Topeng 1
Di Antara
Malam Jakarta...
Hirup-pikuk malam itu
begitu jelas di telinga. Suara malam yang biasanya sepi dan lengang tak berlaku
untuk Jakarta. Rasanya kota ini tak pernah tidur di
setiap detik dan menitnya. Selalu saja ada aktifitas warganya yang menggelora
di setiap titian waktu. Mereka yang sibuk beriktiar untuk hidupnya hingga
mereka yang bersuka ria menikmati anugerah hidupnya. Di setiap sudut dan
keremangan selalu saja ada derap kehidupan masyarakat yang mewarnai Jakarta di
kala malam. Seperti tiga orang lelaki yang membawa seorang wanita muda di salah
satu kawasan hotel mewah. Entah apa yang tengah mereka lakukan, yang jelas
ketiganya nampak begitu serius dengan segala macam frase di kepala
masing-masing. Salah satu dari keempat orang itu adalah Rasimi.
Perempuan muda yang juga
salah satu pendukung Kembang Pantura itu
nampaknya tengah melaksanakan tugas lainnya selain menyani dan menari di atas
panggung. Menurut rencana salah satu kembang panggung ini akan dicasting dan
diorbitkan sebagai penyanyi dangdut terkenal. Rasimi juga dijanjikan akan
membuat album rekaman yang akan ditayangkan ke semua radio dan televisi
se-Indonesia. Namun Rasimi
masih bingung dengan arah tujuan para lelaki yang menjemputnya ini, apakah
benar ia akan diantar ke studio rekaman. Hatinya gelisah, meski ia terus menenangkan diri. Ia mencoba menepis bayangan
negatif dan kekhawatirannya. Ia yakinkan kuat-kuat kalau niatnya hanya untuk
bekerja demi anak semata wayangnya.
“Duuh, mengapa aku tak
tenang begini? Mengapa aku tiba-tiba ingat Lastriya...,” suara bathinya
bingung.
“Kenapa Mbak, masih gugup
yaa?” tanya seorang lelaki yang menjemputnya. “Santai saja, Pak Firman orangnya
baik koq. Banyak bintang-bintang panggung yang berhasil ia orbitkan...”
Rasimi hanya mengangguk
tersenyum, ia tak tahu harus bicara apa. Hatinya masih bingung dan gelisah. “Duuuh, Gusti Allah... kula nyuwun
perlindungane[1]...”
Beberapa saat kemudian, Rasimi
dan tiga orang lelaki yang menjemputnya telah sampai di sebuah hotel mewah di
pusat Jakarta. Sinar lampunya yang indah dan gemerlap menyilaukan siapa saja
yang baru pertama kali memasukinya, termasuk Rasimi. Ia sibuk melihat
kanan-kiri dan atas-bawah dari bangunan yang megah itu. Sesaat kegelisan
hatinya berubah menjadi kekaguman dengan apa yang dilihatnya kini. Sebaris
harapan terucap di hatinya, semoga ia
bisa bangkit dari kesengsaraannya dengan pekerjaannya kali ini.
“Naah, Rasimi... Pak
Firman sudah menunggu di loby tuh..,” ucap salah seorang lelaki penjemput
seraya menunjuk ke arah lelaki yang duduk manis di ujung loby hotel ini.
“Loby?”
“Iya, ruangan paling besar
ini namanya loby. Tuh, Pak Firman melambaikan tangannya ke arahmu...”
Rasimi mengalihkan
pandangannya pada sesosok lelaki yang ia jumpai kemarin malam. Pak Firman dan
seorang lelaki bertubuh subur nampak duduk santai di sudut loby sana. Ragu-ragu Rasimi melangkahkan
kakinya, mendekati dua lelaki yang menatap lurus ke arahnya.
“Sini Ras... ayo jangan
malu-malu...!” suara Pak Firman dari jauh.
Rasimi
mencoba tetap tenang dan duduk di salah satu kursi loby hotel ini. Ia mencoba
tersenyum meski hatinya kembali dilanda was-wasa dan ragu.
“Nanti kita akan mulai
rekaman di lantai 3 bangunan ini, sekarang santai saja dulu..,” ucap Pak Firman
seraya melambai ke salah seolah waiter.
“Ini minumannya Pak,”
seorang waiter menyuguhkan beberapa gelas dan minuman yang nampaknya sudah
dipesan. “Silahkan...”
“Terima kasih yaa,” ucap
Pak Firman, “ayo Ras.. kita minum dulu biar santai...”
“Minuman apa itu Pak, saya
tidak biasa minumm...”
“Ooh yang di botol itu
hanya untuk kami, kamu yang warna kuning saja... itu orange juice, enak koq...”
“Orange juice?” Rasimi bingung.
“Jus jeruk... jeruk yang
diperas,” Pak Firman menjelaskan. Ia menangkap kebingungan dan keragu-raguan
Rasimi untuk meminum minuman yang telah disiapkan.
“Hanya air jeruk khan
Pak?”
“Iya ayo minum saja...”
Rasimi meminum air jeruk
itu, kekhawatirannya mulai mereda ketika air yang berwarna kuning itu kini
mengalir di tenggorokannya. Tidak ada yang aneh, dia memang hanya meminum air
jeruk perasan. Percakapanpun berlanjut berkaitan dengan ide pembuatan lagu dan
video klip untuk Rasimi, sekaligus nilai kontrak yang akan diterimanya. Untuk
sesuatu yang baru dan sama sekali tak dipahaminya, Rasimi hanya banyak
mengangguk dan berharap kalau ia tak sedang mimpi.
“Jadi begitu, Nok[2]
Rasimi. Bapak Lutfi ini akan menangani Nok Rasimi dari penyanyi organ tunggal
menjadi penyanyi dangdut televisi,” Pak Firman masih terus memberikan angin
syurga bagi Rasimi.
“Baik, mari kita lanjutkan
percakapan kita dengan test penampilan di depan kamera,” kata Pak Lutfi yang
tak kalah gemuknya dibanding Pak Firman. Dari penampilan keduanya, mereka ini
memang termasuk om om yang sangat parlente,
menggambarkan status sosial mereka. Siapapun yang baru pertama melihat, pasti
tidak akan ragu kalau mereka mengaku seorang produser atau presiden direktur
sekalipun. Dan itu membuai pula Rasimi, yang benar-benar asing dunia seperti
itu. Apalagi sekian banyak materi dan popularitas menjebak hati dan angan-anganya
untuk maju. Melambungkan mimpinya untuk dapat hidup lebih baik. Meski kenyataan
terpahit, harus menghentikan mimpinya ketika ketiganya telah sampai di kamar
lantai 3 hotel itu.
“Koq kita ke kamar Pak?”
tanya Rasimi bingung.
“Kru dan perlengkapan kameranya
memang di kamar ini,” ucap Pak Firman, “ayo masuk saja... kita mulai latihan
malam ini.”
“Latihan... latihan
bagaimana Pak?”
“Yaa latihan menyanyi dan
menari... untuk penampilanmu di kamera nanti,” Pak Firman berucap serius, “kamu
tidak ingin khan rekaman video klipnya kurang bagus...?”
“Tapii... Pak, saya...,”
Rasimi mulai ragu dengan keputusannya.
“Sudah masuk saja, Pak
Lutfi ini sudah berpengalaman lho untuk para pendatang baru...,” Pak Firman
masih terus membujuk Rasimi.
“Tapi..,” meski ragu Rasimi
melangkah juga ke dalam kamar di lantai 3 itu. Namun detik pertama ia masuk ke
dalam kamar itu, detik itu juga Pak Firman mengunci pintu kamar itu.”Pak kenapa
pintunya di kunci?”
“Yaa, biar tak ada yang
mengganggu...”
“Tapi Pak...,” Rasimi
mulai panik dengan perasaannya, “sa... saya tidak jadi saja.”
“Tidak bisa begitu Nok, Pak Lutfi ini sudah membayar mahal
lho...”
“Saya akan kembalikan lagi
uangnya...”
“Kamu mungkin bisa, tapi
Margono dan isterinya itu pasti tidak bisa,” Pak Firman mulai berucap dengan
intonasi tinggi, “sudah masuk ikuti saja, dari pada kamu dilaporkan polisi
dengan tuduhan penipuan...”
“Tapi Pak...”
“Firman, kamu tidak akan
membuat saya kecewa malam ini khan?” suara Pak Lutfi terdengar dari arah toilet
kamar itu.
“Tidak Pak, Rasimi hanya
masih malu... dia baru pertama...”
“Pak, saya izin pulang
saja...,” Rasimi sudah berjalan ke arah pintu keluar.
“Sudah sampai sini Nok, tanggung...”
“Jangan Pak... saya
perempuan baik-baik, saya bukan pelacur...,” terucap sudah apa yang
dikhawatirkan Rasimi. Dia benar-benar takut dan merasa tertipu dengan semuanya
ini.
“Sebentar saja Ras,
setelah ini kami benar-benar akan mengorbitkan kamu sebagai penyanyi,
percayalah...,” Pak Firman mulai kewalahan mencegah dan memegangi Rasimi yang
mencoba kabur.
“Tidak Pak, demi Allah...
saya perempuan baik-baik. Saya tidak akan menjual kehormatan saya untuk sebuah
popularitas dan kekayaan dunia...”
“Tidak perlu munafik
seperti itu Ras, kami semua tahu bagaimana para penyanyi Kembang Pantura itu.
Sudah ikuti saja, jangan sampai kami melakukan kekerasan kepadamu...!” Pak
Firman mulai mengancam. Ia tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Rasimi yang
terus memberontak ingin kabur.
Di saat itu keluarlah Pak
Luthfi yang hanya menggunakan piyama dari toilet. Rupanya lelaki bertubuh subur
itu baru saja menyiapkan dirinya untuk ‘sasaran’ empuknya. Matanya berkilat dan
buas, bagai singa yang siap menerkam pelanduk di depannya. Lidahnya juga
terjulur, memandang Rasimi penuh selera.
“Sini sayang... tidak usah
takut, aku tidak galak koq...,” ucap Pak Luthfi merayu.
“Maaf Pak, saya tidak bisa
kalau harus...,” Rasimi terus mengelak dan menghindar dari Pak Luthfi yang kini
memburunya.
“Pak Firman itu boleh saja
produser rekaman, tapi aku pemilik modalnya,” kata Pak Luthfi penuh bangga,
“jadi menurut padaku, lebih menjamin obsesi dan impianmu...”
“Tapi tidak untuk tes
seperti ini, tolong Pak... jangan paksa saya...,” Rasimi memelas untuk
dikasihani. Namun semakin Rasimi memohon dan meminta, kedua lelaki yang sudah
kemasukan syetan itu makin bernafsu memburunya.
Dengan terkaman yang buas keduanya berusaha sekuat tenaga meraih dan
melucuti baju perempuan malang itu.
“Ayolah Mi.... santai
saja, tidak akan ada yang tahu. Cukup malam ini saja...”
“Tidak, lepaskan aku....
jangan sentuh tubuhku!”
PLAK! Rasimi menampar
wajah Lutfi yang terus mencoba menciumnya. Namun karena keberaniannya itu
menjadikan lelaki paruh baya itu naik pitam. Dengan sekuat tenaga ia membalas
tamparan itu dengan menjambak rambut Rasimi sekuatnya. Perempuan kampung itupun
jatuh tersungkur dengan sebagian rambut yang tercerabut dari kepalanya. Tak
hanya di situ, Lutfi kembali menghampiri dan kembali menarik rambut itu untuk
menegakan tubuh Rasimi. Pandangannya sudah tak waras, antara emosi dan nafsu
kini berbaur menjadi satu. Belum lagi Rasimi tegap berdiri, lelaki yang
terlanjur merasa di hinakan itu kembali melayangkan tangan kananya ke arah
wajah Rasimi. Perempuan itupun kembali jatuh dengan darah segar yang mengalir
di mulutnya.
“Dengar ya perempuan
kampung! Kalau hanya sekelas kamu, kami bisa dapat sepuluh dalam semalam! Tapi
kami masih kasihan dan menghargaimu, makanya kami minta baik-baik. Tapi rupanya
kamu memang tidak pantas di kasihani. Kamu tidak bisa di ajak baik-baik. Kamu
minta yang kasar-kasar yaa...,” Lutfi berucap dalam pengaruh alkohol tinggi.
Dia sudah tak sadar lagi apa yang sedang terjadi. Cacian dan makian dari
mulutnya seakan memuaskan hasratnya yang merasa terhinakan dengan penolakan
Rasimi.
“Hahaha... dengar kamu
perempuan kampung, kamu tak akan bisa lari. Sekuat apapun usahamu. Hotel ini
sangat mahal, privasi sangat dijaga sekali. Aku bisa saja teriak kalau kamu
pencuri, dan kamu akan berakhir di penjara...”
“Jangan Pak, toloong,
kasihani sayaa...,” Rasimi terus memohon. Namun dua orang lelaki yang telah
kesetanan itu bagai tak peduli. Keduanya terus memburu Rasimi dengan penuh
nafsu.
“Demi Sang Maha Pengatur
taqdir, dan juga penentu titian nasib,” bathin Rasimi menjerit. “Demi Dzat yang
semua berada dalam genggaman-Nya, jika benar ini batas akhir kemampuanku
mempertahankan kesucianku, semoga ada ampunan-Mu untuk kelemahanku...”
Udara segar mengalir
seketika. Dengan sekuat tenaga Rasimi mencoba
bangkit berdiri. Dengan
berpegangan pada tembok belakangnya Rasimi berupaya menegakan tubuhnya, hingga berdiri
persis di balik jendela yang menghadap luar hotel. Entah keberanian dari mana,
tiba-tiba kedua tangannya itu bergerak membuka tuas pengungkit jendela. Daun
jendela yang berbingkai alumunium itu terbuka lebar kini, tubuhnyapun langsung
membelakangi jendela kamar. Udara malam Jakarta di ketinggian lantai tiga itu kini memeluk erat tubuh lemahnya. Itulah
pilihan terakhir bagi Rasimi untuk tetap mempertahankan kesuciannya.
“Rasimi jangan gila kamu,
kamu bisa mati...”
“Aku tak mau kalau harus
menerima kenistaan dari kebejatan kalian...”
“Tapi kamu masih muda,
jangan sia-siakan hidupmu dengan bunuh
diri seperti itu!”
Terlambat! Angin dari ketinggian hotel itu lebih
menguasai Rasimi. Perempuan malang itupun terjun bebas ke bumi. Tubuhnya
terhempas bagai meteor yang meluncur deras menuju bumi. Tak ada teriakan, tak
ada pula jeritan. Rasimi lebih siap dari kemungkinan apapun yang terjadi
padanya. Ada kekuatan pilihan yang kini membatu di hatinya, lebih baik mati
demi menjaga kesuciannya dari pada menjadi budak nafsu para lelaki bejat itu. Temaramnya
malam dan bisingnya kesibukan malam Jakarta, menjadi
saksi perjuangan Rasimi kini. Sang Penari Topeng Kelana di titian cinta-Nya.
Rasimi jatuh terhempas dan
terjun bebas dari ketinggian tiga lantai. Tak ada yang tahu setelah itu.
Beritanyapun tak termuat di media cetak dan televisi manapun.
Peristiwa jahanam semalam bagai kerikil kecil di bongkahan kecongkakan Jakarta.
Begitupun organ tunggal Kembang Pantura, ia tetap eksis beroperasi, seperti tak
terpengaruh apa-apa. Entah kemana Rasimi? Bagaimana pula nasib perempuan
kampung itu. Hanya waktu yang kemudian menjadikan titian nasib dan taqdir yang berliku ini akan
jelas pada akhirnya.
******
selamat berkarya terus duhai abangku :)
BalasHapusSelamat berkarya terus dan terus ya abang :)
BalasHapusterima kasih untuk suportnya de achoey...
BalasHapus