Tiga
Bismillahirrahmaanirraahiim, kami datang Yaa Rabb....
Bandara
Soekarno Hata, akhir Oktober 2010
Saat
matahari bersinar redup....
”Diberitahukan kepada seluruh jamaah haji kelompok
terbang 38 asal pendaftaran Provinsi Jawa Barat, agar bersiap menuju pintu
keberangkatan pesawat. Kepada para Karom dan Karu agar mengkoordinir anggotanya
dengan cepat. Pesawat Saudi Arabia Airlines telah siap di pintu III,
keberangkatan. Diingatkan kembali kepada.....” demikian informasi yang terus
bergema di telinga kami, membuat kami semua agak tergesa-gesa merapihkan semua
barang bawaan. Tas jinjing, tiket, pasport dan beragam kelengkapan lainnya.
Tua muda, perempuan laki-laki, semua terhanyut dengan
segala persiapan pemberangkatan ini. Ada
yang sibuk berbenah dengan bawaannya, ada yang terlihat cemas, namun ada
pula yang terlihat santai dengan dzikir
lirihnya. Untuk yang sibuk berbenah biasanya kaum ibu yang selalu saja masih
menunjukan sikap telatennya. Mungkin bagi mereka pengabdian terbaik pada
seorang suami memang tanpa batasan waktu dan tempat, hingga di moment sesakral
itu mereka masih sempat meladeni sang suami dengan beragam barang bawaan. Dari obat-obatan yang biasa
dikonsumsi suaminya, hingga perlengkapan pribadi lainnya.
Bagi yang terlihat tenang biasanya mereka yang sudah sering berpergian dengan
pesawat dan memahami betul arti keikhlasan dalam perjalanan ini, sehingga sudah
sangat siap secara mental, fikir dan ikhtiar. Sehingga ketenangan mereka
terlihat begitu alami dengan balutan dzikir lirih mereka. Untuk yang cemas,
biasanya mereka yang belum pernah merasakan terbang jauh dengan pesawat. Meski
tangan mereka sibuk memilin tasbih namun raut kecemasan masih terlihat diantara
mereka. Dan salah satu dari mereka itu adalah lelaki tua yang ada disampingku
ini, terlihat sekali kalau ia benar-benar
mencemaskan pengalaman yang
sangat baru baginya. Kalau aku harus jujur, sebetulnya juga termasuk aku.
Betapa tidak kecelakaan pesawat khan sering terjadi belakangan ini. Namun aku
menekan kuat-kuat rasa cemas itu dengan berdzikir khusyu. Selain gemetar lembut masih menari di hati ini, aku
juga sebenarnya masih merisaukan
rasanya berada di ketinggian ribuan kaki dengan waktu tempuh delapan jam
lebih? apa yang harus aku lakukan bila pesawat mengalami turbulency? Bagaimana
kalau tiba-tiba aku mabuk ketinggian? Yaa Allah bantu aku mengatasi ini...
”Baru pertama naik pesawat ya Pak?” seseorang menegur
lelaki tua disampingku ramah.
Lelaki tua itu tersenyum mengangguk mewakilkan jawabanya.
Kemudian malu-malu iapun mulai menyampaikan kecemasannya.
”Santai aja pak, seperti naik ayunan. Setelah beberapa
detik juga kita akan terbiasa dan seperti naik kendaraan biasa....,” pramugari
berkerudung biru langit ini nampak membaca betul kecemasan hati kami. Mungkin karena ia sudah kerap menemukan hal
ini di perjalan tugasnya bolak-balik Jakarta-Medinah, atau Jakarta-Jedah.
”Kalau di bimbingan kemarin sih katanya memang begitu,
tapi khan tidak sampai naik pesawat beneran,”kata lelaki tua ini menahan cemas
dan malu.
”Ngga akan ada apa-apa, Insya Allah...,” perempuan
berseragam maskapai penerbangan kelas satu di Arab Saudi itu kembali
meyakinkan lelaki tua ini.
Tak banyak percakapan setelah itu, karena suara operator
pesawat langsung mengingatkan kami untuk
bersiap take off. Dengan tiga bahasa yakni Arabian, Inggris dan Indonesia,
operator kabin pesawat nampak menjelaskan waktu yang akan ditempuh dan beragam
standar keselamatan penumpang. Sambil mendengarkan arahan tiga bahasa,
masing-masingdari kami memperhatikan dengan serius layar 12 inci yang ada di
bagian belakang tempat duduk kami. Layar itu memvisualisasikan apa saja yang
tengah di jelaskan oleh operator kabin.
Barisan bangku berwarna abu-abu dari maskapai penerbangan
terbesar negeri padang pasir ini terlihat begitu rapi di sepanjang mata
memandang. Kondisinya yang nyaman dan sejuk membuat kami sejenak terlepas dari
kepenatan dan kecemasan. Ditambah beberapa pramugari yang tersenyum menyambut
kami, seakan benar-benar merilekskan sesaat. Senyum yang ramah dan tulus untuk perjalanan suci kami.
”Demikian standar keselamatan penumpang ini. Semoga Allah
meridhoi perjalanan kita. Selamat menjalankan ibadah haji dan semoga menjadi
haji yang mabrur. Assallamu allaikum...,” demikian ending dari suara operator
kabin.
Satu persatu kamipun mulai terlena di kursi-kursi empuk
sesuai dengan nomor tiket kami masing-masing. Kondisi lelah dan penat membuat
kami semuanya ingin segera beristirahat dengan tenang. Aku mendapatkan posisi tengah dari badan pesawat Airbus
ini , tepat di samping jendela dan bertiga dengan pasangan suami isteri.
”Maaf De, kita nanti langsung
berhenti di Madinah atau transit dulu di
Jedah yaa?” tanya ibu paruh baya disampingku dengan kaca mata tebalnya.
”Kurang tahu Bu, cuma kalau saya lihat di
tiket tujuan kita memang ditulis Medinah, jadi apa langsung berhenti di situ
atau kita transit dulu di Jedah” kataku mencoba mengingat potongan tiket yang
baru saja aku berikan pada pramugari penjaga pintu masuk.
”Berarti memakan waktu 9 jam lebih yaa...” perempuan paruh baya itu
bergumam.
”Tuh khan Bu, kata Bapak juga lebih baik ke toilet dulu,”
sambung lelaki yang duduk disampingnya, ”apa Ibu sanggup menahan pipis selama
itu?”
Mendengar itu sang ibu mendadak merona wajahnya menahan
malu, sementara aku berusaha keras untuk bisa menahan tawa. ”Memangnya Ibu
ingin buang air?” tanyaku.
”Iya Nak, tadi Ibu sebetulnya ingin ke toilet dulu, tapi
karena takut ketinggalan jadi ibu tahan sampai sekarang...”
”Ada yang bisa saya bantu Bu?” suara seorang pramugari
terdengar disamping kami. Mungkin karena ia melihat kecemasan kami.
”Iya Mbak, ibu ini mau buang air kecil...” kataku
menjawab pertanyaannya.
”Ooh, mari saya antar,” kata pramugari itu kemudian,” di
pesawat ini juga ada toilet Bu...”
Perempuan paruh baya itupun akhirnya beranjak dari tempat
duduknya setelah terlebih dahulu melewati kursiku. Tak berapa lama iapun kembali ke kursinya yang berada tepat di sisi
jendela. Namun selang hanya beberapa detik, ia kembali beranjak ke toilet
dengan tergesa-gesa. Rupanya rasa cemas itu membuahkan stress ringan, sehingga
harus buang air kecil beberapa kali. Dikarenakan hal itulah akhirnya suami
perempuan ini memintaku untuk bertukar kursi dengan isterinya. Ini dimaksudkan
agar ia tak bolak balik melangkahiku, bila ingin buang air kecil.
”Tolong Dek ya..” pintanya padaku.
”Ngga apa-apa Pak, biar saya yang di ujung, dekat
jendela,” kataku seraya menggeser tempat duduku di posisi dekat jendela. Dan
itu berarti aku bisa melihat bagian sayap dan kondisi luar
dari pesawat ini. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu, yang jelas aku sedikit
bingung membayangkan bagaimana rasanya berada di
ketinggian nanti.
”Mohon perhatian,” suara operator terdengar berbarengan
dengan berdirinya dua pramugari berkerundung biru di tengah selasar pesawat
ini, ”sebentar lagi pesawat akan segera berangkat. Kami berharap bapak ibu
sekalian mematuhi apa yang baru saja di sampaikan oleh visualisasi operator
kabin, untuk tetap duduk di tempat masing dan mengencangkan seat belt-nya....”
Tak lama kemudian, terdengar kembali suuara operator itu
menuntun kami untuk membaca doa bepergian ketika pesawat sudah mulai bergerak
perlahan...
”Bismillahi majraha wa mursoha
innarabbi laghofurrahiim...”
Perlahan-lahan pesawatpun mulai bergerak menuju landasan
pacu, deru mesin pesawat inipun seolah seirama geletar lembut di hati kami semua.
Berbalut dzikir dan talbiah, rombongan jamaah asal Kota Cirebon itupun mulai
meniti perjalanan sucinya. Hati kami semua terus berdzikir dan melafadzkan
syukur atas anugerah yang tengah Allah limpahkan dalam hidup kami. Tak jarang
dzikir khusyuk dari mulut kami bercampur pula dengan isak haru mengawali
keberangkatan kami.
”Labbaik Allahumma
labbaik... Innalhamda, wal nikmata, lakawalmulk laa syarrikalla....”
”Kami datang yaa Allah... kami datang memenuhi kewajiban
kami, memenuhi panggilan-Mu, menjadi tamu-Mu..., ridhoi langkah kami yaa
Robb...,” geletar syukur terlafadz di hatiku menanti hal terindah dan teragung
sepanjang hidupku.
”Bismillahirrahmaanirraahiim.... kami datang Yaa Robb...”
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar