Wilujeung Sumping
Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...
Selasa, 03 Agustus 2010
11. Ironi di Sabtu Pagi
Aku tak melihat wajah temanku yang biasa ceria itu, entah mengapa sudah tiga hari ini ia tak terlihat mondar-mandir di gerbong kereta seperti biasanya. Namanya Ahmad, biasanya kami memanggilnya Mamad, mungkin biar lebih mudah. Usianya dua tahun lebih muda dari aku, makanya ia sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Dia satu sekolah dengan Ruby, adiku. Lewat adikku pula, ia mengenal aku dan bergabung dengan komunitas anak-anak kereta. Pembawaannya yang lucu serta jiwa sosialnya yang tinggi, membuat Mamad mudah akrab dengan kami. Meski baru sepuluh tahun, Mamad terbilang berkemauan keras dan bertangung jawab terhadap keluarganya. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Anak keluarga miskin yang menggantungkan hidup dari pengumpul barang bekas. Kedua orang tuanya memang bekerja di bidang mengais sampah itu. Mengingat betapa susahnya menjadi pengumpul barang-barang bekas, aku begitu hormat dan menghargai kedua orang tuanya itu. Orang tua Mamad sebetulnya termasuk golongan orang tua yang sangat baik dan perhatian pada keluarganya. Mereka sangat memperhatikan kesehatan dan pendidikan Mamad. Namun ketika cobaan muncul di keluarganya, semuanya itu mulai berubah.
Hal itu berawal ketika si jago merah melalap semua rumah dan barang-barang berharga mereka, perangai dan sikap bapak Mamadn – Kasrun - berubah sangat drastis. Kekecewaannya pada nasib dan taqdir yang telah digariskan Allah, membuatnya tak lagi menunjukan sikap yang hangat sebagai kepala keluarga. Hari-harinya terisi dengan mabuk dan main kartu di kampung sebelah. Pulang malam, pergi pagi, tanpa menunjukan tanggung jawab dan pedulinya sedikitpun pada keluarganya. Rumiyah, ibu Mamad tak lagi dapat berbuat banyak akan prilaku suaminya. Setiap ada pertentangan, tak jarang perempuan kurus itu diperlakukan bagai maling sandal yang ketahuan. Masih untung kalau hanya biru lebam, tak jarang ia juga harus dibawa ke puskesmas atau diselamatkan warga dari ancaman golok Kasrun. Hingga puncaknya, Kasrun di usir warga kampung karena dianggap sangat membahayakan keluarganya. Lelaki yang stress itupun pergi meninggalkan istri dan ketiga anaknya. Tinggallah Rumiyah yag mulai sakit-sakitan hidup menggelandang diantara gubuk-gubuk kardus di pinggiran tempat pembuangan sampah, karena ia tak mampu lagi mengontrak. Melihat kondisi keluarga yang memprihatinkan seperti itu, aku jadi bisa merasakan bagaimana susahnya hidup sebagai Mamad. Di usianya yang masih sangat belia, harus menanggung beban hidup yang sangat berat.
“Mamad sudah tidak sekolah lagi, Mas,” Ruby menerangkan kondisi terakhir teman sepermainan kami, “kata teman-teman yang lain, ibu Ahmad sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahnya.”
“Ruby sudah ketemua dengan Mamad?”
“Belum Mas, saya sudah tak melihatnya dua minggu terakhir ini. Bu Saonah juga mencari-cari kemarin,” kata Ruby turut merasakan kecemasanku, “memang Mamad juga tidak ada di stasiun Mas?”
Aku menggeleng singkat. Anak sepuluh tahun dan rekan sepermainan kami itu mendadak hilang dari suka cita kami. Padahal seingatku, Ahmad sangat cekatan dalam mencari uang, menyemir, jual koran atau jualan apapun rasanya tidak ada yang tidak laku. Mamad juga tergolong anak yang cerdas untuk merayu atau membuat para penumpang jadi membeli.
“Bagaimana kalau kita kerumahnya saja, Rub?”
“Boleh juga Mas, Ruby juga mau tahu keadaannya,” Ruby kelihatan antusias. Ia memang tidak diperkenankan keluar rumah kalau tidak denganku. Ibu memang sangat perhatian sekali dengan adik bungsuku itu. Mungkin karena proses kelahiran Ruby yang sangat susah, dan hampir merenggut nyawa ibuku yang membuat ia jadi terlihat istimewa di mata ibu. Selain itu, sejak bayi, Ruby memang tak sempat disusui oleh ibu, karena air susu ibu kering setelah melahirkannya. Sampai-sampai Ruby sempat disusi oleh tetangga kami, Yu Warmi. Oleh karena itu, Ruby memiliki arti lebih bagi kedua orang tuaku.
“Jadi berangkatnya Mas?”
“Kamu sudah izin belum, sebentar lagi Mimi pulang nagihi , kalau Mimi nyari bagaimana?”
“Khan perginya sama Mas Harist, Mimi pasti tidak marah,” biasanya setelah itu Ruby agak merengek dan itu membuatku tak bisa menolaknya.
Kamipun akhirnya pergi menuju tempat tinggal Ahmad di Gang Empang I. Kami memang sama-sama tinggal di perkampungan Pesisir, hanya saja beda gang. Setelah melewati lorong-lorong perkampungan yang sempit, tanah-tanah becek serta beragam tempat jemuran ikan asin, akhirnya kami sampai di tempat pembuangan akhir sampah, tempat dimana gubug ibunya Mamad berdiri. Lebih tepatnya di Gang Tongkol.
“Assallamu ‘allaikum....” teriak kami cempreng.
“Nggoleti sapa,Cung? ” sebuah suara nampak menegur kami.
“Anu Mang, ari Mamad masih meneng ning kene tah? ” tanyaku ragu-ragu.
“Mamad, Ahmad tah?” kami berdua memangguk,” waa... wis bli meneng ning kene Cung . Sejak seminggu yang lalu, Rumiyah membawa pergi ketiga anaknya entah kemana. Katanya sih ke Arjawinangun untuk menyusul bapaknya Ahmad,” lelaki kurus yang hanya mengenakan sarung lusuh itu menceritakan ketakberadaan Ahmad dan keluarganya.
“Yaa udah, kalau begitu, kami pamit, Mang.” Berdua kami bergegas kembali ke rumah. Beragam fikiran muncul di benakku, apa benar Mamad sekeluarga pergi ke Arjawinangun menyusul ayahnya? Terus kalau ternyata Mang Kasrun belum berubah juga bagaimana nasib anak-anak malang itu? Apa mereka akan dipukuli lagi? Apakah ibu Mamad tidak akan dibacok lagi? Fikiran itu terus bermunculan di benaku, aku memang khawatir kalau ini terjadi pada Ahmad dan keluarganya.
“Kalian dari mana?” tanya ibuku agak kesal.
“Anu Mi... abis...,” aku sibuk mencari alasan agar ibu tidak marah, “minjam buku PR dari teman.”
“Benar, Ruby?” tanya ibuku pada Ruby. Adiku itu memang tak pandai berbohong, ia akan segera ketahuan bila berbohong. Karena selalu diam dan hanya menggeleng kalau sedang berbohong. “Dari mana Rist?” ibu makin terlihat marah.
“Anu... Mi, kula... ,” aku tak mampu lagi berkata. Yang jelas aku sudah ketahuan bohong, dan akan sangat fatal kalau harus terus berbohong. “Dari rumahnya Mamad...”
“Ini khan jam waktunya belajar! Kenapa kamu tidak ajari adikmu belajar, malah diajak main-main...,” tuh khan, ibuku marah,”tidak cukup seharian kamu main sepulang dari sekolah?” Ibu memang tidak begitu tahu dengan aktifitasku sepulang dari sekolah. Yang ibu tahu, aku sibuk main layangan atau kelereng dengan teman-temanku di lapangan sepak bola.
“Maaf Mi, ini juga sebetulnya mau belajar...”
“Dengar yaa Rist, Mimi tidak pernah menuntut banyak sama kamu. Sebagai orang tua Mimi hanya ingin melihat kamu maju, sekolah yang pinter, dan tidak sengsara seperti Mimi...”
“Iya Mi...”
“Mimi bela-belain dagang baju bekas setiap hari, karena Mimi ingin lihat kamu semua bisa sekolah, bisa dapat pendidikan yang bagus. Tidak seperti Mimi yang buta huruf, tidak bisa menulis dan membaca. Meski kita ini bukan keluarga mampu, tapi Mimi tidak ingin kamu jadi anak bodoh karena tidak sekolah...,” Ibu masih terus dengan marahnya. Ia memang sangat keras mendidik kami, kalau berbicara tetang sekolah. Karena bagi ibu, sekolah adalah segalanya bagi kami.
Hingga menjelang malam, aku masih dikurung di dalam kamar. Tidak diperkenankan keluar, dan diwajibkan belajar hingga waktu menjelang tidur. Beberapa kakaku sempat meledek dan mencibir padaku dari balik jendela kamar. Mereka memang senang meledekku, khususnya Mba Puji. Ia kakak yang paling sering berseberangan dan ‘perang’ denganku.
“Makanya jangan bandel, dikurung deh lu!” begitu cibirnya.
“Sudah jangan ganggu adekmu! Sana bantuin Atin ngebilas cucian...” syukuur! Makanya jangan suka meledek yaa... he he he...
“Yaa Mimi, siapa yang bandel siapa yang kena hukuman,” Mba Puji merengek kesal.
“Eeh, ini bukan hukuman, Cah Ayu. Tapi kewajiban sebagai anak perempuan! Suatu saat kamu itu punya suami dan pekerjaan seperti itu harus sudah fasih kamu lakukan” begitulah ibuku. Sebagai singgle parent karena kondisi kerja bapak, ibu merasa harus membentuk sikap dan kepribadian kami semua. Baginya masa depan kami dan tingkah laku kami adalah amanat cinta yang akan ia emban dengan sepenuh hati. Memastikannya tetap lurus pada penghambaan Sang Khalik.
Malam belum terlalu larut, namun hawa dinginnya sudah menusuk hingga tulang. Ini pertengahan September, ujung musim kering dan akan segera mengawali musim hujan. Hingga angin yang berhembus begitu dingin terasa, biasanya kondisi seperti ini membuat malam terasa sangat panjang dan dingin sekali. Bagi kami di perkampungan pesisir, saat seperti ini lebih banyak berdiam di rumah dan menghangatkan diri dengan minum teh, bandrek, sekoteng atau makan gorengan campu . Aku tidur dengan kakak dan adik laki-lakiku di kamar depan, sementara Mba Atin dan Mba Puji di kamar tengah. Sedang Ibu seperti biasanya tidur di kamar belakang. Rumah petak kami memang sangat sempit, apalagi kalau harus di sekat menjadi tiga kamar, dapur dan bagian depan sebagai tempat berkumpul kami. Namun meski dengan kondisi sempit seperti ini, aku masih bisa merasakan ketenangan dan kedamaian dalam hidupku. Tenang karena aku memiliki orang tua yang begitu menyayangi dan peduli dengan masa depanku, damai karena aku tinggal dalam sebuah keluarga yang saling berbagi meski kami serba kekurangan. Sangat jauh sekali dibandingkan Ahmad, rekan sepermainanku itu. Ia ditelantarkan orang tuanya. Diusianya yang baru sepuluh tahun, ia harus menanggung hidup yang sangat berat dengan mencari nafkah dan menghidupi ibu dan kedua adiknya.
Aku belum bisa tidur sejak sholat isya empat jam yang lalu. Ini sudah pukul dua belas malam, tapi rasanya mata ini masih belum bisa kupejamkan. Meski aku sudah memaksa untuk terpejam, namun fikiranku tetap berputar. Itu yang membuatku belum bisa mengantuk. Ah, dari pada aku tidak bisa tidur, lebih baik sholat malam saja. Aku ingin berdoa pada Allah untuk memberikan ketenangan dan memudahkan rezeki untuk Ibu dan Mamad temanku. Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar berpintu kain gorden tua ini. Namun belum sempat aku melangkah ke kamar mandi aku mendengar suara lirih dari kamar ibuku. Seketika aku diam dan menajamkan pendengaranku.
“Ya Allah... beri hamba kekuatan untuk menjalani kehidupan ini. Beri hamba kemampuan untuk membesarkan dan mendidik anak-anaku, beri hamba jalan untuk tetap menjadi seorang ibu yang baik. Menjadi seorang ibu yang ikhklas mengabdi, menjadi seorang ibu yang tak pernah lelah untuk mengasuh dan mengarahkan mereka semua. Beri hamba kemudahan rezeki untuk hamba Yaa Allah, agar hamba tetap bisa menyekolahkan anak-anak hamba, membawa mereka menjadi hamba-Mu yang berilmu dan dekat dengan-Mu. Yaa Allah, hanya kepada-Mu hamba mohonkan semuanya ini... Yaa Allah, kabulkanlah semuanya ini untuk hamba yaa Allah, agar hamba mampu mencegah anak-anak hamba ikut susah mencari nafkah, meski sekedar hanya untuk uang jajanya. Izinkanlah hamba mencukupi kebutuhan mereka yaa Allah ....” Aku tak mendengar lagi kalimat ibu setelah itu. Hanya lafadz dzikir yang berbarengan dengan suara isak lirih ibu...
Aku jadi menyesal telah melanggar perintahnya, aku juga menyesal telah membohonginya selama ini. Melanggar perintahnya untuk tetap hanya konsentrasi sekolah dan tidak lagi mencari nafkah. Maafkan Haris Mi...
******
“Kasihan Pak...,” wanita kurus itu menengadahkan tangannya ke setiap kendaraan yang berhenti di lampu merah, wajahnya memelas penuh harap. Sementara seorang bayi dan anak usia lima tahunan nampak mengiringi langkah tertatihnya. “Buat makan Pak, kasihan....”
Beberapa kendaran langsung menutup kaca jendela mereka, sementara yang lain nampak tak acuh dengan sosok wanita yang terlihat sangat lapar dan sengsara itu. Mungkin karena belakangan banyak para pengemis ‘palsu’ di sepanjang jalan Siliwangi ini, hingga kehadiran siapapun yang berwujud pengemis tidak lagi dipercaya. Terkadang mereka juga dihardik oleh sebagian orang yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka.
Seperti lelaki berdasi yang duduk manis di mobil sedan mewah itu. Ia tak segan mendorong perempuan kurus itu, hingga hampir jatuh terhuyung. Ini begitu jelas terlihat dari tempatku berdiri. “Astagfirullah... mengapa harus berakhir seperti itu?” bathinku.
Bu Rumiyah, nampak mengibas-ibaskan badannya dari posisi miringnya. Hatinya menjerit menerimai perlakuan yang kurang beradab itu. Ia tidak menangis, ia juga tidak berhenti meminta pada pengendara lain. Mungkin ia sudah lelah menangis, ia juga mungkin sudah tak memiliki air mata. Yang tersisa cuma semangat meminta, demi menghentikan jerit lapar anaknya.
Aku benar-benar tak menyangka, kalau aku akan melihat pemandangan seperti itu. Melihat kesengsaraan yang sedemikian pahit, membuatku marah dan benci pada setiap mobil yang melintas di jalan Siliwangi ini. Ketakpedulian mereka seakan menggambarkan kecongkakan zaman pada orang-orang seperti kami. Komunitas pinggiran kota yang memang tak memiliki kemampuan lebih pada derap pembangunan daerah ini.
“Bu Rumiyah...,” ragu-ragu aku mendekati perempuan kurus itu.
“Sss... siapa yah?” suara perempuan kurus itu terbata.
“Saya Harist, temanya Ahmad,” aku menjelaskan siapa diriku, “saya...”
“Ahmad sudah tidak tinggal lagi dengan ibu, Nak. Ia pergi ke Arjawinangun menyusul bapaknya,” perempuan kurus itu mendadak memotong ucapanku seakan ia telah tahu maksud kedatangannku.
“Bukan itu maksud saya, Bu. Meski saya memang mencari Ahmad, tapi sebenarnya kedatangan saya menemui ibu, untuk memberikan ini....,” aku menyodorkan beberapa lembar uang ratusan yang sengaja aku kumpulkan dari ‘anak-anak kereta’. Demi mendengar penderitaan keluarga Mamad, kami semua memang sepakat untuk patungan membantunya. Meski tak seberapa, namun kami berhasil mengumpulkan uang untuk sekedar menyambung hidup keluarga malang itu.
“Itu untuk apa, Nak?”
“Untuk beli susu si kecil, Bu. Dari anak-anak kereta, teman-teman Ahmad,” ucapku menjelaskan asal lima lembar uang ratusan itu.
“Tapi itu banyak sekali, bagaimana kalian bisa mengumpulkan uang sebanyak itu?” Bu Rumiyah mulai berkaca-kaca. Haru, bahagia, sedih bercampur aduk kini.
“Sudah terima saja, Bu. Insya Allah, ini halal, dan bisa untuk anak-anak ibu,” kataku untuk tetap meyakinkanya.
“Terima kasih ya Nak,” Bu Rumiyah memeluku erat sekali. Mungkin ini wujud rasa terima kasihnya yang paling dalam atau juga ia kangen dengan Ahmad. Tangisnya mendadak membucah siang itu. Itu kurasakan dari isak yang terdengar begitu keras di telingaku. Tubuhnya juga terguncang-guncang menahan kepedihan yang tiada tara. Meski ini tak seberapa dibandingkan hardikan dan kibasan pengendara tadi, namun Bu Rumiyah terlihat tak dapat lagi menahan emosinya. Beberapa orang yang lewat di trotoar ini sampai harus berhenti sesaat dan menyaksikan kami yang terisak berpelukan.
“Mi... Idah lapar,” adik Ahmad yang berusia lima tahun itu nampak memecah isak tangis kami. Sudah sesiang ini memang belum sepotong makananpun yang masuk ke dalam perut kecilnya.
“Eh ini, Mas Harist bawa buras dage , mau?” kataku seketika. Itu barang dagangan Yatno yang dititipkan Bi Leha untuknya. Kufikir, dua atau tiga potong takan membuatnya marah. Atau aku bisa menggantinya nanti, setelah es lilinku laku.
Tanpa ada kalimat lagi, perempuan kecil itu langsung mengambil makanan yang terbuat dari nasi yang dilunakan itu dan segera pula memakannya. “Ibu juga kelihatannya belum makan, ini saya sisakan dua yah...”
“Jangan, bli usah Rist. Mengko dagange rugi... ”
“Tidak apa-apa, Bu. Ambil aja,” kataku seraya menyerahkan dua potong buras lagi. “Ini juga untungnya koq, jadi tidak akan rugi.”
Perempuan itu menerima buras yang aku ulurkan kepadanya. Kemudian perlahan ia mulai menyantap makanan itu dengan lahap, seperti yang belum makan... dua hari! Beberapa saat aku memperhatikan tiga mahluk Tuhan yang tengah menjalani cobaan hidupnya itu, perlahan aku berdoa dalam hati. Semoga Allah mencopoti semua dosa-dosa perempuan ini dengan penderitaannya itu, semoga akan ada masa yang lebih baik dari semuanya ini.
Aku berharap ada sedikit keberuntungan untuk perempuan dengan dua anak kecil di hari ini, saat kakiku melangkah meninggalkan mereka di perempatan lampu merah. Sejak meninggalkan gubuk kardus sewaan sesama pengumpul barang bekas, Bu Rumiyah dan kedua anaknya memang sudah tak tinggal lagi di sana. Ia tinggal di sisi kali Sukalila yang terkenal sebagai tempat favorit bagi kaum gelandangan di Kota Cirebon ini. Ah, entah sampai kapan, pinggiran kali ini menjadi saksi kepahitan dan kesusahan hidup sebagian warga Kota Wali ini? Padahal jauh sebelum zaman ini, katanya Cirebon adalah ‘negara’ yang subur makmur dengan masyarakat yang hidup penuh dengan kebahagiaan. Konon katanya, pemimpin Cirebon kala itu adalah seorang Raja yang adil bijaksana dengan beragam keluhuran budinya. Hingga tak heran kalau di suatu masa, ia juga dinobatkan sebagai pemimpin para Wali tanah Jawa dengan gelar SUNAN GUNUNG JATI. Wejangan dan petuahnya yang hingga kini masih menempel pada pintu gerbang keraton Kesepuhan adalah ‘INSUN TITIP TAJUG LAN ANAK YATIM’. Sebuah petuah yang mendalam bagi kami, sebagai warga Cirebon dan penganut islam. Karena esensi dari pesan itu adalah inti dari kehidupan seorang muslim. Andai petuah itu benar-benar hadir dalam kehidupan sekarang ini, pastinya takan ada sosok Bu Rumiyah atau Mamad.
“Terus ira pai pira, Rist? ” tanya Yatno yang merasa kehilangan dengan jumlah barang dagangannya.
“Cuma telu, Yat . Itu juga kalau kamu ikhlas, kalau kamu merasa rugi nanti, aku ganti kalau dagang es lilinku selesai,” aku menyadari kesalahanku.
“Ikhlasnya sih memang, Rist. Tapi apa yaa tidak bisa kamu ngomong dulu?”
“Maaf, Yat. Aku tidak tega lihat anak Bu Rumiyah yang belum makan sejak tadi pagi,” ucapku lirih menyadari kealfaanku.
“Ya sudahlah, Mamad juga sering baik dan membantu kita,” kata Yatno akhirnya. Meski maksudku benar, tindakanku memang kurang tepat.
Setelah permasalahan kecil itu, aku dan Yatno kembali bergabung di komunitas harian kami. Komunitas ‘anak-anak kereta’ yang entah sampai kapan akan ada? Mungkin ketika kami sudah besar dan tak ada lagi generasi anak-anak susah seperti kami? Mungkin sampai ada peraturan yang melarang kami semua bermain di stasiun, atau mungkin sampai negara ini peduli dan melindungi masa depan kami dengan baik. Entahlah, semoga memang ada pemimpin yang melihat ini dengan bijak.
Seperti biasa, Rossi, Kardi, Ade dan anak-anak kereta dari kampung lain sudah mulai ramai beraksi di gerbong-gerbong kereta yang berhenti atau transit di Stasiun Kejaksan ini. Rossi yang mengamen dengan sedikit bergaya preman, Ade yang sibuk menawarkan koran dan majalah, atau Kardi yang membawa kotak semir dengan sikap kurang sempurnanya. Melihat kehadiran kami, mendadak mereka semua nyengir dan menyambutnya dengan hangat. Ini memang saat kami bebas berekspresi dengan dunia kami. Bermain sambil mencari uang sekedar untuk jajan atau keperluan sekolah kami. Sebagian dari mereka memang atas seizin dan sepengetahuan orang tua mereka, berbeda dengan aku yang melakukan ini secara sembunyi-sembunyi.
“Ikah si Harist! ” seseorang dari mereka berseru ke arahku.
“Bagaimana Rist, sudah kamu kasih uang sumbangannya?” Rossi bertanya serius ke arahku. Ide mengumpulkan uang ini juga sebetulnya dari dia, mungkin karena Rossi hidup sebatang kara sehingga ia bisa merasakan betul arti susah.
“Alhamdulillah, tadi aku berhasil menemui Bu Rumiyah di perempatan lampu merah Siliwangi, hanya saja aku tak berhasil mendapatkan kabar tentang si Mamad,” kataku mencoba menerangkan, “katanya ia sudah seminggu yang lalu menyusul bapaknya ke Arjawinangun.”
Semua terdiam merenungi ucapanku, sebetulnya mereka berharap kalau misiku untuk menemui Bu Rumiyah siang itu adalah mendapatkan informasi atau kabar tentang hilangnya Mamad dua minggu terakhir ini. Sebagai bagian dari anak-anak kereta, kami memang terbiasa untuk peduli dan berbagi. Mungkin karena kami sudah seperti keluarga, hingga kami merasa senasib sepenanggungan. Banyak diantara kami yang sebetulnya sudah tidak sekolah, akan tetapi kami tetap berusaha menunjukan ketulusan dan kekompakan layaknya sesama murid dalam komunitas pendidikan.
“Inti belajar itu sendiri selain menimba ilmu, juga menimba hati untuk dapat saling memberi dan menunjukan kebedulian. Karena ilmu akan berguna dan bermakna dengan baik tentunya bila dibarengi dengan keluhuran budi dan ketulusan berbagi,” begitu pesan yang pernah Wak Didu ucapkan pada kami . “Jadi memang tidak selalu berstatus pelajar jika kalian semua hanya ingin memliki ilmu dan berarti bagi lingkungannya, di stasiun ini semuanya juga bisa. Meski formatnya tidak sama, intinya tetap memperbaiki sikap dan prilaku kita sebagai manusia...”
“Jadi bagaimana selanjutnya?”Ade yang sedari tadi diam membuyarkan lamunanku tetang arti belajar dan menuntut ilmu. Memikirkan Mamad yang tak lagi sekolah karena tak ada biaya, atau kabarnya yang menghilang sejak dua minggu ini memang membawaku pada ucapannya tentang semangat belajar bersama Wak Didu beberapa waktu yang lalu.
“Menurutku, harus ada yang memastikan ini ke Arjawinangun,” Ade kembali menyambung ucap, “apakah benar, Mamad benar-benar ke sana?”
Rossi menatap Ade lekat-lekat. Kadang-kadang, anak sependiam Ade memang memiliki jiwa yang lebih nekat dibandingkan kami, khususnya Rossi yang katanya sedikit preman dan sudah berani berkelana hingga ke Surabaya. Ade sebetulnya tak begitu jauh berbeda dengan Rossi, ia juga sebatang kara, hanya saja orang tuanya bukan bercerai atau pergi meninggalkannya, akan tetapi telah lama menitinggal karena badai Laut Jawa pada beberapa tahun yang lalu. Rumahnya yang dipinggir laut hancur oleh amukan gelombang yang mencapai bibir pantai. Kejadiannya begitu cepat, waktu itu kami belum mengenal tsunami.
“Bagaimana Yat, Rist? Kamu mau ikut?” tanya Rossi kemudian.
“Maksudmu, kita menyusul Mamad ke Arjawinangun?” Yatno bertanya meyakinkan.
“Lah, khan tadi Ade sudah bilang, kita akan mencari Mamad, yaa berarti kita harus menyusulnya ke Arjawinangun,” Rossi menegaskan.
“Iya, tapi...,” Yatno terlihat agak keberatan.
“Kamu tidak bisa Yat?”
“Bukan begitu, aku sudah janji untuk Makne-ku, kalau aku akan membantu mengumpulkan uang untuk memperbaiki rumah kami, jadi...”
“Ke Arjawinangunnya hanya mencari Mamad, Yat. Bukan berarti kita pindah ke sana,” Rossi mulai menunjukan sikap dasarnya.
“Tapi kita khan belum tahu jelas alamat yang dituju, itu bisa berhari-hari loh! Dan bagiku...,” Yatno mulai terpancing intonasi yang ditunjukan Rossi.
“Sebentar-sebentar, kalau boleh saya ikut bicara,” ucapku akhirnya, “Yatno benar Ross, kita memang belum mempunyai alamat yang pasti di sana dan ini adalah kendala untuk kita segera menemukan Mamad. Tapi ini juga bukan tidak mungkin, mengingat kita juga bisa menanyakan hal ini pada Bu Rumiyah asal kampung suaminya itu.”
Semuanya mengangguk, semuanya mulai menahan diri kembali. Ade, Rossi, Yatno, dan Kardi mulai sibuk kembali dengan fikiranya masing-masing. “Lalu, siapa yang akan bertanya tentang hal ini kepada Bu Rumiyah, mengingat tempatnya yang sudah tak tetap itu?”
“Biar aku saja, mudah-mudahan aku masih bisa menemuinya di pinggiran kali Sukalila,” kataku kemudian, “sekarang ayo kerja, sebentar lagi kereta dari Semarang arah Jakarta transit.”
“Iya ayo, ayo!” semuanya berangsut pergi. Menyebar dan mencari rezeki diantara para penumpang kereta api. Saat-saat seperti itu, konsentrasi adalah hal yang paling utama. Tidak saja pada para penumpang, tapi juga ketepatan waktu antara melayani dan jalannya gerbong kereta, jika tidak ingin terbawa pada stasiun berikutnya. Sangat tidak mungkin loncat atau turun ketika roda kereta sudah mulai bergerak, ini berbahaya. Kami tidak mau patah kaki atau mati terseret kereta api.
******
Hari mulai gelap, ketika aku mulai menghitung hasil daganganku. Setidaknya hari ini aku menambah jam berdagangku hingga dua jam, karena barang dagangan yang masih tersisa banyak. Senja mulai turun diantara kaki-kaki gunung Ciremai yang terlihat jelas dari tempatku berdiri. Gunung yang memiliki ketinggian mencapai 3000 meter itu adalah salah satu pemandangan yang terbaik yang dapat kami miliki setiap menjelang senja atau subuh. Panorama yang ditunjukannya mampu memberikan ketenangan dan keteduhan, pada siapa saja yang menatapnya. Oleh karenanya tak heran bila setiap ada waktu libur, masyarakat Kota Cirebon lebih banyak berefreshing atau liburan ke Linggarjati atau Sangkan Hurip yang berada di salah satu lerengnya. Selain berhawa sejuk, tempat rekreasi khas dari Kabupaten Kuningan ini juga memiliki aliran sumber mata air yang melewati perut gunung sehingga mengandung hawa panas. Banyak khasiat yang didapat dari jenis mata air semacam ini, seperti penyakit kulit, pemulihan stroke atau relaksasi penghilang stress.
Sesaat, mataku terpejam menikmati panorama yang ada di ujung mata ini. Kebiasaanku untuk duduk-duduk di atas gerbong kereta yang sudah tak terpakai ini adalah saat terbaik bagi kami untuk sekedar melepas lelah dan menghitung hasil berdagang. Awalnya aku tak begitu suka dan cenderung takut berada di atas gerbong-gerbong yang sudah tak dioperasikan ini, namun karena terbawa kebiasaan rekan-rekanku, aku jadi malah menikmati kebiasaan ini.
“Alhamdulillah, hari ini untungku agak lumayan,” senyumku dalam hati, “ aku ingin sekali membeli sepatu warior untuk ke sekolah. Sudah dua kali di jahit, kalau masih kupaksakan nanti malah jebol.”
“Harist!” sebuah suara mengejutkanku.
“Jadi kita cari Bu Rumiyah?” rupanya Ade, dia memang minta aku temani mencari perempuan kurus yang kini sudah menjadi ‘gepeng ‘ itu. “Mumpung belum maghrib, kita bisa ke Kali Sukalila.”
“Rossi sama Kardi tidak jadi ikut?”
“Tidak kayanya, ayolah sudah hampir gelap nih.”
Aku segera menuruni gerbong tua ini perlahan dari sisi ujungnya, di sana banyak besi pengaman yang bisa kujadikan pegangan turun. Tanpa kata-kata lagi kami berdua pergi meninggalkan gerbong tua yang teronggok di sisi stasiun ini. Langkah kami bergegas, kami betul-betul berharap dapat menemui perempuan kurus dengan dua balita itu. Dari Stasiun kejaksan ini kami menumpang kendaraan pengangkut kuli pelabuhan yang biasanya lewat di jalan yang menuju arah Pelabuhan Pos II. Disana memang banyak gudang-gudang penyimpanan barang, baik sembako maupun kayu-kayu kiriman Kalimantan yang setiap harinya membutuhkan jasa angkut atau bongkar muat.
Kendaraan pengangkut kuli ini dulunya merupakan sumbangan pemerintah daerah, hanya sudah beberapa tahun lalu dan tidak pernah direkondisi sehingga kondisinya lebih banyak hanya sekedar bisa jalan. Wujudnya seperti mobil box yang diperbesar dengan sisi badan kendaraan yang karat dimana-mana. Ditambah para kuli yang berjumlah puluhan orang, naik kendaraan jenis ini memang lebih banyak tak nyamannya. Namun daripada harus mengeluarkan uang dua puluh lima rupiah kalau naik angkot, yaa mending ikut kendaraan pengangkut kuli, gratis alias tinggal naik saja.
Dari Stasiun Kejaksan, mobil ini tak melewati jalan Siliwangi atau tengah kota, dimana Kantor Walikota Cirebon berada, akan tetapi belok ke arah kiri menuju Krucuk. Dari sana, biasanya kendaraan ini harus bersaing dengan beberapa mobil PS (minibus) antar kota jurusan Indramayu, sebelum akhirnya melewati Kantor Pembantu Gubernur Wilayah III Cirebon. Dari jalan ini, kendaraan yang ‘asal bisa jalan’ ini harus berbelok 180 derajat dan berputar ke arah Jalan Kesenden dan daerah ‘pacuan kuda’. Dari daerah yang dulunya adalah tempat pembuangan sampah itu, kendaraan ini bergerak lurus menuju pelabuhan Cirebon Pos III dan Pos II. Rute ini dikenal dengan jalan Kapten Samadikun, salah satu gangnya adalah tempat dimana kampungku berada. Jadi kalau menuju Kali Sukalila, kami melewati kampung Pesisir tempatku lahir dan dibesarkan. Dari kampungku, tinggal sekitar dua kilo lagi menuju tempat berkumpulnya, para ‘gepeng’ kota para wali ini.
“Pengen mendi, Nang? ” seorang kuli menegur Ade yang sedari tadi sibuk melihat arah jalan.
“Anu, Mang. Pengen ning Kali Sukalila ,” jawabnya singkatnya.
“Kali Sukalila? Nggoleti sapa? ” lelaki berbadan gempal dan tak berbaju itu masih terlihat antusias dengan pertanyaannya.
“Ana selude batur, Mang . Kami mau berkunjung ke sana, katanya tinggal di sana,” Ade makin panjang menjelaskan.
“Seingete kita mah, laka umah ning kana, kecuali pasukan turbo, Nang ,” lelaki tak berbaju itu terlihat berfikir,” apa orang tua temanmu itu, gelandangan yah?” Ade tak semangat menjawab lagi, ia hanya mengangguk mewakili jawabannya.
Di hari yang sebentar lagi maghrib itu, suasana kota Cirebon memang biasanya mendadak sibuk. Para buruh pabrik yang pulang dari tempat kerja, kuli angkut muat barang yang mulai beraktifitas, penarik becak yang mulai beroperasi, pedagang kaki lima yang mulai berdagang, atau juga para pegawai kantoran dan para pelajar yang kembali ke rumah mereka. Hal inilah yang membuat jalan-jalan kota ini mendadak padat dengan beragam kendaraan, baik roda empat ataupun roda dua. Aku dan Ade turun di salah satu ruas jalan yang memang terlihat ramai menjelang maghrib, yakni Jalan Sisingamaharaja yang termasuk dalam Kelurahan Kesenden. Di sisi jalan ini juga terdapat jembatan dan rel kereta api yang sudah tak dipergunakan lagi. Konon pada masa penjajahan Belanda rel kereta itu berfungsi sebagai kereta pengangkut tebu dan hasil bumi Cirebon yang akan di bawa ke Batavia. Di antara rel dan jembatan yang melintang di atas Kali Sukalila itulah tujuan kami.
Sungai yang membentang di tengah kota ini, dulunya sangat lebar dan jernih. Kata Mbah Karjan, dulu ia sering berenang dan memancing di kali yang banyak ikannya itu. Muara dari kali ini adalah laut yang terletak di ujung kampung Pesisir, mungkin karena itulah, kadang-kadang dimusim tertentu, kali ini memang mengandung jumlah ikan yang sangat banyak. Jenisnya juga sudah beragam antara ikan yang berasal dari air tawar juga air asin. Kali Sukalila juga termasuk kali yang mengandung cerita mistis di masa lalu. Konon kali ini dulunya adalah tempat pesareane Ki Jaka Pekik. Yakni salah satu keluarga keraton yang dikutuk oleh orang tuanya menjadi sesekor buaya putih, karena sikapnya yang lebih banyak tidur dan bermalas-malasan. Pada awal-awal kutukan itu berlaku, leher Jaka Pekik diikat dengan sapu tangan merah sebagai tanda atau ciri diantara buaya-buaya biasa. Di hari-hari tertentu, masyarakat Kota Cirebon dapat melihat buaya putih yang merupakan jelmaan Ki jaka Pekik ini. Hanya saja menurut cerita yang beredar, kemunculan buaya jadi-jadian ini biasanya kerap meminta korban, entah nelayan ataupun mereka yang tengah memancing. Oleh karena itu, ebagian masyarakat Cirebon memandang angker pada kali ini. Akan tetapi sejalannya waktu, ketika banjir besar melanda Kota Cirebon dan meluapkan Kali Sukalila, cerita kemunculan buaya putih jadi-jadian itu tak terdengar lagi. Mungkin buaya putih jelmaan Ki Jaka Pekik itu hanyut terbawa air kali yang menuju muara, atau mungkin juga legenda Ki Jaka Pekik itu sendiri sebenarnya memang cuma sekedar cerita menjelang tidur . Namun yang jelas, keangkeran kali ini masih dapat terlihat bagiku. Setidaknya, pohon-pohon besar yang berdaun lebat dan menjuntai serta hampir menutupi beberapa bagian bibir kali, membuat pemandangan memang sangat angker. Dan itu membuat kali semakin terlihat gelap dan menakutkan.
Ade dan aku sibuk melihat berkeliling kali, berharap menemukan Bu Rumiyah dengan kedua anak kecilnya. Namun dari sekian kapling dan sudut yang didiami para ‘gepeng’, sosoknya tak jua kujumpai. Keringat bercucuran di wajah kami, setidaknya perlu waktu juga untuk bisa menyusuri seluruh tepian kali ini, dari mulai jembatan di Kelurahan Kesenden hingga ujung jembatan di daerah Pasar Pagi. Lelah dan letih terlihat dari ekspresi Ade, entah mengapa, rekanku itu terlihat bersemangat sekali mencari Bu Rumiyah. Mungkin ia rindu dengan sosok seorang ibu, atau memang jiwanya yang gampang trenyuh dengan penderitaan orang lain. Sepertinya ia terlalu terbawa suasana dengan apa yang telah kuceritakan tentang kondisi Bu Rumiyah.
“Bagaimana, De? Kita sudah keliling dua kali menyisir tepian Kali Sukalila ini, tapi Bu Rumiyah tidak kita temukan juga,” kataku yang sudah putus asa, “apa kita lanjutkan nanti saja nyarinya.”
“Kita sisir sekali lagi, Rist. Barangkali dari tadi ia memang belum pulang, sekarang mungkin sudah,” Ade terlihat tetap berkeras untuk menemukan Bu Rumiyah saat itu juga.
“Tapi kamu juga khan dengar tadi,” kataku kemudian, “kata salah satu dari mereka, Bu Rumiyah sudah tak bersama mereka sejak kemarin.”
“Yaa tapi bisa saja, hari ini ia pulang ke sini khan Rist,” Ade masih tetap ngotot. “Pokoknya kita keliling sekali lagi, Rist. Siapa tahu dia ada.” Aku tak berkomentar lagi, kuturuti langkah kaki Ade menyusuri kembali tepian sungai yang makin terlihat gelap di ujung senja ini.
Angin berhembus lembut diantara kami, menerpa wajah kami yang telah putus asa dengan pencarian ini. Sementara gelap makin merayap turun menghantarkan malam bagi kota yang berbatasan dengan Laut Jawa ini. Sesekali mata kami berkeliling kembali menatapi tiap sudut dan tepi kali ini, kami berharap menemukan sosoknya sebelum kami benar-benar pulang untuk istirahat. Akan tetapi tetap tak ada. Kamipun akhirnya memutuskan meninggalkan kali yang mulai dipenuhi beragam aktifitas para penghuninya.
“Katanya nyari Yu Rum, yah?” seorang wanita berpakaian daster yang compang-camping menghampiri kami. Perawakannya ceking dan kurus sekali, mungkin wanita separuh baya ini memang jarang atau kurang makan sehingga kurus seperti itu.
“I... iya, Yu. Yayu kenal tah?” tanyaku.
“Ya kenal lah. Dia itu khan gubuknya di samping gubuk saya,” katanya lagi,”memang ada apa kalian mencari Yu Rumiyah?”
“Begini, Yu,” Ade menjelaskan, “kami mencari dia karena kami akan mencari teman kami Mamad. Katanya ia pergi ke Arjawinangun untuk menyusul ayahnya, dan kami bermaksud menyusulnya, hanya kami belum tahu dimana Arjawinangunya. Jadi kami berniat bertanya pada Bu Rumiyah.”
“Ooo begitu. Sayang saya juga tidak tahu kalau masalah itu,” wanita kurus itu melanjutkan, “akan tetapi kalau Bu Rumiyahnya yang saya tahu, kemarin malam ada yang menjemput. Jadi sejak kemarin pagi, ia sudah tidak bergabung lagi di pinggiran Kali Sukalila ini.”
“Siapa dia Yu?”
“Saya tidak tahu, tapi katanya orang yang mau mengangkat anak-anaknya,” wanita kurus itu kembali melanjutkan,”mungkin dari panti sosial.”
“Ya sudah, makasih kalau gitu Yu,” kataku mengakhiri percakapan ini.
Adzan maghrib berkumandang, aku dan Ade bergegas meninggalkan tepian Kali Sukalila ini untuk pulang. Ada rasa kecewa di hati kami ketika rasa lelah dan capek untuk mencari Bu Rumiyah, tidak memberikan hasil. Keinginan kami untuk menyusul Mamad ke Arjawinangun seakan menemui jalan buntu. Langkah kami gontai menyusuri gelapnya malam kota udang ini, meski hati kami tetap berharap dapat menemukan sosok perempuan yang dapat memberi informasi kemana kami harus menyusul Ahmad.
*****
Hari ini aku berencana sholat Jum’at dengan rekan-rekanku di Masjid At-Taqwa. Itu masjid terbesar di kota Cirebon. Akan tetapi bukan karena besar dan mewahnya yang membuat kami berencana sholat Jum’at di sana, akan tetapi kami mencoba mengamalkan ajaran Pak Ustadz Tarjo kalau pahala langkah kaki pada sholat Jum’at, akan dihitung sebagai amalan pelengkap dari setiap perhitungan amal sholeh mingguan. Semakin banyak langkah kaki kita, semakin besar pelengkap amalan kita. Dan satu lagi, kami merencanakan untuk kembali mencari Bu Rumiyah setelah sholat Jum’at nanti. Masalahnya banyak para ‘gepeng’ yang meminta shodakoh di sana pada setiap Jum’at.
“Pokoknya, kalau kita bisa menemukan Bu Rumiyah, kita akan segera menyusul Ahmad,” Rossi terlihat semangat sekali. Padahal biasanya ia paling malas dengan kegiatan yang berbau religius ini, maklum ia besar dan tumbuh di kalangan yang kurang memperhatikan agama.
“Ya, saya juga akan sampaikan ke Wak Didu, agar ia bisa nyarikan tiket kereta gratisan,” Yatno menyambung dengan cepat.
“Biasanya stasiun terdekat dari daerah Arjawinangun itu apa yah?”
“Yaa Stasiun Arjawinangun lah!” Rossi menjawab
“Wah kalau begitu, kita sudah masuk daerah Kabupaten Cirebon, dong?” tanyaku bingung. Aku memang termasuk yang jarang berpergian jauh atau keluar kota, meski sehari-hari mainku di seputar stasiun kereta. “Apa yaa tidak kejauhan?”
“Makanya, kalau bisa kita perginya malam mingguan, biar tidak terlalu mikirkan sekolah kalau pulang agak ke malaman,” Ade yang sedari tadi diam ikut menyambung.
“Iya, dengan begitu, kita juga tidak terlalu dibebani dengan bangun pagi,” Yatno menambahi, “kalau hari libur, Makne tidak terlau ribut kalau aku bangun siang.”
“Sst... sudah mau masuk khutbah!” Ade mengingatkan kami untuk mempercepat langkah memasuki ruangan mesjid yang berdampingan dengan alun-alun kota Cirebon ini.
Tak berapa lama kami berempat sudah larut dalam tausiah khotbah yang sebenarnya tak begitu kami fahami untuk anak seumuran kami, karena selain lebih banyak bahasa arabnya materi yang dibahas juga jauh dari jangkauan kami, kalau tidak salah tentang korupsi-korupsi gitu. Belum lagi udara siang seperti ini lebih banyak membuat kami terkantuk daripada duduk mendengarkan dengan serius. Hingga satu jam berlalu, kami berempat telah melewati fase akhir dari ibadah wajib bagi laki-laki yang sudah baligh ini. Sesaat kupanjatkan doa tulus dan khusuk sebelum aku bergegas meninggalkan ruangan masjid agung ini. Tak banyak doaku, karenanya hanya satu menit selesai, dan itu merupakan doa wajib bagiku di setiap Jum’at...
“Yaa Allah, izinkan aku membahagiakan kedua orang tuaku, saudara-saudaraku, dan orang-orang yang aku cintai, bimbinglah kami untuk senantiasa di jalan-Mu, amin.....”
Kuusap, wajahku dengan helaan nafas yang dalam, untuk lebih menghanyutkan rasa khusuk ini. Hampir saja aku segera meninggalkan tempat dudukku, kalau saja pandanganku tak terpaut pada sosok lelaki kecil seumuranku. Ia terlihat khusyuk berdoa diantara isak tangisnya di sudut ruangan mesjid . Bajunya lusuh dengan sarung yang terlihat robek di ujungnya. Dia tak berkopyah sepertiku, hanya rambutnya terlihat rapi dengan bekas air wudhu. Sesekali isaknya membarengi guncangan tubuhnya, entah apa yang tengah dialami anak laki-laki ini.
Aku tak segera menyusul ketiga temanku yang sudah menungguku di halaman masjid, rasa penasaran ini seakan menahanku untuk tetap duduk dan memperhatikan anak laki-laki itu. Hingga beberapa jamaah mulai turun ke halaman masjid, aku tak melihat sedikitpun lelaki kecil itu berniat akan turun. Ia malah makin masyuk dengan lafadz doa yang lirih dan besahutan dengan isak kecilnya. Perlahan aku bangkit dari duduk sila-ku, dan menghampiri lelaki itu.
“Assallamu ‘allaikum...”
“Wa ‘allaikum sallam,”
“Mamad!!?”
“Harist...,” Mamad memelukku erat sekali, banyak rasa yang ingin ia curahkan padaku. Mungkin kesedihannya, mungkin kecemasannya atau mungkin juga kepahitan yang tak dapat lagi ia tanggung. Ahmad menangis tersedu di pundaku, ia benar-benar mencurahkan segala yang dirasakannya.
“Sabar, sabar Mad,” ucapku halus. Beberapa rekan yang kesal menungguku lama, terlihat bergegas kembali memasuki ruangan masjid ini. Ekspresi mereka sama seperti saat aku melihat Mamad, bingung dan tak mampu berucap apa-apa. Melihat itu, aku melambaikan tangan ke arah mereka agar segera menghampiri kami. Ade, Yatno dan Rossi bergantian memeluk Ahmad. Ada sedikit kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka, terutama Ade. Seingatku ia memang paling dekat dengan Mamad, ia juga yang paling peduli dengan kesusahan Mamad.
“Kemana saja kamu selama sebulan ini, Mad?” tanya Ade.
“Ceritanya panjang, A...,” Mamad memanggil Aa pada Ade, mungkin karena Ade memang lebih tua dua tahun.
“Kami baru saja berniat akan menyusulmu, ke Arjawinangun. Kami dengar kamu pergi menyusul ayahmu ke sana...,” Rossi mencoba menerangkan.
“Ke Arjawinangun? Menyusulku?”
“Aku mendengar dari ibumu seminggu yang lalu, kalau kamu sudah pergi menyusul ayahmu ke Arjawinangun. Makanya kami berniat menyusul kamu, tapi kami belum tahu alamat kampungnya oleh karena itu kami berharap dapat informasi lengkap dari ibumu. Hanya saja sudah lebih dari tiga hari ini, kami tak bisa menemukan ibumu,” kataku menambahi penjelasan.
“Ibu...,” suara Mamad lirih.
“Kenapa Mad?”
“Aku merasa bersalah, Mas,” suara Mamad terdengar berat, “ketika ibu membutuhkan aku, aku malah meninggalkanya. Apalagi ibu harus merawat dua adiku yang masih kecil, aku...” Mamad tak kuasa lagi menahan sesal di hatinya, ia menangis di pelukan Ade. Ia benar-benar menyesal melakukan semuanya ini.
“Sudah-sudah, Mad,” Ade menepuk bahu Mamad, “sudah, tidak perlu seperti itu. Yang penting sekarang, kita cari ibumu sama-sama.”
Mamad berhenti tersedu, ia menatapi wajah kami satu per satu. Melihat kami semua mengangguk, ia seakan mendapat kekuatan untuk kembali tegar dan berusaha sabar. Memang tak ada yang dapat menyelesaikan setiap permasalahan hanya dengan tangisan, dan itu dimengerti betul oleh kami. Terlalu banyak kesulitan dan kesusahan yang kami alami, sehingga sabar sudah menjadi bahasa wajib harian kami.
Begitulah, hingga pada akhirnya kami putuskan untuk istirahat berdagang di hari itu. Kami semua sepakat akan keliling Kota Cirebon untuk mencari Bu Rumiyah, ke segala sudut kota yang biasanya sering dipakai sebagai tempat singgah para ‘gepeng’. Dari Kali Sukalila, Terminal Harjamukti, Pelabuhan Pos I, II, III hingga beberapa pangkalan angkutan pedesaan, semua kami kunjungi. Namun sosok Bu Rumiyah tetap tidak kami temui. Kami juga memutuskan untuk mencari ke sudut pasar di kota ini, dari mulai Pasar Pagi, Pasar Kanoman, Pasar Jagasatru, Pasar Kramat, Pasar Balong, sampai Pasar Celancang kami kunjungi, namun hasilnya tetap nihil. Beberapa kolong jembatan, yang biasa dipakai para ‘gepeng’ untuk singgahpun juga tak menunjukan tanda-tanda kalau Bu Rumiyah pernah ke sana. Hingga senja beranjak turun dan mulai menghantarkan gelap. Pencarian kami tetap tak menunjukan hasil yang berarti. Bu Rumiyah bagai di telan bumi. Beberapa tetangga dan ‘gepeng’ yang pernah mengenalnya juga tak ada yang merasa melihat sosok perempuan kurus dengan dua anak balitanya. Ahmad sudah sangat pucat, terlihat sekali kalau kecemasan dan keputusasaan di wajahnya. Ia merasa bersalah meninggalkan ibunya seminggu yang lalu.
Angin dingin terasa semilir di tubuh kami. Debur rinai juga mulai berani menciumi wajah kami. Kelihatannya hujan akan segera turun senja ini, dan ini akan menjadi malam pencarian yang dramatis bagi kami berlima. Setelah kami beristirahat sejenak untuk sholat maghrib, kamipun mulai melanjutkan pencarian di malam yang mulai terkangkangi hujan ini. Ini awal musim hujan, biasanya hujan pertama yang turun akan sangat lebat. Itu dapat kurasakan dengan deru angin yang semula semilir kini terasa makin kencang. Beberapa dahan pohon asem dan mahoni juga mulai berjatuhan diterpa angin.
“Bagaimana nih Ros, kelihatannya Bu Rumiyah tidak ada di kota ini,” Yatno mulai dengan kebiasaannya, gampang ngomel dan cepat bosan.
“Yaa.... tapi kita harus berusaha terus, Yat,” Rossi bicara agak keras.
“Iya, kita harus bisa menemukan Bu Rumiyah malam ini juga. Hujan akan turun makin lebat, kasihan adik-adiknya Mamad,” Ade ikut bersuara.
“Tapi, De...”
“Pokoknya kita harus terus mencari, kalau perlu sampai pagi...”
“Maaf, De,” aku mencoba menyambung,” kita semua juga ingin membantu Mamad untuk menemukan Bu Rumiyah, tapi hujan kelihatnnya sangat deras. Apalagi kita memang belum pulang sejak tadi siang, apa tidak lebih baik kita pulang dulu. Yaa, kalaupun harus di lanjutkan, setidaknya orang tua kami juga perlu tahu.”
Rossi dan Ade menatap tajam ke arahku, mereka seakan menyadari kalau aku dan Yatno masih punya orang tua yang tentunya juga berhak tahu akan kegiatan anaknya. Saat itu juga keduanya terdiam, aku sendiri malah menyesal dengan ucapanku barusan. Aku sama sekali tak berfikir kalau kedua temanku itu tak lagi memiliki orang tua. “Maaf...,” kataku akhirnya.
“Tidak apa-apa Rist, kamu benar,” Ade melanjutkan, “kami memang tak berfikir jauh tentang orang tua kalian. Padahal apa yang kita lakukan ini merupakan wujud cinta pada orang tua, kalau untuk melakukan hal ini sampai ada orang tua yang marah, rasanya jadi percuma. Kamu benar, sebaiknya kita pulang dulu, dan biarkan orang tua kita tahu apa yang akan kita lakukan malam ini. Syukur-syukur, mereka malah membantu kita mencari Bu Rumiyah..”
“Naah, kalau begini cocok nih,” Yatno terlihat senang, setidaknya keinginanya untuk pulang terpenuhi.
Kamipun memutuskan untuk pulang dulu di waktu yang mulai berangkat isya itu. Dengan curahan hujan yang sedemikian deras, kami berlarian diantara gedung-gedung tua yang memiliki ‘tritisan’ lebih. Ini bisa sedikit melindungi kami dari hujan. Di ujung jalan Kapten Samadikun ini kami berpisah, aku dan Yatno menuju Kampung Pesisir Gang Empang V, sedangkan Ade dan Mamad menuju Kampung Pesisir Blok Gang Tongkol, Ade ikut pada salah satu kerabatnya di sana. Rossi sendiri berjalan menuju Kampung Ketandan, berdekatan dengan Stasiun Kejaksan. Dia tinggal sendiri di sana, karena kedua orang tuanya jarang pulang untuk tinggal atau menjenguknya.
Malam bertambah gelap, hujan yang pertama kali turun itupun seakan ingin mencurahkan seluruh air yang ada di langit. Sangat deras sekali. Sementara angin dan petir besahutan sangat kencang. Yang kutahu, hujan malam itu seakan ingin menumpahkan segala yang telah dikandungnya selama kemarau. Karena itu pula, niatku untuk keluar dan kembali membantu Ahmad untuk mencari ibunya urung. Bukan karena aku tak berniat pergi, tapi dengan hujan yang sangat deras dan kencang seperti ini biasanya ada tugas tambahan untuku, yakni mengangkuti air yang masuk ke dalam rumah petak kami. Belum lagi bocor yang rasanya hampir ada di setiap ujung atap rumah. Aku tak bisa kemana-mana. Aku juga tak tega membiarkan keluargaku berjuang melawan banjir lokal, karena hanya terjadi di rumah kami. Hingga malam bertambah larut, dan aku kelelahan dengan aktifitas rutin keluargaku menyambut musim penghujan.
Setidaknya kondisi hujan seperti itu memang memberikan cerita dan kisah tersendiri bagi siapapun. Tak terkecuali Ahmad rekanku yang malang. Tepatnya pukul dua belas malam, ketika aku mulai membersihkan sisa-sisa air hujan, rombongan bapak-bapak nampak berbicara keras dan melewati rumah kami. Dari obrolan yang kudengar, mereka akan ke Blok Gang Tongkol. Mereka berniat membantu menyiapkan kedatangan jenazah salah satu warganya. Hatiku bergetar, ada rasa galau mendengar berita seperti itu. Apalagi, kulihat ibu ikut berbenah dan menyiapkan beras dalam baskom yang ditutupi kain. Ini kebiasaan takziah kampung kami kalau melayat warga yang meninggal. Tapi siapa yang meninggal?
*****
“Rist ditunggu, Ade sama Rossi di luar,” Yatno mengejutkanku yang telah mengenakan seragam biru putihku.
“Ada apa?” kataku seraya merapihkan rambut dengan tanganku.
“Mereka mau mengantarkan Ahmad ke pemakaman ibunya.”
“Innalillahi wa innalillahi rajiiun, maksudmu Bu Rumiyah?”
Yatno mengangguk, “Semalam Ahmad dan Ade berhasil menemukan Bu Rumiyah yang tengah mengigil kedinginan di kampung Kebon Blimbing. Kelihatannya Bu Rumiyah juga menderita sakit yang sudah lama, hingga Ahmad hanya bisa melihat dan memeluk tubuh ibunya untuk yang terakhir kali. Bu Rumiyah meninggal ketika mereka berhasil menemukannya...”
“Astagfirullahalladziim... Yaa Allah, semoga Kau mulyakan tubuh perempuan malang itu,” gumanku dalam hati. “Adik-adiknya bagaimana?”
“Kata Ade, Bu Rumiyah hanya sendiri, entah kemana kedua anak balitanya. Bu Rumiyah belum sempat berucap apa-apa ketika ajal menjemputnya.”
“Ada apa, Rist?” Mas Adi yang sedari tadi memperahtikan kami ikut bertanya
“Ibu temanku, Mamad, meninggal semalam, Mas.”
“Innalillahi wainnalillahi raajiuun, ibunya Mamad Ahmad, Mas?” Ruby ikut terkejut. Dia memang kenal baik Mamad, karena sampai bulan kemarin, mereka masih satu kelas.
“Iya, sekarang Mas Harist mau ngelayat ke sana,” kataku melanjutkan, “mumpung belum dikuburkan.”
“Mas Adi titip salam buat temanmu yah,” kakaku yang laki-laki satu-satunya itu nampak mengeluarkan dua lembar uang ratusan kemudian memasukan ke dalam amplop dan menyerahkannya padaku.
“Iya Mas,” kataku seraya menerima amplop pemberian Mas Adi. Setelah itu akupun bergabung dengan rekan-rekanku. Di luar bukan hanya Ade dan Rossi yang menungguku, tapi ada juga Kardi dan Acung. Berenam kami bergegas ke Blok gang Tongkol untuk menemani Ahmad ke pemakaman. Ahmad tak memiliki keluarga, oleh karenanya kerabat Ade berkenan untuk mengurus seluruh prosesi pemakaman. Dengan bantuan Pak RT dan Pak RW, banyak juga warga yang suka rela membantu pengurusan jenazah.
Mamad terlihat tegar di mataku, sangat tegar bila dibandingkan kemarin siang. Meski ia tak dapat menyembunyikan rasa sedihnya, tak setitikpun kulihat air mata tergenang di pipinya. Mungkin Allah telah menenangkan hati sahabatku yang malang itu, hingga Mamad terlihat lebih dewasa dari umurnya.
“Maafkan kami, yang tak sempat membantumu, Mad,” kataku separuh berbisik.
“Tidak apa-apa Mas, setidaknya aku sekarang bisa melihat dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir,” suara Mamad serak menahan sedih, “ maafkan ibu kalau semasa hidupnya ada sikapnya yang kurang enak yaa, Mas...”
Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, aku memeluk tubuh sahabatku yang malang itu erat. Entah rasa haruku, atau rasa sesalku tak dapat menemaninya malam itu. Yang jelas aku memetik banyak hikmah dengan apa yang terjadi di Sabtu pagi ini, tentang cinta yang tulus seorang anak pada sang ibu, juga tentang cinta tulus diantara kami.
*****
Siang mewakilkan terik dan panas saat itu, ketika pupil ini tak sengaja menatap sosok perempuan kecil yang membawa kaleng dan bergerak dari satu mobil ke mobil yang lainnya. Ia terlihat lemah dan kelaparan di tengah perempatan lampu merah tugu kecil kota para wali ini. Wajahnya pucat, dengan tulang-tulang yang terlihat menonjol di lengan dan kakinya yang tak beralas. Tangannya menjulur dari satu jendela mobil ke jendela mobil lainnya.
“Sedekahnya pak, buat makan....”
“Ii.. Idah? Lagi apa, Nok.. .”
Perempuan kecil itu menoleh ke arahku, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar nampak merengkuh dan membawanya pergi. Dia seorang lelaki dengan badan gemuk dan bertampang sangar. Ada apa dengan Idah, mengapa adik Mamad itu berada di tangan orang asing seperti itu…
“Idaah…,” teriaku ketika lelaki bertubuh gemuk itu menyeret dan membawanya pergi dari lampu merah ini.
*****
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar