“Berita hari ini kami isi dengan jatuhnya sebuah maskapai penerbangan eksklusive yang lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta dua jam yang lalu. Rencananya pesawat tersebut akan menuju Bandara Changi, Singapura, sebelum melanjutkan penerbangan akhir ke Turki. Namun ketika melintasi langit Sumatera Selatan, pesawat yang hanya dimuati sejumlah penumpang eksklusive itu kehilangan kendali. Pesawat itu terhempas turbulency, di titik pertemuan dua arah mata angin. Yang menjadi pertanyaan besar adalah ; bagaimana mungkin pesawat yang telah dirancang khusus dengan tekhnologi modern itu bisa jatuh terhempas oleh turbulency biasa, sedangkan menurut catatan terbang pesawat itu, badai yang mencapai ratusan knot saja pernah mereka terjang. Keanehan juga terjadi terlihat dari semua penumpang yang hangus terbakar di dalam pesawat, menyisakan satu penumpang yang dinyatakan masih hidup. Tubuh hangus yang jantungnya dinyatakan masih berdenyut itu kini dalam keadaan koma telah dilarikan rumah sakit Palembang. Hingga berita ini diturunkan, polisi belum bisa memastikan tubuh yang selamat itu, karena hampir seluruh bagian tubuhnya hangus dan tak dikenali. Fenomena apakah yang tengah terjadi ini?”
Suara sayup-sayup itu masih terdengar di telingaku, meski seluruh tubuhku tak lagi mampu merasakan apapun. Bahkan hanya untuk menggerakan kelopak mataku saja aku tak lagi mampu. Semuanya terasa begitu gelap, hanya samar-samar suara pembawa berita dari salah satu stasiun televisi yang sengaja ditempatkan di ruangan berhawa sejuk ini.
Aku mencoba untuk menggerakan badanku sekali lagi, namun semakin ingin kugerakan semakin ngilu di seluruh persendian tulangku. Jantungku juga malah makin berdenyut tak karuan, entah apa yang tengah berlaku pada tubuh ini. Yang jelas aku memang tak lagi merasakan apapun, aku mati rasa! Aku tak bisa apa-apa… meski telinga ini masih mampu menangkap suara halus.
“Bagaimana dengan kondisi pasien ini Dok? Apa sudah mulai bisa dikenali,” Seseorang nampak berdiskusi tentang tubuh hitam legam tersebut.
“Entahlah Pak, yang jelas kondisi pasien ini sangat kritis. Hampir seluruh kulitnya hangus terbakar dan tak bisa dikenali, bahkan wajahnya saja nyaris tak berbentuk. Hanya saja dapat kami pastikan kalau pasien ini adalah laki-laki berusia sekitar lima puluhan…”
“Bagaimana dengan ciri-ciri yang lain, apakah ada yang bisa diidentifikasi, Dok?”
“Kami belum bisa berbuat banyak, karena sebagian daging dari tubuh yang terbakar itu sangat rentan dan melepuh. Kami tak sanggup kalau harus ada yang terlepas karena proses identifikasi…”
“Separah itu ya?”
“Benar Pak, bahkan hanya untuk membalikan badanpun untuk saat ini kami tak berani. Mengingat tingkat kebakaran pasien juga sangat berpengaruh terhadap denyut jantungnya yang sangat tidak stabil…”
“Baiklah Dok, kami dari pihak kepolisian sangat berharap kalau pasien ini mendapat penanganan yang tepat. Ini berkaitan dengan pesan dari klien kami yang masih berharap bahwa salah satu penumpang yang selamat itu adalah keluarganya…”
“Kalau boleh tahu siapa, Pak? Barangkali kami bisa menggunakannya untuk membantu kesadaran pasien…”
“Bapak Muhammad El Faridz,” jawab lelaki yang berintonasi seperti aparat hukum itu. “Dia orang penting negeri ini…”
“Maksud Bapak, Muhammad El Faridz yang politikus itu?”
“Betul, satu tahun belakangan ini beliau memang sangat terkenal di jagat politik negeri ini. Banyak hajat dan kepentingan yang bersumber dari kapasitasnya sebagai politikus kelas atas,” suara polisi itu makin berat, “oleh karena itu kami berharap Dokter bisa berjuang sekuat tenaga untuk kesembuhan pasien ini…”
“Akan kami perjuangkan semampu kami, Pak…”
“Baik, kalau begitu saya mohon diri. Saya akan melaporkan hasil temuan ini ke Markas Besar Kepolisian Negara, agar setelah ini akan ada pengamanan dan pengawalan ketat untuk rumah sakit ini…”
“Baik, Pak. Ohya, Pak, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Tentu Dok, ada apa?”
“Apakah kemungkinan pesawat itu dibajak oleh teroris benar? Mengingat pemilik maskapai penerbangan ini adalah Negara yang banyak diincar oleh sekian banyak teroris….”
“Bisa jadi benar, tapi semuanya masih menjadi bahan penyelidikan pihak KNKT dan Badan Intelijen Negara. Dan saya harap, Dokter bisa merahasiakan semuanya ini kepada siapapun…”
“Baik, Pak…”
Setelah itu aku tak mendengar percakapan apapun, keadaan menjadi hening. Hanya suara beberapa mesin pencatat denyut jantung dan pergerakan saraf motorik dari samping tempat tidurku. Bunyinya yang beraturan seolah melantunkan melodi paling sedih dari yang pernah kudengar. Karena ada pergulatan hidup atau mati dari setiap not yang terdengar. Aku berharap kalau melodi yang paling menakutkan itu berubah menjadi kidung dzikir yang menyejukan jiwaku, seperti saat Ummi menidurkan aku, atau Abi yang menggendongku kala senja menerawang datang.
Ah, mungkinkah aku berharap semuanya berganti menjadi seperti itu, bila semasa hidup aku tak pernah sedikitpun memikirkannya. Dalam kesejahteraan hidupku, aku tak pernah melafadzkan dzikir sedetikpun di alur nafasku. Ahh, inikah ironi terperih dari apa yang akan kurasakan, inikah senandung terpahit yang akan kujalani? Ataukah prosesi sakaratul maut, bagi tubuh kotor dan penuh dusta ini? Andai semua itu benar, apakah aku masih boleh berharap kalau itu tak berlangsung lama ? Yaa Allah, mungkin ini kali pertama sejak tiga puluh tahun terakhir aku menyebut-Mu dengan segenap hatiku, bilakah ada kesempatan bagiku untuk berharap. Jika memang ini sakaratul maut yang pernah Kau sebut dalam kitab-Mu, semoga itu tak berlaku lama untuku….
Aku masih terus berandai-andai dengan harapan yang sangat kutahu tak layak bagiku. Ketika tiba-tiba sekelompok orang tiba-tiba masuk dan mengeluarkan suara yang gaduh penuh dengan kecemasan. Beberapa diantaranya malah terdengar seperti berlari-lari, entah apa yang mereka kerjakan yang jelas aku menangkap ada aura ketakutan dan kekhawatiran diantara mereka. Beberapa saat kemudian, aku juga merasakan dua buah benda panas yang ditempelkan di bagian dadaku. Sebuah sengatan yang cukup tinggi seolah menghempaskan tubuh gosongku. Hentakan dari sebuah aliran listrik itupula yang membuatku sesaat tertarik dari kondisi melayangku. Entah apa yang tengah berlaku…
“Alhamdulillah, denyut jantungnya kembali….”
“Bagus, jaga agar detaknya tetap stabil, Suster….”
“Baik dokter, “seru sebuah suara yang terdengar nyaring dan lembut.
“Coba periksa tekanan darahnya?”
“130 per 80 ….,” jawab suara wanita yang dipanggil Suster itu.
“Baik, terus jaga diangka itu Sus, pastikan penjagaan ketat untuk pasien ini…”
“Baik Dok,” jawab Suster tegas.
Keadaan mendadak hening kembali, tinggal suara sayup yang makin lamat-lamat di telingaku. Suara yang halus itu seperti berbisik dan membicarakan kondisiku. Mereka sepertinya dua orang perawat yang bertugas menjaga setiap perkembangan denyut jantungku.
“Siapo sebenarnyo orang ini, Kak? Nampaknyo semuanyo sibuk nian menjaga, sampai-sampai dokter kepala turun sendiri…”[1]
“Entahlah Dek, yang jelas pasti orang besar dia ini…”
“Kalau ndak salah dengar, tadi pagi ada dari Kepolisian Pusat yang datang kemari untuk memeriksa, katanya orang ini adalah seorang politikus besar yang namanya sering muncul di tv, siapo yaa, oh iya, Muhammad El Faridz… benar itu Kak?”
“Aku ndak yakin, Dek. Yang jelas siapapun itu, tugas kita hanya memastikan orang ini mendapatkan perawatan terbaik dari apa yang bisa kita lakukan…”
“Benar itu Kak, sebagai perawat kita hanya menjalankan tugas sesuai standar keilmuan yang kita miliki. Tak peduli siapapun yang sedang terbaring itu, orang jahatkah, atau orang baikkah, tugas kita hanya satu menyelamatkan jiwanya semampu yang kita bisa…”
Suara percakapan itu kembali terhenti, berganti hening yang makin bergelayut menemaniku. Sementara mesin pencatat denyut jantung serta hembusan oksigen yang terus menempel diwajahku masih berjuang dengan tugas pokoknya. Inilah kondisi yang paling ironis dari seorang Muhammad El Faridz yang katanya politikus kondang dengan segudang kolega. Kondisi paling miris dari seorang anggota dewan yang terhormat yang siap mencalonkan diri menjadi Menteri atau mungkin Presiden negeri ini.
Betapa dulu tubuh gosong ini adalah orang yang memiliki strata sosial tertinggi di kelasnya, memiliki sekian banyak kekuasaan hingga ke tingkat paling tinggi negeri. Dan satu hal yang mungkin tak sempat diketahui sebagian orang adalah mendapatkan apapun yang aku mau di dunia ini. Dan itu harus! Bila ada yang mencoba menghalangi atau mengkritikku maka selalu aku masukan ke dalam musuh politikku. Dan kalau itu sampai terjadi maka aku tak segan menggembosi mereka dengan cara yang paling halus sekali. Dan efeknya, para lawan politikus baik dari kalangan politikus, birokrat atau masyarakat sekalipun akan mati langkah secara perlahan, hingga ujungnya aku menghabisi mereka hingga ke akar-akarnya. Ha ha ha… hebat khan aku!!!
Mengingat kapasitasku dulu aku jadi ingat bagaimana proses lobbying dari para birokrat yang munafik terhadapku. Dulu sebagian besar mereka menghujat dan berseberangan denganku, namun ketika datang hajat mereka yang berkaitan dengan kapasitasku, barulah mereka mulai melunak. Dan satu hal yang membuatku muak dan tertawa dengan tingkah polah mereka adalah ; berubah menjadi manis secara drastis! Karenanya apa salah kalau kemudian aku juga memanfaatkan kondisi itu untuk meraih keuntunganku. Mau tahu kejadiannya? Begini…
Waktu itu menjelang akhir anggaran, seperti biasanya setiap Departemen mulai merancang anggaran untuk tahun berikutnya. Bertepatan saat itu juga aku diangkat menjadi sekretaris PAL (Panitia Anggaran Legeslatif) [2]yang nota bene memiliki akses khusus pada penentuan rekomendasi terhadap disetujui atau tidaknya sebuah daftar usulan anggaran. Aku melirik tumpukan RKA [3] yang disampaikan beberapa Departemen jumlahnya hampir memenuhi meja kerjaku. Sebagai sekretaris PAL, tugasku memang agak banyak berkaitan dengan administrasi kepemerintahan. Beberapa Departemen yang merupakan mitra kerjaku kerap melakukan hearing[4] denganku. Ini bukan dalam konteks menjalurkan dan menajamkan program dan sasaran yang tengah mereka rancang untuk satu tahun anggaran ke depan, akan tetapi lebih jauh hanya demi deal-deal politik[5] yang menguntungkan satu sama lain. Mereka membutuhkan pengesahan dan persetujuan kami dalam perancangan anggaran kegiatan yang bersumber dari APBN, sedangkan aku sendiri seperti biasanya mengemban amanat partai yang memayungiku untuk bisa memberikan pemasukan bagi partai. Tak heran kalau pada akhirnya, aku harus memutar otak dalam hal mengkritisi apa yang mereka rancang. Aku harus mengerahkan kejelianku dalam mengkritisi beragam anggaran yang diusulkan eksekutif, sehingga bisa menjadi bahan koreksiku pada saat rapat hearing nanti. Ini penting karena dengan bahan-bahan kritik tersebut bisa menjadi senjataku dalam menekan para eksekutif pengusul dengan upeti atau setidaknya memasukan beberapa item yang menjadi aspirasiku sebagai anggota dewan.
Pernah sekali waktu aku menemukan besaran harga dan duplikasi pembiayaan dalam sebuah kegiatan. Modusnya bisa bermacam-macam, bisa karena kurangnya koordinasi antar Departemen sehingga mengakibatkan ada dua kegiatan yang dibiayai oleh 2 Departemen, atau memang ada pendanaan yang sengaja digelembungkan hingga beberapa ratus persen. Selain temuan-temuan di atas, aku sendiri sering menangkap kejelian dari rekan-rekanku yang menemukan adanya indikasi kegiatan yang tidak sesuai dengan Renstra[6] Departemen. Dan itu bagi kami merupakan senjata empuk untuk menggempur dan menaklukan para Departemen ’nakal’. Aku sendiri tak peduli dengan semuanya itu, yang ada di benakku, aku harus bisa mendapatkan celah untuk mendapatkan upeti atau menitipkan sejumlah kegiatan sebagai sebuah aspirasi. Dan yang terpenting, ada masukan untukku dan amanat partaiku. Sebagai partai yang besar dan berpengaruh, aku harus bisa menjaga kebesarannya sebagai partai yang kaya dan bermodal.
Sebuah lagu dari band masa kini teralun dari Blackberry-ku. Sebaris nomor tak kukenal terpampang di layar lebarnya. Malas-malasan kuangkat handphone yang baru kubeli tiga hari yang lalu itu. Kutempelkan lekat-lekat di telingaku untuk bisa mendengar si pemilik suara di ujung saluran sana.
”Assallamu ’allaikum, dengan Bapak El Faridz?”
”Ya, saya sendiri, dengan siapa ini ?”
“Saya Pak, Djusman Sumantri, Kepala Deputi Bagian Umum dan Kerumahtanggaan dari Departemen Transportasi Negara....”
“Oh iyaa, bagaimana Pak, ada yang bisa kami bantu?”
“Begini Pak, mengenai RKA yang sudah ada di meja Bapak, kalau bisa saya....”
“Yang itu, nanti saja Pak, Bapak bisa sampaikan hal itu pada ketua PAL kami, dalam hal ini saya tidak memiliki kewenangan banyak,” kataku memotong pembicaraan salah satu kepala Departemen tersebut. Aku tak mau dinilai ‘murah’, dengan langsung menanggapi setiap ‘pesanan’ birokrasi ini. Gayaku memang seperti itu, selain menunjukan kalau aku tak mudah di ’rayu’, aku juga punya kelas dalam hal ini. Yang datang dengan amplop tebal saja aku masih sempat menolaknya, apalagi hanya melalui handphone seperti ini. Nanti dulu!
“Tapi Pak, Bapak khan sebagai sekretaris PAL yang kami tahu sangat dekat dan menentukan nasib setiap RKA yang kami usulkan, jadi alangkah kurang sopannya kami bila tidak menghubungi bapak lebih dahulu dalam hal penentuan ‘deal’ ini, Pak...”
“Saya hargai sikap Bapak, tapi maaf kalau bisa nanti saja dilanjutkan pada saat hearing, saya masih berkonsentrasi dan meneliti setiap item RKA dari Bapak-Bapak sekalian,” kalimatku sengaja ku ambangkan, aku ingin memancing sejauh mana eksekutif yang katanya seorang kepala bagian ini bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Betul Pak, maaf kalau telepon kami mengganggu Bapak dalam bekerja, kami hanya mencoba memastikan kalau salah satu item kami....,” laki-laki yang mengaku seorang Kepala Deputi Bagian itu mulai membuka sendiri masalahnya. Dan hal ini merupakan satu point kemenanganku, tinggal terus menggiringnya saja.
“Semua item RKA Bapak pada dasarnya kami setujui semua Pak, ngga perlu khawatir. Kami juga memahami apa yang menjadi amanat rakyat pada tugas pokok dan fungsi Bapak...,” aku masih menggantungkan kalimatku.
“Terima kasih, Pak...”
“Hanya saja, ada beberapa hal yang tentunya perlu kami luruskan, apabila memang kurang pas sasaran!” setelah kalimatku yang terakhir itu, suasana hening mewakili percakapan via handphone ini Entah apa yang menjadi fikiran lelaki di ujung handphone sana, yang jelas aku mulai tersenyum kecil. Setidaknya setelah ini akan ada ‘obyekan’ untukku.
Kejadian selanjutnya, mereka akan sering menghubungi aku baik via handphone maupun secara langsung. Satu hal yang sering aku lakukan bila pertemuan secara langsung adalah, bertemu di sebuah cottage terpencil yang jauh dari keramaian kota, seperti di Kepulauan Seribu atau Pulau-Pulau Eksotis di Pedalaman Ujung Kulon sana. Ini kulakukan karena menghindari berbagai penyadapan dan kecurigaan dari beberapa individu yang memang tak menyukaiku, baik lawan politiku atau juga aparat pemeriksa. Untuk yang terakhir sebetulnya aku sudah tak begitu takut lagi, dengan pengaruh dan kedekatanku dengan orang-orang penting negeri ini bagiku mereka hanya dagelan belaka. Toh pada prinsipnya mereka juga hanya bekerja dan mencari uang untuk kebutuhan mereka, jadiii yaa gitu deeh. Hari gini siapa sih yang menolak uang?
Aku masih sibuk dengan beragam kenangan yang membanggakan sekaligus menyedihkanku sebagai seorang politikus, ketika beberapa orang kembali datang kepadaku. Meski aku tak dapat melihat, namun rasanya aku tahu siapa mereka ini. Yaa dari langkah dan suara mereka, aku bisa memastikan kalau mereka dari pasukan khusus intelijen dan petinggi kepolisian negara.
“Ini salah satu penumpang yang masih dinyatakan selamat itu?”
“Siap benar Pak, menurut data para penumpang lelaki ini diindikasi seorang politikus yang tengah naik daun itu, namanya Muhammad El Faridz...”
“Hmm, kalau memang benar dia, analisa kami ini mungkin saja sabotase yang dilakukan lawan-lawan politiknya. Sekaligus sangat memungkinkan kalau pesawat ini telah dibajak lebih dulu oleh teroris...”
“Bagaimana hasil dari tim forensik dan KNKT sendiri Pak...”
“Belum banyak informasi yang didapat Pak, sementara ini baru sekedar meneliti penyebab teknis kerusakan pesawat...”
“Bagaimana black box yang ditemukan, apa sudah ada khabar?”
“Siap, belum Pak! Black box yang ditemukan kemarin dibawa langsung oleh negara pemilik pesawat mahal itu, dengan pertimbangan mereka telah memiliki teknologi membaca dengan cepat....”
“Oke, saya fikir observasi dan penelitian hari ini cukup, saya akan kembali ke Jakarta dan memantau kasus ini dari kalangan pejabat negara...”
“Baik Pak, kami akan teruskan pengawalan dan penjagaan di sini...”
Suara derap langkah merekapun terdengar mulai meninggalkan kembali ruangan yang katanya didesign super eksklusif khusus untuku itu. Tapi bagaimana rasanya aku tak tahu, yang jelas aku merasa melayang dari setiap hembusan nafasku. Dengan tubuh yang mati rasa dan mata yang tak mampu kubuka kelopaknya, membuat semua keekslusifan itu tak berguna untuku. Bila sudah seperti ini, aku baru merasakan pentingnya sehatku sebelum sakitku. Aku baru menyesali masa-masa lapangku dibandingkan masa sempitku seperti ini, karena semuanya terlewat tanpa ada yang menenangkan jiwaku...
“Saya tidak aneh, dengan ucapanmu...” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Dan yang membuatku tercengang adalah, aku dapat menggerakan kelopak mataku dan melihat lelaki yang berpakaian rapi di depanku.
“Sudah sembuhkah aku?” kataku kemudian seraya bangkit dari tidurku. Perlahan kuperhatikan pula kalau kulit tubuhku seolah kembali ke asalnya.
“Jiwamu tak pernah terluka meskipun kenyataannya kamu sudah sakit dan menderita lama,” seseorang yang berpakaian serba putih itu kembali berucap.
“Maksud anda, aku ini...”
“Ya kamu adalah jiwa dari laki-laki yang tengah terbaring dengan tubuh gosong itu. Ragamu yang dulu gagah dan sekarang gosong itu adalah amanah Allah yang baru saja kamu sia-siakan. Hingga di ujung usianya kamu tak sedikitpun memberikannya cahaya, malah membuatnya hitam legam tak bernyawa...”
“Mengapa anda berkata seperti itu? Siapa anda sebetulnya....”
“Kamu ngga tahu siapa aku?” aku menggeleng pada sosok lelaki yang wajahnya seperti akrab di memoriku itu, “pantas saja kalau selama tiga puluh tahun terakhir ini kamu berbuat seenaknya, kalau aku saja sudah tak kamu kenali...”
“Wa.. wa... wajahmu mirip denganku di masa muda dulu, tapi aku benar-benar ngga mengenalmu,” kataku makin bingung menatap apa yang ada di depanku.
“Sudahlah ngga penting kamu kenal aku atau tidak. Sekarang mari ulurkan tanganmu, aku akan sejenak mengajakmu jalan-jalan...”
“Jalan-jalan?”
“Iya, kamu khan sudah hampir sebulan tidur di ranjang sekarat itu,” katanya dengan intonasi agak meninggi, “kamu ngga ingin refreshing? Bukankah selama ini kegiatanmu terlalu padat, pasti butuh refreshing...”
“Aku mau tapii...”
“Sudah ulurkan saja tanganmu!”
Dengan ragu aku mengulurkan tanganku hingga menjabat tangan lelaki berpakaian putih itu erat. Tangannya sangat dingin menyentuh kulitku, meskipun tubuhnya terlihat begitu bersinar. Perlahan-lahan, ia menarik tanganku dan membawaku melayang terbang. Jauh dan jauh, hingga aku melihat tubuh lelaki gosong yang diam terbaring itu makin kecil. Terus melayang hingga seketika kabut putih menyelimuti kami...
“Kemana kamu akan membawaku?” tanyaku gemetar...
“Tenang saja, aku janji akan membawamu kembali!”
“Tapiii, aku meninggalkan tubuhku jauh...”
“Santai aja, ini juga menuju sosok tubuhmu,” katanya makin meyakinkan, “tapi di tiga puluh tahun yang lalu...”
“Tiga puluh tahun yang lalu?”
Lelaki yang menjabat erat tanganku itu tak lagi bersuara, ia hanya terus membawaku melayang dan terus melayang. Hingga di suatu kondisi dimana aku merasa kalau aku sudah berpijak pada dataran yang lembut dan nyaman di kakiku. Di atas awan! Dan dari sana, lelaki berpakaian putih ini menunjuk ke sebuah arah.
“Lihat itu....”
Aku menuruti arah telunjuk lelaki itu, hingga terpampang di hadapanku sebuah kampung kecil di pinggiran sebuah kota dengan kesibukan sekelompok masyarakatnya. Beberapa dari mereka nampak mengumandangkan tasbih, tahmid dan tahlil, sedangkan yang lainnya nampak terisak seraya memanggul keranda mayat. Itu seperti prosesi pemakaman salah satu anggota mereka. Di samping orang-orang yang tengah berkabung itu, nampak seorang pemuda dengan tiga orang adiknya yang jalan beriringan. Wajah mereka pucat dan seakan memendam kesedihan yang mendalam.
“Itu... itu aku dan adik-adiku?”
“Yah, itu kalian.”
“Jadi yang sedang di usung itu...”
“Abdurrahman Rahmat! Ayahmu...”
“Abi ? Abi...,” kataku tertahan. Membawaku seolah kembali di masa tiga puluh tahun yang lalu itu. Dan karena ucapanku itu pula, aku seolah melayang pada sosok di masa lalu itu. Sebagai Muhammad El Faridz, pemuda yatim piatu miskin, pedagang ikan mas di pinggiran kota santri, Pandeglang.
%%%%%%
[1] (dialek Palembang) Siapa sebenarnya orang ini Kak? Nampaknya semuanya sibuk sekali menjaga, sampai-sampai dokter kepala turun sendiri…
[2] Pantia yang dibentuk guna menelaah dan mengkaji secara materiil setiap usulan anggaran dari pihak eksekutif sebelum akhirnya ditetapkan sebagai keputusan bersama antara Eksekutif dan Legeslatih dalam sebuah penyusunan anggaran, baik belanja public maupun belanja aparatur dalam satu tahun anggaran.
[3] Rencana Kegiatan Anggaran, yakni semacam usulan beragam kegiatan yang dibiayai oleh APBN/APBD yang diajukan setiap mengakhiri tahun anggaran untuk persiapan tahun anggaran berikutnya.
[4] Proses dengar pendapat antara eksekutif dan legeslatif dalam pembahasan rencana anggaran
[5] Kesepakatan politik, bentuk kerja sama untuk saling menguntungkan dua atau lebih pihak yang melakukan
[6] Rencana Strategis, yakni rancangan program, kegiatan dan sasaran dari sebuah departemen dalam jangka lima tahun. Dengan adanya renstra otomatis pelaksanaan setiap tahun anggaran yang berjalan harus sesuai dengan panduan program atau kegiatan yang telah tercantum tersebut. Oleh karenanya, penentuan dan pembuatan renstra semestinya melalui proses yang panjang demi mengkerucutnya prediksi kebutuhan kegiatan di masa datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar