Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Minggu, 25 April 2010

1. Ironi di Ujung Hari




Suasana yang indah di taman yang penuh warna ini tiba-tiba meremang, berganti udara dingin yang bergerak sangat kencang menusuk persendian tulangku. Ini benar-benar tak kuharapkan, apalagi ketika aku memutuskan untuk sendiri dan meninggalkan apa yang aku punya. Perlahan-lahan rumah megah yang kubangga-banggakan selama tiga puluh tahun terakhir inipun mulai memudar dari pandangan. Begitu pula beragam kelengkapan kemewahan rumah megah ini mulai samar-samar terlihat, mobil-mobil kelas terbaik, gazebo yang didesign sangat unik , serta taman bergaya jepang dengan aneka tanaman hias mahalpun mulai memudar. Ini tak mungkin, mengapa semuanya mendadak jadi kabur dan tak jelas dimataku. Apakah yang terjadi dengan alam ini? Apakah alam ini tengah menghadapi masa tuanya, dengan kabut yang sangat tebal berterbangan? Apakah ini yang dinamakan hari akhir, ketika apa yang kita banggakan hanya seharga debu? Ataukah memang, sejatinya Sang Maha Pemilik tengah mengambil kembali apa yang telah Ia berikan pada setiap hamba-Nya….

Tidak, ini tidak mungkin, ini tidak mungkin. Sehari kemarin masih sering kudengar adzan dan ayat suci terlantun, ini tidak mungkin kiamat! Matahari juga seingatku belum terbit dari barat, ini bukan akhir zaman! Tidak mungkin, ini hanya gejala alam saja! Aku harus bisa pergi dan menyelamatkan semua harta bendaku, aku tak mau apa yang kubangun selama ini hilang begitu saja! Mana para pelayan dan pembantuku, kemana mereka semua? Brengsek!!! Mengapa saat seperti ini tak satupun yang hadir membantuku, Rahmat… yaa pelayan setiaku itu, mana dia? Biasanya ia paling setia dan paling sering menampakan mukanya dibandingkan yang lain…

“Rahmaaat… Rahmaaaattt!!!” teriakku membahana di sekeliling rumah mewah yang mulai meleleh menjadi debu ini, “dimana kamuuu? Rahmaaat, kemana kamu pergiii?!!”

Aku benar-benar tak bisa menerima semuanya ini, aku benar-benar kalut dan marah dengan apa yang tengah terjadi. Bingung, takut dan menyesal membuatku benar-benar merasa tak lagi memiliki akal. Segala yang kupegang dan kucoba untuk kuselamatkan berubah menjadi debu dan hilang tertiup angin. Gejala alam apakah seperti ini, fenomena alam apakah ini. Bukan kiamat khan? Bukan hari akhir khan…??!!

“Rahmaattt, dimana kamu, Bantu akuuu…!!!” teriakku kembali, entah mengapa dari puluhan pembantuku, dan ratusan orang yang kukenal, rasanya cuma nama itu yang bisa kusebut dan kupanggil. “Rahmaaaattt!!!!”

“Saya disini, Pak…”

“Rahmat, darimana saja kamu? Cepat, bantu aku mengemasi barang-barang berharga ini dari gejala alam sialan ini…”

“Maaf tidak bisa Pak!”

“Tidak bisa bagaimana? Kamu saya gaji besar tahu, mengapa tidak bisa membantuku?”

“Bukan itu, Pak…”

“Maksud kamu apa? Ini bukan kiamat khan? Ini bukan akhir dunia khan?” tanyaku masih kalut dan takut.

“Memang bukan Pak, ini bukan kiamat atau akhir zaman…”

“Lalu mengapa kamu tidak segera menolongku, bukankah kehidupanmu, kebutuhan keluargamu aku yang menanggungnya? Cepat bantu aku, bodoh!!!”

“Ini memang bukan kiamat Pak, tapi ini akhir dari zaman kehidupan Bapak!”

Aku melotot serius ke arah pembantu setiaku itu, jelas kalimatnya mengandung penghinaan dan pelecehan padaku. Aku masih sehat dan bugar, mana mungkin kalau ini adalah akhir kehidupanku…

“Batas kesombongan dan keangkuhan Bapak terhadap hidup telah mencapai batas akhir Pak. Ini saat dimana Bapak akan kembali pada ucapan sombong dan durhaka Bapak pada taqdir, dunia, hidup dan Tuhan!”

