Jum’at pagi yang hening, saat mataharipun terasa redup…
“Subhanallah wal hamdulillah walla illa haillallah…
Allahuakbar,” dzikir lirih itu terus mengalun membarengi langkah para pengatar
jenazah dari rumah kecil kami. Terlalu lirih untuk kami yang mesti menghadapi
kenyataan taqdir hari ini. Rombongan pengatar jenazah itu
seakan menyuarahan gerimis hati yang paling pilu dalam rona hidup kami. Entah
apa kami mampu melewati semuanya ini. Ketika orang yang begitu lekat dalam
hidup kami, ketika wanita yang paling agung dalam ayunan langkah kami, harus
pergi dan meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Dzikir lirih
yang membarengi langkah para pentakziah masih terus terdengar, ketika beberapa
rombongan mobil dari yayasan amal bhakti muslimin menjemput keranda hijau ibu.
Perlahan pintu belakangnya terbuka, dan hati-hati jasad ibu disemayamkan di
ruang mobil bercat putih dengan lafadz ‘Innalillahi
wa innalillahi raajiuun’ itu. Bapak terlihat lebih dahulu masuk, untuk
menerima ujung keranda bagian kepala.
Raut wajahnya yang menua semakin menua demi menghadapi sosok tubuh yang tak
lagi mampu memberinya senyum. Sorot matanya nyaris tak lagi berkilat dan
memancarkan ketegaranya sebagaimana sering ia tampilkan pada kami. Tubuh tua
itu terlihat makin rapuh demi menerima keranda berselimut kain hijau yang
bertabur bunga rampai di atasnya.
Begitu Bapak,
begitu pula kami, ketujuh anak-anak ibu. Meski air mata kami telah kering
karena terisak sepanjang malam, namun rona sendu tak jua lekang di
masing-masing ekspresi kami. Mbak Maryam tak
lagi bisa bersuara dengan bibir yang terus gemetar. Banyak duka dan tangis yang
tak lagi mampu ia ekspresikan, demi mengingat betapa ia sangat mencintai wanita
tua itu. Mbak Tini, hanya diam membisu dengan terus meremas-remas jemarinya
menahan gejolak sesal tak berujung. Meski satu minggu terakhir ia telah merawat
ibu dengan penuh ketulusan, namun tak mengurangi rasa sesalnya telah
meninggalkan ibu pada bulan-bulan terakhirnya ketika dokter menvonis ia dengan
lever stadium empat.
Begitu pula Mbak
Atin dan Mbak Puji yang tak lagi mampu menahan gejolak kepedihan dihatinya.
Isaknya masih terdengar, meski matanya terasa pedih
karena hampir kehabisan air mata. Mereka merasa terlalu cepat taqdir nasib ini
berlaku, sedang segala impian untuk membahagiakan ibu belum banyak mereka
lakukan. Sementara Mas Adi tersudut pada ujung ruangan mobil pengatar jenazah
dengan memeluk kedua lututnya, ia masih tak percaya kalau ibu akan pergi
secepat ini. Meski lafadznya terus berucap tasbih, tahmid dan tahlil, tak menghalangi nafasnya tersengal mengantarkan sesal.
Aku sendiri
duduk terdiam disamping Ruby yang tak pernah selesai mengusap titik air mata
yang terus berlinang. Nafasnya sangat berat, jelas
iapun merasakan aura kepedihan yang tiada tara. Kepedihan menghantarkan seorang
wanita yang seantiasa memberikannya kedamaian dan ketenangan. Tatapannya seakan
kosong meski lurus tertuju pada keranda bertudung kain hijau itu. Semua
ekspresi kehilangan ini makin mengiris dan melengkapi kegetiran jiwaku. Doa lirihku terus teralun tersendat diantara
bibirku yang kelu untuk berucap. Satu hal yang membuatku tak lagi berharga saat
itu adalah, tak lagi bisa berharap untuk dapat menunaikan janji yang selama ini
menjadi semangatku untuk maju dan berubah. “Mii…
maafkan Harist, kalau pada akhirnya Harist belum mampu menunaikan janji yang
pernah Harist ucapkan pada Mimi. Maafkan Harist, kalau harus menghantarkan
jasad Mimi tanpa sempat menyematkan kain ikhram terbaik untuk Mimi…”
Raungan mobil
pengantar jenazah ini terus terdengar sejalan gerak roda yang menuju pemakaman
Tedeng. Ini lokasi pemakaman bagi sebagian besar warga di kampungku. Kakek dan
Nenek kami juga disemayamkan di sana, kini kami menghantarkan kembali salah
satu anggota keluarga kami. Ibu kami, Siti Aminah, perempuan termulia dalam
hati kami.
Lafadz tasbih,
tahmid dan tahlil mulai menyepi berganti suara-suara berisik pengatur
pemakaman. Proses pemakaman ibu memang telah sampai pada tahap akhir dari
perjalanannya, yakni membaringkan jasad pada kavling tanah terakhirnya. Beberapa suara terdengar
lagi, kali ini mengatur siapa yang harus menerima jasad berkain kaffan di
bagian bawah. Beberapa nama di sebut, dan itu adalah Om Wardi suami Mbak
Maryam, bapak dan aku sebagai perwakilan anak lelaki. Dengan segera aku masuk
di liang lahat yang gelap dan dingin itu, membarengi bapak dan Om wardi yang
telah lebih dulu. Posisiku ada di bagian
kaki, sehingga menerima bagian betis ibu. Itu saat terakhir dalam hidupku dapat
mendekap dan merasakan kaki
perempuan teragung dalam hidupku. Kondisinya belum kaku, itu masih kurasakan
dari daging betisnya yang lunak dan tidak mengeras.
Kutahan kuat
air mataku untuk tak tertumpah diantara kain putih terkahir yang dibekalkan
pada ibu. Kutahan sepenuh hati untuk tidak terisak, ketika memiringkan tulang
kaki perempuan yang telah lelah melangkah membesarkan dan menafkahiku. Aku juga
terus menjaga posisiku tubuhku untuk tak limbung kala ikat kain kaffan paling
ujung itu harus kulepas. Hingga detik berikutnya, tubuhku tetap terjaga meski pada
alur nafas yang tak stabil. Jauh dalam hatiku, aku terus menangis! Aku menangis
pilu, akan semua kenangan yang ada diantara kami. “Mimi… apa kita nanti kelak
akan berkumpul kembali…” bathinku lirih tertahan tangis.
Satu per satu
gundukan tanah yang terhampar di pinggir liang lahat ibu, mulai berhamburan ke
bawah. Satu per satu pula, gundukan tanah merah itu menutupi barisan papan yang
telah rapi melapis warna putih kaffan ibu. Hingga pada gundukan terakhir yang
terhampar, beberapa kaki pengurus makam nampak menjejaknya dan membuatnya
pepat. Ibu tak terlihat lagi, kain kaffan ibu tak terlihat lagi, papan pelapis
juga tak terlihat lagi. Kini berganti nisan kayu dengan tatahan paku seadanya ;
Ibu Kuminah (Siti Aminah) binti Kumang.
Detik
selanjutnya seruan adzan menggema diantara jiwa-jiwa yang tengah lara dan
nestapa. Pemakaman yang sepi inipun makin terasa senyap dan mencekam dengan
khusyuknya semua yang hadir mendengar lafadz adzan penghantar perjalanan ibu
menuju alam barzah. Sebuah tauziah singkat tentang kematianpun terdengar kemudian, menyadarkan kami yang
masih hidup untuk dapat memetik hikmah dari sebuah kematian. Beberapa pesan
singkat juga terdengar khususnya untuk rekan dan kerabat almarhumah ibu, agar
semua yang hadir bisa mengikhlaskan segala kehilafan dan kesalahan almarhumah.
Segala persangkutan yang tersisa, agar tak lagi dibebankan pada perjalanan
panjang sang mayat, akan tetapi pada keluarganya yang masih hidup.
Angin berdesir
lembut sekali, ketika langkah para pentakziah mulai meninggalkan areal
pemakaman Tedeng. Kulihat bapak masih duduk terpekur di depan pusara ibu,
mulutnya masih komat-kamit memanjatkan doa. Setidaknya bapak memang tak segera
beranjak, meski langkah penghantar jenazah telah melebihi tujuh hitungan. Dan
ekspresi bapak masih sangat jelas terlihat dari tempatku berdiri, kalau ia
begitu terpukul. Itu wajah tersedih yang aku lihat sepanjang hari ini, wajah
nelangsa seorang lelaki yang ditinggalkan seorang wanita yang paling
dicintainya, wajah nelangsa seorang suami yang ditinggalkan seorang istri
terpercaya, tulus dan setia pada segala sabdanya.
“Ayo kita
pulang, Pak?” Mas Adi menggamit dan memapah tubuh lelaki tua itu. Setengah
gontai dan terseret mereka mulai meninggalkan gundukan tanah merah yang kini
telah bertabur bunga aneka warna.
******
Hari belum
terlalu sore ketika Mbak Atin terisak pilu di kursi tua tempat biasa ibu
menjahit pakain usang kami. Wajahnya sangat pucat dengan mata yang terlihat
begitu sembab. Di sampingnya, nampak bapak yang terdiam tak berkata apa-apa. Tatapannya
kosong, sementara mulutnya mengepulkan asap rokok yang juga mengalun tanpa
arti. Ini hari ketiga ketika baru saja kutaburkan air bunga di pusara
almarhumah ibu. Apakah di hari ketiga ini kenyataan pahit itu
masih belum beranjak dari hati-hati keluargaku…
“Ada apa,
Mbak? Kenapa Mbak Atin menangis?” tanyaku terbawa suasana.
“Mbak kangen Mimi, Mbak inget Mimi Rist…”
“Bersabarlah
Mbak, Allah sayang sama Mimi,
karenanya Dia memanggil dan membawa Mimi,”
ucapku mencoba untuk tetap tegar.
“Yaa… Mbak
tahu, Mbak tahu Rist…, Mbak hanya kangen. Mbak ingin makan nasi sambal
dage kayak dulu, Mbak ingin makan
seperti dulu…,” tangis Mbak Atin pecah tak tertahan lagi.
Aku diam tak
mampu lagi berucap. Aku membiarkan kakak perempuanku memuaskan tangisnya, aku
membiarkan ia melepaskan kegundahan yang selama ini selalu ia tahan. Sementara
bapak hanya bisa membelai rambut anak perempuannya itu dengan tatap haru,
menyelami segala kepedihan. Ia tak jua mampu mencegah Mbak Atin yang ingin
menagis sore itu. Semua berawal ketika tanpa sengaja bapak mengerus dage dengan
sambal hijau, itu makanan kesukaan ibu. Entah ide dari mana, yang jelas katanya
bapak tiba-tiba memang ingin makan nasi hangat dengan sambal dage yang biasa
dibuatkan ibu. Dan itu pula yang mengingatkan Mbak Atin akan menu spesial ibu.
Menu itu pula yang menguatkan kenangan
sosok ibu begitu erat dalam hati Mbak Atin.
Mbak Atin
masih terus tersedu-sedu, meski Mbak Maryam dan Mbak Tini merangkul dan
memeluknya. Ia seperti yang tak mau dihentikan dari rasa perih akan kehilangan
ibu.
“Sabar, sabar…
Tin, jangan berlebihan?” Mbak Maryam berucap lirih.
“Kita semua
kehilangan, tapi bukan berarti harus terus larut dalam kesedihan seperti itu,”
Mbak Tini ikut bersuara, “kita semua akan seperti Mimi, hanya saja kita tidak
pernah tahu kapan waktunya…”
“Akan ada
masanya kita bisa berkumpul seperti dulu lagi, jadi ikhlaskanlah. Jangan bikin
langkah ibumu jadi berat karena mendengar isak tangismu seperti itu…,” Mbak
Maryam ikut membelai rambut Mbak Atin yang panjang .
Ketiga anak
perempuan ibu nampak menangis berpelukan, mengekspresikan kesedihan akan
hilangnya seorang wanita yang paling berarti dan paling mereka cintai. Ekspresi
kesedihan mereka setulusnya bukan karena takan lagi bisa bertemu dan
bercengkerama bersama ibu, akan tetapi rasa sesal yang timbul karena belum bisa
memberikan apa-apa pada ibu. Hingga di akhir hidupnya, yang mereka ingat justru
ketika puncak kesedihan hadir di hati ibu…
“Sudah, sudah
jangan bertangisan seperti itu, jangan buat suasana makin tak terkendali.
Maafkan bapak kalau keinginan bapak makan nasi sambal dage ini akan membuat
kalian jadi seperti itu,” suara bapak terdengar berat.
Ketiga kakaku
beringsut membenahi air mata yang tak lagi lembab di pipi, karena telah
bercampur rasa sesal dan sedih yang mendalam, hingga air mata itu terasa hangat
. Mungkin karena bulir itu pula hingga akhirnya mereka dapat sejenak tenang dan
kembali pada aktifitas mereka menyambut taqdir hidup keluarga mereka.
*********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar