Simphony
malam di Tepi Pom Bensin
Ini bulan
ketiga, sejak warung makan kaki lima ini beroperasi. Banyak kenangan antara
aku, Ruby dan ibuku di sana. Sejak berhenti bekerja, bapak sempat
memutuskan untuk membuka warung kaki lima dengan menu ala sea food. Di
awal-awal pembukaan, warung ini memang sangat ramai. Itupula yang membuat kami
sekeluarga berharap kalau suatu saat usaha ini akan menggantikan sumber
penghasilan keluarga. Setelah bapak berhenti berlayar dan ibu tak lagi bisa
berjualan, harapan kami yaa usaha warung kaki lima ini.
Untuk
menjaring pemasukan dan penghasilan yang lumayan, sengaja bapak mendesign
manajement usaha dengan waktu yang agak panjang. Oleh karena itu pula, ia
mengerahkan kami anggota keluarganya yang masih tinggal bersama ibu untuk bisa
membantu. Bapak membagi dua shift dalam menjalankan usaha warung ini. Hal ini
tentunya ketika bapak telah melatih dan mentransfer ilmu memasknya pada kami,
khususnya aku dan adiku. Shift pertama biasanya dimulai sejak jam 3 sore hingga
jam delapan malam. Di pegang langsung oleh bapak, ibu dan Mbak Atin. Sementara
shift kedua dipercayakan padaku dan Ruby. Keempat anak ibu yang lain memang
sudah tidak tinggal bersama ibu lagi. Mereka memutuskan untuk mencoba mandiri
dengan mengontrak rumah atau pindah ke uar kota.
Dua bulan
pertama, hasil usaha dari warung kaki lima kami lumayan sekali. Setidaknya aku
baru tahu kalau dari usaha seperti itu, bapak dan ibu bisa tetap menafkahi dan
membiayai sekolah kami. Aku baru lulus SMU tahun lalu, dan tak terasa kini
tinggal adik bungsuku Ruby, ia masih duduk di bangku STM kelas dua. Banyak
harapan dalam ibuku kalau suatau saat warung kaki lima ini akan berubah menjadi
warung makan atau restorant yang besar hingga seluruh potensi keluarga akan
banyak terserap di sana. Dengan harapan itu pula kami semua berharap dapat
mencegah bapak untuk pergi berlayar kembali.
Namun harapan
memang tak selalu tepat seperti kenyataan. Di bulan ketiga usaha warung makan
kami mulai mengalami kemunduran, mungkin para pelanggan sudah mulai bosan dan
jenuh dengan aneka makanan yang kami tawarkan. Atau setidaknya karena mulai
banyak warung makan sejenis yang bermunculan setelah warung makan kami. Meskipun
kami berupaya semaksimal mungkin, penghasilan dan perkembangan warung makan
kami tetap tak berubah. Kami jadi mulai berfikir apa karena letak warung makan
ini yang kurang diminati para pengunjung. Letaknya memang di jalan yang kurang
begitu ramai dilewati kendaraan pribadi, di sana lebih banyak angkot yang
berlalu lalang. Itupun hanya sekedar untuk mengisi BBM, karena letak warung ini
memang bersebelahan dengan SPBU, pom bensin pesisir.
Di tepian pom
bensin itu pula sebuah kenyataan kami terima, kala ibu terjatuh tak sadarkan
diri. Katanya ibu terlalu lelah, hingga kesehatannya yang baru pulih pasca
perawatan rumah sakit menjadi drop. Berangkat kejadian itu pula, praktis
keberlangsungan rumah makan dititik beratkan pada aku dan Ruby. Mbak Atin
memutuskan untuk merawat dan menemani ibu di rumah, sementara bapak berupaya
untuk mencari sumber penghasilan lain.
Kenangan
beberapa bulan terakhir itu seakan masih lekat di hati kami, aku dan Ruby.
Hingga di malam yang telah sepi dan berselimut angin dingin ini tak jua
menyurutkan kami untuk tetap bertahan. Membuka warung makan ini demi
pengorbanan yang pernah ibu tunjukan untuk terus membesarkannya. Kami tetap
bertahan di keheningan malam, di tepian pom bensin pesisir ini.
Sesekali aku
mengecek sumbu lampu petromak yang kami pakai sebagai alat penerang warung
makan ini, aku juga harus selalu memompa
angin di tabungnya agar sumbu itu terus berkembang dan menyala penuh. Sementara Ruby seperti biasa
terlihat sibuk dengan beragam bahan
dagangan. Cumi, udang, ayam, kepiting dan ikan memang harus terus dalam kondisi
beku terselimut es batu. Ini diupayakan agar mereka tak cepat busuk dan tetap
bisa untuk di olah. Begitu juga tomat, daun bawang, wortel, paprika, kembang
kol, mentimun dan kubis harus sering disiram air dingin, agar tetap segar pula.
Hasil pemeriksaan Ruby biasanya melahirkan rekomendasi pada upaya menyamarkan
kekurangsegaran bahan dagangan dengan mengolah mereka sebelum akhirnya terbuang
percuma. Seperti menggoreng ikan dan daging, atau mengolah sayur-sayuran yang
setengah layu menjadi soup atau cap cai kuah. Ini bisa untuk konsumsi kami atau
anggota keluarga nanti.
Mungkin itu
manajemen prihatin kami, jadi meski kami senantiasa memberikan yang terbaik
untuk para pembeli, kalau untuk konsumsi kami sendiri hanya dari barang-barang
yang tersisa atau kurang bagus kondisinya. Yaa, sebenarnya hal ini tak begitu
berbeda dengan manajemen pasar negara ini. Ketika beragam komoditi terbaik
negeri diperuntukan untuk ekspor sedangkan yang sedang dan biasa-biasa saja
untuk konsumsi dalam negeri. Apa mungkin negeri ini juga menerapkan manajemen
prihatin yah?
“Bagaimana
kondisi dagingnya, Rub?” tanyaku pada adiku yang masih sibuk memilah-milah
bahan dagangan.
“Kalau untuk
udang dan cumi, kelihatannya tahan sampai dua atau tiga hari lagi, Mas. Tapi
untuk kepitingnya, kelihatannya hanya sampai malam ini. Kalau malam ini
tak laku, besok harus kita masak…” ucap adiku serius memperhatikan asset
dagangan kami.
“Jam berapa
sekarang?” tanyaku kemudian.
“Paling masih
jam sembilanan, Mas…”
Aku
mengangguk-angguk meski isi kepalaku tengah berputar dan berfikir, “kalau ke
jam dua belas, masih ada tiga jam lagi Rub. Mudah-mudahan ada yang pesan
kepiting yah…”
“Iya nih Mas,
dari tadi sore baru ada yang pesen nasi goreng doang, Cuma satu lagi…,” Ruby
terlihat manyun menahan kesal. Memang seminggu terakhir ini usaha warung kami
memang tak berjalan mulus seperti waktu yang telah lewat. Kadang kami hanya
membawa pulang uang seadanya, itupun belum dipotong ongkos operasional minyak
tanah, angkut-angkut barang dan sumbu petromak.
“Sabar yah, ingat pesan Mimi khan? Ini juga
untuk biaya sekolah Ruby khan..”
Ruby diam
tersenyum simpul, meski sudah seringkali ia dengar kalimat itu, namun tetap
saja masih ampuh untuk membuatnya diam. Setelah kepergian ibu, kalimat-kalimat
ibu memang masih mengandung petuah tersendiri bagi kami. Setidaknya karena
kenangan sosok ibulah yang membuat kami semua merasa bertanggung jawab terhadap
apapun yang telah dikatakan ibu. Mungkin ada semacam kekuatan yang besar dalam
hati kami yang membuat setiap ucapan ibu seakan menjadi sabda dan amanah yang
harus kami pegang teguh.
Entah apa yang
terjadi malam ini, meski malam minggu yang katanya malam panjang namun kondisi
jalan Samadikun tempat kami berjualan seakan sepi sekali. Hampir tak ada mobil
atau kendaraan pribadi yang lewat dalam satu jam terakhir ini. Semuanya
hanya angkot dan becak yang berseliweran mengantarkan para penumpang yang entah
bertujuan kemana. Kondisi sepi seperti ini makin terasa di hatiku, ketika angin
malam berdesir menghantarkan dingin. Saat ini memang penhujung musim kemarau,
mungkin tak lama lagi akan berganti menjadi penghujan.
“Anginnya
dingin sekali ya, Mas?”
Aku mengangguk
perlahan seraya terus memperhatikan jalanan yang mulai sepi dari pejalan kaki,
waktu memang mulai merambat malam. Tak terasa pukul sepuluh terlewat sudah, itu
kudengar dari suara siaran berita radio daerah yang teralun dari radio
transistor Pak Sosro tukang tambal ban. Sudah tinggal dua jam lagi batas waktu
kami berjualan, tetapi kami belum mendapatkan pemasukan seperti yang kami
harapkan. Sesekali aku memperhatikan wajah adiku yang menatap kosong ke depan,
entah ia tengah memikirkan apa. Yang kutahu, ia memang kerap mengantuk dan terganggu
di ruang kelas karena berjualan sampai malam begini. Meski aku kerap
menyuruhnya memanfaatkan waktu sepi
pelanggan untuk tidur, namun adiku seringkali menolak. Tak enak katanya jualan
sambil tidur, bisa menolak rezeki. Melihat kesabaran dan keteguhannya,
membuatku terpacu untuk terus bersemangat berjualan meski dengan ketaknyamanan
seperti itu. Aku tak boleh mematahkan semangatnya mengais rezeki untuknya tetap
bisa bersekolah.
“Ujian
semeseteran kapan Rub?” tanyaku mencoba membuatnya untuk tidak terdiam dan
melamun.
“Masih dua
bulan lagi Mas, setelah itu Ruby sudah mulai mencari lokasi untuk praktek
lapangan,” katanya seraya beringsut dari duduk terpakunya.
“Ngga kerasa
yah, padahal baru kemarin kita berangkat sama-sama di SD Kebon Melati, kini
semuanya hampir selesai pada tingkat sekolah seperti yang kita inginkan. Mas
Harist selesai SMU setahun lalu, dan setahun depan tinggal kamu,” kataku
mengenang masa lalu.
“Iya, Mas.
Setidaknya apa yang telah diperjuangkan Mimi, sebentar lagi akan menjadi
kenyataan,” Ruby ikut terbawa suasana, pandangannya ikut menerawang jauh.
“Kalau saja
Mimi masih hidup, ia pasti akan senang melihat anak-anaknya dapat menyelesaikan
sekolah seperti yang diharapkannya,” kataku kemudian, “meski sejatinya
keberhasilan sesungguhnya bukan hanya sekedar lulus sekolah sampai SLTA, tetapi
setidaknya ini semua harapan Mimi sejak pertama kami kita masuk sekolah dasar…”
“Mas Harist mash ingat?” aku menoleh serius ke arah Ruby, “ dulu, Mimi sampai harus menjual baju kesayangannya
untuk dapat terus melanjutkan sekolah kita semua,” kalimat Ruby seolah menyadarkan
aku kalau peristiwa sepuluh tahun yang lalu itu seakan baru kemarin terjadi,
“meski Ruby belum tahu betul peristiwa itu, namun Mbak Atin sering menceritakan
itu pada Ruby. Dan itu membuat Ruby merasa wajib untuk terus tegar dan tak
putus asa menghadapi kekurangan ini.”
Aku tersenyum ke
arah Ruby, perlahan kupegang bahu adiku yang kini lebih tinggi lima centi meter
dariku itu. “Kamu benar Rub, pengorbanan dan pengabdian seperti itu tak boleh
kita sia-siakan. Ibu harus mendapatkan balasan yang setimpal dari kita semua.
Kita harus bisa membanggakan dan membahagiakannya meski hanya sebatas
melihatnya dari alam sana.”
“Iya Mas,
meski kini hanya doa yang bisa kita panjatkan untuk Mimi, namun Ruby tetap
bertekad untuk menunjukan kalau Ruby anak yang bisa berbhakti. Ruby ingin, Mimi tak pernah menyesal
melahirkan dan membesarkan Ruby…”
Kalimat itu,
aku sering memikirkan kalimat itu dalam hidupku. Kini hadir dari mulut adikku,
apakah Allah sengaja mengingatkan aku akan janji yang sering aku ucapkan untuk
ibu?
Aku hendak
menjawab ucapan Ruby, ketika seorang lelaki dengan tergesa-gesa datang ke arah
kami. Matanya agak nanar, entah apa yang terjadi. Yang jelas aku menangkap
aroma minuman beralkohol dari mulut lelaki yang datang tiba-tiba ini.
“Di sini jual
nasi goreng khan?” tanyanya.
“Iya Mas, mau
pesan?” jawabku mencoba menguasai keterkejutanku.
“Sssaya mau
lima bungkus, tolong dibuatkan. Nanti saya ambil, saya mau beli rokok dulu…,”
lelaki itu jalan terhuyung dan kembali meninggalkan warung kami.
Ruby menatap
bingung padaku, begitu juga aku ke arahnya.
“Laki-laki
tadi mabuk ya, Mas?”
“Iya,” kataku
setengah sadar, “apa perlu kita buatkan, Rub?”
“Dia ngasih
uang tidak Mas?” Tanya Ruby seakan menyadarkan keteledoranku, “kalau tidak
ngasih uang dp yaa ngapain dibuat Mas. Kita tunggu saja dia datang dulu Mas,
baru kita buatkan.”
“Tapi kalau
bener-bener pesan bagaimana, ngga enak mengecewakan pembeli Rub.”
“Yaa tapi khan
mencurigakan seperti itu.”
Aku bingung
dan tak bisa memutuskan apa-apa, hingga dua jam berlalu dan lelaki yang pesan
tadi tak juga datang. Namun ketika kami berniat akan tutup dan mengemasi barang
dagangan kami, lelaki yang memesan nasi goreng tadi datang lagi seraya mengajak
empat orang temannya.
“Sudah selesai
nasi gorengnya?”
“Eh jadi ya?
Saya fikir ngga jadi…” kataku sekenanya.
“Eeh, ini
orang ngga percayaan ya,” lelaki yang memesan tadi terlihat tak senang dengan
ucapanku, “kalau ngga percaya sama pembeli jangan berjualan!”
Kalimat lelaki
ini terdengar kurang enak , namun aku mencoba untuk tak mengambil hati. Kuambil wajan penggorengan untuk segera
meracik nasi goreng pesananya. Namun belum selesai bumbu nasi goreng teracik,
tiba-tiba dua orang dari mereka menunjukan sikap arogannya. Kaki mereka
menendang kursi dan meja kayu tempat pelanggan makan, beberapa piring dan gelas
yang tertata nampak terhambur dari tempatnya.
“Wei sopan
dong, kalau mau dilayani dengan baik!” Ruby yang sedari tadi sudah menahan diri
lepas kendali.
“Apa, ngga
terima?!” lelaki yang bertubuh lebih besar Nampak menghampri Ruby seraya
mengepalkan tinjunya, “sini kamu!!”
“Mas, Mas
sabar Mas,” kataku mencoba menahan pertengkaran, “ini nasinya sedang
dibuatkan…”
“Ngga perlu,
saya ngga senang ada orang ngomong keras sama saya!”
“Lho, siapa
yang keras duluan. Bukannya kalian yang kurang sopan pake acara nendang-nendang
meja kursi!!” Ruby tetap tak mau diam. Suaranya makin keras menandingi ucapan
lelaki bertubuh gempal itu.
“Jadi kamu
benar-benar nantangin berkekahi yaa…”
“Kamu yang
mulai, kenapa saya harus takut!”
“Rub, Rub
jangan Rub,” ucapku mencoba menahan adiku yang sudah tak terkendali untuk maju
menghadapi lima orang lelaki yang mabuk itu.
“Ngga Mas,
biar saya kasi pelajaran orang kurang ajar ini!” Ruby makin maju merangsek dan
mendekati lima orang lelaki itu, “jangan kamu fikir karena kalian berlima saya
takut ya! Ayo sini, saya ajari kalian sopan santun…”
“Eeh,
benar-benar ngelunjak kamu! Nih rasakan!!!” lelaki bertubuh gempal itu
melayangkan tinjunya ke arah Ruby, namun detik itu juga Ruby menagkis dan balas
meninju bagian perutnya.
WUUT!!!
Bugh!!! Sebuah tendangan lebih keras mampir ke tubuh lelaki mabuk tadi. Setidaknya Ruby memang belajar beberapa jurus Pajajaran dan Tapak Suci[1],
dan rupanya saat inilah ia praktekan. Melihat temannya terkena tinju, yang lainnya mulai bertindak.
Perkelahianpun jadi benar-benar tak imbang. Ruby menghadapi lima orang
sekaligus. Beberapa kali tendangan dan pukulan di terima oleh adiku seperti
juga beberapa pukulan dan tendangan berhasil membuat beberapa orang lelaki
mabuk itu roboh. Seseorang nampak tak senang melihat Ruby gesit mengelak dan
berhasil membalas, ia mengeluarkan pisau dari balik bajunya dan berusaha
menikam adiku dari belakang. Saat seperti itulah aku tersadar dari bingung dan
diamku. Segera kuangkat wajan yang masih berisi minyak panas untuk menggoreng
telur, dan menyiramkan ke arah lelaki berpisau tadi. Seketika ia menjerit dan
melepaskan pisaunya.
“Awas Mas,
hati-hati!!!” teriak Ruby dari arah belakangku.
Belum sempat
aku berbalik, seseorang berhasil memukulkan sebatang kayu kaso ke kepalaku.
Darah segar mengalir deras dari kepalaku, pandangaku pun mendadak nanar. Namun
aku masih bisa bergerak dan melihat lelaki yang memukulkan kayu ke arahku. Saat
itulah secara reflek kuambil pisau besar yang sering kupakai untuk meracik
bumbu masakan, lalu meyabetkannya ke arah lelaki yang kini berada tepat di
depanku.
BRETT!!!
Pisauku merobek baju dan kulit perut lelaki berkayu kaso itu, darah segar juga
mengalir deras dari tubuhnya. Saat itulah beberapa orang pemuda nampak
berlarian menghampiri kami. Pandangan mereka beringas dan memburu ke arah kami
dengan jumlah lebih dari sepuluh orang. Aku yang sudah tak tahan menahan sakit
di kepala langsung jatuh dan ambruk tak sadarkan diri. Dan tak tahu lagi apa
yang terjadi kemudian.
“Itu Haristnya
sudah siuman!” sebuah suara terdengar di telingaku. Samar-samar kulihat pula
wajah bapak dan saudara-saudaraku, mereka nampak mengelilingiku.
“Bagaimana
Rist, masih terasa sakit?” suara Mbak Atin terdengar.
“Iya,
bagaimana Rist?” bapak melanjutkan pertanyaan.
Aku memejamkan
mataku sesaat, mencoba untuk menjawab dan mengingat apa yang telah terjadi.
“Ruby! Ruby, mana Ruby?!” kataku seketika.
“Ngga apa-apa,
tenang aja. Ruby ngga apa-apa, Rist!”
“Mereka
berlima pak, berlima dan bersenjata tajam…”
“Semuanya
sudah diurus yang berwajib,Nak. Mereka memang anak-anak muda yang biasa mabuk
dan meresahkan masyarakat, “ bapak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Dari bapak juga baru aku tahu kalau saat malam itu sebenarnya tengah
berlangsung tawuran antara pemuda
kampung Pesisir dan pemuda kampung Samadikun. Beruntung, kami tak terlibat
terlalu jauh dalam tawuran itu, karena pak Sosro yang kebetulan terbangun dari
tidur langsung membawa dan menolong kami. Kampung Pesisir dan Kampung Samadikun
memang kerap terlibat konflik. Ini sudah berlaku lama sekali, jauh sebelum kami
lahir. Entah apa awal mulanya, yang jelas dalam setahun tawuran itu bisa dua
atau tiga kali terjadi. Beruntungnya, ketika hal itu terjadi kami tak menjadi
korban. Nasiiib nasib, uang ngga dapat,
malah kepala bocor karena tawuran. Namun meski begitu aku tetap bersyukur,
karena aku dan Ruby berhasil diselamatkan.
Setelah
kejadian itu, kami berniat memindahkan lokasi berjualan kami,
namun karena satu dan lain hal warung kaki lima itu malah tak beroperasi sama sekali. Bapak memutuskan untuk
menutupnya. Dengan pertimbangan ujian
semesteran Ruby yang sudah dekat serta waktu kerja bapak di hotel yang hampir seharian, warung kaki lima itupun tutup. Tinggalah aku
menjadi pengangguran kembali dan berjuang untuk mencari pekerjaan demi masa
depanku.
******