Setelah Lima Belas Tahun Itu
“Jadi berangkat ke Cirebon hari ini, Yah?” istriku membuyarkan semua lamunanku sore itu. Semua persiapan untuk pendaftaran ibadah haji telah lengkap, kini tinggal mendaftarkannya saja. Aku memutuskan untuk ikut rombongan jemaah haji dari Cirebon, karena kuota di Banten untuk pemberangkatan tahun ini telah penuh. Oleh karena itu aku berniat kembali pulang ke tanah kelahiranku hari ini. Sebetulnya aku ingin melaksanakan ibadah haji ini dengan orang yang paling setia mendampingiku selama ini; istriku. Tapi ia baru saja melahirkan tiga bulan lalu, disamping bekal pendaftaran ini juga hanya cukup untuk satu orang. Aku sempat mengurungkan niatku, kalau saja istriku tak meyakinkan kalau akan ada masanya aku akan berangkat kembali bersamanya. Setidaknya keberangkatanku kali ini memang demi sebuah janji, janji yang telah lama sekali untuk ibuku!
“Insya Allah, Ayah pulang secepatnya, mungkin sekitar tiga atau empat hari. Emang, ada apa Bunda ?” aku balik bertanya pada istriku yang masih sibuk mengepak beberapa pakaianku.
“Tidak ada apa-apa sih Yah, cuma itu dari kemarin si Dede batuk-batuk terus,” suara istriku agak terdengar sember, pasti ia kecapaian mengurus kedua anakku yang masih batita.
“Si Dede masuk angin lagi? Sudah diolesi minyak telon belum?”
“Sudah, malah ditaburi bawang tumbuk tadi…”
“Terus, masih batuk juga?” istriku mengangguk perlahan . Aku jadi bingung, anaku yang kedua ini memang agak manja walaupun ketika lahir beratnya mencapai 4,2 Kg, tapi dia tidak terlalu kuat dengan cuaca yang sering hujan begini.
“Bagaimana kalau kita bawa ke dr. Weni saja …”
”Kalau memang harus, yaa kesana sekarang saja!” kataku singkat.
”Tapi Yah...”
”Sudah ngga apa-apa, Bunda. Berangkat kesana saja dulu . Biar pulang dari sana saja ayah berangkat ke Cirebon...”
”Kalau begitu sebentar Bunda bangunkan Giffary dulu, biar ikut sekalian” Kamipun segera berangkat menuju rumah praktek dr. Weni pagi itu. Yang jelas aku ingin kepergianku tidak meninggalkan kecemasan pada anak keduaku itu.
“Yaa Allah… semoga tidak ada apa-apa dengan anaku Noor Rivandy,” aku terdiam, fikiranku mulai melayang kembali. “Ya Allah, permudah jalanku untuk dapat memenuhi janjiku. Permudah segala permasalahan yang ada di langkahku untuk sebuah niat tulus dari hatiku...” doa itu terus terucap di hatiku di sepanjang perjalananku menuju tempat kelahiranku, Cirebon.
%%%%
Dengan niat yang bulat kulangkahkan kakiku memasuki kantor pelayanan penyelenggaraan haji yang terletak di samping ruang utama, beragam pertanyaan telah kusiapkan sejak di rumah. Hari ini aku akan memantapkan hati pada janjiku yang tertunda, pada niat yang telah lama terpendam. Niat dan janji untuk seseorang yang telah begitu banyak berkorban untuku, untuk seseorang yang sangat berarti dalam kehidupanku. Setelah lima belas tahun ini, aku ingin semuanya tertumpah sudah. Aku ingin semuanya terpenuhi dengan sempurna!
“Assallamu ‘allaikum…”
“Wa allaikum sallam, ada yang bisa kami bantu, Pak?” seorang lelaki kurus paruh baya menyambutku dengan ramah. Sesaat aku menjabat tangannya dan duduk di sebuah kursi yang telah ia persiapkan. Ruangan 3 x 4 meter ini mendadak menyergapku, entah mengapa mulutku tiba-tiba kelu. Beberapa kaligrafi dan gambar-gambar tanah haram lengkap dengan ka’bah menyedot hampir seluruh focus pupil mataku. Hatiku berdesir merasakan kesejukan sesaat dari apa yang kulihat, hingga tak terasa senyumku tersimpul kecil.
“Ingin mendaftar, Pak?”
Aku mengangguk seraya tersenyum simpul, sementara lisanku masih kelu untuk berucap. Mungkin pandangan mataku menyiratkan semuanya itu, hingga tanpa sungkan bapak yang berada di depanku itu ikut tersenyum ke arahku. “Alhamdulillah, Allah telah memanggil dan mengundang Bapak untuk menjadi tamu-Nya. Semoga akan menjadi kebarokahan….”
Bapak Hamid, demikian papan nama dari seragam yang lelaki kurus ini. Ia nampak cekatan dan kulina dengan beragam formulir yang menjadi tugas hariannya ini. Tangannya yang terlihat tak muda lagi masih terlihat terampil untuk mencatat beberapa persyaratan awal bagi para pendaftar calhaj dengan tulisan latinnya. “Ini beberapa persyaratan yang harus pertama-tama dilengkapi, Pak. Silahkan Bapak mengisinya dengan huruf cetak.”
Kuraih formulir yang berwarna hijau itu. Sesaat akupun mulai mengisi formulir yang telah lama kudambakan ini. Lengkap! “Saya belum membawa foto dan rekening setoran dari Bank yang ditunjuk, Pak.”
“Bapak Harist,” demikian lelaki ini membaca formulir yang aku sodorkan, “nanti saja, Pak. Setelah Bapak menyetorkan dana awal BPIH pada bank yang ditunjuk.”
“Kira-kira kapan terakhir saya kembali, Pak?” tanyaku ragu.
“Kalau bisa secepatnya Pak, masalahnya semakin hari semakin banyak yang mendaftar. Kami takut akan berpengaruh pada kuota calhaj, dan Bapak bisa saja tidak termasuk jika terlambat menyelesaikan syaratnya.”
“Kalau begitu saya harus menyiapkan secepatnya, Pak?”
“Benar sekali Pak Harist. Semakin cepat Bapak menyelesaikan persyaratannya, semakin pasti kuota kursi calhaj untuk Bapak. Dari 17.000 orang kuato Provinsi Jabar tahun ini, untuk Cirebon tinggal 200 – an orang lagi. Jadi kalau Bapak berniat mengikuti pemberangkatan calhaj tahun ini, yaa kami harap dapat segera melengkapi persyaratannya, Pak.”
“Baik Pak, terima kasih. Besok saya akan kembali ke mari, mudah-mudahan saya bisa melengkapi apa yang menjadi persyaratannya.”
“Baik, kami tunggu Pak Harist.”
“Terima kasih,” setelah kujabat tangan dan mengucapkan salam, akupun berlalu dari kantor bercat hijau itu.
Sesaat pandanganku tertuju pada hamparan aspal yang nampak begitu panas di depanku, seingatku , jalan-jalan ini dulunya becek dan kecil. Bangunan-bangunan mewah dan gagah juga menghiasi setiap ruas jalan Pemuda yang tersusun apik ini. Beberapa diantaranya malah terlihat sangat mewah untuk kota kecil seperti Cirebon ini. Beberapa Mall berlantai empat dengan fasilitas lengkap juga menjadi penghias sudut kota kelahiranku. Tak ketinggalan taman kota dan jalur hijau yang tersusun rapi menjadi pelengkap penggambaran kemajuan kota ini. Rupanya banyak yang telah berubah setelah lima belas tahun berlalu. Aku benar-benar pangling dengan perubahan wajah kotaku ini.
Laju kendaraanku berbelok ke arah Jalan Tentara Pelajar, di jalan ini kutemui pula Grage Mall, salah satu mall yang menjadi pusat perdagangan modern. Disampingnya berdiri Gedung BRI dengan menara yang menjulang menyaingi tugu selamat datang PDAM dihadapanya. Jalan ini memiliki empat ujung, selain Jalan Dr. Wahidin yang menuju ke arah Kabupaten Indramayu, Jalan Kartini yang menuju pusat kota, ada juga Jalan Tuparev yang menuju ke arah Kabupaten Cirebon, tempat almarhumah ibuku di semayamkan. Aku memutuskan untuk mampir dan berziarah ke sana. Aku ingin mengenang peristiwa lima belas tahun yang lalu ketika aku menghantarkannya beristirahat. Suasana jalan ini juga banyak yang berubah. Beberapa show room mobil, mini market, hotel dan perguruan tinggi nampak berjajar di sepanjang jalan yang dulu terlihat sunyi ini. Mataku tak berhenti menatap setiap sudut jalan yang dulu juga merupakan arah keseharianku menuju SMA-ku.
Lima belas tahun yang lalu itu seakan kembali terbayang di mataku. Di jalan ini pula, mataku seolah melihat sesosok pemuda yang tertelikung pada keterbatasan dan ketakmampuan menghadapi tuntutan zaman. Hanya sebuah harapan ingin hidup maju, yang membuatnya tetap semangat menjalani semua keterbatasan itu. Meski terkadang ia ragu, namun langkahnya tetap tegap menapaki ketakmenentuan nasibnya.
“Koq melamun Mas, ada yang diingat yah?” suara Mardi membuyarkan lamunan sesaatku, “jadi mau ziarah ke makam Ibu?”
“Iya, masuk di gang itu, sebelah ATM Mandiri,” kataku seraya menunjuk sebuah jalan kecil di sisi jalan ini.
Namanya Pemakaman Tedeng, dulu tempat beristirahatnya salah satu pengawal Sunan Gunung Jati yakni Pangeran Tedeng. Daerah ini sudah sejak lama di waqafkan oleh pemiliknya untuk pemakaman umum. Beberapa penduduk kota Cirebon memang memanfaatkan daerah ini selain puluhan pemakaman umum lainnya, seperti Pangeran Drajat, Pronggol, Kesambi, Tangkil, dan Kesunean.
Ibu disemayamkan di TPU Tedeng lima belas tahun yang lalu. Ia harus merelakan seluruh semangat dan hidupnya untukku, untuk kami anak-anaknya, ketika penyakit levernya lebih ganas dari yang pernah kami bayangkan. Ada rasa sesal yang tak pernah lekang dihati ini, ketika kuingat belum banyak yang dapat kuberikan untuk Ibu.
“Yaa Allah, ampunilah dosa dan kesalahan Ibu hamba, terimalah ia sebagaimana Engkau terima orang-orang yang Kau kehendaki. Sayangilah ia sebagaimana ia telah menyayangiku. Lapangkanlah kuburnya Yaa Allah, mudahkanlah hisabnya Yaa Allah….” Kuusap wajahku dengan kedua tangan ini. Kurasakan bulir bening hangat menggenang di pipiku. Perlahan, kutaburkan bunga-bunga yang telah kurendam air sejak semalam. Harapanku, air bunga ini dapat memberikan kesejukan sebagaimana doa yang kupanjatkan untuknya.
Tak berapa lama akupun meninggalkan kompleks pemakaman ini, aku berusaha melupakan segala kesedihan dan penyesalanku yang telah lama terpendam selama ini. Setidaknya setelah lima belas tahun itu , rasa sedih dan piluku akan kepergiaannya memang masih begitu lekat di hati ini. Dan setelah lima belas tahun itu pula, aku akan mencoba menutupi semua rasa itu dengan menunaikan sebuah janji pada ibuku.
“Saya Deni Sastranegara, silahkan duduk Pak…” seorang customer service dengan ramah menjabat tanganku, “ada yang bisa kami bantu Pak?”
“Saya Harist, el Harist. Saya ingin menyetorkan BPIH untuk tahun ini, bagaimana caranya?”
“Ooh, begini Pak. Untuk dapat menyetorkan pembayaran minimal BPIH, Bapak diharuskan membuka rekening tabungan haji terlebih dahulu. Kemudian Bapak dapat menyetorkannya melalui tabungan tersebut,” kata petugas CSO yang terlihat lebih muda dariku.
“Apa itu berarti setelahnya saya telah resmi sebagai calhaj, Mas?” tanyaku agak ragu.
“Benar Pak, karena dengan setoran minimal itu, secara resmi pihak kami akan meregristrasikan nama Bapak sebagai calhaj ke instansi penyelenggara haji pusat yakni Departemena Agama Pusat.”
“Setelah itu, kapan saya mendapatkan kursi dan kloter haji, Mas Deni?” aku begitu semangat dengan informasi penyelenggaraan haji ini.
“Begini Pak Harist, setoran minimal Bapak memang secara otomatis telah memberikan kepastian bagi Bapak untuk menjadi calon jemaah haji. Akan tetapi mengenai kepastian berangkat dan kelompok terbangnya, masih menunggu keputusan daftar tetap dari Departemen Agama setelah diurutkan sesuai dengan pendaftaran. Jadi, semakin cepat Bapak mendaftarkan dan menyetorkan ongkos minimalnya akan semakin memungkinkan Bapak mendapat kepastian berangkat,” lelaki muda ini menerangkan begitu panjang. Sepertinya sudah sangat ia kuasai sekali. “Bisa difahami, Pak?”
Aku mengangguk perlahan mewakili jawaban mengertiku.
“Kalau Bapak sudah bisa memahami, silahkan Bapak mengisi formulir aplikasi untuk pembukaan rekening tabungan haji Bapak. Bagaimana?”
“Baiklah kalau begitu,” kataku seraya menarik formulir yang sejak tadi sudah siap di hadapanku. Dengan seksama akupun mulai mengisi formulir aplikasi tabungan haji ini, hati-hati sekali. Entah karena aku begitu semangat atau memang rasa bahagia yang tak bisa kusembunyikan, petugas CSO ini nampak serius memperhatikanku dengan senyum simpulnya.
“Saya melihat Bapak begitu gembira dan bersemangat sekali,” begitu kata petugas CSO ini akhirnya. Sebagian besar dari mereka memang begitu ketika melayani para nasabah, mungkin ini yang membuat instansi swasta selalu lebih unggul secara kualitas dibandingkan kami yang duduk di instansi pemerintah. Mereka begitu serius dan konsentrasi terhadap job discriptionnya. Atau minimal standar pelayanan bagi konsumen yang mereka jalankan seutuhnya.
“Saya sudah menunggu saat-saat seperti ini selama lima belas tahun, Mas,” kataku mencoba menganggapi, “betapa besar kebahagiaan dan kegembiraan yang tengah saya rasakan.”
“Saya sering menemui nasabah seperti Bapak, khususnya untuk urusan yang satu ini. Dan saya sangat memaklumi perasaan bahagia dan gembira mereka,” petugas CSO ini tersenyum simpul seolah ikut hadir dalam kebahagiaan yang tengah aku rasakan. “Apalagi untuk sebuah penantian selama lima belas tahun.”
Aku menghentikan tarikan penaku, sesaat kutatap wajah lelaki muda ini. Kalimat terakhir yang terucap itu seolah semakin meyakinkan bahwa aku memang telah melewati lima belas waktu menunggu. Aku telah melewati begitu panjang penantian untuk dapat memenuhi sebuah jani yang tertangguh.
“Maaf,” lelaki muda ini tiba-tiba merasa bersalah dengan ucapannya sendiri.
“Oh ngga, ngga apa-apa! Mas Deni benar, saya memang telah menunggu dan menantikan hal ini selama lima belas tahun. Kalimat Mas Deni yang terakhir itu seolah mengingatkan dan meyakinkan saya bahwa saya benar-benar telah melewati masa penantian ini…”
Senyum kembali mengembang di wajah pemuda berpenampilan bersih ini. Sikapnya yang supel dan begitu ‘care’ pada para nasabah, membuatku benar-benar berharga sebagai seorang nasabah. Saya sendiri sebetulnya tidak peduli dengan sikapnya, apakah itu tulus dari hatinya atau hanya sekedar memenuhi tuntutan tugasnya. Yang jelas aku memang sedang bahagia. Rasanya aku ingin membagikan rasa itu kepada siapapun, aku juga ingin semua orang tahu kalau sebentar lagi aku mampu memenuhi janjiku.
“Pak Harist berangkat sendiri?”
“Iya,” jawabku seraya mengangguk, “sebetulnya saya ingin sekali berangkat dengan istri saya, Mas. Akan tetapi selain memang tabungan saya hanya cukup untuk satu orang, kami baru saja dikaruniai anak kedua. Dia masih terlalu kecil kalau harus kami tinggalkan…”
“Mudah-mudahan istri Pak Harist dapat segera menyusul, Pak.”
“Terima kasih, Mas. Dan semoga Allah juga memberikan izin-Nya untuk saya berhaji,” kataku perlahan penuh harap.
“Memang kata yang sudah berangkat, keinginan untuk kembali ke tanah suci itu begitu besar, Pak Harist. Tapi wajibnya khan sebenarnya cuma sekali dalam umur kita…”
“Benar Mas, tapi keberangkatan saya kali ini bukan untuk saya pribadi.”
Lelaki muda ini agak bingung, ekspresi wajahnya terlihat berubah, “memang Pak Harist melaksanakan haji untuk siapa?”
“Untuk sebuah janji yang telah terpendam selama lima belas tahun, Mas,” kataku serius, “sebuah janji yang tak pernah saya bayangkan akan dapat saya tepati di posisi saya yang hanya pegawai negeri.”
“Maksud Pak Harist?”
“Untuk Ibu saya, saya dulu pernah berjanji untuk memberangkatkanya. Saya berjanji untuk tidak menikah sebelum mampu mengumpulkan ongkos, ibadah haji Ibu, yang sebetulnya sangat mustahil untuk kami yang kurang mampu.” Sesaat aku menarik nafas, mencoba meredakan gemuruh rasa yang ada di hati ini. “Hanya saja saya belum mampu memenuhi janji itu ketika Ibu lebih dahulu dipanggil menghadap-Nya.”
“Jadi, maksud Pak Harist, perjalanan haji Bapak kali ini diniatkan untuk ibu Bapak?” tanya petugas CSO ini kembali.
Aku mengangguk. Dengan senyum tersimpul di bibir ini. Puas sekali rasanya, bisa melampiaskan apa yang terpendam dihati ini.
“Saya yakin, ibu Pak Harist bangga dan bahagia sekali.”
“Saya berharap begitu.”
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Setelah kuselesaikan semua persyaratan administrasi, akupun kembali melanjutkan perjalanan pulang ke rumah tua peninggalan almarhumah ibu. Di sebuah perkampungan pesisir, di pinggiran Kota Udang. Tinggal Mbak Tini yang ada di sana. Semua kakak-kakaku sudah berkeluarga dan tinggal terpisah, hanya Mbak Tini yang sengaja kami harapkan untuk tetap tinggal dan mengurus rumah kenangan kami ketika ia kembali dari Padang.
Aku sendiri memutuskan untuk tinggal di rumah tua ini, selama pengurusan pendaftaran ibadah haji. Banyak kenangan di rumah petak berukuran 54 meter persegi ini. Aku lahir dan besar di sini, begitu juga keenam saudara-saudaraku. Oleh karena itu aku merasakan ada ikatan yang kuat antara aku dan rumah sempit ini. Itu pula yang membuatku terkadang berkhayal ingin merenovasi kembali rumah ini menjadi lebih layak tinggal, setidaknya agar semua kenangan yang pernah ada tidak lekang dari ingatan kami. Namun entah kapan, semoga Allah memberikan izin dan rezeki-Nya untukku.
“Dapat izin berapa hari, Rist?” Tanya Mbak Tini seraya menyodorkan teh manis kesukaanku.
“Cuma dua hari, Mbak. Makanya kalau semua ini selesai hari ini, besok pagi atau nanti malam saya langsung kembali ke Banten. Banyak tugas yang harus Harist selesaikan di sana,” kataku menjelaskan.
“Istri dan anak-anakmu siapa yang menemani?”
“Ada Bapak dan Ibu Mertua, kebetulan sedang berlibur di Serang sejak tiga hari yang lalu. Oleh karena itu, Harist bisa mengurus pendaftaran ibadah haji di sini.”
“Kenapa tidak di Serang saja, Mang?” Upi Wulandari yang anak bungsu Mbak Tini turut bertanya.
“Mamang sih, inginnya begitu. Tapi selain di Serang sudah tutup kuotanya, Mbak Atin ingin Mamang ikut jemaah haji dari sini. Katanya biar bisa untuk ajang ngumpul sekeluarga lagi,” aku menghirup teh manis yang masih panas ini perlahan, “kapan katanya Pakde (Bapakku) mau ke sini, Pi?”
“Entah Mang, katanya sih hari ini. Mungkin nanti sore…”
Aku tersenyum menanggapi jawaban keponakanku yang tahun ini lulus SMK itu. Selintas terbayang di benakku, wajah Bapak yang telah lama tak kutemui. Lebaran kemarin aku tak mudik ke Banjarnegara tempat Bapaku sekarang tinggal. Beliau memutuskan untuk tinggal di rumah peninggalan almarhumah nenek yang memang asli dari sana. Bapak lebih sering beristirahat di sana daripada berkumpul dengan kami anak-anaknya. Mungkin karena kami semua telah berkeluarga, jadi Bapak fikir tak mau merepotkan kami. Akan tetapi meski begitu, Bapak rajin kirim surat dan mengecek kami semua anak-anaknya. Beruntung teknologi bukan sesuatu yang mahal lagi sekarang, sehingga beberapa tahun terkahir ini kami terbiasa berhubungan dengan beliau cukup melalui sms atau obrolan singkat.
“Terus rencana selanjutnya bagaimana, Rist?”
“Katanya, Harist tinggal menunggu panggilan dari pihak bank atau Depag untuk jadwal persiapan manasik dan jadwal pemberangkatan. Mudah-mudahan semuanya lancar, ya Mbak.”
“Insya Allah, Rist. Semoga Allah memberikan izin-Nya untuk niatmu ini.”
Beberapa bulan kemudian panggilan itupun datang. Aku diharuskan menyetorkan kembali biaya kekurangan ibadah haji, setelah sebelumnya aku juga mengikuti rangkaian persyaratan administrasi lainnya. Setelah semuanya itu aku dan beberapa orang yang dinyatakan berhak dan akan berangkat haji tahun ini, dikumpulkan di Depag Kota Cirebon. Kami diberi pengarahan tentang apa dan bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah haji yang baik dan benar. Beragam ilmu dan pengetahuan diajarkan kepada kami, mungkin sifatnya lebih meyakinkan dan memberi semangat kembali kepada kami tentang perjalanan sakral yang akan kami lalui.
Sejatinya ibadah haji memang tidak hanya dikarenakan mampu secara finansial, akan tetapi lebih dari semuanya itu dikarenakan kesiapan fisik dan kondisi bathin yang cukup sebagai modal pelengkap perjalanan. Ada beberapa hikmah yang disampaikan para pembimbing haji yang begitu lekat dihatiku. Mungkin itu pula yang makin meyakinkan setiap langkah kaki ini untuk menjadi tamu-Nya.
“Beberapa hikmah yang akan Bapak atau Ibu petik dari pelaksanaan ibadah haji adalah sebagai berikut ; 1. Haji merupakan manifestasi ketundukan dan kepatuhan kita kepada Allah SWT semata, ini ditandai dengan pakaian ihram yang akan Bapak-Ibu kenakan selama beribadah. Dengan berihram, kita semua dihadapkan pada kondisi kefakiran dan ketakmampuan kita di mata Allah, karena kita akan meninggalkan semua keindahan dan kesenangan duniawi.
2. Melaksanakan ibadah haji, pada hakekatnya merupakan ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT, atas anugerah kesehatan dan kekayaan yang dititipkan pada kita. Dengan berhaji kita diharapkan dapat memaknai rasa syukur sepenuhnya dari hati kita.
3. Melaksanakan ibadah haji juga menempa jiwa juang kita, karena dalam melaksanakan ibadah ini kita dituntut untuk bisa bersabar, disiplin, berakhlak baik dan tentunya ketahanan fisik yang prima.
4. Selain hikmah tersebut di atas, ibadah haji juga akan membuat ukhuwah islamiyah dengan seluruh muslim di penjuru dunia menjadi erat. Disamping ibadah haji itu sendiri akan mampu menyimpan ketenangan di dalam hati kita.
Sampai di sini, faham semua Bapak-bapak dan Ibu-ibu?”
“Fahaam…!” suara para jemaah menciptakan koor dengan kekuatan penuh. Kekuatan yang makin memantapkan semangat menjalankan ibadah haji dan memenuhi panggilan-Nya.
Seperti para jamaah yang lain, aku juga dapat merasakan energi yang luar biasa yang membuatku makin yakin dengan keputusanku ini. Aku begitu menikmati setiap detil dari pra persiapan pelaksanaan ibadah haji ini. Hingga kemudian manasik haji yang membuat kami semua seolah telah berada di tanah haram, Makkah. Dari mulai ber-ihram, wukuf di Arafah, Thawaf ifadah, sa’i, bercukur, melaksanakan mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah Ula, Wustha dan Aqobah, hingga berthawaf Wada’ sebagai syarat meninggalkan Makkah.
Begitu besar semangat yang ditunjukan oleh para calon jemaah siang itu, hingga akhir dari pelatihan manasik haji, suara kami tetap lantang menyuarakan talbiyah, sebagai rasa syukur kami akan panggilan Allah, panggilan yang agung bagi ujian spiritual kami….
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Yaa Allah…
Aku datang memenuhi panggilan-Mu…
Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu…
Aku datang memenuhi panggilan-Mu…
Sesungguhnya segala puji, nikmat
dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu…
Tidak ada sekutu bagi-Mu…. “
%%%%%
Suasana senja ini menghening, sehening hatiku menyelesaikan persiapan terakhir dari manasik haji ini. Banyak bekal dan ketrampilan yang kudapat, seperti juga begitu banyak harap dan doa yang tercurah untuk langkah ikhlasku. Langit Kota Cirebon yang mulai menjingga seolah membawaku mahsyuk pada penghambaan dan pengharapanku pada-Nya, tentang apa yang telah kupersiapkan selama lima belas tahun terakhir ini.
”Alhamdulillah, yaa Allah...,” kuhembuskan nafasku perlahan, aku bisa tenang sekarang. ”Terima kasih yaa Allah, ternyata Engkau berikan anugerah dan kebahagiaan itu padaku. Engkau amanahkan rezki yang tak terputuskan untuku, untuk anak-anak dan istriku, serta untuk sebuah janji yang telah terpendam selama ini. Sebuah janji yang menjadi semangat dan kekuatan kami…
Sementara itu desiran angin penghantar maghrib mulai kurasakan sejuknya, sesejuk alunan syair ‘Haji’-nya Opick yang menghanyutkan sanubariku di perjalanan pulang.
Labaik Allah humma Labbaik
Labbaik alla syarrikallaka Labbaik
Innalhamda Walnikmatallah..
Walmulk alaa syarri kallaa…
Wahai Allah, kami datang memenuhi panggilan-Mu,
Tiadalah sekutu untuk-Mu,
Sgala puji dan pasrahku untuk-Mu,
Kami meraba tanpa cahaya,
Hati yang luka, hina dan papa…
Di hadapan-Mu yang Maha Indah
Di hadapan-Mu yang Maha Mulya…
Air mataku tertumpah sudah, merasakan keharuan yang paling dalam dari serpihan nurani ini. Menantikan terpenuhinya sebuah janji, sebuah janji dari serpihan nurani..
“….izinkan aku ber-ihram untuk ibuku, Yaa Allah…”
Serang, 7 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar