15. Sepatu Untuk Ruby
Awal Juli 1988, awal tahun ajaran baru bagi kami…
Beberapa anak berseragam merah putih nampak mengerubuti pergumulan salah seorang anak dengan temannya. Suara sorak sorai diantara mereka seakan memecah kesunyian rerimbunan pohon pisang kepok H. Nawa. Beberapa diantaranya malah bertepuk seraya berjingkrak seolah menonton pertunjukan yang paling heboh. Aku yang baru sampai di antara mereka berusaha untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi. Tanganku berusaha menepis beberapa tubuh yang merapat dan menutupi dua anak yang tengah sengit berkelahi. Suara tendangan dan pukulan seolah melengkapi riuh redah anak-anak dari SD Kebon Melati ini.
Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja, apa yang sedang terjadi di siang menjelang sore itu. Akan tetapi karena salah satu erangan yang kudengar seolah kukenal membuatku makin penasaran, siapakah gerangan yang tengah bergumul dalam perkelahian ini. Dan ketika aku berhasil menepikan beberapa badan yang berbaris bagai tembok pembatas, mataku terbelalak kaget. Di depanku nampak sesosok tubuh yang sangat kukenal, dia Ruby adiku. Tapi mengapa ia sampai berkelahi seperti itu.
Melihat pemandangan yang sangat tak mengenakan itu, aku segera berlari ke tengah arena pergumulan dan berusaha untuk melerai perkelahian ini. Namun rupanya sikapku ini malah berakibat lain, beberapa orang berteriak kepadaku dan mengira aku ikut membantu untuk mengeroyok lawan adiku. Kontan saja beberapa yang lain datang dan menarik tubuhku yang sebetulnya berusaha melerai keduanya. Karena tubuhku yang tak begitu besar, seseorang yang datang itu berhasil menarik dan menghempaskan aku ke tepi. Melihat itu, adiku berbalik menyerang anak lelaki yang berbadan lebih besar dari kami. Tanpa basa-basi ia melayangkan tinju dan pukulan ke arahnya, kontan saja anak lelaki yang tak siap itu jatuh terduduk dan mengaduh kesakitan.
Pemandangan selanjutnya malah berubah makin kacau, beberapa teman dari anak lelaki yang jatuh itu berusaha menyerang kami. Namun karena posisi makin tak imbang, beberapa rekanku yang kebetulan lewat dan melihatku langsung membantu dan terjadilah perkelahian massal. Ini benar-benar di luar dugaan, kalau ternyata perkelahian dua orang anak kecil berbuah tawuran. Enam orang lawan sebelas orang!
Karena ribut dan gaduhnya yang makin keras membuat pemilik kebun pisang kepok H. Nawa datang dan langsung lari tergopoh-gopoh. Kebiasaannya yang sering berteriak kencang seraya mengacung-acungkan goloknya sangat ampuh membubarkan kekacauan ini. Entah apa yang ada di fikirannya, yang jelas ia sering melakukan itu bila ada pencuri yang berusaha mencuri pisang-pisangnya. “Hayooo, pada pergi tidak! Saya bacok satu satu nih…”
Demi melihat Pak H. Nawa seperti itu, kamipun berpecar menyelamatkan diri masing-masing. Ruby menarik lenganku untuk dapat segera menjauh dari kebun pisang kepok ‘angker’ itu. Beberapa anak yang lain malah lebih dulu lari tunggang langgang dengan beberapa kali jatuh tersungkur karena menabrak pohon-pohon pisang. Beberapa saat kemudian kamipun telah terjarak jauh dari kebun pisang kepok H. Nawa yang super galak itu. Sesaat aku menarik nafasku yang terengah-engah menahan lelah, sementara kaki dan tanganku kian gemetar. Ruby malah lebih parah daripada aku, siku tanganya nampak terluka, darah mengucur deras darinya.
“Kenapa harus seperti itu sih, Rub?”
“Mereka duluan, Mas?” kata adiku seraya mengelap darah yang masih mengucur dari siku lengannya. “Mereka main buang sepatu orang saja, mentang-mentang sepatuku sudah ‘mangap’ begitu.”
Aku melirik sepatu adiku yang memang sudah tak layak disebut sepatu itu. Beberapa jari kakinya malah keluar seakan menunjukan protes kalau mereka minta diperhatikan secara layak. Melihat itu, marahku mendadak hilang. Entah mengapa adiku masih bisa menjunjukan kondisi sepatu seperti itu dengan tenang, sepertinya ia tak merasa terganggu dengannya. Seingatku anak seusianya pasti sudah mogok ke sekolah dengan kondisi sepatu seperti itu.
“Tapi khan tidak harus sampai berkelahi seperti itu, Rub…”
“Saya sudah minta baik-baik, Mas. Tapi mereka malah makin jadi, sepatuku di buang di atas genteng sekolah. Yaa, maaf saja kalau salah satu dari mereka harus berkenalan dengan bogem mentahku,” Ruby makin menjelaskan duduk permasalahan.
“Tapi jadinya khan kaya gini, lihat sikut kamu itu!” kataku agak keras, “apa kata Mimi nanti lihat kamu seperti itu?”
“Ruby juga maunya tidak seperti ini Mas, tapi mereka memang perlu dikasih pelajaran. Sudah membuang sepatuku ke genteng, tidak mau minta maaf malah pakai ngejek Mimi segala… katanya sudah tukang rombeng buta huruf lagi!” Ruby makin menunjukan rasa kesalnya. Mendengar semuanya itu, akupun sedikit membenarkan kalau apa yang dilakukan Ruby adalah tepat. Ini sudah menyangkut harga diri dan martabat keluarga, terlebih lagi ia berbicara tentang ibu. Seseorang yang paling berharga dan berarti dalam kehidupan kami, tak seorangpun berhak untuk menghina ibuku. Siapapun itu!
“Sudahlah, ayo kita cari tanaman singkong pagar!” kataku seraya beranjak dari tempat kami beristirahat dari lari. Tepatnya di kampung Sepakat, seingatku kampung disini masyarakatanya masih gemar bercocok tanam, berbeda dengan kampung Pesisir yang kebanyakan nelayan. Beberapa kebun kecil disamping atau di depan rumah mereka lebih banyak jemuran ikan daripada tanam-tanaman. “Di depan sana ada tanaman singkong pagar, mungkin kita bisa minta beberapa lembar daunnya.”
“Daun singkong, buat apa Mas?”
“Sudah ikut saja!” ajaku seraya berjalan ke sebuah rumah tua yang menggambarkan pula pemiliknya. Seingatku rumah ini kepunyaan Pak H. Shaleh, guru ngaji kampung ini. Muridnya banyak dan terkenal sangat baik pada siapa saja, itu pula yang membuatku berani untuk masuk ke dalam pekarangannya.
“Assallamu ‘allaikum…”
Tidak ada jawaban, suasananya sangat sepi. Mungkin penghuni rumah tua ini sedang keluar. Namun setelah beberapa kali aku berteriak, seorang wanita paruh baya keluar dari bilik pintu yang tingginya mencapai 2.5 meter itu.
“Wa allaikum sallam… siapa yah?”
“Maaf Bu, saya cuma mau minta daun singkong pagarnya?” kataku ragu-ragu. Sesaat perempuan paruh baya itu menatapku lekat-lekat, entah apa yang ada dalam fikirannya.
“Daun singkong pagar? Buat apa, Cung? Itu tidak bisa dimakan, kalau lapar nanti biar ibu ambil makanan yah…”
“Tidak Bu, tidak usah terima kasih. Kami cuma mau daun singkongnya, kami buru-buru mau pulang sudah ditunggu ibu,” kataku mencoba menolak.
“Ohh, ya sudah. Silahkan ambil sendiri yah, Ibu masih ada keperluan di dapur,” katanya kemudian seraya masuk kembali ke dalam rumah.
“Terima kasih, Bu,” akupun segera memetik beberapa lebar daun singkong pagar yang memang beracun dan tidak bisa dikonsumsi itu. Sementara Ruby hanya diam memperhatikanku, ia memang tidak tahu apa yang sebenarnya tengah kurencanakan.
Setelah kupilih lembar-lembar daun singkong yang muda dan bersih, aku segera menaruhnya di atas sebuah batu yang agak pipih. Kemudian dengan batu yang lebih kecil daun itu aku tumbuk hingga halus, seperti membuat adonan. Getah dan cairan yang keluar dari daun-daun singkong itu seperti membuat tepung hijau yang lengket. Setelah kurasa agak halus, tumbukan daun singkong pagar itu segera kubalurkan pada luka Ruby. Sikutnya yang terkoyak dan masih terlihat mengeluarkan darah itu seketika tertutup adonan hijau buatanku. Setelah itu aku mengambil beberapa daun pisang dan membungkusnya dengan bantuan tali pelepahnya yang sudah kering.
“Ini buat apa, Mas?”
“Sudah biarkan saja, kita masih punya waktu dua jam sebelum Mimi pulang ke rumah. Mudah-mudahan ini dapat menghentikan pendarahannya,” kataku penuh harap. Ilmu pengobatan alam itu kudapatkan dari beberapa warga di kampungku yang sering memanfaatkan daun singkong pagar atau air liur bekicot bila ada bagian tubuh yang terluka atau robek. Katanya ini menghentikan aliran darah yang keluar, sehingga mengurangi rasa pusing dan lemas. Memang kalau air liur bekicot khasiatnya sangat cepat dibandingkan dengan tumbukan daun singkong pagar, akan tetapi air liur bekicot terasa sangat perih di area luka. Itulah mengapa aku lebih memilih tumbukan daun singkong pagar untuk mengurangi pendarahan siku lengan Ruby.
“Memang ini bisa bekerja, Mas?” Ruby masih kurang yakin dengan upayaku menghentikan darah yang masih mengucur dari lengannya.
“Sudah biarkan begitu, daripada aku harus membalurkan air liur bekicot yang perih. Mau kamu?” kataku separuh menakut-nakuti. Ruby hanya nyengir menanggapi ucapanku. Sebetulnya bukan luka itu yang membuatku sampai sedemikian peduli pada Ruby. Seingatku ia terluka karena kelakuannya yang tidak bisa menahan emosi, dan itu pelajarannya. Akan tetapi, aku khawatir dengan Ibuku. Ibu sangat cemas dengan apapun yang menimpa Ruby, anak bungsunya. Sekecil apapun yang terjadi pada Ruby, sudah cukup bagi ibu untuk menghukum kami semua.
Waktu menunjukan pukul setengah tiga ketika kami menyusuri gang tempat kami tinggal, sesaat kekhawatiran menelusup di hati kami. Bila ibu sudah lebih dulu sampai di rumah, dan melihat kondisi lengan Ruby yang masih terbungkus tumbukan daun singkong pagar, wah bisa runyam urusan. Suasana rumah masih sepi, berarti ibu dan kedua kakaku masih sibuk dengan aktifitas mereka. Aku dan Ruby segera bergegas memasuki rumah yang hanya dikunci pakai gembok kecil, ibu biasa menyembunyikan anak kuncinya di atas lubang angin-angin.
“Mereka belum pada pulang,” desisku meneliti seputar rumah, “semoga saja lukamu segera mengering…”
“Sudah ngga sakit lagi koq Mas,” Ruby berkata seraya mengoyang-goyangkan sikunya.
“Eeeh, jangan banyak bergerak dulu. Lukanya belum kering benar, nanti darahmu ngucur lagi,” seruku penuh khawatir. Ruby memang sedikit bandel, anaknya juga tidak gampang cengeng. Namun bukan itu permasalahannya, aku tak mau luka itu terlihat oleh ibu!
“Tenang aja, Mas. Ibu ngga akan marah, khan Ruby juga ngga apa-apa?” katanya lagi seraya nyengir tanpa beban. Dasar bandel! Kalau diperhatikan lekat-lekat, Ruby lebih mirip almarhum Rossi dari pada aku kakaknya. Aah, aku jadi ingat preman kecil itu, pasti ia sekarang sedang ngamen di surga…
Seperti biasanya, setiap pulang sekolah, tugasku kini adalah mengurus dan menjaga Ruby. Setelah kasus kecelakaan Rossi, kami memang tak lagi main dan mencari uang di stasiun. Ibu melarang keras untuk hal ini. Ia sampai menitipkan kami pada Pak Djarot – petugas stasiun - , agar mengusir kami bila mendapati kami. Oleh karenanya, kami benar-benar tak berani lagi menentang amanah ibu.
Aku menyiapkan makan siang dan mengganti pakaian Ruby, posisi bungsunya kadang membuatnya agak manja. Ia tak mau makan kalau tak ditemani, dan tak segera mengganti baju seragam kalau tak diingatkan. Berhubung hari itu, banyak bercak darah yang menempel di seragam Ruby, aku harus segera merendam dan mencucinya. Itu bisa jadi barang bukti, dan membuat ibu kecewa. Setelah kuselesaikan semua tugas rutin mengurus dan menjaga Ruby, kami berduapun terlelap dalam tidur siang kami.
******
“Harist, sini!” suara ibu terdengar agak keras dari tempatku berdiri.
“Saya Mi,” kataku segera menghampirinya.
“Mimi mau tanya, siang tadi kamu tidak pulang bareng dengan adikmu?” nada bicara ibu terdengar tegas, sorot matanya juga seakan penuh selidik.
“Ba.. bareng koq Mi, memang ada apa?”
“Kamu ngga perlu bohong sama Mimi, inget Mimi paling ngga suka dengan anak yang tidak jujur…”
“Bener koq, Mi, Harist ngga bohong…”
“Kalau kamu pulang bareng, kenapa kamu biarkan adikmu berkelahi?” wajah ibu terlihat sangat kecewa, aku tak pernah melihatnya sedemikian marah padaku.
“Anu… Harist…”
“Dengar ya Rist, sudah berapa kali Mimi bilang, biasakan mengalah! Jangan cari masalah, ajari adikmu untuk tidak bertindak sesuka hatinya. Kamu khan sudah besar, lebih dewasa dari adikmu, masa kamu ngga bisa membimbingnya. Sebentar lagi kamu lulus SMP, banyak tugas dan tanggung jawab yang harus kamu pikul sebagai anak laki-laki. Bagaimana kamu tunjukan kalau kamu siap menghadapi semuanya itu, kalau mengurus dan menjaga adikmu yang satu saja tidak bias…” kalimat ibu panjang sekali. Setidaknya pengalaman perkelahian Mas Adi memang membekas sekali di hati ibu. Ia tak mau kasus bentrok dua keluarga hanya gara-gara perkelahian anak-anaknya terulang kembali.
“Maafkan Harist Mi,” kataku pelan, “Harist tidak bisa menjaga amanah Mimi…”
“Perkaranya bukan hanya sekedar minta maaf, Rist. Akan tetapi ini merupakan wujud kepercayaan yang Mimi berikan padamu sebagai seorang kakak. Kalau tidak kamu laksanakan dengan baik, lalu pada siapa lagi Mimi harus menitipkan Ruby?” ibu masih mengeluarkan kalimat kekesalannya. Ini tidak biasa terjadi pada ibu, biasanya setelah kami anak-anaknya mengaku dan meminta maaf, marahnya akan berhenti. Namun entah mengapa kesalahanku itu seperti yang sangat besar sekali bagi ibu, hingga air mataku berlinang, ibu tetap menunjukan ekspresi kesalnya.
“Maafkan Harist Mi…”
Ibu menatapku dengan pandangan lurus ke arahku.
“Harist janji tidak akan membiarkan ini terjadi lagi…”
Ibu masih tetap diam.
Melihat itu, Ruby yang sedari tadi hanya bersembunyi di kamar Mbak Atin, tiba-tiba keluar dengan kalimat terisak, “maafin Mas Harist Mi. Mas Harist ngga salah. Ruby yang salah…”
Ibu menoleh ke arah Ruby yang keluar dengan kedua tangan mengepal di dada memohon maaf…
“Ruby yang tidak menunggui Mas Harist untuk pulang bareng. Ruby juga yang terpancing untuk berkelahi, masalahnya…”
“Ruby, Mimi khan sering bilang, biasakan pulang bareng kakakmu. Biasakan ngalah dengan teman-temanmu, itu lebih baik dari pada harus berurusan panjang…”
“Tapi Mi, mereka…”
“Pokoknya sampai kapanpun, Mimi tidak pernah setuju dengan perkelahian. Mimi tidak senang dengan anak yang suka berkelahi…” ibu menunjukan ketegasan sikapnya.
“Ruby tidak salah Mi, Harist juga tidak salah,” Mbak Atin keluar dari dapur dan bergabung di acara siding ini, “Ruby hanya mempertahankan harga diri…”
“Mempertahankan harga diri dengan berkelahi, apa maksudnya itu?”
“Mereka bukan saja mengejek sepatu usang Ruby dan membuangnya ke genteng sekolah, akan tetapi ia juga menghina dan melecehkan Mimi…”
“Dari mana kamu tahu kalau kejadiannya begitu, omongan anak sekecil Ruby tidak bisa dijadikan dasar dalam hal ini…”
“Ruby ngga pernah bohong Mi, Mimi juga tahu itu,” Mbak Atin mencoba menegaskan apa yang ia tahu dan ia yakini.
Mendengar itu, ekspresi ibu mulai berubah. Alisnya tak lagi ditarik ke atas, meski ia tak tersenyum seperti biasanya. Rupanya ucapan terakhir Mbak Atin mengena di hati ibu.
“Meskipun begitu, Mimi tetap tidak suka perkelahian,” kalimat ibu mulai melunak, “Mimi percaya kalau kalian semua bisa berkelakuan baik. Namun akan menjadi percuma kalau kalian terpancing untuk ikut dalam sikap seperti itu.”
Semua diam, aku, Ruby dan Mbak Atin hanya bias menunggu kalimat ibu selanjutnya.
“Yaa sudah, Harist ajak adikmu tidur sudah jam sembilan malam. Tin, mana Puji dia belum pulang dari rumah Wawa Rokh?”
“Belum Mi, mungkin sebentar lagi…”
“Yaa sudah, kalau ngga ada yang perlu dikerjakan lagi, kamu juga istirahat. Besok masih harus ke sekolah khan?” Mbak Atin tersenyum. Ia sudah hampir lulus SMEA, satu lagi beban ibu akan terkurangi setelah Mas Adi yang lulus tahun lalu dan kini bekerja di Bangka.
Sepeninggal kami, ibu kembali tercenung. Entah apa yang sedang difikirkannya. Aku melihatnya jelas dari ruang dapur ini. Ibu seperti tengah memikirkan sesuatu yang berat yang tak bisa ia bagi pada kami anak-anaknya. Aku merasa kalau ibu tengah kelelahan yang amat sangat, meski ia tak ceritakan itu pada kami. Wajah ibu terlihat lebih pucat dari biasanya, beberapa surai rambut yang menggelantung di kepala bagian depannya seakan mewakili kelelahan itu. Tubuh ibu juga terlihat lebih kurus, terakhir kudengar kalau ia terkena gejala typus karena terlalu lelah berkeliling kampung menjajakan pakaian-pakaian bekas.
“Ibu sudah terlalu capek dan lelah, semestinya aku memang tak boleh menambahi beban fikirannya,” ucapku membathin seraya melangkah masuk ke kamar. Ruby sudah pulas dalam tidur, meski begitu keningnya nampak berkerut. Mungkin dalam tidurnya iapun masih melanjutkan perkelahian membela harga diri keluarga.
Kasihan Ruby, sejak kelas satu ia tak pernah mendapatkan sepatu baru, semuanya warisan. Kalau tidak bekasku pasti bekas Mas Adi. Setidaknya, karena akupun begitu, sebagai anak yang lahir belakangan memang harus rela dengan kenyataan seperti itu. Aku tahu, itu bukan karena ibu tak mau membelikan kami sepatu baru masing-masing. Akan tetapi semuanya ini karena keterbatasannya mencukupi semua kebutuhan ini. Aku masih bersyukur, meskipun bekas aku masih bisa ke sekolah memakai sepatu. Namun kalau sepatu bekas itu harus terwaris pula ke Ruby… ah!
“Eeeh, jangan menghina ya! Ini sepatu baru tahu! Nih lihaat…,” Ruby mengigau lirih dalam tidurnya, “ngga kalah dengan sepatu kalian khan?”
Aku bangun terduduk dari rebahanku, sesaat kuperhatikan wajah polos adiku. Matanya yang sipit masih terpejam. Rupanya permasalahan sepatu ini sudah sedemikian seriusnya dalam kehidupan adikku, sampai-sampai ia harus bermimpi tentang itu. Perlahan aku usap kepala botak adiku, ibu memang selalu mencukur kami berdua dengan potongan cepak tintin[1]. Biar seperti ABRI, katanya. Entah itu sebuah keinginan atau memang ibu berharap kalau kelak suatu saat dari rahimnya lahir seorang anak bangsa yang akan mengangkat harkat dan derajatnya dengan menjadi abdi dan alat negara.
“Kalau Mas Harist punya rezeki, Mas janji akan membelikan sepatu untukmu, Dek…” ucapku lirih seraya mengembalikan selimut Ruby ke posisinya.
Malam mulai bergelayut. Hitam pekatnya juga mulai mewakilkan kesunyian pada alam, hingga menyisakan suara-suara malam yang tengah berotasi dan berdzikir mengagungkan asma Allah. Angin yang berhembus semilir, jangkrik yang mengalunkan melodi sendu, hingga jutaan bintang yang beredar dan berkelip atas sabda-Nya. Banyak hikmah dan juga isyarat bagi siapa saja yang mau sejenak menyelaminya. Tentang Keagungan, tentang Kebesaran dan juga Kekuasaan atas segala sesuatu. Yah, setiap malam yang hadir hakekatnya adalah menyampaikan beragam tanda kekuasaan-Nya pada alam semesta, tak terkecuali semua makhluk hidup yang ada di dalamnya. Oleh karenanya, bagi sebagian orang, saat malam justru waktu yang terbaik untuk mulai optimis terhadap segala sesuatu. Dengan tibanya malam, sebagian orang akan menjadikanya waktu yang tepat untuk meminta, waktu yang tepat untuk mengadu, dan juga waktu yang tepat untuk kembali pada kehakikian. Memasrahkan segala permasalahan pada yang Maha Segalanya, Allah SWT.
Itu kulihat juga pada ibu, meski seingatku waktu istirahat ibu hanya sedikit. Pun ketika kelelahan amat sangat ia rasakan, ibu senantiasa menyambut malam dengan senyum dan tenang. Ibu selalu berseri untuk bangun di sepertiganya, dan mulai memasrahkan segala keluh kesah dalam hidupnya. Setahuku, ibu jarang absen menikmati malam, meski kenyataannya hidup ibu jarang sekali senang. Keseharian ibu tak pernah lepas dari keringat dan air mata, namun ia tetap khusyuk dan ikhlas berdoa di penghujung malamnya. Entah kenikmatan apa yang ibu rasakan dari kegiatan seperti itu, entah kedamaian apa pula yang ibu dapat dari kesunyian seperti itu. Ketika dikenyataannya, kesusahan dan kesengsaraan adalah teman akrab hidupnya…
“Allah, tiada tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (mahluk-Nya); tiada mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang memberi syafaat di sisi Allah tanpa seizin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah merasa tidak berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar…” [2] suara lirih itu sering kudengar tiap malam. Meski sejujurnya aku tak begitu sering melafadzkannya, namun selalu ada ketenangan dan kedamaian yang hadir di hatiku setiap kali aku mendengarnya. Ah, mungkin itu keistimewaan malam bagi ibu, meski dengan kondisi susahnya, berdoa di sepertiga malam membuatnya tenang dan damai. Mungkin itu pula yang membuat ibu tak pernah bosan meminta, meski yang kutahu Allah tak segera memberi….
******
Cuaca siang itu sangat terik, kemarau tahun ini terasa sangat panjang sekali. Pepohonan di kanan kiri jalan juga seakan menggambarkan kondisi panasnya, itu kulihat dari daun-daunya yang berguguran. Sebagian pohon malah hanya tersisa ranting-rantingnya saja. Pemandangan seperti itu semakin melengkapi kegersangan hati kami dari siraman sejuk kasih sayang seorang bapak. Aku dan Ruby menatap getir pada sepasang anak-bapak yang berjalan penuh gembira. Sang bapak nampak menunjukan sayangnya dengan membawa beberapa sepatu baru dari etalase toko, sementara sang anak menunjukan kegembiraannya dengan tersenyum dan memilih-milih beragam model sepatu yang ada di hadapannya. Aku dan Ruby tak bisa menghindar untuk tidak melihat pemandangan seperti itu, karena toko kecil penjual sepatu itu berada tepat di tempat ibu mangkal dan berjualan pakaian bekas di hari Minggu ini.
Ingin rasanya aku segera memalingkan muka dan berlari dari pemandangan seperti itu, namun langkahku terhenti ketika kutangkap tatapan harap dari Ruby. Ia malah mendekat dan menempelkan jari tangannya di barisan sepatu yang terpajang di etalase. Meski kutahu ia sangat iri dengan apa yang dilihatnya, namun sedikitpun tak kulihat wajah memelas dari Ruby. Ia malah nyengir seperti tanpa beban. Aku jadi bingung harus berbuat apa, mengajaknya pergipun rasanya susah kalau sudah begitu.
Tatapan Ruby masih terus berkeliling diantara dua anak-bapak dan barisan sepatu, ketika seorang lelaki kurus pendek menghampirinya. Penampilannya rapi hanya saja wajahnya tak begitu simpatik ke arah kami. Ia terlihat begitu serius memperhatikan kami, khususnya Ruby. Adiku yang sedikit konyol itu memang sepertinya tak sadar, ia berjalan masuk ke dalam toko. Dengan pakaian yang agak kumal serta sandal jepit yang tebalnya sudah hampir menyentuh tanah, pastinya akan menjadi pusat kecurigaan. Dan itu pastinya bagi lelaki kurus dan pendek tadi. Ia terlihat mulai cemas dan gusar dengan tingkah adiku yang terlalu terpesona dengan barisan sepatu baru.
“Heh, anak-anak! Mau apa kamu ke dalam?!” tanyanya agak kasar.
“Saya mau melihat-lihat, siapa tahu ada yang cocok untuk dibeli,” kata adiku dengan santai. Untuk ukuran sembilan tahun, sebenarnya ini terlalu berlebihan. Mana mungkin ia punya uang seharga sepatu-sepatu mahal itu.
“Memang mau cari model yang bagaimana?” lelaki kurus itu masih menatap penuh curiga. Sementara aku yang bingung hanya bisa mengikuti langkah adiku yang terus berjalan menikmati pemandangan.
“Yang pasti yang bagus, dan cocok untuk kaki saya,” kata Ruby enteng. Sementara lelaki kurus tadi makin terlihat kesal dengan gaya adiku, apalagi ketika ia melihat kondisi sandal jepit kami.
“Memangnya yang seperti apa, bisa dijelaskan lebih rinci?”
Mendengar itu, aku langsung ciut. Aku yakin Ruby tak tahu apa-apa tentang model sepatu. Sepanjang yang kutahu, sepatu yang ia pakai saja selalu warisan, itupun hanya satu model ; Warior.
“Begini, saya ingin sepatu dengan lapisan bawah seperti ban radial, bagian dalam yang empuk dan nyaman, kemudian kulit luarnya harus yang asli, kalau tidak salah mereknya ; Butterfly. Ada tidak?”
Lelaki kurus itu menaikan alisnya, tebakanku ia pasti bingung dengan ucapan asal-asalan Ruby. Tangannya yang kurus juga terlihat menggaruk-garuk kepalanya yang berambut klimis. “Kalau yang seperti itu rasanya ngga ada, disini yang ada merek Warior, ATT, Batta, Pumma, Belly“ katanya kemudian, “tapi kalau yang mereknya mirip-mirip Butterfly ada, tuh merek Dragonfly, tapi itu sepatu karet bukan sepatu gunung atau sepatu hansip…”
“Kalau begitu toko sepatu ini tidak lengkap, kita cari di tempat lain saja yuk Mas,” dengan entengnya Ruby melenggang meninggalkan toko sepatu ini. Masih dalam keadaan bingung, akupun hanya bisa mengikutinya. Sementara kulihat lelaki kurus itu hanya diam dan menatap kami dengan kesal.
Sesampainya diluar, aku langsung menarik lengan adiku dan kubawa segera menjauh dari toko sepatu itu. Aku tahu, baru saja Ruby telah menggoda dan mengerjai pelayan toko sepatu tadi. Setelah agak jauh, aku baru melepaskan peganganku. “Kamu suka cari masalah yah? Ketahuan Mimi, kena marah lagi nanti…”
“Wah Mas Harist ini, yaa jangan sampai ketahuan doong…”
“Kamu ini memang bandel yah!”
“Mas, kita ini khan ngga mungkin mampu membeli sepatu mahal di toko itu, jadi boleh khan kalau sedikit berkhayal?”
“Tapi tidak keterlaluan seperti itu, Rub,” aku mulai jengkel dengan sikap adiku, “kalau pelayan tadi tahu kamu mengerjainya, kamu bias habis dijewer tahu!”
“Tenang aja Mas, ngga akan tahu!” seru Ruby ringan, “wong merek sepatu yang dicarinya juga pasti ngga ada, koq…”
“Ngga ada? Maksud kamu?”
“Butterfly itu merek mesin jahit, kalau sepatu yaa memang Dragonfly, he he he…,” Ruby terkekeh senang. Ia merasa menang.
“Kamu itu, kecil-kecil sudah badung!” kataku yang langsung menjewer telinga claprang[3]-nya. “Ayo cepat, kita ke Pasar Talang. Mimi pasti sudah menunggu…”
Ruby tertawa riang, dia tahu kalau aku takan berani mengadukan semuanya ini pada ibu. Dan kenyataannya bukan saja aku tak berani mengadukan kejadian tadi siang pada ibu, akan tetapi akupun tak berani untuk sekedar mengingatnya. Mungkin Ruby menganggap sepele hal itu, ia masih terlalu kecil untuk memahami arti susah dalam hidup. Namun lain halnya denganku yang selama ini selalu belajar untuk menahan diri dan bersabar dengan segala kenyataan yang ada. Terlebih kalau kuingat igauannya tentang sepatu, itu akan membuatku makin miris, ah andai saja aku punya uang…
“Suwe nemen, Cung!” [4]seru ibuku ketika melihat kedatangan kami, “rumahnya sudah dikunci?”
“Sampun, Mi,” [5]jawabku pelan. Hari libur seperti ini, kami memang diminta ibu untuk membantunya berjualan pakaian bekas. Karena di hari Minggu suasana pasar biasanya sangat ramai, dan ibu agak kewalahan kalau harus meninggalkan barang dagangan tanpa ada yang menjagai. Dengan kehadiran kami, ia bisa sedikit bepergian untuk sekedar sholat dzuhur atau beli nasi bungkus.
“Naah, sekarang tungui daganganya yah, Mimi mau sholat dulu,” katanya seraya langsung berdiri dan meninggalkan lapak pakaian bekasnya. Ibu berjalan agak tertatih, mungkin persendiannya agak terganggu. Ibu memang tak seperti dulu ketika berjualan sayur, pasca jatuh tersungkur kesehatannya memang agak terganggu. Beruntung mulai minggu kemarin, ibu dapat pinjaman lapak pakaian bekas dari Yu Darti, jadi tidak perlu muter-muter keliling kampung lagi.
“Kasihan Mimi, ya Mas…”
Aku tersenyum menanggapi ucapan Ruby, rupanya ia juga memperhatikan apa yang aku perhatikan.
“Kalau saja bapak bisa pulang dan membawa uang banyak…”
“Bapak lagi nyari duit, Rub. Nanti juga pulang, doakan saja supaya banyak rezeki dan selalu sehat,” kataku yang tak ingin terjebak dengan perbincangan sendu. Aku sudah kenyang dengan kisah bapak, harapanku mudah-mudahan masalahnya bisa segera selesai…
“Eh, Mas…,” Ruby nampaknya masih ingin berbincang denganku, “Mas Harist lihat ngga, sepatu yang dipilih anak tadi?”
“Lihat, emang kenapa?”
“Ruby ingin sepatu seperti itu, Mas,” kalimat Ruby melambat penuh harap,”kalau saja Mimi punya uang…”
Aku langsung mengusap kepala botak adiku cepat-cepat, aku tak ingin ia terlena dengan keinginanya. Ini lebih baik, dari pada terjebak pada lamunan dan angan-angan. Bayangkan saja, harga sepatu kulit yang Rp. 15.000,- mana sanggup ibu…
“Kenapa sih Mas, aku ngga boleh ya punya keinginan seperti itu?”
“Bukan ngga boleh, tapi sebaiknya jangan terlalu berkhayal! Buat kita sepatu karet yang Rp. 3.500 saja sudah bagus tahu, itupun entah kapan Mimi punya uangnya…”
“Kalau saja kita masih bisa berjualan di stasiun seperti dulu…”
“Stasiun sudah terlarang untuk asongan Rub, sekarang sudah banyak kios yang menjual segala macam di sana. Lagipula, mana mungkin kita melanggar janji kita sama Mimi…”
Ruby manggut-manggut menyelami ucapanku, “terus bagaimana caranya supaya kita bisa mengumpulkan uang untuk beli sepatu baru ya, Mas?”
“Berdoa saja, semoga ada rezeki untuk anak seperti kita,” kataku sambil tersenyum, sementara Ruby nampak terdiam lesu. Aku tahu, ia pasti kecewa dengan ucapanku. Tapi memang hanya itu yang seharusnya ia lakukan…
*******
Sudah hampir maghrib, tubuhku rasanya sudah remuk redam. Persendian tulangku juga seperti patah-patah. Sesekali aku hitung pak-pak asem jawa yang kubungkus sejak siang tadi. “Semuanya berjumlah lima lusin, kalau selusinya aku dapat upah Rp. 40,- berarti aku sudah dapat Rp. 200,- hari ini,” gumanku dalam hati, “ berarti ngga sampai tiga minggu aku sudah bisa mengumpulkan Rp. 4.000,- itu cukup untuk beli sepatu karet untuk Ruby…“
“Alis… kalau udah selesei, cepa’ diwelesin ha..,”[6] perempuan berkulit putih itu mengejutkan lamunanku, “sewental lagi maglib, nanti olang luma nyali-nyali..”[7]
“Ya, Ci. Ini juga lagi diberesin, tinggal mengumpulkan yang sudah di pak,” kataku pada Taci Meylin. Sudah tiga hari ini aku memang memutuskan untuk bekerja padanya setiap pulang sekolah. Dengan alasan ada les menjelang ebtanas, aku bisa bebas melenggang tanpa harus diikuti Ruby.
“Welapa hali ini[8], jumlah asem yang di pak?”
“Lima lusin Ci, “ kataku seraya menyodorkan pak-pak asem jawa yang sudah diberi merek ‘Asem Jawa Meylin’.
“Upahnya mau diambil sekalang atau nanti, Lis?”
“Nanti saja Ci, saya sedang mengumpulkan uang untuk keperluan khusus, kalau diambil takut kepakai,” kataku penuh yakin, “nanti saja kalau sudah sepuluh hari akan saya ambil.”
“Aah, woleh woleh lah, itu wagus…,” [9]Taci Meylin tersenyum mendukung semangatku. Perantau dari Bagan Siapi-api ini memang terkenal ulet, bersama suaminya ia tergolong berhasil di tanah rantau ini. Namun meskipun begitu mereka tetap berhemat dalam hidup. Setahuku mereka sering hanya mengkonsumsi bubur untuk makan sehari-hari. Lauknya juga kadang hanya telur yang dibagi dua.
“Saya pamit dulu ya Ci,” kataku menutup jam kerjaku hari ini. Selain aku sebetulnya ada tiga orang lagi yang bekerja, namun mereka mengambil jatah hanya sampai siang atau ashar. Sedang aku dari siang hingga maghrib, aku ingin segera bisa membelikan sepatu untuk Ruby…
Aku belum sempat masuk ke dalam ruangan kelas, ketika tiba-tiba Bu Saonah memanggil namaku. Perempuan paruh baya yang sering mengajar IPS dan Sejarah itu nampak cemas menatapku, entah apa yang terjadi.
“Kamu kakaknya Ruby, khan?”
“I.. iya, Bu. Ada apa dengan Ruby?”
“Dia ada di ruang P3K, cepat kesana, dia manggil-manggil kamu terus,” katanya separuh serak, “dia ngga mau diobati sebelum kamu datang…”
“Diobati, memang Ruby kenapa?”
“Sudah nanyanya nanti lagi, sekarang cepat kesana saja dulu!”
Akupun tak lagi diam, langsung kuayunkan kakiku menuju kamar sakit di lingkungan sekolah itu. Di sana nampak Ruby yang tengah dikerumuni beberapa guru dan dokter kecil, meski tak terdengar menangis namun erangan kesakitannya nampak jelas.
“Ada apa dengan adik saya, Bu?” tanyaku pada Bu Nia guru olah raga kami.
“Adikmu kecelakaan sewaktu main bola, kuku kakinya terkelupas,” Bu Nia mencoba menjelaskan, “kami bermaksud mencabut dan mengkompresnya agar tidak infeksi dan menjadi koreng. Tapi dia ngga mau sebelum kamu datang…”
“Mass… kaki Ruby sakiit…,” adiku mulai mengerang. Kalau saja di rumah ia pasti sudah menjerit sejadi-jadinya, namun di sekolah ini rupanya ia tahu diri. Padahal kuku jempol kakinya benar-benar terangkat dan nyaris lepas dari tempatnya.
“Kamu main bolanya ngga hati-hati yaa..,” kataku mencoba menghibur.
“Itulah adikmu Rist, yang lain pakai sepatu, eeh… dia nekat telanjang kaki. Giliran nendang batu, yaa begini jadinya,” Bu Nia yang olahragawati itu terus berkomentar seolah tak mau disalahkan.
“Dia memang begitu, Bu,” kataku pelan. Jauh di lubuk hatiku aku tahu mengapa Ruby tak mau mengenakan sepatu ketika main bola. Bagian depan sepatunya baru saja dijahit untuk yang ke lima kalinya, kemarin sore. Aku yakin, Ruby berfikir kalau ia harus bisa menghemat kondisi sepatunya, karena kalau sampai jebol lagi entah apa masih mungkin di jahit untuk yang keenam kalinya.
“Naah, sekarang khan Mas Haristnya sudah datang, kita cuci lukanya ya?” seseorang berpakaian putih-putih nampak menghampiri kami. Dia Bu Marni, selain guru ia juga duta kesehatan untuk sekolah kami. Mungkin karena suaminya seorang manteri kesehatan, jadi ia sedikit mengerti cara-cara pengobatan.
Ruby menatapku, jelas ada rasa takut disana. Dengan kondisi kuku kaki yang terangkat hingga 60 derajat aku yakin siapapun akan merasa kesakitan. Namun dengan membelai kepala botaknya, aku mencoba menenangkan Ruby agar mau menuruti Bu Marni.
Perlahan kaki Ruby diguyur dengan air hangat, pasir-pasir yang menempel diantara darah ujung kakinyapun mulai berjatuhan. Terus begitu hingga guyuran yang ketiga, Ruby masih berusaha menahan sakit. Namun ketika Bu Marni menguyurkan cairan yang katanya mengandung alcohol untuk mencegah infeksi, wajah Ruby mendadak berubah, dan…
“Waa… Mimii…,sakiit!!! Sakit sekalii!!!”
“Tahan-tahan Dek, cuma sebentar…,” aku terus mencoba menenangkan Ruby yang sudah kelojotan menahan perih.
“Pulaangg!!! Ruby mau pulaaang… Mimii…!!!”
********
“Carikan saja yang bekas di Pasar Talang, Mi. Yang penting khan Ruby bisa dapat sepatu yang agak bener ke sekolah,” Mbak Puji nyeplos dengan santainya.
“Mimi juga maunya gitu Nok, tapi selama ini Ruby memang belum pernah dibelikan sepatu baru. Jadi kalau dia ngambek dan hanya mau dibelikan yang baru, yaa wajar,” kata ibuku menerawang, “Mimi juga inginnya nagsih Ruby dengan yang baru, Nok. Kasihan si bungsu itu, apa yang dipakai semuanya serba warisan. Baju, celana, buku, alat tulis, sepatu, sampai mainan saja juga warisan.”
Semua terdiam, kami memang merasakan perubahan yang sangat drastis sejak tragedy tenggelamnya kapal bapak. Kabar bapak yang tak jelas, kepulangan bapak yang entah kapan, hingga kiriman yang tak lagi menentu setiap bulannya. Kadang ibu hanya menerima seperempat dari biasanya, itupun tidak tepat pada awal bulan. Terkadang tidak sama sekali! Kami mendengar kalau bapak kerja serabutan sekarang, tidak seperti dulu lagi. Hidup di negeri orang dengan kondisi seperti itu pastilah tidak mudah. Pernah bapak berfikir untuk pulang saja ke Indonesia, namun dengan kondisi yang tak jauh lebih baik, ia memutuskan untuk tetap bertahan di Bangkok. Dan semua itu atas persetujuan ibu pula. “Tidak ada seorang istri yang menolak kedatangan suaminya, bagaimanapun kondisinya. Namun bila dihadapkan pada kenyataan bahwa masih banyak tanggung jawab yang harus dipikul untuk nafkah dan masa depan anak-anaknya, Mimi bisa apa? Selain pasrah dengan keputusan yang dipandang paling baik, demi kalian dan masa depan kalian…” begitu ucap ibu saat itu ketika kami tanya mengapa ia mengizinkan bapak untuk tidak segera pulang saja.
“Tapi Mi, Enji pernah liat, kalau di Pasar Talang yang bekas juga masih banyak yang bagus lho,” Mbak Puji menyabot kesenyapan, “tinggal bagaimana kita milihnya.”
Ibu mengangguk perlahan, dan tersenyum kemudian. “Mimi sudah coba itu, Nok. Tapi seminggu terakhir ini, Mimi tak menemukan sepatu yang cocok dengan ukuran kaki adikmu. Kalaupun ada kondisinya tak lebih baik dengan yang dipakainya sekarang…”
“Kalau beli yang baru, kira-kira berapa sekarang, Mi?” tanyaku ragu-ragu.
“Kenapa mau membelikan?” Mbak Puji cepat memotong.
“Yaa, ngga juga. Harist khan sudah ngga jualan asongan lagi,” kataku menyesali pertanyaan.
“Kalau hanya sepatu karet saja sih, ngga mahal Rist,” ibu tersenyum ke arahku, “Mimi sempat nanya, katanya untuk seukuran Ruby kisaran Rp. 3.500,- sampai Rp. 4.000,- an. Kalau saja dagangan Mimi sedang laku pasti harga segitu tidak begitu mahal, Rist…”
Obrolan malam menjelang tidurpun terhenti ketika suara Dunia Dalam Berita dari tv tetangga sebelah terdengar, itu pukul 21.00 tepat. Waktunya bagi kami untuk istirahat, terutama ibu. Meski kutahu ia tak langsung tidur pada jam sembilan, namun ibu biasa mengistirahatkan tubuhnya di kamar kecil yang paling belakang. Dengan duduk selonjor, ia biasa melipat dan memilah pakaian-pakain bekas yang akan ia jual kembali esok. Atau kalau tidak, ibu biasa mengerjakan pekerjaan yang tak sempat ia selesaikan kemarin atau tadi pagi, seperti menambal pakaian kami atau meracik lauk untuk sarapan kami esok hari. Ibu sudah sangat terbiasa dengan semuanya itu, makanya aku tak heran kalau ternyata ketika tengah malam aku masih mendengar suara-suara di dapur atau di kamar ibu. Dan yang paling khas dan selalu kuhapal setiap aku bangun untuk buang air kecil atau ingin minum adalah, suara lirih ibu yang berdoa dengan khusyuk di sepertiga malamnya.
“Yaa Allah, semoga Engkau tak menyia-nyiakan semua pengorbanan dan pengabdian ibu kami…”
******
“Mimi kemana?” tanyaku cemas.
“Ke puskesmas bawa adimu, Ruby,” perempuan gemuk tetangga sebelah ibu itu menerangkan, “ia juga titip pesen kalau kamu ngga usah menyusulnya, tunggu saja di rumah…”
“Memang Ruby kenapa, Mak?”
“Panas badannya tinggi sekali, sampai kejang-kejang jadi langsung di bawa ke puskesmas Pesisir. Sudah kamu tunggu saja di sini dulu, kalau mau makan sana ambil sendiri saja ke dapur…,” Mak Kusti nampak serius dengan ucapannya. Wanita Jawa yang disunting lelaki keturunan Tionghoa ini memang teman ibuku, ia sering terlibat jauh pada keluarga kami. Mungkin lebih tepatnya, peduli.
Ada apa dengan adiku yang bungsu itu, apakah luka di ujung kakinya infeksi? Seingatku, kemarin sudah mulai mengering, lalu kenapa lagi si Ruby? Beragam pertanyaan terus berputar di otakku, mencoba menemukan jawaban dari kondisi yang ada. Hingga hari menjelang sore, rupanya ibu dan Ruby belum juga kembali dari berobat. Dua orang kakak perempuanku juga ikut bingung menemaniku kini. Apa sebenarnya yang terjadi…
“Memang pergi ke Puskesmas mana katanya, Mak?” tanya Mbak Puji.
“Katanya sih yang di daerah Kongsi…”
“Tapi koq lama sekali yaa…”
“Apa lebih baik di susul saja, Mbak?” tanyaku ,” ini sudah pukul empat sore, seingat Harist, puskesmas khan bukanya hanya sampai jam dua siang.”
“Betul Rit, sebaiknya kita susul saja,” Mbak Atin setuju dengan usulku, “Ji, sebaiknya kamu tunggu di rumah saja, bersih-bersih hingga kami pulang…”
“Itu yang menjadi masalah khan, Mbak,” Mbak Puji berkata lagi, “kita nunggu di sini karena Mimi tidak nitip kunci sama Mak Kusti, bagaimana kita bisa masuk…”
“Mungkin Mimi simpan kunci di tempat biasa?”
“Sudah saya cari tidak ada,” kataku memotong kemungkinan.
“Sudah ditunggu saja, sebentar lagi juga pulang…,” Mak Kusti keluar sambil membawa sepiring ubi rebus, “niih, kalian makan ini saja kalau tidak mau makan di sini. Perut kalian khan belum di isi dari siang.”
Kami bertiga berpandangan, kami memang menolak dengan halus tawaran makan siang di rumah tetangga kami itu. Setidaknya kami memang tidak terbiasa untuk numpang makan di rumah orang lain, ibu kami sering memesankan hal itu pada kami. Sesusah dan selapar apapun usahakan untuk tidak makan dari dapur orang lain, selain kurang baik hal itu akan menjadi kebiasaan buruk.
Namun karena memang kondisi yang sangat darurat seperti itu, maka dengan berat hati kami menerima tawaran Mak Kusti. Kami makan ubi rebus itu sebagai pengganjal perut kami yang memang sudah sangat tak nyaman. Tak lama berselang, setelah satu butir ubi rebus kami makan, ibu dan Rubypun terlihat pulang. Kami bergegas untuk mohon pamit dan menghampiri ibu yang kerepotan menggendong Ruby…
“Ada apa dengan Ruby, Mi?” Mbak Atin langsung membantu memapah Ruby yang terlihat sangat lemah.
“Kata dokter puskesmas, luka di kaki Ruby terindikasi infeksi. Ia harus dirawat, kalau tidak akan berakibat fatal,” suara ibuku lemah.
“Terus mengapa tak dirawat saja, Mi?” tanya Mbak Puji.
“Mimi maunya begitu, tapi ketika sampai di rumah sakit, Ruby berteriak-teriak minta pulang dan tak mau dirawat,” ibuku menatap sendu pada wajah Ruby yang terbaring lemas. “Dia bersikeras untuk pulang karena…”
“Karena apa, Mi?”
“Katanya hari ini ia akan dapat sepatu, jadi dia hanya mau di rumah dan tak mau kemana-mana,” suara ibuku makin pelan dan terdengar serak menahan sedih.
“Memang sepatu dari siapa? Siapa yang akan memberinnya sepatu hari ini?” Mbak Atin terlihat celingukan ke arah luar rumah.
“Mimi ngga tahu, mungkin adikmu berkhayal kalau hari ini akan ada yang memberinya sepatu. Padahal kalian tahu, kalau keuntungan ibu berdagang baju bekas seminggu ini hanya cukup untuk menutupi kebutuhan dapur kita…”
“Kasihan Ruby, keinginannya untuk memiliki sepatu baru rupanya begitu kuat di hatinya, sampai-sampai ia berkhayal seperti itu….”
“Ruby tidak berkhayal, Mi,” kataku menyela pembicaraan, “Harist memang menjanjikan akan membelikanya sepatu baru hari ini…”
“Harist, kamu mau beli sepatu uang darimana?” Mbak Atin mendelik ke arahku, “jangan buat adikmu terlalu berharap, kasihan Ruby…”
“Iya Nak, kenapa kamu lakukan itu, kasihan Ruby ia jadi terlalu berkhayal sampai-sampai ia tak mau dirawat.”
Aku masuk ke dalam kamar dan mengambil bungkusan kotak dari bawah ranjang dipan papan kami. Bungkusan kotak itu sudah berlapis koran dengan rapi, aku memang sengaja menyiapkan semuanya hari ini. Kemudian ku sodorkan bungkusan kotak itu ke arah Ruby yang sedari tadi terduduk lesu…
Melihat bungkusan yang kusodorkan, Ruby seolah mendapatkan energy tambahan. Ia langsung tersenyum dengan mata yang berkilat menunjukan ekspresi kegembiraan. Tanganyapun langsung meraih kotak yang berbungkus koran itu, dan mendekapnya penuh kebahagiaan. Sementara ibu dan kedua kakaku hanya bisa diam dan memandang ke arahku penuh tanya.
“Harist memang telah merencanakan ini, Mi, “kataku kemudian, “hari ini Ruby genap sembilan tahun. Harist hanya ingin memberikan sesuatu pada Ruby agar Ruby makin semangat ke sekolah dan tidak terus menerus minder karena diejek teman-temannya...”
“Tapi…” ucapan Mbak Atin menggantung penuh pertanyaan.
“Itu sepatu untuk hadiah ulang tahunya, Harist membelikanya dari hasil tabungan upah bikin asem jawa di Tachi Meylin…”
“Ini hadiah buat Ruby khan Mas?”
“Iya Dek, ini hadiah sepatu untukmu,” kataku singkat, “yang rajin belajar dan cepat sembuh yaa…”
Ruby langsung membuka bungkusan kotak yang sedari tadi dipeluknya. Tak berapa lama, sepasang sepatu karet dengan merek Dragonfly terlihat. Warnanya putih bersih dengan list merah di bagian bawahnya. Ruby terlihat sumringah dan memeluk erat kembali sepatu itu…
“Terima kasih yaa…”
Mbak Atin dan Mbak Puji tersenyum, ibuku juga tersenyum. Semuanya turut merasakan bahagia di sore yang tenang itu.
“Terima kasih Rist, Mimi bangga punya anak yang saling peduli dan menjaga. Karena semua itulah, kita masih terus bisa bertahan mengahdapi keterbatasan hidup ini. Terima kasih…” ibu memeluk tubuh kecilku erat. Banyak rasa syukur dan sayang yang ia alirkan ke tubuhku. Meski sebetulnya apa yang kulakukan sangat tak sebanding dengan apa yang telah ia korbankan untuk kami, namun rasa terima kasih itu seakan melebihi semuanya itu. Ah, ibu… engkau selalu membuatku menjadi selalu merasa kurang dihadapanmu. Meskipun kutahu, memang takan pernah sebanding apappun yang kulakukan untukmu, dibandingkan dengan pengorbanan dan ketulusanmu untuk kami. Aku juga berterima kasih padamu Bu, engkau tak pernah lelah menunjukan kasih sayangmu padaku…”
*******
Adzan maghrib baru saja terdengar ketika aku mulai meluruskan punggungku yang seharian duduk terpekur dengan peralatan nge-pak asem jawa ini. Penat dan kejang menyelimuti seluruh persendian tulangku. Namun meskipun begitu aku tetap bersyukur, setidaknya apa yang menjadi tujuanku tercapai sudah. Aku berhasil memberikan sepatu baru untuk Ruby, aku juga berhasil mengembalikan semangatnya untuk rajin sekolah. Dan yang terpenting aku dapat terus menjaga amanah ibu, untuk bisa saling peduli dan berbagi. Meski sebenarnya, aku masih harus berhutang sepuluh hari kerja dengan hitungan lima lusin pak asem jawa….
“Sudah maglib laahh, lewih waik besok diteluskan lagi List. Yangan bulu-bulu ingin melunasi pinjaman, Tachi juga ikhlas memwantu. Yang penting, kelja di sini yang lajin, yah…”[10]
Aku tersenyum ke arah perempuan bermata sipit ini, beruntung aku bisa mengenalnya. Terima kasih yaa Allah, Engkau berikan kemudahan dalam hidupku…
*******
[1] Potongan rambut tokoh kartun Tintin dengan ukuran panjang satu centi meter dan sedikit menjambul di
bagian depannya
[2] Ayat Kursi – QS; Al Baqoroh ; 255
[3] Melebar ke samping dan hampir tegak lurus dengan sisi kepala bagian samping
[4] Lama sekali, Nak!
[5] Sudah, Bu…
[6] Harist, kalau sudah selesai cepat diberesin ya…
[7] Sebentar lagi maghrib, nanti orang rumah nyari-nyari…
[8] Berapa hari ini,
[9] Aah, boleh boleh lah, itu bagus…
[10] Sudah maghrib, laah, lebih baik besok diterusin lagi Rist. Jangan buru-buru ingin melunasi pinjaman, Tachi juga ikhlas membantu. Yang penting, kerja di sini yang rajin yaah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar