Satu
Cinta di Serambi
Hati
Tepian Gaza, Lima
Tahun Sebelum Hari ini
Baru seminggu yang lalu mereka bertemu dan
kenalan. Bagi Jeanette, lelaki setampan apapun tidak pernah mengganggunya
selama ini. Khususnya bila itu dianggap menghalangi niatnya untuk tetap
mengabdi pada kemanusiaan. Ia telah berjanji pada hati dan imanya, kalau ia
akan mengabdikan segala yang dimilikinya di jalan Tuhan. Ia telah menyerahkan
semuanya itu sejak Mom dan Dad membawanya pada kapel St. Ana dan membaptisnya
sebagai anak Tuhan. Sejak itu pula selalu timbul rasa belas dan kasih yang ia
curahkan sebagai wujud syukur dan terima kasihnya pada Tuhan. Ia berjanji dan
meyakinkan dalam hati, kalau ia telah mengambil jalan Tuhan. Ia tidak akan
tergoda dan terbawa pada keindahan dan kenikmatan dunia. Baginya berbagi pada
sesama merupakan amanah yang harus ia emban sepanjang hidupnya. Namun sungguh,
ia terlupa satu hal ; jika hati tetaplah wilayah Tuhan! Dan hanya Dia yang
mampu menggerakannya kemanapun Dia mau. Seperti perkenalan dan perjumpaannya
dengan Syahid Salman. Lelaki kalem dan tak banyak bicara itu tiba-tiba saja
begitu indah di matanya. Terlebih lagi di dalam hatinya.
Bunga cinta bermekaran di sana.Tak ada yang
mampu mengelak jika cinta telah hadir dan menemukan jalanya. Sungguh tidak akan
ada yang mampu membendung semuanya itu, meski janji dan sumpah pada Tuhan
sekalipun. Karena cinta sejatinya hadir karena izin Tuhan, dan cinta adalah
sesuatu yang indah dari semua keindahan yang pernah Tuhan ciptakan. Sejauh
apapun Jeanette berlari dan sekuat apapun ia mengelak, kenyataannya cinta tetap
hadir di langkahnya kini.
“Tapi dia bukan orang bule sepertiku, dan
yang paling kurisaukan, dia seorang muslim. Dia tidak mungkin bisa bersatu
denganku dan keluargaku yang nasrani. Aku sangat bingung, Margareth...,”
Jeanette menuliskan kalimat terakhirnya pada email yang ia kirim ke Australia
sana.
Kebimbangan dan kerisauan seperti itulah
yang menahan laju cinta di hatinya. Meski ia sadari cinta pada hakekatnya
adalah sesuatu yang bersih dan suci, namun pondasi keimanan yang selama ini
dianutnya merupakan pagar teguh yang tak mungkin ia terjang. Ia tak ingin
menyakiti Mom dan Dad, dan ia juga tak ingin menyakiti Tuhan.
“Tuhan tidak pernah sakit pada apa yang
dipilih hamba-Nya, Jeanette. Dia hanya peduli dengan nilai yang di kerjakan
hamba-Nya. Sesuatu yang baik atau sesuatu yang burukah? Dan itu sangat penting
bagi-Nya....,” itu jawaban dari email yang Jeanette terima pagi dini hari itu.
Margareth memang sahabat dekat Jeanette sejak SMU dulu. Keputusannya untuk
menjadi palang merah internasional, telah memisahkan pertemanan keduanya pada
jarak yang sedemikian jauh. Margareth yang menetap di Adelaide, Australia, dan
Jeanette yang kini mengemban misi kemanusiaan di perbatasan Gaza, Palestina.
Dia tidak pernah sepaham dengan muslim, dia
juga tidak begitu peduli dengan agama pengikut Muhammad itu. Yang ia tahu, ia
hanya mengabdi pada kemanusiaan. Tak peduli siapa dan apa agamanya, yang
penting baginya adalah membantu dan meringankan beban mereka dari penderitaan
dunia. Dia juga tak pernah tertarik kegiatan penginjil yang membantu dengan
menyebarkan kristenisasi. Baginya kebaikan dan berbagi lebih dari semuanya itu.
“Terima kasih Margareth, kalimatmu sungguh
menenangkanku. Aku memang senantiasa berjalan di titian Tuhan, dan engkau makin
menguatkan perjuanganku itu. Setelah ini, aku akan sampaikan pada pemuda muslim
itu, kalau aku mencintainya. Lebih dari aku mencintai apapun, kecuali jalan
Tuhan yang tengah ku tempuh ini...,” begitu balas Jeanette yang ia sampaikan
pada sahabatnya di Australia sana.
****
Pagi merekah merah. Mentari memendarkan
cahanya di bukit-bukit Gaza yang kini lebih banyak puing dari pada perbukitan
hijau dengan zaitunnya. Jeanette baru saja terjaga di bagunan yang mulai
menjadi puing di beberapa sisinya. Serangan Israel sebulan lalu memang
menjadikan perbatasan Gaza tak lebih dari daerah yang baru saja tertimpa gempa
8 scala richter. Bau mesiu juga masih tercium di sana sini, menggambarkan
betapa dahsyatnya bom yang mereka luncurkan saat itu. Meskipun mereka berdalih
serangan itu sebagai akibat dari serangan yang telah dilakukan kaum militan
Palestina, namun kenyataannya kekejaman kemanusiaan lebih banyak mereka
ciptakan. Seolah membenarkan niat genoside terselubung yang mereka kemas dalam
bentuk zionisme. Terlebih dengan alasan bodoh dan tak masuk akal, kalau mereka
mengaku mengambil kembali tanah yang mereka miliki beberapa abad yang lalu.
Sebuah alasan pembenaran yang perlu dipertanyakan hingga kapanpun. Apalagi
kenyataannya kuil suci mereka (Sinagog) tak pernah menetap di satu tempat, pada
zaman kemunculan agama mereka. Karena kuil suci itu hanya berbentuk gubuk kayu
dengan berbagai perlengkapan yang mereka anggap suci.
Meski Jeanette tak memusingkan dengan
semuanya itu, hati kecilnya juga terkadang sering bertanya; mengapa ada negara
yang perilakunya bagai iblis dan tanpa belas kasihan. Jika memang tujuan mereka
hanya ingin merebut tanah Palestina, mengapa harus wanita, anak-anak dan bayi
yang menjadi korban? Itu pula yang membuatnya bersikeras untuk tetap bergabung
pada palang merah internasional, sebagai
wujud solidaritas kemanusiaan yang diembannya.
Seperti pagi ini, meski kepalanya masih
begitu berat karena kantuk dan lelah, ia mampu terbangun dan kembali
beraktifitas. Di saat teduh, ia memang selalu melakukan itu. Berdoa di
sudut tempat tidurnya, dengan alkitab
dan salib rosario di ujung genggamanya. Hatinya sepenuh ikhlas berdoa untuk
keselamatan anak-anak dan wanita Palestina serta perdamaian tanah Gaza. Ia
yakin, jika doanya akan terkabul disuatu saat. Setidaknya rasa damai dan tenang
yang senantiasa ia dapati manakala ia selesai berdoa. Ia merasa kalau Tuhan
berkenan dengan doanya dan itu pertanda jika doanya kelak akan terkabul.
“Assholaatu
khairumminannaum... Assholaatu khairumminannaum...”
Jeanette terpaling sejenak dari
kekhusyukannya berdoa. Suara yang mengalun dari surau terdekat itu selalu saja
menyahuti akhir doa yang ia panjatkan. Lafadz itu seolah menjadi penanda akan
hadirnya damai dan tenang dalam hatinya. Ia tahu itu ajakan sholat bagi muslim,
bukan untuknya! Akan tetapi, selalu saja rasa damai dan tenangnya hadir setiap
kalimat itu berkumandang. Ia tak pernah merasa kalau gema adzan seperti itu yang membuat hatinya
teduh, ia hanya merasa kalau doanyalah yang membuatnya tenang di fajar yang
memerah itu.
“Bapa kami yang ada syurga, hanya padamu aku
yakin, dan hanya padamu aku bermohon, kalau kelak kedamaian dan kebahagiaan
dapat engkau hadirkan bagi kami, aku dan anak-anak Palestina itu... “ Jeanette
mengakhiri doanya. Setelah menandakan salib di wajah dan hatinya, iapun
bergegas keluar. Menghirup udara pagi yang masih menyisahkan sejuk dan segar
sesaat. Jika menjelang siang, semuanya itu akan hilang. Berganti deru tank-tank
Israel yang berpatroli dan mengawasi aktifitas kemanusiaan mereka.
Pagi makin menjelang. Mentari mulai bersinar
dengan terang. Hari ini, Jeanette akan melanjutkan kegiatannya yang telah di
deadline oleh WHO dan UNICEF untuk segera selesai. Mencatat dan
menginventarisir data kesehatan ibu dan anak-anak Palestina yang menjadi korban
agresi Israel sebulan lalu. Dan juga mendata pusat-pusat budaya Palestina yang
masih memungkinkan untuk di lindungi bagi peradaban Palestina kelak.
“Excusme,
Has Mr. Gupte stay in there ?” tanya
Jeanette malu-malu pada lelaki yang terlihat sibuk dengan instalasi gedung yang
masih saja rusak itu.
“I’m
not sure, tapi saya rasa jam segini dia sudah ada di dalam,” jawab pemuda
berbaju kotak-kotak itu kalem. Karena sikapnya yang kalem itulah yang membuat
Jeanette selalu mencari cara untuk bisa terus datang ke gedung yang separuh
bagiannya ambruk terkena serangan bom Israel itu.
“Thanks,”
ucap Jeanette ringan, “Oh ya, apa siang ini anda ada waktu?”
Syahid Salman berfikir sejenak, “waktu?
Untuk apa ya?”
“Instalasi di bangunan perawatan pasien agak
sedikit error, mungkin ada beberapa kabel yang harus dibenahi. Kami sangat
menghargai bantuan anda, jika berkenan memperbaiki jaringan tersebut,” Jeanette
menemukan alasan bagus untuk bisa bertemu lebih intens.
“Oke, tidak masalah. Insya Allah, siang
nanti aku ke bangunan kalian,” ucap Syahid Salman apa adanya. Sesaat tersenyum,
kemudian sibuk kembali dengan pekerjaannya. Sementara Jeanette hanya mampu
menahan girang dihatinya dengan senyum simpul di ujung bibirnya. Pesona pemuda
Indonesia ini memang menggoyahkan pertahanan hatinya untuk tidak terjebak dalam
indahnya dunia. Keyakinannya untuk berpasrah diri pada jalan Tuhan, mulai
dipertaruhkan dengan binar-binar cinta yang kini mulai berpendar di hatinya.
“Thanks,
Syahid...”
“Your
Wellcome...”
Pagi yang indah. Setidaknya ini yang tengah
dirasakan oleh Jeanette. Tidak heran kalau di pagi itu, ia terlihat begitu
semangat. Tidak hanya mendata apa yang menjadi tugasnya, akan tetapi juga
membantu para medis menangani para korban perang. Senyumnya juga melebar hampir
kepada semua orang. Termasuk pada Sayyida, perempuan paruh baya yang baru saja
kehilangan dua anak laki-lakinya itu. Membuat keduanya membangun percakapan
yang agak panjang dari biasanya.
“Ada apa Anaku, kau terlihat ceria sekali
pagi ini?” tanya Sayyida dengan lembut.
“Tidak ada apa-apa Nyonya, saya hanya
mencoba menikmati hari ini dengan semangat,” elak Jeanette dengan ringan.
“Hehehehe, kamu tidak bisa bohong denganku,
Anaku! Kamu pasti mengalami sesuatu yang luar biasa hari ini...”
“Aah, Nyonya Sayyida, bisa saja. Saya khan
hanya mencoba mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikanya hari ini....”
“Sesuatu yang indah yang diberikan-Nya,
cintakah itu Anaku?”
Jeanette tak mampu lagi mengelak. Kalimat
Sayyida benar-benar membuatnya terdiam dengan bola mata yang berbinar indah.
Alamiah wanita, mereka memang tak bisa menyembunyikan sesuatu yang indah dalam
hidup mereka. “Ssst, jangan bilang siapa-siapa yaa...”
Sayyida tersenyum simpul, seolah mampu
melupakan kedukaannya sejenak. Senyum ceria di bibir gadis bule itu seolah
membawanya pada romansa masa lalu, ketika ia juga merasakan hal yang sama ;
jatuh cinta!
“Ayo katakan padaku Nak, pemuda mana yang
telah merebut hatimu...?” tanya Sayyida separuh berbisik. Jeanette yang merasa
telah tertebak makin bersemu merah pipinya.
“Seingatku, cinta yang tumbuh di gadis
seusiamu adalah cinta yang lebih dewasa, lebih dari sekedar rasa suka belaka.
Aku yakin pasti dia pemuda hebat dan sangat mempesona, sehingga ia mampu
membuatmu seperti sekarang ini...,” Sayyida terus berteori tentang rasa dan
cinta.
“Sudahlah Nyonya jangan bahas itu lagi, saya
jadi malu. Bagaimana luka kakimu?” Jeanettte mengalihkan pembicaraan dengan
memeriksa kaki Sayyida yang luka parah terkena pecahan mesiu sebulan lalu.
“Saya bersihkan perbanya yaa?”
Sayyida tak lagi berkomentar, ia menyerahkan
kakinya untuk dirawat oleh Jeanette. Namun sepanjang perawatan luka, mata
Sayyida terus terpaut pada bibir Jeanette yang terus mengulas senyum. Ia yakin
begitu besar aura cinta yang tengah dirasakan gadis asal Australia itu. Dan
Sayyida betul-betul tak mampu menguasai hatinya untuk segera mengetahui siapa
yang tengah bersemayam dalam hati wanita muda ini. Mungkin insting wanita
dimana saja sama; selalu ingin tahu tentang asmara!
“Ayo Anaku, kamu bisa percaya padaku. Aku
bisa menyimpan rahasiamu kalau memang itu rahasia. Dan aku bisa menjadi
penasehat cintamu jika itu perlu...,” bahasa Inggris Sayyida terpatah-patah,
namun tetap dimengerti oleh Jeanette.
“Aah, Nyonya, jangan paksa saya, saya belum
mampu menceritakan itu sekarang,” Jeanette masih terus mengelak. “Nanti saya
cerita kalau sudah tiba saatnya...”
Sayyida tak lagi bisa memaksa, pandangannya
kini terpaku lurus pada luka menganga yang ada di kedua kakinya. Kaki yang
telah berjuang dan menyelematkannya dari nasib pahit juga menghancurkan
kebahagiannya. Dengan kaki itu pula, segala kisah duka kebiadaban Israel pada
suami dan kedua anaknya tersimpan. Beruntung, Allah masih memberinya
perlindungan sehingga ia selamat dari mortir yang diarahkan Israel ke rumahnya.
Meski sekali waktu ia terkadang menyesali, mengapa Allah menyisakan dia hidup
sendiri. Namun kehadiran Jeanette yang begitu peduli dan dekat dengannya,
membuatnya bertahan hingga hari ini.
Siang beradu waktu. Gaza yang teduh dan
tenang ketika pagi mulai terobek dengan hadirnya beberapa tentara Israel yang
mondar-mandir di sekeliling mereka. Dengan alasan mencari kaum militan
Palestina, mereka memasuki bangunan yang digunakan perawatan orang-orang sakit
itu. Pandangan mereka sinis dan cenderung melecehkan. Entah apa yang ada di
hati mereka, perasaan puaskah akan perbuatan mereka? Atau juga masih penasaran,
karena serangan itu menyisahkan wanita dan anak-anak yang terluka, dan itu
menjadi perhatian dunia. Membuat dunia mengecam mereka dan memaksa mereka untuk
menghentikan penyerangan mereka terhadap Gaza.
Di siang yang baru saja tergelincir itu,
datang seorang pemuda dengan tinggi lelaki kebanyakan bule. Namun kulitnya
tidak bule, matanyapun tidak biru atau hijau. Dengan rambut lurus dan hitam lebat,
membuat wajahnya sangat berbeda dengan pria bule yang sering menghantarkan
perbekalan bagi rumah sakit dadakan ini. Namun senyumnya yang simpatik serta
sedikit jenggot di dagunya, membuat lelaki ini menjadi pusat perhatian para
wanita yang ada di bangunan separuh rusak itu. Tak terkecuali Jeanette dan
Sayyida yang tengah bercengkrama saat itu.
“Itukah pemuda yang ada di hatimu, Nak?”
tanya Sayyida perlahan, ketika ia mendapati mata Jeanette yang terpaut lurus
tanpa berkedip.
Mendengar itu, Jeanette langsung memalingkan
pandangannya dan kembali memegang kaki Sayyidah yang baru saja ia ganti
perbannya beberapa jam lalu. Namun karena salah tingkahnya itu, ia malah
menggunting dan membuka kembali perban itu.
“Tidak usah salah tingkah begitu Nona
Jeanette, perban itu baru saja anda ganti!” ucap Sayyida ringan mencoba
mengingatkan ke alfaan sukarelawan kemanusiaan itu. Ia sengaja mengucapkan
dialek Inggris baku, untuk menggoda Jeanette. Perempuan muda itupun bersemu
makin merah.
“Maaf, ada yang tahu dimana Nona Jeanette?”
tanya pemuda itu dalam bahasa Parsi. Tugasnya yang lebih dari tiga tahun
membuatnya fasih berbahasa Inggris dan Parsi.
“Dia mencarimu, anaku,” ucap Sayyida girang.
Bahasa Parsinya mendadak keluar, menunjukan kegirangan pula dalam hatinya. Apakah
ini juga alamiahnya wanita atau entahlah, yang jelas Sayyida merasakan pula
keindahan cinta yang tengah dirasakan Jeanette.
“Saya di sini, Syahid...,” ucap Jeanette
seraya melambaikan tangan di antara barisan ranjang dan pasien yang tengah
dirawatnya.
“Oh disitu rupanya, “ kata Syahid seraya mendekati arah wanita yang dicarinya,
“instalasi mana yang harus aku perbaiki?”
“Mmm... saya kurang yakin yang mana, yang
jelas beberapa komputerku tak bisa menyala kemarin...”
“Kemarin?” tanya Syahid bingung, “kalau sekarang...?”
“Entahlah, saya kurang tahu. Tapi saya
berterima kasih kamu mau datang dan mengeceknya,” ucap Jeanette seraya menahan
gemuruh di dadanya. Sementara Sayyidah hanya tersenyum simpul meng-amin-kan apa
yang ada di hatinya saat ini.
Syahid
bermaksud meninggalkan ruangan itu, karena menganggap semuanya sudah
selesai. Namun baru selangkah ia balik kanan dan hendak berjalan, sebuah suara
memanggilnya...”
“Yaa
Muhammad, sudikah jika engkau menemani kami sejenak?” suara Sayyida
terdengar. Ia memanggil Syahid dengan
sebutan Muhammad untuk memuji dan menyanjung lelaki muslim pada umumnya.
“Maafy,
Nyonya memanggil saya?” tanya Syahid
seraya berbalik.
“Benar Anaku, apakah terlalu merepotkanmu
untuk tinggal sejenak?”
Syahid
tersenyum simpul, ia kembali berjalan mendekat pada Sayyida dan Jeanette
yang makin tersipu malu. Sudah sifatnya selalu hangat dan berbagi pada siapa
saja, terlebih lagi pada seorang ibu yang tengah sakit. Ia selalu berharap
untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan siapapun. Itu pula yang menjadi alasanya
untuk bergabung menjadi sukarelawan di palang merah internasional ini.
“Ada yang bisa saya kerjakan Nyonya?”
“Ada, semoga engkau tak keberatan Anaku,”
ucap Sayyida seraya mengulurkan tangannya untuk menjabat genggaman Syahid. “Aku
tak tahu sampai kapan umurku, setidaknya dengan kondisi kedua kakiku yang tak
juga sembuh ini. Maukah engkau melakukan sesuatu...?”
Syahid
memiringkan kepalanya sesaat, menunjukan ia berfikir dengan pertanyaan
aneh dari Sayyida. Namun tak berapa lama iapun mengangguk dan tersenyum,
mewakilkan jawaban kesanggupan.
“Jika kelak aku lebih dulu mendahului
kalian, maukah engkau menjaga Jeanette untuku?” tanya perempuan paruh baya itu
dengan mata berkaca-kaca. Entah apa yang ada di fikiran Sayyida. Yang jelas
dengan ekspresinya itu, Syahid tak mampu
berucap apa-apa. Kembali hanya anggukannya yang mampu ia wakilkan. “Berjanjilah
Anaku, jika engkau akan menjaga Jeanette yang telah begitu baik pada kami
semua...”
“Insya Allah, Nyonya...,” Syahid menjawab lirih.
“Terima kasih, semoga Allah memberkati
kalian semua...”
Setelah itu Syahid mohon pamit dan melanjutkan kembali tugasnya
sebagai teknisi instalasi di barisan sukarelawan. Kemampuannya di bidang
teknologi dan engginering membuatnya serba bisa dalam urusan teknis. Sebetulnya
dengan kapasitasnya itu, ia bisa diterima oleh perusahaan besar manapun di
berbagai negara, namun panggilan hati membawanya untuk mengabdi dan menjadi
relawan kemanusiaan. Dan itu terlihat lebih membuatnya nyaman.
“Alhamdulillah, dia memang lelaki yang baik
Anaku...” Sayyida berucap syukur.
Jeanette mengira, jika Sayyida hanya sekedar
bertak-tik agar ia bisa lebih dekat dengan Syahid. Akan tetapi dugaannya salah,
perempuan paruh baya itu terlihat sungguh-sungguh dengan ucapannya. Oleh karena
itu, ia mengurungkan niatnya untuk komplen dengan apa yang dilakukan wanita
itu. Setidaknya ia memang menangkap ekspresi keseriusan dari Sayyida.
“Mengapa Nyonya melakukan ini?”
“Maaf kalau membuatmu malu Anaku,” Sayyida
berucap serius, “aku hanya ingin membalas dan menunjukan rasa terima kasih
padamu yang telah berjuang demi kami rakyat Palestina. Jika memang apa yang
kulakukan ini tak sebanding dengan pengabdianmu selama ini, semoga Allah akan
menggantinya dengan lebih baik...”
Jeanette tak kuasa menahan haru, ia memeluk
perempuan paruh baya itu. Sepanajng hidupnya ia tak pernah merasakan kehangatan
dan keharuan sebagai ibu dan anak pada Mom atau Dad-nya. Namun hari itu ia
merasa kalau Tuhan telah menunjukan sisi indahnya. Dan karena hari itu pula,
pandangannya tentang ketulusan dan kasih sayang sebagai seorang muslim mulai
berubah. Anggapan yang kasar, bar-bar dan cenderung kejam tak lagi ia temukan
mulai saat itu.
Perlahan hatinya makin penuh dengan
bunga-bunga cinta. Cinta yang hadir karena rasa, dan cinta yang hadir karena
hati telah melewati titiannya. Jeanette merasakan cinta yang seutuhnya yang
kini berbunga di serambi hatinya.
********