Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Selasa, 18 Oktober 2011

14. Rinai Merona di Atas Gerbong Senja


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Rinai Merona

di Atas Gerbong Senja


Tidak banyak sebetulnya yang kuharap dari event Muludan yang biasa menghadirkan suasana berbeda di Kota Wali ini. Selain makan empal gentong di pasar malamnya, aku juga berharap bisa ikut ngalap berkah dengan ikut malam pelal [1] atau malam panjang jimat. Malam dimana kerabat Keraton Kasepuhan dan Kanoman mencuci berbagai benda pusaka peninggalan kejayaan Kesultanan Cherbon. Konon ritual seperti itu selain mengemban amanah dan tradisi masa lalu, malam panjang jimat memberi arti tersendiri bagi kami warga Cirebon. Yakni malam dimana kita bisa mendapatkan berkah dari karuhun dan kasepuhan Cirebon.


Namun hal itu sangat berbeda dengan Ruby di usianya yang mulai banyak melihat sekitarnya. Musim muludan untuk anak seusia Ruby memang identik dengan belanja mainan yang memang sangat banyak di pasar malam yang digelar selama sebulan. Pasar tradisional yang diselenggarakan di halaman Keraton Kasepuhan ini memang sangat sarat dengan beragam barang mainan dan jajanan pasar. Tidak hanya itu, pasar malam ini juga biasanya menjual beraneka ragam keperluan rumah tangga dan pakaian dengan harga yang sangat murah, sehingga kehadirannya banyak dinanti oleh masyarakat Cirebon.


Selain para pedagang mainan dan pakaian, di pasar malam muludan juga kerap menghadirkan aneka hiburan rakyat yang tak pernah absen. Ada kemidi putar, ombak banyu[2], rumah hantu, satwa langka, kuda lumping, hingga kereta-keretaan. Dan semuanya itu melengkapi syurga pesiar bagi kami semua, tak terkecuali kami. Dengan keterbatasan kami, kehadiran pasar malam muludan membuat kami selalu berangan-angan menjadi orang kaya, agar bisa menikmati semuanya itu. Kalau sudah begitu, nilai ritual mengagungkan Baginda Nabi Muhammad SAW, telah bergeser menjadi ajang berpesiar dan berbelanja secara konsumtif. Setidaknya karena hal ini juga telah menjadi lahan penghasilan bagi PAD Cirebon hingga kini. Dengan adanya pasar malam yang ramai selama seminggu itu, pihak Pemda atau pihak Keraton mengambil keuntungan. Dari retribusi pedang, retribusi parkir, sewa lapak dagang, hingga jasa angkutan dari dalam dan luar kota Cirebon.


“Jadi sudah ke muludan Ros?” tanya Yatno yang terlihat ngiri dengan cerita Rossi. “Memang kamu naik apa saja?”

“Banyak lah, aku nyobain kemidi putar, kereta-keretaan dan masuk rumah hantu yang banyak hatunya, hiii…,” Rossi terlihat berekspresi dengan pengalamannya mengunjungi muludan.

“Jadi pengen kesana, ya?” Ade mulai mengomentari.

“Iya, kalau nanti daganganku laku semua, aku juga akan minta izin Makne ah,” Yatno mulai terbawa suasana, “aku ingin naik kemidi putar dan makan empal gentong…”

“Kalau aku ingin lihat rumah hantu, Yat. Aku penasaran, seperti apa sih hantu-hantu yang kurang kerjaan itu,” Ade terlihat bersemangat.

“Kalau kamu ingin naik apa Rist?”

“Kalau aku sih, cuma ingin makan empal gentongnya saja, atau kalau tidak yaa docang[3], he he…,” kataku meningat apa yang pernah aku lakukan pada muludan tahun kemarin.


“Kalau Ruby?” Ade paling senang memancing pendapat adiku yang mirip anak cina itu, “mau apa kalau ke muludan?”

“Ruby mau motor-motoran dari berondong…,” katanya enteng.

“Motor-motoran dari berondong, buat apa?”

“Yaa buat main, khan bagus bisa Ruby bawa ke sekolah,” kata Ruby lagi.

Aku menatap wajah lelaki kecil itu, “mengapa dibawa, ke sekolah, Rub?”


“Soalnya temen-temen bawa mainan dari berondong Mas, ada motor-motoran, tembak-tembakan dan kuda-kudaan. Makanya kalau nanti dagangannya laku, Mas Harist belikan Ruby mainan dari berondong ya?”

“Iya, insya Allah, mudah-mudahan kita dapat untung besar hari ini, jadi bisa pergi ke muludan,” kataku penuh semangat.


Sesaat obrolan kami terhenti ketika deru peluit dari PPKA terdengar. Ini pertanda sebentar lagi akan ada kereta yang masuk stasiun. Kami berenam langsung berdiri dan bersiap menyambut kedatangan ladang rezeki kami. Sejak dimulainya event muludan di kota kecil ini, kami memang sedikit lebih semangat untuk mengumpulkan uang. Tak lain dikarenakan ingin hadir di ajang pesta rakyat yang berlatar mengagungkan kelahiran Nabi besar Muhammad SAW. Kami semua berharap turut merasakan riuh redahnya pasar malam yang menawarkan syurga mainan bagi anak-anak seusia kami.


Asap kereta asal Surabaya tujuan Jakarta baru saja berhenti, beberapa penumpang juga banyak yang bergegas turun atau sekedar istirahat di stasiun transit ini. Saat inilah waktu bagi kami untuk masuk gerbong dan menawarkan segala aset dagangan kami. Ade yang sibuk dengan buku-buku dan majalahnya, Yatno yang kerepotan dengan gorengan dan lontong burasnya, Kardi dengan kotak semirnya, aku dan Ruby yang susah payah menjinjing termos es dan aneka minuman plastik. Sedangkan Rossi seperti biasa, meliuk-liukan suaranya untuk mengalunkan tembang-tembang andalannya. Hari itu, semangat juang kami memang lebih dari biasanya.

*****


“Mimi ngga melihat adikmu, Ji?” suara serak itu terdengar parau. Ibu memang menderita batuk-batuk sejak tiga hari yang lalu. Katanya masuk angin karena terlalu sering pulang malam menjajakan pakaian bekas.

“Ngga tahu, Mi. Katanya sih lagi ke rumah si Ade,” Mbak Puji menjawab dengan santai. Sementara bahan rajutanya terlihat menjuntai ke lantai. Belakangan ia memang rajin melatih ketrampilannnya membuat aneka rajutan, semangatnya untuk melanjutkan kursus menjahit terlihat begitu besar.


“Ke rumah si Ade ponakannya Mang Sangka itu?”

“Iya, Mi.”

“Mau apa maghrib-maghrib begini? Terus si Ruby kemana, Mimi ngga lihat dari tadi?” ibu masih mengabsen anak-anaknya.

“Pastinya main lah Mi, ini khan hari Sabtu besok libur, jadi ngga pada belajar,” kata Mba Puji masih dengan kegiatan merajut benang-benang wolnya.


“Yaa tapi mereka ngga bilang dulu sama Mimi, ini ngga biasa. Memangnya mereka ini mau kemana sih?” ibu terlihat cemas dengan kalimatnya. Setidaknya maghrib itu, aku sengaja memang tidak pamit pada ibuku untuk pergi ke pasar malam muludan. Aku ingin ikut rombongan ‘anak-anak kereta’ yang malam ini akan main ke pasar malam, dan Ruby selalu ingin ikut. Oleh karena itu aku tak pamit pada ibu, masalahnya ia pasti tak mengizinkan aku pergi dengan Ruby malam-malam.


Selepas sholat maghrib di mushola Al Baroqah, kami memang tak langsung pulang akan tetapi pergi ke rumah Ade yang berada di Empang I. Semua anak kereta yang ingin pergi ke pasar malam memang harus berkumpul di sana pada ba’da maghrib, ini skenario kami untuk berangkat sama-sama ke sana. Melewati beberapa kampung dengan kondisi jalan yang masih gelap membuatku agak sedikit merinding. Apalagi untuk mencapai Empang I, aku harus melewati Empang III dan Empang II yang notabene masih banyak cerita angker. Seperti siluman ular berkepala perempuan, wewe gombel yang sering menculik anak-anak serta hantu gulang-gulang yang mencari tumbal. Semua cerita misteri di atas memang sangat ampuh dalam menakut-nakuti anak-anak seusian kami. Namun karena terdorong keinginan untuk bisa ikut pergi ke pasar malam muludan, semuanya tak berlaku lagi bagi kami.


Lima belas menit berlalu, kami baru saja melewati Empang III yang konon salah satu warganya punya pesugihan di situ. Oleh karena itu, kampung ini sering dipandang tidak aman bagi anak-anak kecil untuk jalan sendiri menjelang gelap. Pernah kudengar kalau tiga orang anak hilang selama tiga hari dan diketemukan sudah tak bernyawa dengan tubuh kaku. Banyak yang bilang kalau mereka dijadikan tumbal pesugihan, hanya saja tidak ada bukti yang menjerat warga yang selama ini dicurigai memelihara pesugihan. Orang-orang di kampungku biasa menyebutnya Ngipri atau muja ular. Jadi dengan proses ritual tertentu, mereka yang mencari kekayaan dengan jalan ini akan bersekutu dengan siluman ular. Biasanya pada malam Jum’at Kliwon, mereka yang sudah melakukan perjanjian ini akan tidur bersama sang siluman sepanjang malam. Sementara sisik-sisik ular yang jatuh pada proses tidur bersama itulah yang ketika pagi akan berubah menjadi uang, atau perhiasan intan berlian. Hanya saja tebusan untuk semuanya itu adalah tumbal anak kecil setiap tahun atau beberapa bulan sekali.


Beruntung aku dan Ruby telah melewati kampung itu, kini tengah menyusuri jalan kecil di Empang II yang sejak aku lahir masih jauh tersentuh listrik. Rumah-rumah di sini juga masih banyak yang hanya menggunakan petromak atau cempor untuk penerangan rumah mereka. Keringat masih mengucur diantara kami, ketika melewati Empang III kami memang agak sedikit bergegas meski tak lari. Ruby beberapa kali mengelap keringat yang meleleh di keningnya, ia terlihat lebih capek dariku. Meskipun sehat, Ruby dulu pernah sakit panas, sehingga sekali waktu ia terlihat agak lemah.


“Masih jauh Mas, rumah A Ade?”

“Sebentar lagi, Dik. Setelah kita lewati pos ronda yang di depan itu kita sudah sampai di perbatasan Empang I. Mudah-mudahan kita tidak ketinggalan anak-anak yang lain,” kataku terus menyemangati.

“Nanti Ruby jadi beli motor-motoran sama naik ombak banyu khan?”

“Ya, makanya cepat nanti kita ketinggalan rombongan,” kataku seraya mempercepat langkah untuk segera sampai ke rumah Ade.


Tak lama kemudian, kami berhasil melewati Empang II dan sampai di Empang I tempat Ade tinggal. Beberapa anak-anak kereta sudah berkumpul dengan canda tawa mereka. Rossi, Yatno, Kardi, Ahmad juga terlihat hadir di sana. Mereka sudah siap untuk segera pergi ke alun-alun Kraton Kasepuhan tempat pasar malam muludan di gelar.

“Bagaimana, Rist jadi berangkat? Lama sekali sih…,” Ade langsung menyambut kami.

“Ya iya lah, jauh-jauh aku ke sini khan karena ingin ikut tau,” kataku agak kesal menahan nafas yang tersengal. “Kapan kita berangkat?”


“Kalau semuanya sudah siap, ayo kita berangkat sekarang,” kata Rossi mengomando. Ia memang selalu bersikap seperti itu, padahal Ade tiga tahun lebih tua dari kami.

Setelah mempersiapkan aturan berangkat dan aturan ketika berada di sana, kami bertujuh malam itu mulai bergerak ke lokasi pasar malam muludan. Dimulai dari naik angkutan kota A1, angkot ini jurusan By Pass – Perumnas – Cangkol – Samadikun dan Gunung Sari. Kami akan berhenti di Cangkol karena dari sana letak alun-alun Keraton Kasepuhan sangat dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Para pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi juga harus berhenti di sana dikarenakan batas parkirnya memang dekat-dekat situ.


“Ingat ya, jalan-jalannya tidak lebih dari jam sembilan! Pukul sembilan tepat kita harus sudah berkumpul kembali di sini, mengerti,” Rossi masih mengambil alih komando, sementara yang lain hanya menggangguk menanggapi. Entah karena mengerti atau karena sudah tak sabar ingin segera bergabung dengan kemeriahan pasar malam.


Setelah itu kami berpencar, menuju apa yang menjadi incaran masing-masing. Meski kami kompak dalam beberapa hal, namun selera kami memang beda-beda. Ade lebih menyukai hal-hal yang berbau pendidikan, karenanya ia lebih senang berada di stand yang menjual perlengkapan sekolah dan buku-buku ilmu pengetahuan. Yatno lebih menyukai hal-hal yang berbau barang-barang mewah, karenanya ia senang berada di stand elektronik atau jejeran sepeda gunung seperti impiannya. Rossi sesuai dengan jiwa pemberontaknya lebih suka berada di stand yang menjual perlengkapan ekspedisi, seperti tas gunung, tenda, lampu badai atau perlengkapan berburu. Kardi dengan kondisinya lebih senang berada di stand yang menjual aneka barang mainan, baik yang terbuat dari plastik, kayu ataupun makanan. Ahmad yang alim lebih senang berada di stand yang menjual barang-barang spiritual, seperti aneka minyak wangi non alkohol, tasbih, sajadah, kitab-kitab kuning, dan yang tak ketinggalan adalah kopyah. Yang satu ini adalah barang favoritnya, ia tak pernah lepas dengan yang satu ini dikesehariannya.


Sementara aku yang mendampingi Ruby tak banyak pilihan. Selain mencari motor-motoran dari berondong, ia tak mau beranjak dari aneka permainan. Ini yang membuatku jadi terpisah jauh dengan rekan-rekanku. Ada keinginanku untuk menitipkan Ruby ke Kardi, setidaknya keinginan mereka sama. Namun segera kutepiskan keinginan ini, aku tak bisa menitipkan Ruby. Aku harus tetap menjaga amanah ibu, aku tak mau terjadi sesuatu dengannya.


“Yang lain pada kemana, Mas?” tanya Ruby yang terlihat berbinar-binar dengan motor-motoran berondong dalam pelukannya.

“Yaa pasti keliling pasar, Ruby sudah khan keliling-kelilingnya. Sekarang ke tempat sandal yuk,” aku berharap bisa mengganti sandal jepitku yang sudah usang ini dengan sendal lily atau daimato. Sudah lama sekali aku ingin mengganti sendalku, kata orang-orang harga sendal di pasar malam muludan bisa setengah harga.

“Tapi Ruby mau naik ombak banyu dulu, Mas.”

“Iya, tapi kita beli sendal Mas Harist dulu ya…,” bujuku.

“Ngga ah, naik ombak banyu dulu,” rengek Ruby makin memaksa.


Aku tak bisa menolak keinginan adiku, terpaksa kubelikan karcis untuknya naik ombak banyu. Harga-harga barang memang murah, tapi untuk karcis permainan terbilang cukup mahal. Mungkin karena masih menggunakan tenaga manusia sehingga harga karcisnya mencapai Rp. 100,- per lembarnya. Beruntung aku masih memiliki selembar uang ratusan, itu cukup untuk membeli selembar karcis ombak banyu.


Setelah sabuk dipasangkan di bangku tempat adiku duduk, ombak banyu yang 80 %-nya masih menggunakan tenaga manusia itupun mulai bergerak. Ruby terlihat begitu girang dengan ayunan dan rotasi kemidi yang makin kencang seperti ombak laut naik turun. Tangannya melambai setiap putarannya mengarah ke tempatku berdiri. Aku balas senyum dan melambai, meski fikiranku tertuju pada harga sendal lily atau daimato. Mungkinkah bisa kubeli dengan dua lembar uang lima ratusanku? Entah karena aku separuh berkonsentrasi pada putaran adiku, atau memang aku terlalu serius melamun, yang jelas tiba-tiba seorang pemuda menabraku dari belakang.


“Aduhh!!” teriaku.

“Maaf, maaf Dek, saya buru-buru,” katanya seraya segera berlalu.

“Iya, ngga apa-apa,” kataku menahan sakit.

Setelah enam menit, ombak banyupun mulai melambat. Dan ketika mesinnya benar-benar berhenti, semua penumpang diturunkan. Satu per satu anak-anak yang ada di bangku berputar itu diturunkan petugas ombak banyu, termasuk Ruby.


“Sudah selesai khan, ayo kita ke tempat sendal…” kataku seraya menuntun tangan Ruby, namun ia tetap diam dan tak mau bergerak. “Kenapa, khan sudah naik ombak banyu, ayo kita jalan lagi…”

“Ruby masih mau naik lagi, Mas…”

“Khan sudah, Ruby. Masak harus naik lagi, nanti kepalamu pusing loh,” kataku mencoba membujuk lagi.


“Ruby mau naik lagi Mas, sekaliii lagi aja,” Ruby masih terus merengek.

“Iya, tapi ke tempat sendal dulu ya, nanti kita ke sini lagi,” kataku terus membujuk. Namun Ruby masih tetap tak mau bergeming, tangannya malah memegang erat teralis pagar pembatas ombak banyu. Akupun menyerah, aku tak mau melihat Ruby ngambek, bisa repot kalau ia sampai nangis di pasar malam. Dengan terpaksa akupun kembali mendatangi loket karcis ombak banyu, namun saat aku hendak membayar karcis itu aku tak mendapati dua lembar uang lima ratusan yang sejak tadi kukantongi.


“Kenapa Dek, ada uangnya khan?” tanya penjaga karcis.

“Ta.. tadi ada, Pak. Tapii…,” kataku tergagap seraya terus mencari uang lembaran di saku celanaku.

“Kalau ngga ada, tolong geser yang lain mengantri.”

Dengan lemas akupun begeser dan mempersilahkan yang lain untuk mengantri dan membeli karcis. Dengan ragu aku kembali ke tempat Ruby .

“Mana karcisnya Mas, Ruby ingin naik, sebentar lagi mau diputar,” Ruby langsung memburuku.


“Iya, tapi uang Mas Haristnya hilang, Dik. Kita ngga bisa beli karcisnya.”

“Tapi Ruby mau naik lagi, Ruby mau naik kemidi putar sekali lagi…”

“Sudah dong, Dik. Mas Harist sudah ngga punya uang lagi, kita pulang saja, ayoo…,” Ruby tetap ngambek. Ia tak mau bergerak, ia tetap memegang erat teralis pagar pembatas. Matanya mulai sendu, seperti biasa Ruby mulai jurus ampuhnya sebagai bungsu, menangis. Melihat itu, aku segera menghubungi petugas ombak banyu untuk meminta sedikit dispensasi, kebetulan satu kursi terlihat kosong.


“Maaf, Nak. Bapak cari uang untuk makan keluarga Bapak, kalau yang naik pada gratis, bagaimana Bapak bisa makan?”

“Tapi Pak, sekali saja…” kataku memohon, “tadi saya punya uang, tapi hilang ketika hendak beli karcis. Tolong Pak, sekali saja, buat adik saya…”

“Heh, bocah, mesin itu harus diputar pake solar, dan solarnya tidak geratis tau!!” teman lelaki penjaga ombak banyu terlihat emosi. Mungkin dianggap hanya mengganggu pekerjaanya.


“Tolong Pak, sekali saja buat adik saya,” aku masih terus memohon dan berharap lelaki penjaga ombak banyu ini bisa meluluskan permohonanku, “sa… saya mau melakukan apa saja untuk membantu Bapak, asal adik saya bisa ikut naik sekali saja Pak…”

“Baik, kalau itu mau kamu,” lelaki yang bertampang kurang ramah tadi terlihat makin kesal, “kamu bisa bantu saya memutar tuas poros ombak banyu itu, sebelum mesinya berjalan. Dengan perhitungan, adik kamu naik sekali tapi kamu harus mendorong sebanyak lima kali puteran, sanggup tidak?”


Aku terdiam, aku menyesal dengan perkataanku sendiri. Sesaat kutatap wajah Ruby yang begitu memelas ingin naik ombak banyu, akupun akhirnya tak berfikir panjang lagi. “Saya mau Pak, asal adik saya bisa naik…”

“Oke, sana naikan adikmu ke kursi yang masih kosong itu!”


Akupun segera beranjak dan menggandeng Ruby untuk naik kursi ombak banyu yang masih kosong. Ruby terlihat begitu senang, aku jadi makin bersemangat dengan tekadku membantu lelaki penjaga kemidi putar. Meski dua orang penjaga ini nampak berbisik-bisik di sampingku, aku tak peduli! Yang penting Ruby bisa naik ombak banyu.


“Kasihan anak itu, ia mau berkorban hanya untuk sekali naik ombak banyu” seru penjaga yang lebih tua.

“Padahal khan saya cuma main-main, Kang. Rupanya ia serius ingin menyenangkan adiknya, aku jadi ngga tega…”

“Kamu siih, keterlaluan bercandanya…”


Begitulah, demi untuk Ruby aku merelakan acara suka ria di pasar malam muludan ini dengan menjadi tukang putar tuas poros ombak banyu. Meski tubuh kecil ini terlihat letih dan kelelahan dengan pekerjaan yang tak seharusnya, aku terus berusaha untuk memenuhi janjiku pada lelaki penjaga ombak banyu. Melihat kesungguhan dan keseriusanku, akhirnya mereka menghentikan aku bekerja hanya pada putaran yang ke tiga. Dua putaran berikutnya, aku malah di suruh istirahat dan diberi es teh manis.

“Capek ya…”


Aku tak mampu menjawab, nafasku masih tersengal-sengal. Badanku rasanya hacur berkeping menahan pegal dan lelah. Perlahan kuminum es teh manis yang di sodorkan lelaki itu, dan langsung habis tak tersisa.

“Terima kasih,” kataku.

“Sama-sama, Nak. Maaf kalau kami membuatmu jadi kelelahan seperti itu, kalau saja kamu…”


“Ngga apa-apa, Pak. Yang penting adik saya senang,” kataku mencoba untuk tersenyum, seraya melirik ke arah Ruby yang terlihat mulai mengantuk. Ia juga terlihat kecapaian menungguiku selesai bertugas.

“Besok, kalau mau naik ombak banyu lagi, temui saya saja yaa,” lelaki bertubuh gempal itu tersenyum menawarkan persahabatan.

“Iya, Pak. Terima kasih, saya mau pamit sekarang.”

“Ya, ya.. hati-hati ya!”


Akupun berlalu dari lokasi ombak banyu, dengan tubuh lelah yang amat sangat. Namun meski begitu aku merasa bahagia, aku bisa membuat Ruby senang. Dan yang terpenting aku masih bisa menjaga amanah ibu, untuk dapat menjaga dan melindungi adiku. Terima kasih Yaa Allah, Engkau beri kekuatan pada tubuhku dan menunaikan tugasku…

*****


Siang ini kami berkumpul di gerbong tua yang sering kami jadikan tempat istirahat. Obrolan mengalir pada pengalaman indah menikmati kemeriahan pasar malam muludan. Ini tak biasa bagi kami, karena ini adalah pertama kali bagi kami menikmati pasar malam muludan secara bebas. Kami biasa hanya ikut orang tua atau kerabat, yang pastinya serba di atur dan tak puas melihat-lihat. Namun tahun ini kami bisa berekspresi dengan apa saja yang memanjakan mata anak-anak kami. Meski sejujurnya aku sendiri tak begitu mendapatkan apa yang diharapkan, namun dengan tetap bisa menjaga dan menyenangkan Ruby bagiku sudah cukup.


“Aku dapat buku pintar yang berisi segala macam ilmu pengetahuan, Ros. Kalau ngga salah di toko buku harganya mahal sekali, tapi kemarin aku cukup bayar tiga ribu rupiah saja,” Ade terlihat bangga dengan barang hasil buruannya.

“Kalau aku dapat tas ransel untuk naik gunung, meski ngga baru tapi masih bagus. Lumayan bisa dipake kalau aku mau ngamen jarak jauh,” Rossi ngga mau kalah.

“Ka… kka… lau aakku, dapat pppistol llallampu wwawarna warni,” Kardi ikut menyambung, “nnii… lihat!” Pistol plastik dengan batu batere yang memiliki lampu warna-warni nampak terselip di pinggangnya, Kardi menunjukan itu dengan bangganya.


“Waah, aku juga ngga mau kalah nih,” kata Yatno menimpali seraya menunjukan sweater bunga-bunga. Tidak terlihat baru sih, tapi masih layak untuk dipakai, hanya saja kerahnya terlihat miring-miring di leher Yatno. “Aku dapat baju ini dengan harga Rp. 750,- doang. Aku beli tiga, satu untukku dan dua buat Makne, diakan sering begadang untuk bikin buras, jadi biar ngga kedinginan.”

“Kalau kamu dapat apa, Rist?” Ade melempar tanya padaku yang sedari tadi hanya asyik mendengarkan beragam kegembiraan teman-temanku.

“Aku?” tanyaku agak bingung.


“Iya, kemarin kamu bilang mau cari sendal baru khan? Bagaimana dapat ngga?” Ade masih terus bertanya padaku.

“Sebenarnya aku mau membelinya, De. Tapi uangku mendadak ada yang mencopet, jadi batal untuk membeli sendal Lily atau Daimato,” kataku agak memelas.

“Yah, dan kulihat kamu juga harus membantu tukang ombak banyu semalam, kenapa?” Rossi mulai menyambung ceritaku.

“Ruby mau naik ombak banyu dua kali, sedangkan uangku tak tersisa sama sekali, ludes diambil pencopet. Jadilah aku membuat kesepakatan untuk membantu mereka asal Ruby bisa naik kemidi putar sekali lagi.”


Keempat temanku menatap lurus ke arahku, entah apa yang ada dalam pemikiran mereka. Yang jelas ada sorot tulus dari pandangan mereka terhadapku.

“Kamu kakak yang baik, Rist. Kalau aku punya adik seperti Ruby, mungkin juga akan melakukan hal sama…” Ade menepuk pundaku, entah apa yang ia tangkap dari perkataanku yang sebenarnya asal keluar itu. Detik berikutnya tiga orang temanku yang lain malah ikut merangkul pundaku, mungkin wujud solidaritas mereka akan rekan senasib dan sepenanggungan.


“Masih banyak waktu untuk kita bisa ke muludan lagi Rist,” tiba-tiba Rossi bersuara memecah keheningan sesaat, “jadi ngga perlu kecil hati, kita akan puaskan kembali keinginan kita menjelajah setiap sudut kemeriahan pasar malam muludan, ok?”

“Siip, aku juga masih ingin lihat atraksi motor dengan roda gilanya!” Yatno ikut berteriak menyuarakan semangatnya.

“Aku juga belum puas mengelilingi stand buku dan perlengkapan sekolah, kelihatannya aku masih mau beli beberapa buku dan alat tulis,” giliran Ade ikut berandai-andai.


“Kkkaalau akk.. aku inginnn beli pistol lllallagi, yang bi bi bissaa nembakkin aa..air,” Kardi malah terlihat lebih semangat dari yang lain, matanya berputar-putar menahan gejolak di hatinya. Pasar malam muludan memang mengandung aura histeria bagi anak-anak seperti kami.

“Aku masih berburu gitar yang bagus untuk mengembangkan hobi dan bakat musiku, jadi pastinya aku juga takan menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati pasar malam muludan,” Rossi menunjukan keseriusannya. Ambisinya untuk menjadi pemusik tenar, membuatnya sangat terobsesi memiliki gitar dengan merek ternama.


Aku tersenyum, rasanya hatiku juga terpancing untuk menyuarakan keinginan yang tertunda dari kemeriahan pasar malam muludan. Semoga saja masih ada kesempatan dan rezeki untuku bisa memiliki sendal baru, menggantikan sendal jepitku yang sudah uzur. “Aku ingin punya sendal baru…”

“Yeahh!!! Ayo kita kumpulkan uang lagi, kita serbu pasar malam lagi!!” Rossi berteriak seraya mengacungkan gitar kecilnya ke udara. Disambut semua rekan-rekanku, semangat kami pun segera bergelora untuk menjemput rezeki kami hari ini. Demi obsesi dan keinginan kecil kami, menikmati kemeriahan pasar malam muludan yang hanya ada satu tahun sekali.


Langkah kamipun kemudian bergegas menyerbu gerbong kereta yang mulai langsir dan transit di stasiun kota Udang ini. Penuh semangat kami tunjukan segala aset dan kemampuan berniaga kami untuk menarik para pembeli, demi keuntungan yang akan kami belanjakan pada pasar malam. Kalau sudah seperti itu, waktu rasanya tak begitu berpengaruh pada segala gelora menjemput mimpi kami. Segala peluh dan lelah juga tak lagi mampu menghalangi kami untuk tetap konsentrasi mendapatkan apa yang kami inginkan dalam lintasan hari ini. Hingga jingga mulai berarak di atap gerbong-gerbong kereta yang menguji kesungguhan dan kegigihan kami meraih mimpi.


Namun meski langkah-langkah kecil kami masih terus bergerak melintasi semangat hati kami, waktu tetaplah waktu. Ia tak dapat di cegah untuk diam atau mundur ke belakang. Seperti juga kondisi fisik kami, yang tak lagi mampu dipaksakan. Ketika bulir peluh dan kelelahan menjadi bagian sentral batas kemampuan kami. Dan sentuhan terakhir dari kesemuanya itu adalah taqdir Allah atas segala wujud dan bentuk ikhtiar hamba-Nya. Keputusan-Nya adalah penentu dari semua kemungkinan di jalanan hidup manusia. Seperti yang terjadi pada rekan kami, Rossi.


Ketika semangat dan jiwanya terus bergejolak untuk mencoba meraih apa yang menjadi mimpi dan obsesinya, Allah menentukan bukti sayang-Nya. Dengan meraih dan mengambil Rossi dari segala ketakmenetuan langkah hidup yang ia jalani. Tepat ketika senja meronakan jingga, langkah kaki kecil Rossi telah menuntunya untuk menggapai mimpinya yang paling hakiki. Menjadi bagian hamba yang disayang dan dicintai-Nya. Ia telah menjemput syahid atas ikhtiar terbaiknya menyikapi kerasnya hidup ini.


Rossi tergelincir ketika hendak pindah dari satu gerbong ke gerbong yang lainya, ia jatuh terpeleset dan masuk diantara derap roda-roda besi yang telah mengawal masa kanak-kanak kami. Rossi telah menjemput mimpi damai dan abadinya. Rossi meninggal dengan tubuh yang hacur tergilas gerbong tempatnya menggantungkan semua impian dan harapan. Dan rinai kecil yang turun senja itu seakan melengkapi episode paling pilu dalam sejarah perkawanan kami. Tetes darahnya menggenangkan warna merah kental ke seluruh penjuru rel tempat bermain kami…


Kami tak lagi mampu berkata-kata, tak lagi mampu berbuat apa-apa. Hanya diam dengan hati pilu serta air mata yang bercampur rintik hujan senja ini. Kami terus begitu, ketika gerbong-gerbong harapan itu terhenti dan menyeruakan histeris para penumpang yang ada di dalamnya. Beberapa petugas dan orang tua berlarian menghampiri jasad remuk sahabat kami. Ada isak tangis, jerit pilu juga sesal yang menelikung setiap tatapan wajah mereka. Ini taqdir yang sangat menyesakan dari kehidupan anak jalanan seperti kami. Entah siapa yang harus dipersalahkan ketika ini terjadi, yang jelas semuanya ini adalah sekenario nasib yang kebetulan harus kami jalani. Dan pastinya yang terbaik yang Allah designkan untuk kami.


Selamat jalan Rossi! Selamat jalan sahabatku, akan selalu kukenang semangat dan sikap hangatmu dalam hidupku. Banyak hal darimu yang membuatku tetap tegar dan semangat menghadapi segala kenyataan hidup ini. Terima kasih sahabat, semoga Allah telah menyiapkan perhelatan terbaik untuk menyambut jasad muliamu…

******


Rinai meronakan jingga, ketika langkah kaki kami meninggalkan pusara kecil saudara kami, Rossi. Meski pilu dan getir di hati kami, namun kami terus berjuang untuk tak meneteskan air mata. Terlalu cengeng bagi seorang Rossi yang selalu mengobarkan semangat kami. Ia tak pantas mendapatkan itu! Kami yakin ia hanya ingin kami tetap dan terus bersemangat meraih mimpi dan obsesi kami. Meski kini langkah kecilnya, semangat bergeloranya, canda dan sikap nekatnya, tak lagi membarengi kami. Namun kami tetap yakin, kalau ia tetap hadir dalam jiwa dan semangat kami. Kami juga yakin, kalau Rossi tetap melihat dan memperhatikan kami dari atas sana. Dan pastinya ia tak ingin kami surut langkah dalam meraih dan menggapai mimpi kami…

“Semoga api semangat yang selalu kau kobarkan tetap menyala di hati kami, Ros…,” suaraku lirih diantara sisa taburan bunga yang kami bawa sore itu.

******


[1] Sebutan untuk penghujung waktu perayan maulud Nabi di Kraton Kanoman dan Kesepuhan

[2] Permainan yang terdiri tempat duduk melingkar dari kayu , memuat lima belas sampai dua puluh orang dan berputar mengelilingi poros yang terbuat dari besi-besi gerigi besar. Pengoperasian ombak banyu masih manual, oleh karena itu, harus selalu ada yang memutar tuas porosnya untuk terus bisa berputar

[3] Makanan racikan yang terdiri atas lontong, aneka sayur, parutan kelapa, kerupuk dan sayur dage

Tidak ada komentar:

Posting Komentar