Bandung, segalanya berawal
Bandung, 1994, ketika segalanya berawal...
Waktu itu Bandung sedang berbunga, bukan
karena selesai musim dingin atau berganti musim panas. Akan tetapi karena
banyak hal yang ditawarkan kota sejuta warna ini. Bermunculannya
pusat-pusat perdagangan kelas internasional, tempat-tempat refreshing, serta beraga
tempat yangmenawarkan aneka ragam hiburan bagi tua dan muda tumbuh pesat saat
itu. Istilah kata, Bandung
sedang menjadi sorotan sekian banyak mata di negeri ini. Banyak dari mereka yang ingin berada di dalamnya. Tak terkecuali Aldi. Anak dari keluarga sederhana itu nekat ingin menggapai cita-cita di
‘kampung’ orang. Meski dengan bekal yang serba pas-pasan, Aldi terus menguatkan
hati untuk bisa menjadi mahasiswa. Lapisan masyarakat yang katanya intelek.
Namun dibalik beragam kebanggaan postif
seperti itu, ternyata Bandung juga memiliki sisi negatif, dari banyaknya anak muda negeri yang
bergantung padanya. Sikap individual, materialis dan hedonis mulai menggejala
dalam kehidupan mahasiswa. Beberapanya malah membuat mereka lupa dengan tujuan
mereka datang ke kota ini. Kehidupan berkelompok dengan beragam atribut,
membuat kota ini memiliki kelompok masyarakat yang terkotak-kotak. Beragam penyimpangan
dan perbedaanpun membuat kota ini sarat dengan permasalahan yang multi
kompleks. Dan beberapa persennya terjadi di kalangan mahasiswa.
Latar belakang inilah yang mengawali kisah Aldi
dan Rudi. Kisah persahabatan yang harus diuji dengan perbedaan yang mendasar
diantara keduanya.
Meski katanya kota dingin, jika
menjelang siang, Bandung panas sekali...
Seperti biasa, di siang yang terik ini Aldi
baru saja menyelesaikan kuliahnya. Sisa uang yang tak seberapa membuatnya
memilih berjalan kaki setelah sekali naik angkot. Aldi berniat
menghemat uang bulanannya. Dari angkot yang sekali jalan itu, Aldi juga masih
harus melanjutkan sekitar satu kilo meter lagi untuk mencapai tempat kostnya. Dan ini pasti melelahkan untuk kondsisi yang terik seperti itu. Namun demi tekad dan obsesinya menyelesaikan
study, hal itu tak seberapa untuk seorang Aldi.
Meskipun di siang itu pula, tekad dan obsesinya itu mulai diuji. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja sekelompok orang berlarian dari kedua arah yang
berlawanan. Beberapanya malah menunggangi motor dengan kecepatan tinggi! Aldi
terjebak diantara keduanya, ketika
tawuran antar mereka terjadi. Aldi tak lagi
bisa menghindari pukulan dan lemparan dari kedua kubu itu. Satu dua batu
mendarat di kepala dan pelipisnya. Sesekali perut dan kakinya terkena tonjokan
dan tendangan. Meski Aldi berjuang untuk bisa lepas dari tawuran seperti itu,
namun jumlah mereka yang besar tak memungkinkan ia bergerak terlalu jauh.
Darah mulai merembes dari kepala dan pelipisnya,
pandangannyapun juga mulai berputar. Sebuah teriakan keras mengarah padanya, bersamaan itu pula sebuah
tangan mendorong lelaki itu ke arah samping. Aldi terjatuh ke aspal, yang kemudian
disusul seorang yang mendorongnya tadi dengan luka tusuk di perutnya. Pisaunya
masih terlihat nempel ketika jatuh, dengan
darah yang mengucur deras dai arah perutnya. Sesekali lelaki yang terjatuh itu
mengerang untuk menahan sakit, pandanganyapun sudah semakin gelap. Tak berapa lama, lelaki yang mencoba membantu
menyelamatkan Aldi itupun jatuh tak sadarkan diri.
Itulah saat pertama kali Aldi mengenal
sosok Rudi, mahasiswa Teknologi Mesin yang terkenal ganteng tapi penyendiri. Sikapnya yang agak tertutup membuat hampir seisi kampus tak
begitu memperhatikannya. Karena hal itu pula Rudi dikenal sebagai pria aneh di
kalangan mahasiswa.
Beruntung pada insiden tawuran itu, Aldi
hanya dijahit empat jahitan di kepala jadi dalam satu hari Aldi sudah
diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Akan tetapi berbeda dengan Rudi, luka tusukan di bagian perutnya
memerlukan perawatan yang lebih intensif. Beberapa hari ke depan daya tahan
tubuh dan kesadarannya juga menurun drastis. Hal ini dikarenakan ada sebagian
ususnya yang ikut robek mengalami infeksi karena tusukan pisau yang ternyata telah
berkarat . Dengan kondisi seperti itu, dokterpun tidak berani menjamin akan
adanya kesembuhan yang cepat, oleh karena itu mereka
memutuskan untuk merawat Rudi lebih lama dan lebih intensif.
Beberapa utusan teman dan Senat datang
untuk menjenguk mereka, khususnya Rudi yang masih dalam perawatan intensif. Aldi yang merasa bersalah dengan semuanya ini
memutuskan untuk terus menjaganya hingga beberapa hari ke depan. Oleh karena
hal itu pula, ia belakangan jadi akrab dengan Tante Lien, mamanya Rudi. Banyak
hal yang diceritakan perempuan paruh baya itu pada Aldi,
tentang apa dan bagaimana Rudi. Mungkin karena itu
pula yang membuat Aldi merasa makin bersalah dengan kondisi Rudi sekarang ini.
“Sebelumnya ia sangat periang Nak, namun
entah sejak ia memutuskan untuk pergi dari Jakarta dan melanjutkan kuliah di
Bandung, seperti ada sesuatu yang menghinggapinya. Ia jadi penyendiri dan
jarang bergaul. Hari-harinya banyak di habiskan di rumah. Rudi hampir tak
pernah keluar rumah meski di hari libur sekalipun bila tidak Tante yang
mengajaknya...”
“Memang ada apa sebenarnya Tante?”
“Itu dia yang ngga pernah Tante tahu
hingga sekarang, Nak. Yang Tante ingat dulu ia sangat aktif dengan beragam
kegiatan sewaktu SMA. Namun sejak ia bermasalah dengan teman akrabnya ia jadi
pemurung dan penyendiri seperti itu. Entah apa yang mereka perdebatkan, yang
jelas pertengkaran mereka sangat hebat Tante lihat!”
“Memang mereka bertengkar di mana?”
“Di rumah Tante, kebetulan teman dekatnya
itu memang sering menginap di rumah kami dulu. Tapi yah, mungkin karena usia
muda mereka, mereka lebih banyak menurutkan emosi mereka. Hingga beberapa
minggu berikutnya, Tante tidak melihat lagi mereka jalan besama. Namun setiap
Tante mencoba untuk bertanya mengapa, Rudi selalu menghindar dan tak mau
bercerita ada apa...”
“Mmm, mungkin belum saatnya saja Tante...”
“Mudah-mudahan begitu, Nak Al. Masalahnya
hingga tiga tahun berlalu, Tante tetap tidak tahu ada apa. Kalau saja hal ini
tak membuat ia menjadi pendiam seperti itu, pasti Tante juga ngga terlalu
peduli. Namun ini khan....”
“Mudah-mudahan ada waktu untuk itu,
Tante...”
“Yah, mudah-mudahan saja begitu,” wanita
paruh baya itu seperti tak yakin dengan ucapannya terakhir.“Nak, Al pulang saja
dulu. Biar tante yang jagain Rudi...” katanya kemudian, “dari pagi kamu sudah tungguin
Rudi. Seharian ini kamu juga ngga kuliah khan...”
“Ngga apa-apa Tante, saya akan menjaga
Rudi sampai dia siuman...”
“Ngga usah Nak Al, biar kami saja,” Tante
Lien tetap menyuruhku pergi, “kalau Nak Al mau nungguin Rudi, besok saja kesini
lagi. Tapi sepulang kuliah yaa...”
Aldi tak bisa menolak apalagi Om Ratno,
papanya Rudi ikut menganggukan kepala dan meminta agar ia menuruti keinginan istrinya. Aldi tak bisa
berkata apa-apa lagi, selain mengangguk dan melangkah pergi dari ruangan
perawatan intensif ini.
“Terima kasih yaa, Nak...,” ucap Om Ratno
pada Aldi sebelum akhinya menepuk pundaknya di ujung pintu ruangan ini.
“Saya permisi Om, assallamu allaikum...”
“Wa allaikum salam...”
Sore itu Aldipun kembali ke kostan,
beberapa temannya sudah banyak yang menunggu untuk sekedar menengok dan
menyampaikan kepedulian mereka. Salah satu yang paling akrab dari mereka adalah
Emma, sahabat Aldi sejak mereka SMP. Dulu keluarganya tinggal di Cirebon,
bertetangga dengan keluarga Aldi,
karenanya mereka lebih terlihat sebagai keluarga. Apalagi sejak SMP hingga
masuk kuliah, mereka memilih tempat sekolah yang sama.
“Bagaimana keadaanmu Al?”
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja, Ma.
Luka di kepalaku ngga terlalu parah, hanya empat jahitan. Yang kasihan Rudi, dia masih belum sadar, karena
banyak mengeluarkan darah. Ususnya ada yang ikut robek karena tusukan pisau
para preman itu...”
“Yah mungkin ini cobaan buatmu Al,” kata
Emma kemudian, “tapi sebenarnya apa yang kamu lakukan di jalan itu, sampai
harus terjebak tawuran preman seperti itu sih? Terus bagaimana juga ceritanya anak penyendiri itu
bisa ada di situ, Al...”
“Aku sendiri tak tahu, Ma,” kata Aldi
melanjutkan, “yang kutahu, aku sedang berjalan pulang sendiri ketika bentrokan
antar preman itu terjadi. Namun entah dari mana awalnya, tiba-tiba Rudi datang
dan menyelamatkanku dari pukulan orang-orang yang mengira aku musuh mereka...”
“Koq bisa begitu?”
“Iya, Rudi sampai harus mengorbankan motor
dan tubuhnya untuk menyelamatkan aku Ma,” kata Aldi penuh haru, “ngga heran
kalau orang sekampus akhirnya banyak yang simpati dan respek sama mahasiswa penyendiri
itu...”
Emma nampak terdiam , entah apa yang
difikirkannya. Yang jelas, ada ekspresi keseriusan dari apa yang baru saja ia
dengar.
“Ohya, ini aku bawakan bubur ayam,”
katanya kemudian, “nanti malam, anak-anak yang lain mau nengok kamu Al, mereka
masih ada kegiatan sore ini...”
“Iya makasih ya Ma,” ucap Aldi seraya
meraih rantang yang disodorkan Emma.
Malamnya, banyak rekan-rekan sekampus Aldi
yang datang menengok. Demi mendengar adanya kecelakaan yang menimpa rekan
mereka. Beberapa diantaranya malah datang dengan pasukan, menjaga kemungkinan adanya tawuran lagi.
“Kamu masih beruntung Al, setidaknya
peristiwa kacau seperti itu tak merenggut nyawamu,” ucap Rahmat yang terkenal
jago karate, “aku yang sudah ban hitam juga kalau terjebak di situasi seperti
itu entah bagaimana akhirnya...”
“Iya lho Al, gua juga ngga nyangka kalau
Lo bisa selamat dari bentrokan para preman itu. Padahal menurut berita yang gua
dengar, bentrokan itu sampai memakan korban jiwa lima orang lebih...,” Fredi
ikut berkomentar dengan gaya cuekya.
“Dan untungnya ada pria aneh itu, yaa Al,
“ Riko ikut menambahi, “kalau ngga ada dia mungkin juga ceritanya lain...”
“Namanya Rudi,” Aldi menambahi cepat, tak
senang dengan sebutan ‘aneh’ pada orang yang telah menyelamatkannya.
“Ia, Rudi, ternyata baik juga yah dia...”
“Itu dia Ko, aku jadi ngerasa bersalah
banget sama dia. Gara-gara mau menyelamatkanku dia harus kehilangan motornya
dan masuk rumah sakit seperti sekarang ini...” kata Aldi sesal.
“Bagaimana dengan keluarganya Al?”
“Mereka ngga marah sama sekali. Biaya
perobatanku juga malah mereka yang bayari, itu juga yang membuatku makin merasa bersalah dengan
semuanya ini...”
“Bukan Lo Al, tapi para preman itu...,”
Riko memotong ucapan Aldi.
“Iya, andai aku bisa bertukar tempat...”
“Sudahlah Al, ini musibah siapapun tak ada
yang bisa disalahkan,” Rahmat melanjutkan, “sudah malam nih, kelihatannya kami
harus kembali.”
“Iya nih Al, aku ada tugas makalah yang
harus dikumpul besok,” Riko ikut menambahi.
“Ok, terima kasih yaa sudah pada nengokin aku..”
“Sama-sama Al, cepat sembuh yaa...”
Tak laa kemudian mereka semua pulang!
Tinggalah Aldi sendiri dikamar kost ini, dengan fikiranya yang terus jauh melayang ke sosok Rudi. Pria
penyendiri yang berkorban sebegitu jauh untuknya.
“Apakah Allah
sengaja mengirimkan Rudi untuk menyelematkanku, ataukah memang Allah
menggerakan hatinya untuk menjadi temanku,” Aldi masih berfikir sendiri.
Masih erat dalam ingatannya dulu saat kala
pertama ia betemu dengan sosok penutup bernama Rudi itu. Ada keinginan untuk
akrab atau sekedar berbincang singkat, namun dengan sikap diam Rudi membuatnya
selalu mengurungkan nitanya. Kesan angkuh dan cuek Rudi memang terkadang
membuat siapa saja jadi malas untuk bertegur sapa. Apalagi dengan predikat anak
kalangan atas dengan segala macam atribut kemewahannya, membuat siapapun
mengukur diri untuk bergaul dengannya. Tidak hanya yang laki-laki, sepertinya yang perempuan juga begitu. Bahkan
Wawan, yang satu kelas dengan Rudi pernah menyampaikan pendapatnya kalau Rudi
sosok lelaki yang aneh dan angkuh.
Namun sejak sikap berkorbannya pada Aldi, ia
jadi bahan pembicaraan di kalangan mahasiswa kini. Tak heran kalau senat kemahasiswaan menjadikannya contoh,
sebagai pribadi yang peduli pada sesama almamater dan berjiwa spirit the corp yang tinggi . Dikarenakan hal itu pula banyak anggota senat mahasiswa yang bergantian
menengok atau menjenguknya.
“Rudi, ternyata kamu tak
seangkuh yang difikirkan banyak mahasiswa selama ini,” Aldi masih merasakan
nyut-nyutan di kepalanya, rupanya proses berfikir seperti ini membuat luka di
kepalanya makin terasa sakit. Dan tak beberapa lama, akhirnya Aldipun
rebah dan tertidur dengan rasa sakitnya...
******