“Ngomong apa kamu, Mat? Cepat kemari Bantu aku, aku sudah mulai kaku tak mampu untuk bergerak…”

Namun Rahmat tak jua bergerak membantuku, ia hanya diam dan menatap lurus ke arahku yang mulai mengeras dan menjadi batu. Sementara kerongkonganku mulai tercekat dan lagi bisa untuk berucap. Suara yang kupaksakan keluar hanya berbuah lenguhan menahan sakit yang luar biasa, hingga semua dinding rumah megahku berhamburan menjadi debu ke tanah aku tak mampu berbuat apa-apa. Hingga pada puncaknya, sebuah kilat dengan cahaya terpendar terlihat jatuh tegak lurus ke arahku. Dengan hitungan beberapa detik kilatan cahaya itu jatuh tepat ke arahku dan melahirkan suara dentuman yang sangat menggelegar. Aku menjerit luar biasa hingga dunia di sekelilingku terasa ikut berguncang…

“Aaaaaaaaaaaaghkk!!!”

“Pak, Bapak…. Bangun Pak!” sebuah suara membarengi teriakanku.

Seketika aku terjaga dengan mata terbelalak, sementara keringat dingin bercucuran mewakili kegelisahan. Aku meraba seluruh tubuh memastikan apa yang telah terjadi. Pandanganku juga tajam berkeliling memastikan kalau semuanya ini hanya mimpi. Aku masih berada di kamar president suit dari hotel bintang lima, selimut dan kasur yang super empuk juga masih menjadi alas tidurku. Jadiii, semuanya memang hanya mimpi?

“Dimana ini, Mat?”

“Bapak masih di Hotel The Sulthan, Jakarta,” suara Rahmat tenang dan menenangkanku.

“Bukan di villa pulauku?”

“Ini di Jakarta Pak, Bapak masih ada agenda rapat di sini…”

“Tapi…. Tapi, rasanya…”

“Bapak terlalu lelah. Satu bulan terakhir ini memang sarat dengan agenda kerja, jadi Bapak kecapean dan bermimpi,” Rahmat masih mencoba menenangkanku.

“Yah, cuma mimpi yaa Mat….”

“Mimpi Pak, sebaiknya Bapak tidur lagi, masih terlalu pagi…”

“Yah, aku juga masih lemas, tapi aku tak mau tidur lagi. Aku tak mau mimpi menyeramkan itu datang lagi…”

“Kalau begitu Bapak rebahan saja, biar saja berjaga di kamar ini,” kata Rahmat seraya beranjak dan memastikan setiap sudut ruangan kamar hotel ini aman. Kesetiaannya memang membuatku selalu merasa aman menjalani hari-hariku, itu pula mengapa aku selalu jadi bergantung padanya. Meski sejujurnya kesetiannya itu terkadang justru membuatku muak. Muak karena menganggapnya sebagai manusia rendah yang mau diperintah hanya gara-gara aku mencukupi kebutuhannya.

Rahmat nampak berjaga disekeliling kamar hotel dengan kelas terbaik ini, pandangannya tajam berkeliling di setiap sudut. Ia seperti ingin memastikan kalau semuanya aman terkendali. Telah dua puluh tahun terakhir ini, memang cuma dia bawahanku yang terlihat sangat setia dan peduli padaku. Padahal ia sering kuperlakukan tak baik, atau kadang malah sering melecehkanya sebagai seorang abdi. Sering kali makian dan hujatan yang kusampaikan ketika ia melakukan kesalahan atau kecerobohan walau sedikit pun. Bagiku ia memang tak berhak menyampaikan keberatan sedikitpun atas perlakuan tak manusiawiku. Tak jarang ia juga aku maki hanya gara-gara lupa akan jadwal atau agenda kerja selama satu minggu.

Namun ia memang tipikal abdi yang sangat setia dan benar-benar tulus dengan jobs description[1]-nya, apapun yang kulakukan atau apapun yang kukatakan tak pernah satupun yang ditentangnya. Ia malah tak jarang hanya mengangguk atau tersenyum tanpa berkomentar atau mengeluh sedikitpun. Oleh karena itu, aku tetap peduli dan memperhatikan setiap kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.

Bukan hanya karena kesetiaannya, akan tetapi karena namanya memang sama dengan nama almarhum ayahku. Nama Rahmat memang memberi arti tersendiri bagiku, ada bayangan masa lalu yang senantiasa bersemayam di hatiku. Tentang pengorbanannya, keteladanannya dan juga amanahnya yang tak mampu kuemban dengan baik. Untuk alasan yang terakhir itulah, kadangkala aku jadi bingung dan labil. Bingung karena aku tak lagi bisa merasakan kebanggaan dengan apa yang kudapat kini. Labil, karena aku memang telah jauh dari sifat dan kepribadianku selama dua puluh terakhir ini. Aku tak mengenali lagi apa yang pernah melekat dalam jiwa dan kepribadianku.

Apa yang kulakukan sekarang sangat jauh dari nilai-nilai agama yang dulu sangat kupegang erat. Kini aku lebih sibuk dengan beragam aktifitas dunia yang bersifat hedonis, materialistis dan satu lagi yang sering terlontar oleh sekian banyak lawan politikku yakni, egois dan sadis! Sungguh, meskipun dalam sikap dan keseharianku aku tak peduli dengan anggapan semua orang, namun jauh dilubuk hatiku, aku sangat gelisah dengan semua predikat itu. Di lubuk hati yang terdalam itu, aku selalu berontak dan tak menerimai kenyataan ini. Aku juga tak ingin seperti apa yang kulakukan sekarang ini, tapi kemana kearifan dan kejujuran yang katanya tuntunan sikap teragung itu?

Sejak tiga puluh tahun terakhir ini, semua orang juga cenderung munafik! Tak ada lagi manusia yang kujumpai tulus dan jujur, apalagi memiliki kearifan, nonsense! Itu hanya retorika politik guna menarik perhatian massa, itu semua hanya lips service yang sebenarnya sudah sangat basi! Jadi apa salah kalau sebenarnya aku juga hanya memainkan peranku seperti layaknya kebanyakan para anggota dewan yang terhormat itu? Bukankah semua orang berhak dengan apa yang telah diraihnya? Bukankah sebenarnya semua orang juga bersaing untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan…

Perlu diketahui, untuk bisa seperti posisiku sekarang, aku telah berjuang lebih dari sepuluh tahun masa karir dan dua puluh pengorbanan bathin! Dilecehkan, dihina, direndahkan dan yang masih kurasakan hingga kini, diperlakukan seperti binatang! Kesengsaraan dan kepahitan hidup yang kurasakan bukanlah sesuatu yang mudah harus kulupakan, aku sudah menelan semuanya itu dengan diam. Meski kucoba untuk ikhlas dan bersabar, namun pada kenyataannya hatiku senantiasa berontak untuk segala ketakadilan yang kurasakan! Tiga puluh tahun sudah cukup bagiku untuk merubah semua kondisi ketaknyamanan ini menjadi sesuatu yang membanggakan dan membahagiakanku! Aku tak peduli lagi dengan pendapat orang lain, aku tak peduli lagi dengan lingkungan sekitarku, dan yang terakhir kurasakan sekarang… aku juga tak peduli lagi dengan Tuhan!

Bagaimana aku bisa tetap peduli dengan segala aturan dan perintah-Nya, kalau selama tiga puluh terakhir ini, Dia juga tak pernah memperdulikan aku! Bagaimana aku masih harus mengakui kekuasaan dan kebesaran-Nya kalau selama tiga puluh tahun ini, justru lebih banyak kesengsaraan dan penderitaan hidupku. Aku ditinggalkan kedua orang tuaku justru ketika begitu banyak harapan dan keinginan dalam hidupku, aku juga harus kehilangan ketiga adiku justru ketika aku mencoba untuk bersabar atas segala ujian dan cobaan-Nya! Jadi, untuk apa juga aku masih harus memikirkan kalau Tuhan itu ada dan maha memberi kasih sayang pada setiap hamba-Nya. Ah! Ngga penting

“Sarapan sudah siap, Pak. Bapak ingin sarapan di restaurant atau di kamar ini?” Rahmat mengejutkanku yang sedikit termangu menatap langit Jakarta dari jendela kamar yang terletak di lantai 18 ini.

“Ada menu apa Mat, aku agak mual pagi ini…,” jawabku sedikit tak acuh.

“Ada fried rice, omlet ala carte, bread sandwich, isit soup, chiken babycorn soup[2], dan beberapa masakan tradisional, Pak…,” Rahmat sangat cermat menganalisa medan. Ia memang sangat detil dalam menangkap instrument sekeliling. Meski ia bukan chef[3], ternyata mampu pula ia menghapal dan menyebut beragam makanan yang terhidang di meja sarapan hotel bintang lima ini.

“Apa saja masakan tradisionalnya, Mat?” aku masih tak acuh dengan kesetiaan ajudanku itu. Pandanganku masih focus pada mobil-mobil yang terlihat sibuk di jalanan Jakarta, meski baru mengawali pagi.

“Ada soto sulung, serabi bandung, dan bubur khas Cirebon, Pak…”

“Aku ingin mencoba bubur khas Cirebon, tolong pesankan! Aku ingin sarapan di kamar ini saja,” ucapku yang masih dalam kondisi tak acuh dengan kehadiran ajudan setiaku.

“Baik, Pak!” suara Rahmat terdengar lantang dan segera beranjak dari berdiri siap-nya.

“Tunggu, apa agenda kerjaku satu minggu ini?”

“Hari ini ada rapat komisi yang membahas persetujuan pemugaran lahan hutan sebagai pusat perdagangan, dengan Departemen Hutan Rimba dan Pemerintah Daerah Kabupaten Hutan Mangrove Utara, Pak!” Rahmat terlihat sibuk dengan buku catatan kecil yang selalu dibawanya. Meski usianya mulai menginjak empat puluh, namun tak ubahnya seperti para purna praja yang baru lulus dari Kastrian STPDN. Masih sigap dan selalu siap dengan perintah atasan.

“Terus apa lagi?”

“Dua hari ke depan ada undangan jamuan makan malam dengan para Chief Executive dari PT. Angkasa Luar Biasa, berkaitan dengan pemastian izin penggalian tambang batu bara dan timah di pedalaman Papua. Untuk event ini , mereka ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas rekomendasi dan dukungan Bapak….”

“Tiga hari ke depannya?”

“Ada undangan Majelis Dzikir Ad-Dzikra, katanya ada dzikir dan doa bersama untuk keselamatan bangsa dan negara. Dalam kesempatan ini, panitia meminta kesediaan Bapak untuk memberikan sambutan guna melengkapi elemen birokrasi yang turut bergabung…”

“Yang itu di cancel saja, saya ada undangan by phone pembukaan spa di Bali Resort. Ngga enak kalau ngga datang, katanya mereka sudah menyiapkan acara khusus untuk kedatanganku…” ucapku serius. Aku memang agak risih dengan undangan seperti itu, bukan apa-apa, aku sudah bosan berpura-pura religius dan agamis! Lagipula aku juga sudah tak banyak hapal dengan ayat atau hadist yang bisa kusampaikan dalam sambutan. “Yang lainnya?”

“Agenda terakhir untuk minggu ini adalah rapat tertutup dengan para pimpinan partai Pak, untuk yang satu ini Bapak mendapat undangan khusus dari Dewan Pimpinan Pusat Partai Mari Membangun Lagi.”

Aku sedikit memiringkan kepalaku, menandakan kalau aku mencoba serius dengan agenda terakhir. Meski aku tak begitu suka dengan rapat yang bertele-tele dan hanya sibuk membahas pemenangan pemilu atau penggalangan dukungan, namun aku tak bisa mengelak untuk acara seperti ini. Setidaknya melalui parpol inilah aku bisa menjadi seperti sekarang, meski aku hanya middle leader[4] dari fungsionaris parpol ini.

“Baik jadwalkan dengan baik, waktu dan tempatnya untuk agenda yang terakhir. Jangan lupa siapkan beberapa ratus juta untuk donasi acara, aku tak ingin mereka menilaiku kurang bisa berterima kasih,” kataku sedikit menyeringai dengan tatapan sinis.

“Baik Pak, akan saya laksanakan,” kata Rahmat sigap, “kalau tidak ada perintah lagi, saya izin untuk memesan sarapan Bapak.”

“Ya sudah sana, jangan pakai lama. Perutku nanti makin mual…”

Lelaki berbadan tegap itu, sedikit membungkuk dan kemudian beranjak dari tempatnya berdiri. Aku sedikit melempar senyum pada lelaki yang telah mengabdi sejak ia bujangan itu. Meski aku sangat keras dan memandangnya tak lebih sebagai jongos, namun aku tetap peduli dan memperhatikannya. Seperti alasan di atas, namanya mengingatkan aku pada Abah!

Pintu kamar president suit ini kembali tertutup, ketika ajudan sekaligus bodyguardku itu menghilang dari pandanganku. Kamar yang luas dan sangat mewah inipun kembali sepi, hanya terdengar alunan musik santai penghantar pagi yang sejam lalu diputarkan oleh room boy. Ah, mengapa dengan semua kondisi yang lebih mewah dan super sempurna ini, tetap saja tak membuat puas hatiku. Selalu saja aku merasa kesepian dan gamang di kehidupanku. Selalu saja ada yang hilang di hatiku, dan merasa kalau hidup ini tak berpihak padaku.

Aku beranjak dari tidur malas-malasanku, sesekali kugaruk perutku yang terlihat makin membuncit. Dengan kehidupan glamour dan serba wah , aku memang tak lagi menggerakan otot-ototku untuk sekedar berolah raga, sehingga kondisi perutku makin tambur saja. Masih lekat dalam ingatanku, kalau masa mudaku dulu, katanya badanku sangat bagus. Ramping dan padat berisi, mungkin karena taqdir susahku, sehingga tubuh dan ototku terbiasa bergerak. Meski tak berolah raga sesungguhnya, namun dengan profesiku sebagai tukang jual ikan mas, membuatku setiap saat berolah raga.

Sejenak kutatap wajah tuaku di cermin, banyak lemak dan gelambir kulihat pula di sana. Itu wajah suksesku di usiaku yang menginjak lima puluhan ini. Pipiku terlihat tembem, dengan hidung dan kantung mata yang terlihat membesar. Alisku yang dulu rapih bagai semut hitam berbaris, kini menyisakan beberapa helai rambut putih, itupun tak jelas lagi letaknya. Rambutku juga sudah mulai tak kompak dengan semangat mudaku, sebagiannya telah berkhianat dengan meninggalkan kepalaku. Beberapa surainya memang masih berwarna hitam, namun sebagian besarnya justru telah memutih semua. Ha ha ha… tiga puluh tahun itu telah merubahku sedemikian rupa!

Tapi persetan dengan semuanya itu! Meski dengan penampakan seperti itu, aku masih terlihat gagah dengan stelan jas yang sering kupakai. Tangan dan kakiku juga masih diharapkan oleh sekian banyak orang, untuk sekedar mensukseskan hajat dan keinginan mereka. Siapa juga yang berani menandingiku sebagai warga negara kelas satu, kaya, terhormat dan pimpinan sebuah fraksi dari Dewan Perwakilan Rakyat negeri ini. Meski katanya ijazah S1, S2 atau S3-ku diragukan, toh analisa dan kebijakan politisku disukai banyak kalangan. Terutama para birokrat papan atas dan pengusaha kelas atas. Yaa memang siih, aku ngga begitu tertarik dengan kebijakan yang berbasis kerakyatan. Masalahnya, ngga ada untungnya juga terlalu berpihak pada mereka. Berbeda kalau aku berpihak pada golongan di atas, selain memberikan pengaruh dan perkuatan pada posisiku, sekali waktu aku juga bisa dapat bonus travel cheque, rumah mewah, atau mobil jenis terbaru dengan cc dan interior terbaik. Atau kalau sedang beruntung sekali, aku bisa memilih artis atau model cantik papan atas untuk sekedar menemani tidurku. Hi hi hi hi… meskipun kalau kupikir-pikir kacau juga ya! Orang yang katanya terhormat seperti aku, ternyata ngga bagus-bagus amat…

Ting Tong!

“Yak, masuk!” kataku agak kesal dengan bunyi bel kamar yang mengusik.

Room service, Pak! Ini bubur khas Cirebon pesanan Bapak…”

“Yak, terima kasih,” kataku seraya mengibaskan tanganku mengisyaratkan pelayan itu untuk segera pergi. Sementara mataku menatap lurus pada Rahmat yang mengiringi langkah lelaki berseragam hotel itu. Ia cepat tanggap, dikeluarkannya selembar lima puluhan ribu sebagai uang tip pelayan itu. Kontan saja pelayan berbadan ceking itu membungkuk dan melemparkan ekspresi terima kasih.

“Terima kasih, Pak!”

Aku tersenyum sinis menanggapi pemandangan di depanku. Dasar manusia rendah semua, baru selembar duit saja sudah sedemikian hormatnya. Aku segera menghampiri meja makan yang sarat dengan kelengkapan sarapan kini. Semangkuk bubur khas Cirebon, dan air putih langsung amblas ke dalam perutku. Meski katanya aku sudah menjadi orang kaya, selera makanku terkadang memang masih sangat kampungan. Aku masih menggemari air putih mineral, dan tak begitu suka dengan hidangan ala western sana. Mungkin karena lidahku selama lima puluh tahun terkahir ini memang terbiasa dengan masakan kampung, sehingga kurang begitu suka dengan selera modern. Dan satu hal yang membuatku, katanya tetap terlihat fit oleh dokter pribadiku, yakni kegemaranku selalu minum air putih.

“Pukul berapa sekarang, Mat?”

“Pukul tujuh kurang lima menit, Pak.”

“Acara hari ini jam berapa?”

“Setengah sembilan, Pak. Bapak masih ada waktu sekitar satu setengah jam, kalau Bapak ingin sekedar jogging atau fitness akan saya temani,” Rahmat begitu setia. Namun semakin ia tunjukan kesetiaan itu, sebenarnya semakin muak aku melihatnya. Karena itu memancingku untuk tak lagi hormat padanya…

“Temani aku ke swimming poll aja, rasanya enak duduk berjemur di udara pagi.”

“Baik Pak,” kata Rahmat seraya meraih kursi roda untuk mengantarku.

“Ngga pakai itu, aku ingin jalan. Tunjukan saja arahnya.”

“Baik, Pak. Silahkan,” Rahmat berjalan membarengi setengah langkah di belakangku. Ia memang menjaga betul adab keprotokoleran, sebagai sarjana public relation kapasitas yang satu itu memang tak perlu dipertanyakan lagi. Aku sangat percaya dan yakin untuk itu.

Beberapa jam terlewat sudah, kegiatan pembuka di pagi itupun usai sudah. Kini aku mulai berkonsentrasi pada rapat komisi yang memang lebih banyak mendengarkan arahanku. Beberapa anggota dewan yang lain memang sempat berdebat dan beradu argumen denganku, teori dan analisis mereka juga cenderung tajam dan penuh kosa kata yang brilliant. Namun asal tahu saja, jauh sebelum rapat komisi ini di mulai, kami sudah mendesign sebuah skenario yang cermat dan tepat. Sehingga keputusan yang diambil nanti, pada akhirnya hanya sebuah statement dengan bargaining position [5]yang sangat menguntungkan untuk semua yang hadir di mimbar rapat ini.

Intinya, rapat apapun bagi kami hanya sebuah drama politik yang harus kami mainkan dengan sempurna. Karena setiap individu telah siap dengan peran dan penokohan yang sempurna, rapat inipun akan terlihat sebagai tayangan yang real dan seperti ‘iya’. Semua pelakon akan sangat hati-hati dan professional dalam bermain, karena usai pementasan kami semua mendapat ‘angpao’ yang telah diset besarannya.

“Jadi begitu ya, untuk Departemen Hutan Rimba ngga perlu ragu untuk melanjutkan rekomendasi ini menjadi sebuah keputusan. Sedangkan untuk Pemda Hutan Mangrove Utara, sabar aja yaa… rekan-rekan kita dari Departemen akan segera mengeluarkan izinnya untuk pembangunan pusat perdagangan bertaraf international itu,” kataku dengan intonasi yang paling berwibawa.

“Terima kasih Bapak Ketua, kami sangat menghargai dukungan Bapak ini. Selaku Sekretaris Daerah, kami menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya dari Bapak Bupati kami pada Bapak selaku pimpinan Komisi…”

“Ahh, yang itu sudah menjadi tugas saya dan rekan-rekan, bukankah kita semua berkomitmen untuk membangun negeri ini? Jadi mengorbankan sedikit hutan untuk lahan perdagangan bertaraf internasional bukanlah hal yang negative. Sampaikan salam kami semua pada Bapak Bupatinya yaa…”

“Baik Pak, nanti kami sampaikan.”

Acara hari itupun usai, aku kembali ke peraduanku dengan pengawalan ajudan sekaligus bodyguardku, Rahmat. Ketika sampai di kamar, beberapa koperku nampak telah rapi terkemas. Siang ini aku memang harus segera terbang ke Phoenix Hotel Singapura, bersiap untuk menghadiri jamuan makan malam dengan Chief Executive PT. Angkasa Luar Biasa. Jamuan makan yang juga akan dihadiri beberapa pengusaha kelas kakap juga menteri dari sejumlah Departement Republik ini, akan menjadi ajang prestisius untuk anggota dewan seperti aku. Bukan tidak mungkin atas dukungan mereka pula, sekali waktu aku bisa dicalonkan sebagai Menteri atau kalau aku boleh berkhayal, yaa jadi Presiden juga boleh. Kenapa ngga, yang sudah-sudah juga begitu. Bahwa dukungan rakyat sejujurnya, yaa bukan dari kelas bawah itu, tapi dari para konglomerat yang mau mendanai iklan dan kampanyeku. Jadi kenapa tidak!

“Kita akan berangkat dengan penerbangan ke lima, Pak. Jadi masih ada satu jam sebelum pukul lima sore. Apa ada yang bisa saya lakukan sebelum take off ?”

“Tolong hubungi toko stationery[6], carikan beberapa paket perlengkapan sekolah untuk dikirim ke Pandeglang. Ada dua pesantren yang mengajukan bantuan pendidikan by phone tadi, “ kataku seketika. Entah mengapa minggu terkahir ini, aku kepikiran terus dua pondok pesantren tempat kelahiranku. Setidaknya meski dengan ujudku seperti ini, mereka tak pernah bosan mendoakan keselamatan dan kesuksesanku. Mereka adalah pondok pesantrennya KH. Mamad dan KH. Jamaksary yang masih begitu erat di hati ini. Meski keduanya telah wafat, namun aku tak bisa melupakan jasa yang telah mereka berikan padaku dan adik-adiku dulu.

“Oh iya, kirimkan juga dua paket perlengkapan sekolah untuk kedua anakmu, sampaikan salam saya pada mereka,” kataku sebelum akhirnya menyelinap ke kamar mandi untuk sejenak berendam dengan air hangat.

“Baik, Pak. Terima kasih,” ucap Rahmat seraya beranjak dari pintu kamar hotelku menuju kamar sebelahnya. Dia memang menginap tepat di samping kamar ini hingga bisa cepat bereaksi untuk apapun yang terjadi padaku.

Waktu mulai menunjukan pukul empat lebih, keadaan di sekitar hotel bintang lima inipun mulai menjingga menyambut senja. Mungkin tak lama lagi akan terdengar suara adzan sebagai pertanda masuk waktu maghrib. Meski kini aku jarang lagi membasahi wajah dan tubuh ini dengan air wudhu, setidaknya aku masih mau berhenti sesaat untuk mendengar alunannya. Banyak kisah dan kenangan yang tak bisa kulupa di hari menjelang maghrib ini. Beberapa waktu yang silam, selain aku harus kehilangan Faiz yang jatuh dari truk pengiriman kaso, Salam yang harus pergi menggapai cita – citanya ke Cairo, aku juga harus rela melepaskan Ucu dipangkuan sang Malaikat Izrail karena tak mampu lagi membelikannya obat. Kejadian terpahit dalam hidupku itu seakan tak bisa lekang dalam ingatanku. Kejadian yang membuatku kini benar-benar berubah dan tak lagi mengenal sosok Muhammad El Faridz yang dulu.

Aku benar-benar telah bermertamorfosis sebagai sosok mahluk yang berbeda dari apa yang telah kutiti sejak aku di lahirkan. Tak ada lagi salam dan istighfar dalam keseharianku, tak ada pula terenyuh hati dan mimpi menjadi seorang santri. Yang ada kini adalah kemurkaan dan sakit hatiku terhadap nasib hidupku. Terlalu banyak cobaan yang membuatku tak lagi mengenal akan adanya keadilan dan rahmat Tuhan, aku telah membuang jauh semuanya itu. Bagiku kini adalah bagaimana berjuang dalam hidupku dengan cara apapun yang bisa aku lakukan. Yang penting aku bisa menunjukan pada warga kampungku, aku bisa berbangga pada sekitarku, kalau aku bukan sekedar anak yatim piatu lagi. Aku bukan Muhammad El Faridz si tukang ikan lagi. Aku adalah seorang anggota dewan yang terhormat, warga masyarakat yang memiliki strata dan penghargaan yang tinggi.

Sejenak kurebahkan tubuh tambunku di kursi massage yang katanya bernilai dua puluh lima juta ini, ada kepenatan yang coba kulepaskan dari gerakan elektriknya. Beragam keluh dan kesah yang kurasa dari rutinitas hidupku, coba aku hempaskan sejalan alunan asap rokok dari mulutku. Ditemani alunan musik klasik dari Barat sana, akupun mulai menghitung dan merancang kemungkinan-kemungkinan yang akan aku lakukan pada acara makan malam yang katanya akan dimulai tepat pukul 20.00. Sesekali kulirik arloji yang melingkar di tanganku, aku ingin memastikan untuk tidak terlambat turun dari hotel mewah ini. Setidaknya Rahmat memang telah merancang keberangkatanku ke Singapura pukul lima sore ini.

Dua jam berlalu, kini aku tengah duduk santai di sebuah maskapai penerbangan mahal dalam perjalanan menuju Bandara Changi, Singapura. Meski kepalaku tak berhenti berdenyut, dan otaku terus berputar, aku mencoba untuk tetap rileks. Setidaknya kabin dengan klas super eksekutif ini, memang memberikan kenyamanan untuk itu. Aku tak mau terlihat kampungan diantara para bule dan orang-orang kaya dari negeriku, karena kabin mahal ini memang hanya diisi beberapa orang saja. Meski sejenak kami saling tegur dan senyum, namun jauh di hati kami masing-masing memandang sinis. Ada semacam pertanyaan, darimana kami semua mendapatkan uang untuk tiket di kelas mahal ini? Mau apa jauh-jauh ke Singapura? Mau shopping, bisnis atau tengah melarikan diri karena tengah di usut KPK? Aah.. aku koq jadi terbawa paranoid seperti itu yah!

Kutarik bagasi samping tempat duduku yang terbuat dari bahan yang halus dan super empuk, beberapa majalah kelas dunia terpampang di sana. Beberapanya malah memerkan sosok selebritis dunia dengan pose-pose syurr. Ah… perjalanan ini bagai di kamar suit president saja, manakala segala makanan dan minuman berkelas ditawarkan para pramugari cantik dan berpakaian seksi. Mungkin ini merupakan tambahan dari standar pelayanan terbaik dari maskapai penerbangan yang dikenal mahal ini.

Sesaat ingatanku terpaut pada beberapa puluh tahun yang lalu, ketika aku kecil dan berangan-angan untuk bisa naik pesawat terbang yang sering melintas di atas rumah kami. Begitu inginnya aku, sampai-sampai Abah membuatkan aku ayunan dari kayu berbentuk pesawat yang kedua ujung nya diikatkan pada pohon besar di halaman belakang rumah kami. Itu saat terindah bagiku, ketika aku merasa telah naik pesawat terbang sungguhan dengan ayunan seperti itu.

Excuse me sir, anything to drink?[7]” sebuah suara halus membuyarkan lamunanku.

Oh, sure, just mineral water please[8],” jawabku dengan sedikit tersenyum pada pramugari berparas mirip Aura Kasih itu. “Thank you!

You’re welcome…,” sambutnya seraya berlalu dengan nampan peraknya. Sementara mata tuaku yang masih juga nakal nampak membingkai pemandangan tak halal dari bagian belakang perempuan cantik itu.

Perjalanan yang katanya memakan waktu satu jam dua puluh menit itu, seakan menawarkan kehidupan yang sangat nyaman bagiku. Really pleasure, and very execellent, he he he…

Aku memicingkan mataku ketika tiba-tiba pesawat ini terasa berguncang. Kalau tidak salah rute Jakarta – Singapura memang melintasi langit Sumatera Selatan yang katanya titik pertemuan dua arah mata angin. Oleh karenanya menimbulkan sedikit turbulency pada badan pesawat, jadi tak heran kalau pesawat ini terasa berguncang meski sedikit. Hanya saja yang menjadi pemikiran sesaatku, bukankah pesawat ini dirancang sangat elegan dan tahan dengan beragam turbulency sedang? Tapi mengapa maskapai yang bertiket sangat mahal ini, tak jauh beda dengan maskapai penerbangan biasa. Ah, pasti ada yang tak beres ini.

Kecemasan mendadak hadir di hatiku, ingatanku juga mendadak melayang pada mimpi yang sangat mengejutkanku semalam. Mimpi yang membuatku menjerit dan Rahmat datang tergopoh-gopoh ke kamarku. Apakah itu pertanda untuk kejadian ini? Aku terus bingung dan merasa khawatir ketika pesawat ini terasa makin berguncang keras. Bahkan suara operator pesawat yang menyuarakan agar kami mengencangkan seat belt serta memakai masker oksigen, tak lagi jelas kudengar. Apakah pesawat ini tengah bermasalah? Apakah ini perjalanan terakhirku sebagai manusia terhormat? Apakah Allah akan memberikan murka-Nya padaku yang selama ini tak lagi mengingat-Nya…

Keringat dingin bercucuran di keningku, akupun tak peduli lagi ketika dengan tergesa-gesanya Rahmat meraih seat belt dan melingkarkan ke perutku yang buncit. Yang ada di fikiranku sekarang hanya galau, resah, takut dan menyesal yang bercampur aduk. Inikah saat terakhir itu…

Suara pesawat bergemuruh berbarengan guncangan yang makin tak terkendali. Suara jerit ketakutan juga mulai terdengar, diantara suara operator dan pramugari yang mencoba menangkan kami. Namun beberapa detik ke depan, kondisi tak nyaman itu malah makin menjadi. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan saat itu, hanya diam seraya bersiap menerima kenyataan kalau hari ini adalah terakhir kami menikmati indahnya dunia. Hingga guncangan yang makin besar itu, menghempaskan beberapa bagian badan pesawat ini. Suara gemuruh itupun bercampur ledakan-ledakan kecil yang makin mencemaskan kami. Tak ada lagi akal waras kami yang tengah menanti datangnya ajal, hanya isak dan nafas yang tersengal menyesali hari ini. Menyesali untuk gaya hidup dan perjalanan yang tak barokah ini, menyesali kalau niat pergi hari ini bukan untuk tujuan yang baik, dan menyesali kalau hari ini bukanlah pelengkap dari ikhtiar amal shaleh.

Aah, mengapa pemikiran itu begitu erat di hatiku kini? Inikah wujud penyesalan sebenarnya, ketika suul khatimah nampak segera menjemput. Masihkah ada kesempatan dan waktu kami untuk bertobat, Yaa Allah. Masihkan ada kasih-Mu untuku sejenak membenahi pengingkaranku terhadap-Mu…

“Yaa Allah, ampuni hamba-Mu ini,” hanya lafadz itu yang sempat terucap ketika tiba-tiba pesawat ini meluncur jatuh ke bumi dan menyisakan bunyi detuman yang maha dahsyat. Menciptakan sebuah ironi di ujung hari, dan sesal yang tak pernah lekang di hati. Hingga gelap mewakili sekelilingku kini…


[1] Rincian tugas

[2] Jenis sarapan yang sering ditemukan di hotel-hotel ; nasi goreng, telur dadar gaya western dengan isi beragam sayur atau daging, roti isi selai sayur dan daging, sop yang terbuat dari sirip ikan hiu, soup jagung muda, pada suatu kesempatan jenis sop ini sering juga dijadikan apettizer atau makanan pembuka.

[3] Ahli masak

[4] Pimpinan menengah, posisi dimana seseorang telah mendapatkan kekuasaan memimpin dalam sebuah organisasi namun masih dibawah komando pimpinan yang lebih atasnya.

[5] Posisi tawar, yakni kondisi dimana kebijakan yang diambil lebih karena dasar pembagian keuntungan dari beberapa pihak yang terkait atau terlibat. Kebijakan yang ditentukan berdasarkan kondisi ini biasanya lebh merupakan kesepakatan politik dari beberapa kepentingan saja, sehingga kurang berpihak pada kepentingan rakyat banyak.

[6][6] Alat – alat tulis

[7][7] Permisi tuan, mau minum apa?

[8] Oh tentu, air mineral saja …







1 komentar: