Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Jumat, 21 September 2012

Bagian pertama dari Novel Kelana Di Titian Senja


Topeng 1
Di Antara Malam Jakarta...


Hirup-pikuk malam itu begitu jelas di telinga. Suara malam yang biasanya sepi dan lengang tak berlaku untuk   Jakarta. Rasanya kota ini tak pernah tidur di setiap detik dan menitnya. Selalu saja ada aktifitas warganya yang menggelora di setiap titian waktu. Mereka yang sibuk beriktiar untuk hidupnya hingga mereka yang bersuka ria menikmati anugerah hidupnya. Di setiap sudut dan keremangan selalu saja ada derap kehidupan masyarakat yang mewarnai Jakarta di kala malam. Seperti tiga orang lelaki yang membawa seorang wanita muda di salah satu kawasan hotel mewah. Entah apa yang tengah mereka lakukan, yang jelas ketiganya nampak begitu serius dengan segala macam frase di kepala masing-masing. Salah satu dari keempat orang itu adalah Rasimi.
Perempuan muda yang juga salah satu pendukung  Kembang Pantura itu nampaknya tengah melaksanakan tugas lainnya selain menyani dan menari di atas panggung. Menurut rencana salah satu kembang panggung ini akan dicasting   dan diorbitkan sebagai penyanyi dangdut terkenal. Rasimi juga dijanjikan akan membuat album rekaman yang akan ditayangkan ke semua radio dan televisi se-Indonesia.  Namun   Rasimi masih bingung dengan arah tujuan para lelaki yang menjemputnya ini, apakah benar ia akan diantar ke studio rekaman. Hatinya   gelisah, meski ia terus    menenangkan diri. Ia mencoba menepis bayangan negatif dan kekhawatirannya. Ia yakinkan kuat-kuat kalau niatnya hanya untuk bekerja demi anak semata wayangnya.
“Duuh, mengapa aku tak tenang begini? Mengapa aku tiba-tiba ingat Lastriya...,” suara bathinya bingung.
“Kenapa Mbak, masih gugup yaa?” tanya seorang lelaki yang menjemputnya. “Santai saja, Pak Firman orangnya baik koq. Banyak bintang-bintang panggung yang berhasil ia orbitkan...”
Rasimi hanya mengangguk tersenyum, ia tak tahu harus bicara apa. Hatinya masih bingung dan gelisah. “Duuuh, Gusti Allah... kula nyuwun perlindungane[1]...”
Beberapa saat kemudian,   Rasimi dan tiga orang lelaki yang menjemputnya telah sampai di sebuah hotel mewah di pusat Jakarta. Sinar lampunya yang indah dan gemerlap menyilaukan siapa saja yang baru pertama kali memasukinya, termasuk Rasimi. Ia sibuk melihat kanan-kiri dan atas-bawah dari bangunan yang megah itu. Sesaat kegelisan hatinya berubah menjadi kekaguman dengan apa yang dilihatnya kini. Sebaris harapan terucap di hatinya, semoga  ia bisa bangkit dari kesengsaraannya dengan pekerjaannya kali ini.
“Naah, Rasimi... Pak Firman sudah menunggu di loby tuh..,” ucap salah seorang lelaki penjemput seraya menunjuk ke arah lelaki yang duduk manis di ujung loby hotel ini.
“Loby?”
“Iya, ruangan paling besar ini namanya loby. Tuh, Pak Firman melambaikan tangannya ke arahmu...”
Rasimi mengalihkan pandangannya pada sesosok lelaki yang ia jumpai kemarin malam. Pak Firman dan seorang lelaki bertubuh subur nampak duduk santai di   sudut loby sana.  Ragu-ragu   Rasimi melangkahkan kakinya, mendekati dua lelaki yang menatap lurus ke arahnya.
“Sini Ras... ayo jangan malu-malu...!” suara Pak Firman dari jauh.
  Rasimi mencoba tetap tenang dan   duduk   di salah satu kursi loby hotel ini. Ia mencoba tersenyum meski hatinya kembali dilanda was-wasa dan ragu.
“Nanti kita akan mulai rekaman di lantai 3 bangunan ini, sekarang santai saja dulu..,” ucap Pak Firman seraya melambai ke salah seolah waiter.
“Ini minumannya Pak,” seorang waiter menyuguhkan beberapa gelas dan minuman yang nampaknya sudah dipesan. “Silahkan...”
“Terima kasih yaa,” ucap Pak Firman, “ayo Ras.. kita minum dulu biar santai...”
“Minuman apa itu Pak, saya tidak biasa minumm...”
“Ooh yang di botol itu hanya untuk kami, kamu yang warna kuning saja... itu orange juice, enak koq...”
Orange juice?” Rasimi bingung.
“Jus jeruk... jeruk yang diperas,” Pak Firman menjelaskan. Ia menangkap kebingungan dan keragu-raguan Rasimi untuk meminum minuman yang telah disiapkan.
“Hanya air jeruk khan Pak?”
“Iya ayo minum saja...”
Rasimi meminum air jeruk itu, kekhawatirannya mulai mereda ketika air yang berwarna kuning itu kini mengalir di tenggorokannya. Tidak ada yang aneh, dia memang hanya meminum air jeruk perasan. Percakapanpun berlanjut berkaitan dengan ide pembuatan lagu dan video klip untuk Rasimi, sekaligus nilai kontrak yang akan diterimanya. Untuk sesuatu yang baru dan sama sekali tak dipahaminya, Rasimi hanya banyak mengangguk dan berharap kalau ia tak sedang mimpi.
“Jadi begitu, Nok[2] Rasimi.   Bapak Lutfi ini akan menangani Nok Rasimi dari penyanyi organ tunggal menjadi penyanyi dangdut televisi,” Pak Firman masih terus memberikan angin syurga bagi Rasimi.
“Baik, mari kita lanjutkan percakapan kita dengan test penampilan di depan kamera,” kata Pak Lutfi yang tak kalah gemuknya dibanding Pak Firman. Dari penampilan keduanya, mereka ini memang termasuk om om yang sangat parlente, menggambarkan status sosial mereka. Siapapun yang baru pertama melihat, pasti tidak akan ragu kalau mereka mengaku seorang produser atau presiden direktur sekalipun. Dan itu membuai pula Rasimi, yang benar-benar asing dunia seperti itu. Apalagi sekian banyak   materi dan popularitas menjebak hati dan angan-anganya untuk maju. Melambungkan mimpinya untuk dapat hidup lebih baik. Meski kenyataan terpahit, harus menghentikan mimpinya ketika ketiganya telah sampai di kamar lantai 3 hotel itu.
“Koq kita ke kamar Pak?” tanya Rasimi bingung.
“Kru dan perlengkapan kameranya memang di kamar ini,” ucap Pak Firman, “ayo masuk saja... kita mulai latihan malam ini.”
“Latihan... latihan bagaimana Pak?”
“Yaa latihan menyanyi dan menari... untuk penampilanmu di kamera nanti,” Pak Firman berucap serius, “kamu tidak ingin khan rekaman video klipnya kurang bagus...?”
“Tapii... Pak, saya...,” Rasimi mulai ragu dengan keputusannya.
“Sudah masuk saja, Pak Lutfi ini sudah berpengalaman lho untuk para pendatang baru...,” Pak Firman masih terus membujuk Rasimi.
“Tapi..,” meski ragu Rasimi melangkah juga ke dalam kamar di lantai 3 itu. Namun detik pertama ia masuk ke dalam kamar itu, detik itu juga Pak Firman mengunci pintu kamar itu.”Pak kenapa pintunya di kunci?”
“Yaa, biar tak ada yang mengganggu...”
“Tapi Pak...,” Rasimi mulai panik dengan perasaannya, “sa... saya tidak jadi saja.”
“Tidak bisa begitu Nok, Pak Lutfi ini sudah membayar mahal lho...”
“Saya akan kembalikan lagi uangnya...”
“Kamu mungkin bisa, tapi Margono dan isterinya itu pasti tidak bisa,” Pak Firman mulai berucap dengan intonasi tinggi, “sudah masuk ikuti saja, dari pada kamu dilaporkan polisi dengan tuduhan penipuan...”
“Tapi Pak...”
“Firman, kamu tidak akan membuat saya kecewa malam ini khan?” suara Pak Lutfi terdengar dari arah toilet kamar itu.
“Tidak Pak, Rasimi hanya masih malu... dia baru pertama...”
“Pak, saya izin pulang saja...,” Rasimi sudah berjalan ke arah pintu keluar.
“Sudah sampai sini Nok, tanggung...”
“Jangan Pak... saya perempuan baik-baik, saya bukan pelacur...,” terucap sudah apa yang dikhawatirkan Rasimi. Dia benar-benar takut dan merasa tertipu dengan semuanya ini.
“Sebentar saja Ras, setelah ini kami benar-benar akan mengorbitkan kamu sebagai penyanyi, percayalah...,” Pak Firman mulai kewalahan mencegah dan memegangi Rasimi yang mencoba kabur.
“Tidak Pak, demi Allah... saya perempuan baik-baik. Saya tidak akan menjual kehormatan saya untuk sebuah popularitas dan kekayaan dunia...”
“Tidak perlu munafik seperti itu Ras, kami semua tahu bagaimana para penyanyi Kembang Pantura itu. Sudah ikuti saja, jangan sampai kami melakukan kekerasan kepadamu...!” Pak Firman mulai mengancam. Ia tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Rasimi yang terus memberontak ingin kabur.
Di saat itu keluarlah Pak Luthfi yang hanya menggunakan piyama dari toilet. Rupanya lelaki bertubuh subur itu baru saja menyiapkan dirinya untuk ‘sasaran’ empuknya. Matanya berkilat dan buas, bagai singa yang siap menerkam pelanduk di depannya. Lidahnya juga terjulur, memandang Rasimi penuh selera.
“Sini sayang... tidak usah takut, aku tidak galak koq...,” ucap Pak Luthfi merayu.
“Maaf Pak, saya tidak bisa kalau harus...,” Rasimi terus mengelak dan menghindar dari Pak Luthfi yang kini memburunya.
“Pak Firman itu boleh saja produser rekaman, tapi aku pemilik modalnya,” kata Pak Luthfi penuh bangga, “jadi menurut padaku, lebih menjamin obsesi dan impianmu...”
“Tapi tidak untuk tes seperti ini, tolong Pak... jangan paksa saya...,” Rasimi memelas untuk dikasihani. Namun semakin Rasimi memohon dan meminta, kedua lelaki yang sudah kemasukan syetan itu makin bernafsu memburunya.  Dengan terkaman yang buas keduanya berusaha sekuat tenaga meraih dan melucuti baju perempuan malang itu.
“Ayolah Mi.... santai saja, tidak akan ada yang tahu. Cukup malam ini saja...”
“Tidak, lepaskan aku.... jangan sentuh tubuhku!”
PLAK! Rasimi menampar wajah Lutfi yang terus mencoba menciumnya. Namun karena keberaniannya itu menjadikan lelaki paruh baya itu naik pitam. Dengan sekuat tenaga ia membalas tamparan itu dengan menjambak rambut Rasimi sekuatnya. Perempuan kampung itupun jatuh tersungkur dengan sebagian rambut yang tercerabut dari kepalanya. Tak hanya di situ, Lutfi kembali menghampiri dan kembali menarik rambut itu untuk menegakan tubuh Rasimi. Pandangannya sudah tak waras, antara emosi dan nafsu kini berbaur menjadi satu. Belum lagi Rasimi tegap berdiri, lelaki yang terlanjur merasa di hinakan itu kembali melayangkan tangan kananya ke arah wajah Rasimi. Perempuan itupun kembali jatuh dengan darah segar yang mengalir di mulutnya.
“Dengar ya perempuan kampung! Kalau hanya sekelas kamu, kami bisa dapat sepuluh dalam semalam! Tapi kami masih kasihan dan menghargaimu, makanya kami minta baik-baik. Tapi rupanya kamu memang tidak pantas di kasihani. Kamu tidak bisa di ajak baik-baik. Kamu minta yang kasar-kasar yaa...,” Lutfi berucap dalam pengaruh alkohol tinggi. Dia sudah tak sadar lagi apa yang sedang terjadi. Cacian dan makian dari mulutnya seakan memuaskan hasratnya yang merasa terhinakan dengan penolakan Rasimi.
“Hahaha... dengar kamu perempuan kampung, kamu tak akan bisa lari. Sekuat apapun usahamu. Hotel ini sangat mahal, privasi sangat dijaga sekali. Aku bisa saja teriak kalau kamu pencuri, dan kamu akan berakhir di penjara...”
“Jangan Pak, toloong, kasihani sayaa...,” Rasimi terus memohon. Namun dua orang lelaki yang telah kesetanan itu bagai tak peduli. Keduanya terus memburu Rasimi dengan penuh nafsu.
“Demi Sang Maha Pengatur taqdir, dan juga penentu titian nasib,” bathin Rasimi menjerit. “Demi Dzat yang semua berada dalam genggaman-Nya, jika benar ini batas akhir kemampuanku mempertahankan kesucianku, semoga ada ampunan-Mu untuk kelemahanku...”
Udara segar mengalir seketika. Dengan sekuat tenaga Rasimi mencoba   bangkit berdiri. Dengan berpegangan pada tembok belakangnya Rasimi berupaya menegakan tubuhnya, hingga   berdiri persis di balik jendela yang menghadap luar hotel. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba kedua tangannya itu bergerak membuka tuas pengungkit jendela. Daun jendela yang berbingkai alumunium itu terbuka lebar kini, tubuhnyapun langsung membelakangi jendela kamar. Udara malam Jakarta di ketinggian lantai tiga  itu  kini memeluk erat tubuh lemahnya. Itulah pilihan terakhir bagi Rasimi untuk tetap mempertahankan kesuciannya.
“Rasimi jangan gila kamu, kamu bisa mati...”
“Aku tak mau kalau harus menerima kenistaan dari kebejatan kalian...”
“Tapi kamu masih muda, jangan sia-siakan  hidupmu dengan bunuh diri seperti itu!”
Terlambat!  Angin dari ketinggian hotel itu   lebih menguasai Rasimi. Perempuan malang itupun terjun bebas ke bumi. Tubuhnya terhempas bagai meteor yang meluncur deras menuju bumi. Tak ada teriakan, tak ada pula jeritan. Rasimi lebih siap dari kemungkinan apapun yang terjadi padanya. Ada kekuatan pilihan yang kini membatu di hatinya, lebih baik mati demi menjaga kesuciannya dari pada menjadi budak nafsu para lelaki bejat itu. Temaramnya malam dan bisingnya kesibukan malam Jakarta,   menjadi saksi perjuangan Rasimi kini. Sang Penari Topeng Kelana di titian cinta-Nya.
Rasimi jatuh terhempas dan terjun bebas dari ketinggian tiga lantai. Tak ada yang tahu setelah itu. Beritanyapun tak   termuat di media cetak dan televisi manapun. Peristiwa jahanam semalam bagai kerikil kecil di bongkahan kecongkakan Jakarta. Begitupun organ tunggal Kembang Pantura, ia tetap eksis beroperasi, seperti tak terpengaruh apa-apa. Entah kemana Rasimi? Bagaimana pula nasib perempuan kampung itu. Hanya waktu yang kemudian menjadikan  titian nasib dan taqdir yang berliku ini akan jelas pada akhirnya.

******


[1] Yaa Allah, aku mohon perlindungan-Mu
[2] Nak (panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Cirebon sehari-hari)

3 komentar: