Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Selasa, 23 April 2013

!6. Ibu Berpulang, sebuah lanjutan dari Kereta Di Awal Syawwal





Jum’at pagi yang hening, saat mataharipun terasa redup…

“Subhanallah wal hamdulillah walla illa haillallah… Allahuakbar,” dzikir lirih itu terus mengalun membarengi langkah para pengatar jenazah dari rumah kecil kami. Terlalu lirih untuk kami yang mesti menghadapi kenyataan taqdir   hari ini. Rombongan pengatar jenazah itu seakan menyuarahan gerimis hati yang paling pilu dalam rona hidup kami. Entah apa kami mampu melewati semuanya ini. Ketika orang yang begitu lekat dalam hidup kami, ketika wanita yang paling agung dalam ayunan langkah kami, harus pergi dan meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Dzikir lirih yang membarengi langkah para pentakziah masih terus terdengar, ketika beberapa rombongan mobil dari yayasan amal bhakti muslimin menjemput keranda hijau ibu. Perlahan pintu belakangnya terbuka, dan hati-hati jasad ibu disemayamkan di ruang mobil bercat putih dengan lafadz ‘Innalillahi wa innalillahi raajiuun’ itu. Bapak terlihat lebih dahulu masuk, untuk menerima ujung  keranda bagian kepala. Raut wajahnya yang menua semakin menua demi menghadapi sosok tubuh yang tak lagi mampu memberinya senyum. Sorot matanya nyaris tak lagi berkilat dan memancarkan ketegaranya sebagaimana sering ia tampilkan pada kami. Tubuh tua itu terlihat makin rapuh demi menerima keranda berselimut kain hijau yang bertabur bunga rampai di atasnya.
Begitu Bapak, begitu pula kami, ketujuh anak-anak ibu. Meski air mata kami telah kering karena terisak sepanjang malam, namun rona sendu tak jua lekang di masing-masing ekspresi kami. Mbak Maryam   tak lagi bisa bersuara dengan bibir yang terus gemetar. Banyak duka dan tangis yang tak lagi mampu ia ekspresikan, demi mengingat betapa ia sangat mencintai wanita tua itu. Mbak Tini, hanya diam membisu dengan terus meremas-remas jemarinya menahan gejolak sesal tak berujung. Meski satu minggu terakhir ia telah merawat ibu dengan penuh ketulusan, namun tak mengurangi rasa sesalnya telah meninggalkan ibu pada bulan-bulan terakhirnya ketika dokter menvonis ia dengan lever stadium empat.
Begitu pula Mbak Atin dan Mbak Puji yang tak lagi mampu menahan gejolak kepedihan dihatinya. Isaknya   masih terdengar, meski matanya terasa pedih karena hampir kehabisan air mata. Mereka merasa terlalu cepat taqdir nasib ini berlaku, sedang segala impian untuk membahagiakan ibu belum banyak mereka lakukan. Sementara Mas Adi tersudut pada ujung ruangan mobil pengatar jenazah dengan memeluk kedua lututnya, ia masih tak percaya kalau ibu akan pergi secepat ini. Meski lafadznya terus berucap tasbih, tahmid dan tahlil, tak menghalangi    nafasnya tersengal mengantarkan sesal. 
Aku sendiri duduk terdiam disamping Ruby yang tak pernah selesai mengusap titik air mata yang   terus berlinang. Nafasnya sangat berat, jelas iapun merasakan aura kepedihan yang tiada tara. Kepedihan menghantarkan seorang wanita yang seantiasa memberikannya kedamaian dan ketenangan. Tatapannya seakan kosong meski lurus tertuju pada keranda bertudung kain hijau itu. Semua ekspresi kehilangan ini makin mengiris dan melengkapi kegetiran jiwaku.  Doa lirihku terus teralun tersendat diantara bibirku yang kelu untuk berucap. Satu hal yang membuatku tak lagi berharga saat itu adalah, tak lagi bisa berharap untuk dapat menunaikan janji yang selama ini menjadi semangatku untuk maju dan berubah. “Mii… maafkan Harist, kalau pada akhirnya Harist belum mampu menunaikan janji yang pernah Harist ucapkan pada Mimi. Maafkan Harist, kalau harus menghantarkan jasad Mimi tanpa sempat menyematkan kain ikhram terbaik untuk Mimi…” 
Raungan mobil pengantar jenazah ini terus terdengar sejalan gerak roda yang menuju pemakaman Tedeng. Ini lokasi pemakaman bagi sebagian besar warga di kampungku. Kakek dan Nenek kami juga disemayamkan di sana, kini kami menghantarkan kembali salah satu anggota keluarga kami. Ibu kami, Siti Aminah, perempuan termulia dalam hati kami.
Lafadz tasbih, tahmid dan tahlil mulai menyepi berganti suara-suara berisik pengatur pemakaman. Proses pemakaman ibu memang telah sampai pada tahap akhir dari perjalanannya, yakni membaringkan jasad pada kavling tanah terakhirnya. Beberapa suara terdengar lagi, kali ini mengatur siapa yang harus menerima jasad berkain kaffan di bagian bawah. Beberapa nama di sebut, dan itu adalah Om Wardi suami Mbak Maryam, bapak dan aku sebagai perwakilan anak lelaki. Dengan segera aku masuk di liang lahat yang gelap dan dingin itu, membarengi bapak dan Om wardi yang telah lebih dulu.  Posisiku ada di bagian kaki, sehingga menerima bagian betis ibu. Itu saat terakhir dalam hidupku dapat  mendekap dan merasakan   kaki perempuan teragung dalam hidupku. Kondisinya belum kaku, itu masih kurasakan dari daging betisnya yang lunak dan tidak mengeras.
Kutahan kuat air mataku untuk tak tertumpah diantara kain putih terkahir yang dibekalkan pada ibu. Kutahan sepenuh hati untuk tidak terisak, ketika memiringkan tulang kaki perempuan yang telah lelah melangkah membesarkan dan menafkahiku. Aku juga terus menjaga posisiku tubuhku untuk tak limbung kala ikat kain kaffan paling ujung itu harus kulepas. Hingga detik berikutnya, tubuhku tetap terjaga meski pada alur nafas yang tak stabil. Jauh dalam hatiku, aku terus menangis! Aku menangis pilu, akan semua kenangan yang ada diantara kami. “Mimi… apa kita nanti kelak akan berkumpul kembali…” bathinku lirih tertahan tangis.
Satu per satu gundukan tanah yang terhampar di pinggir liang lahat ibu, mulai berhamburan ke bawah. Satu per satu pula, gundukan tanah merah itu menutupi barisan papan yang telah rapi melapis warna putih kaffan ibu. Hingga pada gundukan terakhir yang terhampar, beberapa kaki pengurus makam nampak menjejaknya dan membuatnya pepat. Ibu tak terlihat lagi, kain kaffan ibu tak terlihat lagi, papan pelapis juga tak terlihat lagi. Kini berganti nisan kayu dengan tatahan paku seadanya ; Ibu Kuminah (Siti Aminah) binti Kumang.
Detik selanjutnya seruan adzan menggema diantara jiwa-jiwa yang tengah lara dan nestapa. Pemakaman yang sepi inipun makin terasa senyap dan mencekam dengan khusyuknya semua yang hadir mendengar lafadz adzan penghantar perjalanan ibu menuju alam barzah. Sebuah tauziah singkat tentang kematianpun  terdengar kemudian, menyadarkan kami yang masih hidup untuk dapat memetik hikmah dari sebuah kematian. Beberapa pesan singkat juga terdengar khususnya untuk rekan dan kerabat almarhumah ibu, agar semua yang hadir bisa mengikhlaskan segala kehilafan dan kesalahan almarhumah. Segala persangkutan yang tersisa, agar tak lagi dibebankan pada perjalanan panjang sang mayat, akan tetapi pada keluarganya yang masih hidup.
Angin berdesir lembut sekali, ketika langkah para pentakziah mulai meninggalkan areal pemakaman Tedeng. Kulihat bapak masih duduk terpekur di depan pusara ibu, mulutnya masih komat-kamit memanjatkan doa. Setidaknya bapak memang tak segera beranjak, meski langkah penghantar jenazah telah melebihi tujuh hitungan. Dan ekspresi bapak masih sangat jelas terlihat dari tempatku berdiri, kalau ia begitu terpukul. Itu wajah tersedih yang aku lihat sepanjang hari ini, wajah nelangsa seorang lelaki yang ditinggalkan seorang wanita yang paling dicintainya, wajah nelangsa seorang suami yang ditinggalkan seorang istri terpercaya, tulus dan setia pada segala sabdanya.
“Ayo kita pulang, Pak?” Mas Adi menggamit dan memapah tubuh lelaki tua itu. Setengah gontai dan terseret mereka mulai meninggalkan gundukan tanah merah yang kini telah bertabur bunga aneka warna.

******
Hari belum terlalu sore ketika Mbak Atin terisak pilu di kursi tua tempat biasa ibu menjahit pakain usang kami. Wajahnya sangat pucat dengan mata yang terlihat begitu sembab. Di sampingnya, nampak bapak yang terdiam tak berkata apa-apa. Tatapannya kosong, sementara mulutnya mengepulkan asap rokok yang juga mengalun tanpa arti. Ini hari ketiga ketika baru saja kutaburkan air bunga di pusara almarhumah ibu. Apakah di hari ketiga ini kenyataan pahit itu masih belum beranjak dari hati-hati keluargaku…
“Ada apa, Mbak? Kenapa Mbak Atin menangis?” tanyaku terbawa suasana.
“Mbak kangen Mimi, Mbak inget Mimi Rist…”
“Bersabarlah Mbak, Allah sayang sama Mimi, karenanya Dia memanggil dan membawa Mimi,” ucapku mencoba untuk tetap tegar.
“Yaa… Mbak tahu, Mbak tahu Rist…, Mbak hanya kangen. Mbak ingin makan nasi sambal dage  kayak dulu, Mbak ingin makan seperti dulu…,” tangis Mbak Atin pecah tak tertahan lagi.
Aku diam tak mampu lagi berucap. Aku membiarkan kakak perempuanku memuaskan tangisnya, aku membiarkan ia melepaskan kegundahan yang selama ini selalu ia tahan. Sementara bapak hanya bisa membelai rambut anak perempuannya itu dengan tatap haru, menyelami segala kepedihan. Ia tak jua mampu mencegah Mbak Atin yang ingin menagis sore itu. Semua berawal ketika tanpa sengaja bapak mengerus dage dengan sambal hijau, itu makanan kesukaan ibu. Entah ide dari mana, yang jelas katanya bapak tiba-tiba memang ingin makan nasi hangat dengan sambal dage yang biasa dibuatkan ibu. Dan itu pula yang mengingatkan Mbak Atin akan menu spesial ibu. Menu itu pula yang   menguatkan kenangan sosok ibu begitu erat dalam hati Mbak Atin.
Mbak Atin masih terus tersedu-sedu, meski Mbak Maryam dan Mbak Tini merangkul dan memeluknya. Ia seperti yang tak mau dihentikan dari rasa perih akan kehilangan ibu.
“Sabar, sabar… Tin, jangan berlebihan?” Mbak Maryam berucap lirih.
“Kita semua kehilangan, tapi bukan berarti harus terus larut dalam kesedihan seperti itu,” Mbak Tini ikut bersuara, “kita semua akan seperti Mimi, hanya saja kita tidak pernah tahu kapan waktunya…”
“Akan ada masanya kita bisa berkumpul seperti dulu lagi, jadi ikhlaskanlah. Jangan bikin langkah ibumu jadi berat karena mendengar isak tangismu seperti itu…,” Mbak Maryam ikut membelai rambut Mbak Atin yang panjang .
Ketiga anak perempuan ibu nampak menangis berpelukan, mengekspresikan kesedihan akan hilangnya seorang wanita yang paling berarti dan paling mereka cintai. Ekspresi kesedihan mereka setulusnya bukan karena takan lagi bisa bertemu dan bercengkerama bersama ibu, akan tetapi rasa sesal yang timbul karena belum bisa memberikan apa-apa pada ibu. Hingga di akhir hidupnya, yang mereka ingat justru ketika puncak kesedihan hadir di hati ibu…
“Sudah, sudah jangan bertangisan seperti itu, jangan buat suasana makin tak terkendali. Maafkan bapak kalau keinginan bapak makan nasi sambal dage ini akan membuat kalian jadi seperti itu,” suara bapak terdengar berat.
Ketiga kakaku beringsut membenahi air mata yang tak lagi lembab di pipi, karena telah bercampur rasa sesal dan sedih yang mendalam, hingga air mata itu terasa hangat . Mungkin karena bulir itu pula hingga akhirnya mereka dapat sejenak tenang dan kembali pada aktifitas mereka menyambut taqdir hidup keluarga mereka.

*********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar