punggungnya yang tak pernah lelah menanggung beban barang dagangan itu.
Diantara debur rinai yang masih terlihat jelas, Ibuku
mulai berjalan seraya menggendong tubuhku. Langkah kakinya tak pernah lelah
terus menembus arus banjir yang makin menderas menuju arah muara. Sesekali ia
juga berjongkok untuk memeriksa jalan yang akan dilalui. Dengan permukaan yang
tertutup air bercampur tanah seperti itu kami memang tak dapat melihat lubang-lubang
yang memang banyak ke arah rumah kami. Sesekali pula ia diam dan merapihkan
letak tubuhku di punggungnya, ia ingin memastikan kalau aku tetap aman di
posisiku.
Beberapa pengguna jalan yang melintas kencang nampak
memercikan air ke arah kami, beberapanya
malah terkena wajah Ibu. Namun tak sedikitpun kudengar kalau Ibu marah, ia
hanya menggeleng dan tetap memegangi pantatku untuk tetap di punggungnya.
Beberapa kali terjadi seperti itu, namun Ibu malah makin berkeras dan
mempercepat langkahnya menggendongku untuk cepat sampai rumah. Hingga beberapa lama kemudian langkahnya sampai di depan
gang menuju rumahku. Ia menurunkan aku di sana, untuk berjalan bersisian di
jalan yang sudah tak terlalu banjir itu. Meski udara masih menyisahkan basah
dan dingin, namun tetap tak menghalangi tubuh Ibu untuk berkeringat. Ia
kelelahan karena menggendongku hampir satu jam lebih…
“Setelah ini kamu ganti baju, Mimi buatkan lauk buat
makan siang,” katanya seraya mengelap sebagian wajahnya yang nampak makin kusut
karena lelah itu.
“Iya Mi…,” ucapku langsung menghambur ke arah kamar. Di sana nampak Ruby masih lelap tertidur. Anak itu memang
menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk tidur setelah bermain
sendirian. Biasanya Mbak Kartini atau Mbak Atin yang menjaganya, namun karena
Mbak Kartini menggantikan Ibu untuk berjualan, jadilah anak empat tahun itu
bermain sendirian di rumah.
Siang mulai datang, ketika hujan mulai benar-benar
berhenti. Mbak Kartini juga sudah pulang dari berjualan dan mulai menghitung
pemasukan hari ini. Sebagai anak tertua yang belum menikah, ia memang
menunjukan bhaktinya lebih dari yang lain. Setelah selesai berdagang, biasanya
ia tidak langsung istirahat, akan tetapi membawa pakaian-pakaian kotor kami
untuk mencucinya di kampung sebelah. Di kampung Pesisir ini sedikit sekali yang
mampu berlangganan PDAM atau yang memiliki sumur. Kalaupun ada juga airnya
asin, sehingga tak bisa digunakan untuk mandi atau keperluan dapur.
Mbak Kartini harus pergi ke rumah Papih yang letaknya di
seberang kampung kami untuk mencuci dan mengambil seember air untuk keperluan
memasak keluarga ini. Papih adalah panggilan duda tua yang memiliki sumur
dengan air jernih dan tidak asin.
Sebagian besar tetanggaku juga melakukan aktifitas mandi dan mencuci ke sana.
Mungkin karena duda tua itu sangat baik dan membiarkan siapa saja melakukan
aktifitas harian itu di belakang rumahnya. Seperti Mbak Kartini yang membawa
sebakul penuh cucian siang itu, tak lupa tangannya juga menenteng satu ember
kosong yang akan ia pergunakan untuk membawa air untuk minum kami.
“Jangan lama-lama ya Kar, nyucinya…,” suara ibuku
terdengar serak.
“Iya Mi,” jawab
kakaku dengan sebakul cucian di gendonganya.
“Ndas Mimi puyeng…
tulung tukunang PPO balike yaa[9],” ucap Ibuku lagi, kali ini makin serak seraya
menyerahkan selembar uang ratusan.
“Mimi gering tah,
di gawa ning Puskesmas bae , mumpung masih buka?”[10]
“Ngga usah Kar, cuma masuk angin aja. Nanti juga sembuh,
belikan aja minyak angin tadi…,” kata ibuku yang masih memegang keningnya.
“Tapi Mimi gemetaran begitu…,” ucap kakaku khawatir.
“Ngga, ngga apa-apa Kar…Mimi cuma kecapean aja,” Ibu
terduduk lemas di kursi rotan, sementara tangannya masih terlihat memijit-mijit
keningnya. Namun beberapa saat
kemudian iapun terlihat lemah dengan tangan jatuh terjuntai. Ibu pingsan dengan
kelelahan yang amat sangat. Rupanya kondisi fisik ibu yang makin menua itu tak
lagi mampu menahan rasa lelahnya, ia benar-benar pingsan karena kelelahan
dengan aktifitasnya hari ini.
Seketika Mbak Kartini kalap, mengangkat dan membawa ibuku
keluar untuk segera dilarikan ke puskesmas. Sedang aku hanya bisa diam mematung
seraya menyesali diri, kenapa harus digendongnya dan membuatnya jatuh pingsan
seperti itu. Beruntunglah Ibuku memang hanya kecapaian, sehingga satu suntikan
vitamin membuatnya langsung kuat dan sadar. Tinggalah aku yang menangis
tersedu-sedu di sampingnya. Rasa menyesal yang sedemikian membuatku tak lagi
menahan tangisku…
“Mimi…. Mimi…,” aku masih tersedu-sedu disamping tubuh
ibuku. Meski tangannya yang keriput kini membelai rambutku, aku masih tetap
menangis. Begitu besar rasa sesalku hingga tangisan ini rasanya tak cukup untuk
ungkapkan penyesalanku. Andai saja aku tak digendongnya, andai saja aku tak
merengek minta makan yang berakibat Ibu memutuskan untuk pulang menabrak
banjir. Andai saja… Oh, Ibu begitu tulusnya hatimu hingga kau korbankan kondisi
fisikmu untuk menyenangkanku…
Aku masih terus menangis dan menangis. Rasanya aku tak
puas untuk menunjukan kalau aku begitu sangat menyesal telah membuat Ibu
pingsan. Aku ingin Ibu tahu kalau aku sayang padanya dan tak mau lagi
membuatnya jatuh pingsan seperti itu. Aku ingin membuatnya bahagia, aku tak
ingin ia terus susah karena anak-anaknya. Aku ingin Ibu gembira, aku ingin Ibu
tak merasa susah dengan apa yang ada di sekitarnya.
“Mimiii…. Mimiii….!!!” Isaku makin kencang menyuarakan
apa yang aku rasakan. Hingga pandangan mataku mulai kabur dan gelap terasa
menyelimuti ruangan puskesmas ini. Tubuhku juga menggigil menahan rasa yang ada
di hati ini, perlahan-lahan hingga cahaya terang begitu berpendar dari arah
depanku. Akupun akhirnya jatuh tersungkur di bawah ranjang ibuku….
“Yah… Ayah…bangun…
Bangun Yah…,” sebuah suara kembali terngiang di telingaku. Kali ini
jernih dan halus di telingaku. Intonasinya juga terdengar begitu sabar
menghadapi aku yang tak juga segera tersadar dari mimpi masa lalu ini.
“Mimiii…,” aku masih terisak dengan memanggil ibuku.
“Yah… bangun Yah, istighfar Yah… istighfar,” suara itu
terdengar lagi.
“Astaghfirullahaladziim…,” ucapku seketika seraya bangun
dari tidurku. Aku masih merasa berada
di waktu aku masih kecil, ketika isteriku membelai rambutku. Air mataku juga
Nampak masih menitik di ujung mataku.
“Ayah mimpi apa? Kenapa sampai mengigau seperti itu?”
tanya isteriku.
“Ayah mimpi bertemu almarhum Ibu …,” kataku pelan, “Ibu pingsan gara-gara
menggendong Ayah…”
“Astaghfirullah kenapa bisa begitu,” isteriku berkomentar
lagi, “tapi itu khan cuma mimpi Yah…”
“Iya tapi benar-benar terjadi dimasa lalu, Ayah seolah
diingatkan kembali dengan peristiwa itu,” kataku mencoba mengingat lebih detil
mimpiku.
“Istighfarlah Yah, Allah maha tahu dengan segala
permasalahan hamba-Nya. Mohonkan saja maaf untuk almarhum Ibu Ayah dan rasa
bersalah Ayah di masa lalu…”
“Iya Bunda…”
“Sudah hampir jam tiga Yah, sebaiknya Ayah sholat Tahajud
saja. Pasrahkan semuanya ini pada Allah, insya Allah Ayah akan bisa sedikit
lega,” ucap isteriku seraya merapihkan selimut bekas tidurku.
“Iya…,” aku mengangguk membenarkan, “sebaiknya Ayah
sholat tahajud saja. Mungkin ada yang coba almarhum sampaikan pada Ayah, hingga
bermimpi seperti ini…”
“Kalau begitu, biar Bunda siapkan air panas dulu yah,”
kata isteriku seraya beranjak menuju dapur untuk memasak air. Tinggalah aku
sendiri yang kembali mengingat mimpi yang begitu jelas itu. Mimpi yang
benar-benar membawaku seolah kembali di masa kanak-kanaku. Masa dimana limpahan
kasih sayang ibu kepadaku benar-benar tak berbatas. Kasih sayang yang tulus
dari seorang wanita yang begitu berharap kalau kelak anak-anaknya mampu menjadi
orang yang berguna dan bermanfaat. Ketulusan yang tidak bermotif untuk membalas
dan mengangkat derajatnya, ketulusan yang agung sebagai seorang ibu atas titah
wajibnya.
“Mi… kalau memang ada salah Harist dimasa lalu yang belum
sempat Harist mintakan maafnya, semoga Mimi sudi memaafkan dan meridhoinya. Yaa
Allah, kalau karena kelalaianku seperti itu, membuatku bermimpi seperti malam
ini, izinkan ruh ibuku untuk memberikan maaf padaku yaa Robb….
Izinkan ia dengan kuasa-Mu untuk mengampuni kealfaan
hatiku di masa lalu, izinkan ia dengan kuasa-Mu mengikhlaskan semuanya itu
untuku. Yaa Robb, kabulkanlah permohonanku, kabulkanlah permohonan maafku pada
ibuku…”
Air mataku tertumpah sudah. Entah yang keberapa kalinya
aku memintakan permohonan seperti ini, karena memang almarhum Ibu beberapa kali
datang dalam mimpiku. Aku tak tahu apa makna dari semuanya itu, yang jelas aku
memang masih merasa bersalah akan apa yang telah aku lakukan semasa hidupnya.
Apalagi di ujung usianya, aku tak sempat memintakan ridho dan maafnya atas
segala salahku. Hingga rasa bersalah itu
rasanya tak pernah pupus di kehidupanku.
“Mimi… Harist
njaluk maape yaa[12]…,” kataku lirih menutup dzikir penghantar fajarku. Sementara
tahrim sejuk lirih mulai membangunkan semua muslimin dan muslimat untuk kembali
sujud di awal hari ini.
Aku mengulangi sholat sunahku menyambut fajar dua rakaat,
kemudian perlahan kulafadzkan doa khusus untuk almarhumah ibuku. Doa wabil khusus [13]untuk
pengampuanan semua salahnya, kelapangan kuburnya, penerangan di jalan
kembalinya, hingga tempat terbaik yang semoga Allah ridho untuknya...
”Allaahummaghfirlahu warhamhu
wa’aafihii wa’fu ’anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’mad-khalahu waghsilhu bil-maa-i
wats-tsalji walbaradi wanaq-qihii minal-khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul
abyadhu minaddanasi wa abdilhu daaran khairam mindaarihii wa ahlam khairam min
ahlihii wa zaujan khairam min zaujihii wa ad-khilkul jannata wa a’idzhu min
’adzaabil qabri wa fitnatihii wa shaghiirinaa wa kabiirinaa wan dzakarinaa wa
un-tsaana...
Allahumma man ahyaytahu
minnaafa-ahyihii ’alal islaami wa man tawaf-faytahu min-naa fatawaf-fahu ’alal
iimaan. Allahumma laa tahrimna ajraha wa laa tudhil-lanaa ba’daha waghfirlanaa
walaha birahmatika yaa arhamar-raahimiin walhamdulillahi rabbil aalamiin...”[14]
****
Suara deru pasir yang bergerak karena angin yang melintas ini makin kencang
di gendang telingaku. Sementara udara panasnyapun terasa makin meningkat dan menusuk-nusuk kulit.
Gugusan awan yang melintas tak jua menyurutkan terik matahari yang begitu
menghujan titian tanah berpasir ini. Entah bagaimana awalnya, aku seolah berada
di atasnya dan bergerak tanpa tujuan. Seingatku Indonesia atau Banten tempat
tinggalku penuh dengan pepohonan hijau, tidak gersang dan panas seperti ini.
Apalagi padang pasir yang hampir memenuhi seluruh daratan yang kupijak. Bahkan sejauh mata memandang, hanya hamparan pasir yang
tergambar di mataku. Ada beberapa pohon di sekitar satu atau dua ratus meter ke
depan, namun itupun hanya liukan ranting-ranting pohon yang mengering. Tak
terlihat ada selembar daunpun di pucuk-pucuk dahannya. Entah tahun berapakah
ini, mengapa tempat tingalku berubah menjadi gurun sahara seperti ini.
Sesekali kuusap keringat yang meleleh di sekitar wajah
dan leherku, panas yang begitu menyengat ini seolah memicu seluruh permukaan
kulitku untuk berkeringat. Mungkin karena proses adaptasi tubuhku untuk tetap
membuatnya sejuk, sehingga keringat ini mengucur begitu deras. Beruntung
pakaianku juga dapat menyerap keringat sehingga kondisi basahnya turut membantu
tubuhku beradaptasi dengan panas yang makin menyengat ini. Sesekali pula aku
kencangkan ikat pinggang dari kain ikhrom yang kupakai ini. Tapii...
”Subahanallah,
aku berpakaian ikhram? Benarkah aku berpakaian ikhram?” ucapku terkejut bukan
kepalang. Setahuku aku tak berada di tanah para nabi, aku juga tak sedang dalam
perjalanan umroh atau haji, lalu dimanakah aku? Lalu ada apa dengan pakaian
yang kukenakan ini.
Belum habis rasa bingung dan heranku, tiba-tiba
serombongan manusia berpakain ikhram pula beriringan dan berjalan di
sisiku. Langkah mereka tergesa-gesa
seolah-olah hendak mengejar sesuatu, namun mereka seperti meracau atau berguman
tak jelas. Entah apa yang mereka ucapkan, namun dari sikap buru-buru dan
tergesa-gesa mereka seolah menggambarkan kalau mereka tengah mengejar sesuatu.
Dan mereka seolah takut tertinggal dari yang lain.
Melihat itu, aku mencoba menegur salah satu darui
rombongan manusia yang terlihat begitu tergesa-gesa tersebut. ”Maaf, Pak...
kalau boleh tahu, bapak-bapak ini sedang menuju kemana dan mengapa begitu
tergesa-gesa?”
Tak ada jawaban apa-apa dari mereka, semuanya diam. Hanya
saja salah satu dari mereka menunjuk ke sebuah gumpalan awan yang nampak berarak
di atas mereka. Awan itu bergerak perlahan namun pasti dan berjarak hanya beberapa ratus meter
dari mereka. Aku tak tahu, apakah rombongan manusia ini tengah berebut mengejar
awan putih itu. Ataukah ada sesuatu yang mereka kejar diantara bergeraknya
awan-awan itu.
”Apakah bapak-bapak ini mengejar awan putih yang bergerak
pelan itu?” tanyaku lagi
Kembali mereka tak bersuara, hanya salah satu dari mereka
yang mengangguk seolah membenarkan pertanyaanku. Namun detik berikutnya,
manusia berpakaian serba putih itu kembali tergesa-gesa berjalan meninggalkan
aku. Langkah mereka kini semakin cepat, seperti berlari-lari kecil, namun tetap
tak jelas entah menggumamkan apa. Beberapa dari mereka malah ada yang
mengangkat-angkat tangan seolah menggapai awan yang jelas-jelas jauh dari
kepala mereka.
Karena terdorong rasa ingin tahu, akupun akhirnya
membarengi langkah mereka dan mengikuti rombongan manusia berpakaian serba
putih itu mengejar awan-awan yang berarak di depanku. Namun hingga beberapa
langkah ke depan, kakiku seolah terasa berat dan sulit untuk digerakan. Tubuhku juga mendadak menggigil dan tak lagi
bisa bergerak, meski berulang kali aku
mencobanya. Hingga rombongan manusia berpakaian ikhram ini berlalu dari hadapanku, aku tetap tak
mampu untuk bergerak atau bergeser sedikitpun.
Sesekali tanganku menggapai mereka yang berlalu di
hadapanku, bermaksud meminta tolong. Namun seperti kakiku, tangankupun kini
sulit untuk kugerakan. Suarakupun
mendadak parau dan tak jelas untuk berucap. Kondisi apakah ini? Mengapa aku
jadi seperti ini? Dimanakah sebenarnya aku berada, apakah ini akherat? Apakah
aku berabris diantara para ruh yang tengah kebingungan mencari peneduh dari
sengatan matahari yang begitu terik? Apakah ini perjalanan menuju Padang Mahsyar itu?
”Masya Allah, berarti akuu....” teriaku dengan suara yang
tak jelas di gendang telinga. ”Astaghfirullah....
bahkan telingaku sendiri tak bisa mendengar ucapanku.....” Dengan sekuat tenaga
aku mencoba menggerakan kembali kakiku untuk bisa bergabung dengan rombongan
manusia yang tergesa-gesa itu. Namun
tetap saja kakiku terasa kaku dan berat untuk digerakan.
”Yaa Allah.... jika ini karena dosa dan salah semasa
hidupku, ampunilah aku... izinkan aku bergabung
dengan mereka untuk menggapai ridho-Mu yaa Robb. Jangan tinggalkan aku
dari rombongan mereka yang telah Engkau beri ampunan dan ridho-Mu yaa
Allah...,” ucapku separuh terisak. Meski aku tahu tak ada lagi pertaubatan
setelah kematian membatasi hidupku, namun aku tak peduli! Aku ingin terus
berteriak, dan mohon ampun atas segala kesalahan dan dosaku semasa hidupku.
”Yaa Allah, ampuni kesalahan dan kelalaianku dalam
menyembah dan mengabdi pada-Mu, ampuni semua kelalaianku yaa Robb....” teriakku
putus asa. Detik terakhir dari teriakan
itu tiba-tiba sebuah angin kencang bertiup dan menerbangkan semua yang
dilaluinya. Debu-debu dan pasir di sekitarkupun mendadak membadai. Begitu juga
aku yang makin bingung dengan apa yang tengah terjadi. Tubuhku tersedot diantara putaran anginnya, dan terhempas diantara debu dan pasir yang
menggunung di depanku. Tak ada lagi yang dapat kurasakan, semuanya begitu cepat
berlalu, bahkan sebelum aku bertakbir, tubuhku makin terlempar jauh entah
kemana. Hingga beberapa detik kemudian angin yang serupa puting beliung ini
telah menghempaskan aku kembali di sebuah dataran yang penuh dengan bebatuan
cadas.
Kondisinya terasa berbeda dibandingkan padang sahara yang
baru saja kualami, meski tetap tak kulihat tetumbuhan di sekitar bebatuan cadas
ini, namun terasa begitu sejuk dan teduh. Kondisinyapun terlihat temaram,
dengan bias jingga yang kemerahan. Entah ini waktu senja atau mulai terbitnya
fajar. Namun sekelilingku terdengar
begitu sepi dan lengang. Bahkan suara desir anginpun nyaris tak terdengar.
Alam mana lagikah ini?
”Yaa Allah, dimana lagi ini? Akan Engkau tempatkan kemana
lagi tubuh kotor ini yaa Robb...,” suaraku lirih. Kali ini terdengar begitu
jernih dan jelas di telingaku. Tangan dan kakikupun kini dapat kugerakan dengan leluasa, seperti teraliri udara segar
yang menyelusup di sekujur tubuhku.
Perlahan-lahan kulangkahkan kakiku menuju bebatuan yang
terhampar begitu luas di hadapanku. Masih dalam keadaan hening, matakupun
berputar berkeliling, mencoba mengenali sekitarku. Namun tetap saja sebuah
daratan asing yang belum pernah aku lihat sama sekali, bahkan tak pernah
kulihat sekalipun kondisi alam seperti ini. Sementara kemilau langit jingga
makin berarak di ujung bianglala. Seberkas kilatan cahaya putih yang membarengi
di bias warnanyapun nampak memagut kaki langit nun jauh disana. Aku makin terasing di daratan yang sepi dan lengang
seperti ini.
Sayup-sayup telingaku seolah mendengar lafadz suci dari
sebuah arah. Nadanya yang syahdu seolah
mengingatkanku akan waktu yang baru saja aku masuki. Itu gema adzan maghrib.
Suaranya makin jernih diantara cakrawala langit. Semakin jernih diantara padang bebatuan yang tak kutemukan
satu suraupun. Sesaat hatiku bergetar, ”kalau benar itu sebuah panggilan
sholat, berarti aku masih diberi kesempatan untuk sujud!”
Aku berharap cemas kalau ini memang gema adzan menjelang
waktu maghrib, dan itu berarti Allah masih menyerukan sholat kepadaku. Artinya
aku belum beada di alam akhirat! Aku belum mati, aku masih berada di dunia, aku
masih diwajibkan untuk tunduk dan khusyuk menyembah-Nya. Aku segera bertayamum dengan debu-debu yang terhampar di
bebatuan. Berniat untuk melaksanakan sholat maghrib, dan betul-betul
berupaya khusyuk untuk menghadap-Nya.
Dengan takbiratul ikhram yang dalam, kucoba untuk
menenggelamkan diri pada penghambaan yang tulus. Penghambaan yang satu, tak
lagi berniat men-tuhankan siapapun, kecuali Allah
azza wazzalla. Dengan bekal hafalan yang tak seberapa, kucoba untuk
mengkhusyukan sepenuh hati dan menyerahkan diri ini. Hingga tak terasa
bulir-bulir bening mengalir di kedua pipiku. Dengan sholat maghrib itu, aku
berharap kalau Allah berkenan memberikan ampunan dan ridho-Nya kepadaku.
Selepas sujud terakhir, kulafadzkan tahiyat dengan
penghambaan sepenuh hati. Benar-benar berharap kalau Allah berkenan dengan
sholatku kali ini. Aku juga berharap kalau Allah benar-benar bisa hadir di
hatiku, di kebingunganku, dan dikeputusasaanku....
”Yaa Allah, begitu banyak kealpaan dalam hidupku, seperti
juga begitu banyak kelalaian yang aku lakukan selama ini, namun bukan berarti
karena aku berniat menjauh dari kuasa-Mu. Bukan karena aku mengagungkan tuhan
selain Engkau yaa Robb. Namun bila itu telah menjadikan aku jauh dari
titian-Mu, jangan tutup ridho-Mu untuk jiwa yang terasing dan tak berharga
ini....,” aku terisak sendiri. Kesepian
dan kesunyian ini makin membuat hatiku teriris dan hampa. Merasakan begitu
banyak dosa yang telah aku lakukan di langkah hidupku.
” Aku telah menjadi seorang abdi negara dan aku selalu
mencoba istiqomah dengan lingkungan birokrasi yang kerap menelikungku. Namun bila
kerap kali aku tergelincir dan melupakan aturan-Mu, ampunilah kemunafikan dan
ketakberdayaanku karena profesiku itu, yaa Allah....
Aku telah menjadi seorang suami dan seorang ayah, dan aku
berjuang untuk berarti bagi anak dan isteriku. Namun bila ikhtiarku sangat jauh
dari ketulusan dan keihklasan seperti yang Engkau harapkan, ampuni kekeliruan
dan kebodohanku itu yaa Allah.....
Ya Robb, hamba memiliki orang tua yang dulu membesarkan dan menyayangiku. Aku
selalu berusaha memberikan yang terbaik dengan
mendengar nasehat dan memuliakannya, yaa Robb.... Namun bila ada banyak tingkahku yang ternyata membuat
hati mereka terluka, ampuni sikap dan bhaktiku yang tak sempurna itu yaa Allah.
Ampuni segala kekurangan dan ketamampuanku untuk tetap berada di jalan-Mu yaa
Robb.... ampuni kenistaan dan ketakberhargaan diri ini... ampuni hamba yaa
Allah....”
Usai kulafadzkan doa hatiku, sebuah angin dingin
tiba-tiba berdesir membelai surai rambutku. Langit yang sedari tadi menjingga
berubah menjadi magenta dan bersaput gelap di beberapa bagiannya. Mungkin malam
mulai turun sepenuhnya dan mengganti senja yang senyap itu. Beberapa cahaya
bintang yang sedari tadi berkelip juga mulai menunjukan pendarnya. Namun
kondisi seperti itu tak merubah sepi lengang yang ada. Hal itu pula yang
membuatku melangkah dan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Semua
penjuru mata angin coba aku telusuri, namun tetap hanya langit yang mulai
menghitam berhias bintang-bintang yang mulai bermunculan.
”Yaa Allah, apakah sebenarnya yang tengah terjadi...”
bathinku terus berkecamuk mencoba mencari jawab akan semuanya ini. Hingga malam
kian jatuh, langkah kakikupun terus menapaki bebatuan yang terhampar di depanku. Hingga di genap
hitungan langkah ke sembilan puluh sembilan, telingaku seperti menangkap
sesuatu. Sebuah suara! Yah, sebuah suara yang tengah bersenandung. Suara
seorang perempuan dengan senandung lirih yang rasanya begitu kuhapal.
Perlahan-lahan kudekati sumber suara yang makin lirih
itu. Namun semakin aku mendekat, semakin berat pandangan mataku. Hingga ketika
pandanganku semakin kabur dan nanar, aku merasa kalau tubuhku limbung dan
kemudian jatuh. Aku jatuh, namun tak kurasakan sakit di sekujur tubuhku. Hanya
rasa lelap dan lenanya tidurku. Senandung itu bagai membuaiku dan
mengembalikanku pada masa ketika aku dalam pelukan almarhumah ibuku. Aku
benar-benar terlelap setelah itu. Tinggal sayu-sayup lirih yang menguasi
gendang telingaku kini.
”Tak
lelo, lelo, lelo dung.... cep menengo koe ojo nangis.......”[15]
Sesaat suara lirih itu terhenti berganti usapan lembut
yang kini kurasakan di ujung rambutku. Belaian yang begitu halus, seolah mengalirkan ribuan kesejukan di sekujur
tubuh. Belaian tangan yang dulu kurasakan begitu erat di kegalauan dan
keputusasaan hidupku. Belaian seorang wanita tua yang begitu dekat dan akrab
dalam hidup, dulu hingga kini.
“Mimi wis seneng,
kacunge wis rumah tangga. Mandiri lan ora nyusahaken wong tua. Bli akeh sing
dijaluk Mimi Cung, sing pada akur ngejalani rumah tangga. Pada sehat lan ora
pada padu... Mimi wis puas dhelengakeun anak-anak kabeh pada sehat, gede lan rumah tangga kabeh. Siji pesen Mimi sing
saling bantu karo sedulur, sing saling ngedukung, supaya Mimi terus ngerasa
adem[16]....”
Sesaat aku membuka mataku. Kudapati kalau aku tengah
tidur di pangkuan seorang wanita tua dengan baju lusuhnya. Wanita yang begitu
kuhapal wajah dan senyumnya. Kulitnya yang coklat kehitaman, serta beberapa
surai rambutnya yang memutih adalah sosok dari seorang wanita yang berada di
tahta tertinggi ruang hatiku. Dia ibuku, wanita teragung itu berkenan hadir dan
membelai rambutku...
“Mimi... pripun
kabare, hariste kangenn[17]...”
Perempuan tua itu tersenyum sesaat, sebelum akhirnya
membelai rambutku kembali. Namun detik pertama tangan keriput itu menyentuh
rambutku, detik itu pula sosoknya mulai membayang di mataku. Perlahan-lahan iapun mulai menipis dan menghilang dari
pandanganku...
”Mimi....” ucapku halus mencoba mencari sosok perempuan
tua yang sedari tadi memangku kepalaku. ”Mimi... Mimi... Mimi....”
Seketika tubuhku serasa bergetar dan kembali terlempar
entah jauh kemana. Hanya saja kali ini aku seperti terbang dan melayang
diantara mega-mega malam yang bertaburan bintang. Diantara deru dan belaian
angin malam yang sejuk menyegarkan, dan rasa hati yang penuh warna, tubuhku
bagai kembali di keternyataan cahaya yang menyilaukan di hadapanku. Begitu
silaunya hingga mataku seakan buta sesaat. Dan kesemuanya mendadak berubah
ketika perlahan aku membuka mataku.
Langit yang bertaburan bintang, dataran bebatuan yang berpayung senja
jingga, juga padang sahara yang terik hilang semua. Tak kulihat lagi semuanya
itu, berganti warna coklat dengan deru exhouse fan yang terdengar lelah
berputar. Ini kamarku! Jadi aku sudah kembali ke kamarku....
”Istighfar Yah...
, bangun ...,” sebuah suara halus
terdengar di telingaku. Sentuhan tangan lembutnya juga kurasakan dibahuku.
”Bangun Yah...”
Seketika aku terjaga dari tidurku. Di sampingku nampak
isteriku menatapku cemas,, entah apa yang gundamkan hingga tatapanya begitu
lurus ke arahku. ”Istighfar yah...”
”Astaghfirullahalladziim...
”Ayah mimpi lagi?” tanya perempuan berwajah tirus
itu. Tangan mungilnya nampak membelai-belai punggungku. ”Ayah lupa baca doa
menjelang tidur?”
Aku tak langsung menjawab, mencoba mengenali dengan yakin
apa yang sedang terjadi. Mencoba mengingat apa
yang baru saja berlalu. Jika memang aku bermimpi lagi, mengapa aku
merasa kalau perjalanan malam ini begitu membekas di tubuhku. Rasa panas itu, rasa sejuk itu, dan belaian lembut itu...
”Ayah mimpi bertemu Ibu lagi, Bunda...”
”Subhanallah...
semoga itu benar-benar ruh Ibu yang atas izin-Nya datang bersilahturahmi pada
Ayah...,” ucap isteriku begitu tulus dan terdengar begitu menggembirakanku.
”Mungkin beliau tahu Yah....”
Aku menatap wajah tirus isteriku lurus-lurus, menunggu
kelanjutan ucapannya.
”Mungkin almarhum Ibu tahu, kalau sebentar lagi Ayah akan
menunaikan janji dan bhakti untuknya. Sebentar lagi Ayah akan menunaikan janji
hati yang selama ini telah Ayah perjuangkan...”
”Berhaji maksud Bunda?”
”Insya Allah, mungkin begitu Yah. Bukankah besok adalah hari terakhir
pembekalan Ayah dalam mengikuti persiapan menjelang keberangkatan...” isteriku
menjelaskan jadwal keberangkatan hajiku
yang hanya tinggal menghitung hari itu.
”Astaghfirullah...
Bunda benar, ”kataku menyadari kehilafanku, ”mungkinkah karena hal ini almarhum
Ibu datang kembali di mimpi Ayah. Mungkinkah Allah berkenan memperjalankan
ruhnya untuk datang menyampaikan kegembiraannya pada ayah...”
”Semoga saja Yah, karena sejatinya mereka yang telah
tiada bukan berarti tidak ada. Akan tetapi tetap bisa merasakan apa yang
dirasakan sanak keluarganya, meski alam kita berbeda...”
”Yaa Allah terima kasih atas mimpi yang Engkau berikan
padaku malam ini... jika memang itu pertanda kebaikan untuku, semoga ada
ridho-Mu di titian hidup ini yaa Robb...”
Malam beranjak pergi, seperti juga perginya mimpi yang
baru saja kualami. Sebuah mimpi yang lahir dari ikhtiar hati untuk sebuah
penunaian janji. Sebuah janji dari
serpihan nuraniku... izinkan aku berikhram untuk Ibuku, yaa Allah...
*******
[1] Sudah pulang, Nak?
[2] Sudah, Bu…
[3] Iya, Bu…
[4] Tumben sudah ada disini, Am, tidak berjualan yaa?
[5] Jualan Jim, tapi cuma sampai setengah sembilan aja
[6] Sudah seminggu ini, setengah Sembilan ke sana, Kartini yang berjualan keliling…
[7] Ooh, ini yang biasanya dibawa berkeliling jualan itu ya?
[8] Bu… lapar sekali
[9] Kepala Ibu pusing, tolong belikan PPO (sejenis obat gosok pengusir
masuk angin) pulangnya yaa…
[10] Ibu sakit ya, dibawa ke puskesmas saja, mumpung masih buka?
[11] Sudah, anaknya jangan nangis terus, itu
ibunya sudah sadar…
[12] Ibu, Harist minta maaf yaa…
[14]
Yaa Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, sejahterakanlah dia dan
maafkanlah kesalahan-kesalahannya, muliakanlah tempat kembalinya, luaskanlah
tempat tinggalnya, dan bersihkan dia dengan air, salju, dan embun. Bersihkanlah
dia dari segala kesalahan dan dosa, sebagaimana bersihnya pakaian putih dari
segala kotoran. Gantilah untuknya rumah yang lebih bagus daripada rumahnya, keluarga
yang lebih baik daripada keluarganya, suami yang baik daripada suaminya,
masukanlah dia ke syurga, lindungilah dia dari siksa kubur dan fitnahnya, serta
lindungilah dia dari siksa api neraka.
Yaa Allah, ampunilah kami orang-orang yang
hidup, yang mati, yang menyaksikan, yang ghaib, yang kecil, yang besar, yang
laki-laki dan yang perempuan.
Yaa Allah, janganlah Engkau menghalangi
sampainya pahala kepada kami, dan jangalah Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.
Dengan rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Pengasih. Segala puji bagi Allah yang
menguasai seluruh alam…. (Doa Khusus
bagi Mayat)
[15] Nyenyak-nyenyaklah nak… ayo diam janganlah menangis….
[16] Ibu sudah senang, kamu sudah berumah tangga. Mandiri dan tidak menyusahkan orang tua. Tidak
banyak yang Ibu minta, nak, yang akur saja kamu menjalani rumah tanggamu. Yang
sehat dan jangan sampai ada bentrok... Ibu sudah puas melihat anak-anak
semuanya sehat, pada besar dan berumah tangga semua. Satu pesan Ibu,
saling bantulah kalian sesama saudara,
yang saling mendukung, supaya Ibu terus merasa adem...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar