Dua Puluh Satu
Mekkah Al Mukaromah, saat haru memendam rindu...
Pukul setengah tiga pagi! Yah, di waktu yang masih temaram itu, roda bus kami telah mulai memasuki Kota Mekkah. Mulai memasuki jalan-jalan yang kanan kirinya dipenuhi pertokoan dan pemukiman. Namun Ka’bah dan Mesjidil Haram yang menjadi tujuan kami belum terlihat. Hanya saja di waktu yang masih sangat pagi itu, aktifitas para penduduknya sudah begitu terlihat. Entah ini penduduk asli, atau juga para jamaah haji yang telah lebih dahulu datang ke tanah suci ini. Untuk yang berasal dari Indonesia, biasanya mereka para jamaah yang masuk gelombang II, sehingga tidak turun di Bandara Prince Abdul Azeez Medinnah namun di Bandara King Abdul Azeez. Sehingga mereka telah tinggal di Mekkah beberapa hari yang lalu. Mereka yang masuk gelombang II ini akan tinggal di Mekkah hingga waktu jumratul nanti dan baru akan berangkat ke Kota Medinna setelahnya. Sementara kami yang telah selesai dari Kota Medinna akan langsung kembali ke tanah air.
Aku mengucek mataku yang terpicing dari bangun tidur ini. Samar-samar aku melihat kalau rinai hujan membekas di kaca jendela. Subhanallah, Mekkah baru saja di guyur hujan rupanya. Pantas sekali udara malam yang dingin semakin terasa dingin. Hujan adalah rahmat, dan itu terasa sekali untuk jazirah Arab ini. Karena mereka memang jarang sekali mendapatkan hujan. Hujan akan menggemburkan tanah, hujan akan melembabkan tanah, hujan akan menyuburkan tanam-tanaman yang ada di atasnya. Dan itu merupakan anugerah terbesar untuk siapa saja yang ada di atasnya. Meskipun hujan sekali waktu memberikan bencana, namun tetap saja kita memandangknya sebagai rizki. Sebab sebenarnya tak mengakibatkan keburukan seperti itu, ia beralih memberi bencana karena kita yang berada di atas bumi senantiasa merusak dan tak menjaganya. Sehingga tanah-tanah yang dulu bersahabat ketika datang hujan, berubah menjadi banjir dan longsor karena ulah sembrono kita sendiri.
Hujan tetap rahmat! Demikian orang-orang Arab berkias pada kami, apapun resiko yang diterima karena hujan. Di Arab, sejarah banjir memang tak banyak. Bahkan Ka’bah-pun tergenang air setinggi paha orang dewasa hanya terjadi sekali sepanjang umurnya. Namun bukan berarti hujan tak mendatangkan bencana di gurun tandus seperti jazirah Arab ini. Sekai waktu karena curahnya yang lebat, hujan yang turun malah melongsorkan bebatuan di pegunungan yang tandus itu, hingga menghancurkan dataran dan perkampungan yang ada di bawahnya. Namun sekali lagi, hujan tetap rahmat bagi seisi alam. Dan itu terpatri kuat di orang-orang Arab ini. Mereka begitu senang menyambut hujan yang jarang datang dalam setahun itu.
”Tapi biasanya, hujan turun bila ada hal-hal yang besar terjadi di tanahsuci ini, Mas,” Roni berpendapat lain.
”Hal-hal besar bagaimana maksudnya Ron?” Pak Nasrulah yang selalu gampang penasaran bertanya.
”Yaa itu, seperti ada kecelakaan, atau ada hal-hal yang kurang enak di dengar...”
”Masa sih? Aku koq baru dengar yaa?” Pak Apendi ikut nyambung, ”bukannya pendapat ’hujan adalah rahmat’ sangat diagungkan di tanah suci ini?”
”Betul, tapi biasanya hujan yang turunya jarang itu karena ada hal yang luar biasa di sini, seperti tragedi Mina puluhan tahun yang lalu, atau gugurnya para jamaah di pelataran Baitullah atau apalah gitu...” Roni menjelaskan panjang.
”Ini berita sungguhan, atau hanya pendapat sebagian orang saja Ron?” giliran Pak Edi sang Ketua Regu ikut nyambung. Pembawaannya yangsantai memang tak pernah menganggap hal kecil serius dalam hidupnya. Namun entah mengapa perihal hujan ini sepertinya memberikan ketertarikan tersendiri baginya.
”Yaa pastinya saya ngga tahu Pak, itu juga apa yang saya dengar dari beberapa orang yang pernah ke tanah suci sebelum kita ini,” Roni mulai mengendurkan intonasinya.
”Tapi apa yaa mungkin seperti itu, yaa pak Karom?” Pak Nasrullah malah bertanya pada Pak Daja yang memang telah lebih dahulu ke tanah suci empat tahun yang lalu.
”Bisa jadi, tapi yaa gitu, saya juga ngga begitu yakin. Pokoknya begini saja, yakini saja apa yang telah tertulis pada kitab qur’an dan hadist bahwa hujan itu adalah rahmat. Adapun dampak lain yang terjadi, anggap saja sebuah kekecualian yang dikarenakan kita sendiri sebagai manusianya..”
Semua diam, terbawa pada fikiran masing-masing. Sementara bus yang bergerak melambat mulai memasuki perkotaan dengan gedung-gedung pencakar langit. Ada salah satu yang menautkan mata kami semua, yakni gedung dengan menara menjulang tinggi dan jam raksasa yang tertanam di salah satu dindingnya. Wajahnya yang hijau berkilauan membuat kami ingat akan menara Green Dome Medinnah.
”Itu jam besar yang akan menjadi tanda areal terdekat dengan Mesjidil Haram,” Pak Raswan datang dari bangku depan menjelaskan. ”Karena pertumbuhan pembangunan perkotaan yang makin maju, Mesjidil Haram yang dulunya merupakan bangunan termegah dan tertinggi, kini posisinya hampir tertutup. Untuk yang belum pernah ke tanah suci, pasti kerepotan untuk mencari tanda letak Mesjidil Haram. Nah dengan jam raksasa yang bisa terlihat dari seluruh penjuru Kota Mekkah, maka siapapun akan bisa mengenali arah dan letak Mesjidil Haram.... ”
”Oh begitu ya Pak,” Pak Nasrullah terlihat manggut-manggut.
”Naah berhubung kita sudah mulai memasuki Kota Mekkah, mari bersama-sama kita membaca doa memasuki Kota Mekkah. Pak Apendi bisa memimpin?” tanyanya pada lelaki berbadan kukuh dan berjanggut itu.
”Insya Allah, Pak...” jawab yang ditunjuk. Kemudian dengan perlahan iapun beranjak dari tempat duduknya dan berdiri di antara lorong bus rombongan dua ini untuk memimpin doa memasuki kota Mekkah.
”Baik, setelah ini kita akan mulai menuju pondokan kita yaitu di daerah Bakhutmah, sektor 49. Tolong Bapak-bapak dan Ibu-ibu perhatikan betul-betul jalannya yaa, karena nanti sebagian besar waktu kita akan dihabiskan di maktab tersebut....”
”Baik Pak...”
Beberapa menit berlalu, rombongan bus dari Kloter 37, Kota Cirebonpun mulai berhenti di barisan penginapan dengan berbagai nomor. Nomor rumah inilah sebetulnya yang harus kami hapalkan. Karena kalau nama daerah Bakhutmah atau sektor 49, jatuhnya sangat luas. Bisa seluas tiga atau empat kecamatan kalau di Indonesia. Dan inilah yang membuat kami semua agak kebingungan ketika menjalani kehidupan sehari-hari di tanah suci. Belum lagi angkutan umum yang selalu berubah rute ketika membawa kami ke Mesjidil Haram. Maklum saja, karena angkutan umum di sini biasanya mobil pribadi yang disulap menjadi angkutan umum di musim haji, sehingga trayeknya memang suka-suka si supir. Kondisi yang sedemikian juga bisa merupakan kendala tersendiru bagi kami yang benar-benar belum tahu tanah suci dan tak mengerti bahasa sehari-hari mereka. Di tambah sebagian besar mereka yang tak mau berbahasa Inggris, membuat kami memiliki kesulitan. Jika sudah begini, kami disarankan untuk berangkat beramai-ramai atau menghindari jalan-jalan sepi atau asing.
Satu per satu para jamaah haji asal Kota Cirebonpun mulai turun dari jok duduk mereka. Perjalanan yang panjang dan melelahkan membuat sebagain besar dari kami terlihat begitu melelahkan. Meskipun sebetulnya kami semua hanya duduk dan tidur di bus kami, namun kelelahan dan kepenatan memang tak bisa dipungkiri sebagian besar kami. Aku jadi berfikir bagaimana orang-orang dulu ketika berhaji, katanya mereka tak menggunakan bus, alias jalan kaki atau naik onta. Terbayang bagaimana susahnya mereka. Tapi itulah, tak ada ketulusan dan keikhlasan dalam kesusahan, selain karena pahala besar yang akan diraih dari sebuah perjalanan haji. Dan semakin berat ujian yang ditempuh, sejatinya semakin besar pahala yang kelak diperoleh. Namun apakah hal itu berlaku bagi jamaah haji sekarang ini? Entahlah, hanya Allah yangtahu segala isi hati kami.
”Mestinya kita khan ngga perlu istirahat lama-lama di km 98, jadinya datang terlambat seperti ini,” seseorang terlihat kesal dengan kedatangan yang terlambat. ”Tuh lihat, jamaah yang lain mah sudah bisa langsung thowaf dan melepaskan ihram, lhah kita baru datang begini...”
”Sudah, sudah Pak...,” seseorang nampak menenangkan lelaki yang tengah berkeluh kesah itu, ” yang penting khan sekarang kita sudah sampai...”
”Iya, tapi karena terlambat seperti ini, kita khan tidak bisa langsung thowaf....”
”Ya langsung berangkat sekarang juga bisa koq, Pak!”
”Dengan badan yang sudah loyo begini, jangan nagco deh....!”
Aku melirik Pak Daja yang sedari tadi senyam-senyum ke arahku. Entah apa maksudnya, yang jelas ada kesan yang kurang baik dari senyum seperti itu. Dengan menjinjing tas tentengan kuhampiri ketua rombongan dua itu. Aku penasaran apa maksud senyam-senyumnya itu, apalagi sekarang Pak Edi sang ketua regu ikut-ikutan begitu.
”Ada apa sih Pak?” tanyaku.
”Hehehe..., ngga ada apa-apa Pak Harist,” katanya seraya melirik ke arah Pak Edi.
”Lha itu koq senyam-senyum begitu, ada yang salah yaa Pak?”
”Ngga, saya cuma lucu saja melihat Pak Harist serius sekali memperhatikan Pak Sersan itu,” panggilan Pak Daja pada lelaki yang kesal tadi.
”Memang saya kenapa Pak?” aku masih bingung dengan ucapan Pak Daja.
”Begini Pak Harist, Pak Sersan itu memang begitu kebiasaannya, jadi jangan terlalu dianggap serius setiap ucapan dan keluhannya..” Pak Edi membantu menjelaskan.
”Bukan begitu Pak, saya hanya heran saja, bukanya kita ini sedang berihram, koq tak menjaga lisan begitu...” kataku yangtak sadar malah terjebak dengan bergunjing.
”Ssh shshs.... sudah, sudah. Nanti malah mengunjingkan orang lain lho!” Pak Apendi segera memotong aktifitas tak berguna seperti ini.
”Astaghfirullahalladziim...,” ucapku menyadari kekeliruan. Dalam berihram sebaiknya kita memang tak perlu banyak bercakap-cakap atau mengobrol, karena akan terjebak pada obrolan yang . kurang penting. Sebaiknya memperbanyak talbiah agar bisa menjaga hati untuk tetap istiqomah dengan tujuan awal ke tanah suci. Tapi yaa itu, godaan ke arah sana memang begitu besar. Dalam setiap menit dan setiap jam ada saja yang memancing lisan kita untuk sekedar berkomentar. Kalau sudah begini, benar juga pendapat salah satu rekan kami, lebih baik tidur dari pada melek tapi bercakap yang ngga perlu. Hehehehehe, tapi tidur terus juga pusing khan?
Lima belas menit berlalu, setelah dibagikan karet gelang berinisial maktab dan kartu khusus jamaah haji kamipun telah menempati kamar masing-masing. Sebagian besar dari kami ada yang langsung tidur dan merebahkan tubuh mereka di dipan berbaris di setiap kamar. Rata empat sampai enam per kamar, dengan kondisi seperti itu, lebih mirip barak dari pada hotel sebetulnya. Sebagian lagi menyegerakan untuk melakukan thowaf agar bisa segera menyelesaikan amalan umroh. Sesuai syar’i setelah niat umroh, kita memang menyegerakan thowaf di baitullah, melakukan sai, dan kemudian tahalul sebagai penutup rangkaian umroh. Setelah itu, segala larangan yang berkaitan dengan adab memakai ihram gugur. Untuk alasan yang satu inilah, mengapa sekian banyak jamaah haji, tak membarengkan antara umroh dan haji. Salahsatu alasan yang sering terdengar yakni, takut tak sanggup menahan adab memakai pakaian ihram, karena dengan membarengkan umroh dan haji berarti memakai ihram dalam waktu yang cukup lama. Namun bukan berarti tak ada yang melakukan, di musim haji ini banyak juga yang melakukan hal itu.
Sebagian besar regu lima dari rombongan dua bermaksud menyegerakan thowaf dan sai umroh agar segera bisa tahalul dan menyelesaikan amalan wajib umroh. Oleh karena itu akupun segera menyiapkan diri untuk ikut regu dan rombongan. Awalnya kami jalan bersama secara kelompok menuju baitullah, dengan patokan jam besar yang kami lihat sewaktu baru memasuki Kota Mekkah. Beberapa ruas jalan kami lewati untuk menuju patokan jam yang terlihat dari berbagai penjuru Kota Mekkah itu. Dari sektor 49 kami bergerak ke sektor 48, hingga akhirnya bertemu dengan pusat segala kegiatan haji, Mesjidil Haram.
Di suasana yang masih pagi itu, ternyata tak menyurutkan ribuan jamaah haji untuk menunaikan ibadah mereka. Terbukti begitu banyak orang yang berjalan memadati ruas jalan yang menuju Mesjidil Haram. Lebih dari satu kilo meter, ruas jalan dipenuhi para pejalan kaki dengan kain-kain ihram mereka. Tinggi rendah, kulit kuning, coklat, putih, dan hitam berbaur dan bergegas menyegerakan diri untuk segera sampai di Mesjidil Haram. Dari tempatku berjalan sosok bangunan itu sendiri belum terlihat jelas, karena masih terhalangi berbagai bangunan apartemen dan plaza yang melingkupinya. Apartement dan pertokoan tersebut menjadi indikator bahwa semakin tahun, baitullah semakin banyak di kunjungi oleh para peziarah dan jamaah haji. Tercatat beberapa hotel besar juga berdiri di sini, salah satunya yang memiliki jam raksasa yang berdiri tepat di depan Mesjidil Haram.
”Ayo langkahnya agak dipercepat ibu-ibu!” suara Pak Daja nampak mengomando kami.
Kamipun segera bergegas mempercepat langkah kami. Entah kami terlalu bersemangat, atau memang Allah ridho dengan niat kami. Yang jelas perjalanan yang panjang dan melelahkan yang baru saja kami lakukan tak lagi terasa saat ini. Yang ada di fikiran kami hanya satu saat itu, segera sampai di pelataran Mesjidil Haram dan berthowaf di baitullahnya. Oleh karena itu, kami tak merasakan lelah dan penat dalam diri kami. Masing-masing dari kami malah makin mempercepat langkah kami dengan penuh semangat. Tak terasa langkah kaki kamipun mencapai batas terluar dari deretan hotel dan pertokoan ini. Detik berikutnya, mata kamipun bertautan dengan bangunan pualam putih dengan cahaya lampu ribuan watt yang berbinar di sekelilingnya. Dengan pintu gerbang berbias emas dan tinggi menjulang, makin menunjukan keagungan dan keindahan bangungan yang selama ini hanya ku lihat dari layar kaca atau gambar.
Sesaat kuperhatikan pintu-pintu tinggi berwarna emas itu, begitu kokoh dan gagah. Beberapa orang jamaah nampak berebutan memasuki pintu-pintu itu. Di pagi yang masih dini itu, ternyata tak menghalangi semangat mereka memasuki rumah Allah ini. Subhanallah, itukah Mesjidil Haram? Itukah mesjid teragung di dunia dengan ganjanran seratus ribu per rokaatnya?
”Audzubillahil azhim wa biwajhihil karim wa sulthanihil qadim minasy-syaithanirrajim. Bismillahi was-shalatu wa-salamu ’ala rasulillah. Allahummaghfir dzuubi waftah li abwaba rahmatik...”[1] kulafadzkan doa masuk mesjid yang agung ini penuh khusyuk.
Perlahan kulangkahkan kakiku menuju batas pelataran pualam putih yang terhampar di depan bangunan agung ini. Dengan melangkahkan kanan untuk pertama kali, akupun mulai mendekati pintu yang diperebutkan oleh sebagian besar jamaah itu. Babus Salam, demikian nama yang tertera di atas tiang bertahta emasnya. Kanan kiri, depan belakang, jamaah semua kini. Aku terjepit diantara tengah-tengah badan jamaahhajiyang tinggi besar. Ukuranku yang hanya dua pertiga mereka membuatku agak sulit untuk bergerak. Beruntung hal itu tak berlangsung lama, hanya beberapa menit. Kini tinggalah kakiku melangkah di bagian dalam dari bangunan yang bertaburan lampu berlapis emas itu. Suasananya yang teduh dan sejuk dengan dinding plafon yang menjulang tinggi membuat siapapun akan merasa nyaman di dalamnya. Karpet-karpet tebal dan lembut nampak terhampar di hampir seluruh lantai marmer. Sementara barisan galon-galon zamzam juga menghiasi setiap jengkal dari bangunan yang bernuansa ke emasan serta abu-abu muda ini.
Sesekali pandanganku terpaut pada lampu-lampu gantung yang bertahtakan emas di atasku, meski kakiku terus melangkah menyusuri koridor tengah dari bangunan ini. Beberapa jamaah sudah tak terlalu padat seperti waktu masuk bangunan, namun juga tidak longgar. Setiap petak marmer telah dipadati jamaah yang tengah sujud, berdzikir dan murotal dengan qur’an mereka. Sementara ruas jalan yang berbalut karpet karet disesaki para jamaah yang masih mencari shaf, atau maju ke bagian tengah bangunan. Aku berada diantara para jamaah ini. Bergerak terus untuk menuju ke bagian tengah bangunan, dan menuju satu titik untuk thowaf ; Ka’bah.
Lima belas menit dari aku masuk berlalu sudah, kini setapak demi setapak kakiku mulai menuju split level lantai marmer. Setapak demi setapak itu bagaikan menanti saat terbesar dan teagung dalam hidupku, setapak demi setapak itu seakan menggelorakan rasa rindu yang telah sekian lama terpendam. Yah, setapak demi setapak kakiku kini tegak lurus dengan benda berselimut kiswah hitam. Benda kubus yang begitu kukuh dan teguh dengan ribuan umat yang tengah berthowaf dengan lantunan doa-doa. Benda yang bersemu kecoklatan dengan garis-garis putih di sekelilingnya itu tengah diperebutkan ribuan manusia dengan sekian histeria hatinya.
Ka’bah. Benda kotak itu adalah Ka’bah. Benda hitam itu adalah baitullah, benda yang pernah hadir di impian masa laluku. Benda yang selalu saja membunuh rasa raguku akan kebesaran karunia-Nya. Benda yang setiap saat mengingatnya, membuat tubuhku merinding dan kelu, karena kesadaranku dan ketaklayakanku berada di dekatnya. Tapi kini, aku berada tepat di depannya. Dari jarak seratus meter ini, aku melihat begitu tegas tiap sudut dan garisnya. Segera kuraih buku saku yang tergantung di leherku, kubuka dengan cepat lembar yang memuat doa melihat Ka’bah.
”Allahuma zid hadzal baita tasyrifan wa ta’dziman wa takriman wa mahabatan wa zid man syarrafahu wa karramahu mimman hajjahu awi’tamarahu tasyrifan wa ta’dziman wa takriman wa birran...[2]
Yaa Allah, kuatkan langkah kaki dan hatiku untuk bisa berthowaf dan mendekap baitullah-Mu...”
Detik berikutnya, segera keeratkan lipatan ihram di tubuhku, memastikan kalau dua lembar kain putih itu tak akan lepas dari tubuhku. Aku juga memastikan kalau aku telah melakukan idthiba’[3] yang merupakan syarat ihram laki-laki ketika melakukan thowaf. Kemudian dengan mengagungkan asma-Nya, kumulai langkah kakiku menapak di pelataran pualam terdekat dari batu mulia itu. Mengawali langkahku dengan mencari sudut Hajar Aswad, karena dari sanalah hitungan thowaf dimulai. Mungkin karena aku salah menyusuri lorong karpet karet, sehingga aku tak tepat berada di sudut batu kemulyaan itu. Aku harus bergeser sekitar lima belas meter ke arah lampu hijau di ujung pelataran yang menjadi tanda tegak lurusnya Hajar Aswad. Untuk jarak biasa, lima belas meter memangtak seberapa, namun untuk pelataran baitullah, itu berarti membutuhkan perjuangan sepenuh hati untuk menembus ribuan orang yang berlawanan arah.
Beberapa saat kemudian setelah aku berjuang penuh, sampailah aku di lampu hijau yang merupakan posisi tegak lurus dari Hajar Aswad. Dengan melambaikan tangan dan mengecupnya, akupun memulai hitungan pertama thowaf umroh ini.
”Bismillahi Allahuakbar...”
Pada putaran awal thowaf ini, aku merasakan kekuatan dan semangat yang begitu besar dari tubuh ini, hingga desakan ribuan jamaah tak lagi menghalangi langkahku untuk mengelilingi Baitullah. Namun pada putara ketiga dan selanjutnya, aku merasakan gemuruh di lubuk hatiku, membuat sebagian lutut dan kakiku gemetar. Ditambahi desakan ribuan jamaah haji yang makin deras , membuatku nafasku terasa sesak. Pandanganku berkunang-kunang, merasakan sedikitnya oksigen yang dapat kuhirup saat itu. Sejenak aku mendongakkan wajahku ke atas. Ini kumaksudkan agar aku bisa menghirup oksigen lebih baik. Di saat seperti itulah, hatiku menjerit tertahan merasakan ketaklayakanku untuk berdekatan dengan batu mulia-Nya. Perlahan-lahan hatiku berucap pasrah dengan apapun yang akan terjadi....
”Yaa Allah, aku datang dari negeriku yang jauh semata-mata karena aku berharap menjadi tamu-Mu, berjalan di titian cinta-Mu. Jika Engkau ridho dengan niatku itu, permudah langkahku untuk menyelesaikan thowafku ini yaa Rabb...”
Seketika aku merasa ada udara sejuk yang berdesir dan mengalir di seputar wajahdan kepalaku. Aku merasakan ada semangat baru yang dihembuskan ke hati dan jiwaku. Mungkinkah Allah berkenan dengan doaku, dan ridho dengan ikhtiar cintaku di jalan-Nya. Dengan segera akupun bergegas mempercepat langkahku untuk kembali memutari Baitullah. Melintasi Hijir Ismail, Rukun Yamani, Hajar Aswad, Pintu Multazam, Maqom Ibrahim dan terus hingga putaran-putaran selanjutnya.
Beberapa doa yang idealnya kubaca di setiap putaran, berubah menjadi doa sapujagat dan tasbih di setiap langkah kakiku. Semoga Allah ridho dengan keterbatasnku itu.
”Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ’adzaban nar...”[4]
Putaran ke enam berlalu, tinggalah putaran terakhir di thowaf umrohku. Beberapa bagaian mustajab juga terlewati sudah, namun satupun belum ada yang ku sentuh. Aku selalu saja gagal dan terdorong jauh ketika mendekati, Pintu Multazam, Maqom Ibrahim, Hijir Ismail, Rukun Yamani, apalagi Hajar Aswad, serasa begitu sulit sekali ku raih. Namun di putaran ke tujuh ini, tiba-tiba semangatku kembali bergelora, betapa inginnya tubuh kotor ini bersentuhan dengan bagian-bagian suci itu.
”Yaa Allah, hamba sadar dengan debu dosa dan kehinaan di tubuhku, namun izinkan tubuh kotor ini menyentuh bagian-bagian suci dari baitullah-Mu ini... yaa Rabb, izinkanlah...” aku terus berdoa dan memohon agar Allah memudahkan ikhtiarku menggapai bagian-bagian mulia dari baitullah.
Sekali lagi, dan memang Maha Pemurah Allah atas segala permohonan setiap hamba-Nya. Tak peduli tubuh kotor sepertiku. Detik pertama kuucapkan permohonanku, detik berikutnya langkahku begitu di permudahkan oleh-Nya. Aku mampu menerobos sekian banyak tubuh-tubuh jamaah yang berukuran hampir dua kali tubuhku. Menerobos barisan mereka, ketika celah diantara mereka terbuka. Dengan segera kugapaikan tangaku pada menara emas yang berbalut kaca bak lampu kristal. Itu Maqam Ibrahim, darinya setiap jamaah haji melakukan sholat sunah dan berdoa untuk memanggil siapa saja yang dikasihi untuk menjadi tamu-Nya. Aku bersyukur bisa menyentuh dan mendekapnya. Meski tak sempat aku sholat di sisinya, namun masih bisa berdoa ketika mendekapnya, yakni memanggil isteriku, orang tuaku, dan saudara-saudaraku untuk bisa menjadi tamu-Nya di kesempatan mendatang.
”Yaa Allah, kumpulkan mereka semua di sini, kumpulkan mereka semua menjadi tamu-Mu dengan kasih dan sayang-Mu....”
Kemudian kulanjutkan langkah kakiku, lebih mendekat ke arah Hijir Ismail, Rukun Yamani dan akhir putaran mendekat ke arah Hajar Aswad. Namun untuk yang terakhir ini, aku benar-benar tak mampu menguasi gelora di hatiku, betapa inginya aku mendekat dan mencium batu syurga itu. Gelora yang sedemikian itu membuyarkan akal sadarku, kalau kecilnya tubuhku tak sebanding dengan ratusan jamaah haji lain yang berbadan besar yang tengah berebut untuk mencium batu berbingkai perak itu. Sekali, dua kali, hingga tiga kali, langkahku kembali terganjal oleh puluhan tubuh tinggi besar yang seakan menjaga batu mulia itu. Hingga akhirnya aku pasrah untuk kegagalanku mendekap dan mencium Hajjar Aswad. Masih ada kesempatan lain, demikian fikirku sehingga memadamkan keinginanku.
Mengobati rasa kecewaku, aku bergeser ke arah kanan dari Hajjar Aswad dan kini berdiri tepat di depan pintu Multazam. Aku berdiri tegak dan menatap penuh haru di posisi itu. Gemuruh rasa syukur dan tangis di hati menyergapku saat itu. Betapa tubuh yang penuh noda ini mampu berada di tataran suci-Nya. Mampu berdiri di bagian paling mustajab dari Baitullah untuk berdoa. Segera kulantunkan dzikir dan salam bagi kebesaran Allah dan Rasull-Nya, kemudian memulai dengan sekian banyak doa. Melanjutkan dengan rengekan seribu permintaan, tanpa ada lagi rasa malu. Biarlah Allah yang menilai semuanya itu, yang jelas memang inilah aku. Hamba-Nya yang selalu saja tak tahu diri dengan permintaan yang tak berbanding lurus dengan kualitas ibadahku.
”Yaa Allah.... terima kasih atas berkah-Mu, hingga aku kini berada di depan pintu Multazam-Mu...”
*******
Usai tujuh putaran thowaf, kulangkahkan kakiku menuju areal belakang Maqom Ibrahim untuk melaksanakan sholat sunah thowaf. Pada rakaat pertama sesuai buku saku panduan haji dan umroh, aku membaca Surat Al-Kafirun setelah Surat Al-Fatihah sedangkan untuk rokaat kedua, aku membaca Surat Al-Ikhlas setelah membaca Surat Al-Fatihah. Kemudian usai dua rokaat sholat sunat thowaf, kulangkahkan kakiku menuju keran-keran zam-zam yang berada di sisi pelataran baitullah. Mengantri untuk mengambil gelas plastik dan meminum zam-zam dengan benda itu.
”Allahumma inni as-aluka ’ilman nafi’an wa rizqon wasi’an wa syifa’an min kulli da’in wa saqomin...”[5]
Untuk meredakan lelah dan dahagaku, sengaja aku meminum air zamzam dingin itu hingga tiga kali dan mengguyurkannya ke atas kepalaku. Kemudian kulanjutkan langkah kakiku untuk mendaki bukit Shofa dan Marwah untuk melaksanakan sa’i. Berjalan penuh semangat setelah meminum air zamzam membuatku segera menemukan puncak bukit Shofa. Perlahan kulafadzkan doa mendaki bukit sejarah awal ditemukannya air zamzam itu ;
”Innas shafa wal marwah min sya’airillah...”[6]
Kemudian kulanjutkan doa untuk memulai sa’i ketika berada tepat di puncak bukit itu dengan mengangkat tangan dan menghadap kiblat.
”Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illalahu wahdah la syarika lah. Lahul mulku walahul hamdu wa huwa’ala kulli sya’in qadir. La ilaha illallah wahdah anjaza wa’dah, wa nashara ’abdah, wahazamal ahzaba wahdah....”[7]
Usai membaca doa tersebut, akupun langsung memulai sa’i dengan turun dari bukan Shafa menuju Marwah. Akupun tak lupa untuk berlari kecil ketika sampai di batas lampu hijau diantara keduanya dengan membaca doa ;
”Robbighfir warham watajawaz ’amma ta’lam innaka antal a’azzul akrom...” [8] kemudian melanjutkan jalan cepatku menuju bukit Marwah terus mengulanginya hingga tujuh kali sebagai syarat syah sa’i. Berbeda dengan thowaf, pada saat sa’i tidak lagi berdesak-desakan. Ruang untuk berjalan cepat juga tersedia sangat lebar meski jamaah sedang padat-padatnya. Karena pada saat sa’i tidak ada lagi perebutan untuk menggapai bagian-bagian mustazab seperti pada saat thowaf di baitullah. Hanya dengan jarak yang lumayan panjang, tujuh kali bolak balik Shafa-Marwah membutuhkan waktu yang lumayan juga. Hampir setengah jam, itupun jika tidak dengan membaca amalan doa di tiap bolak-baliknya, bila di sertai amalan doa bisa jadi sejam lebih baru sampai pada perjalanan yang ke tujuh.
Selesai sa’i, para jamaah haji saling bercukur sebagian rambut kepala untuk tahalul. Ini menandai bahwa seluruh syarat dan rukun umroh usai. Kamipun bisa kembali menggunakan pakaian biasa untuk memulai kegiatan sehari-hari di tanah suci ini. Masih sekitar seminggu lebih bagi kami untuk sampai pada niat menjalankan ibadah haji. Oleh karena itu kegiatan diisi dengan banyak melakukan thowaf dan sholat berjamaah di Mesjidil Haram untuk mengejar hitungan pahala.
Baru saja usai melaksanakan tahalul, masalah baru muncul bagiku. Ketika datang ke Mesjidil Haram, suasana jalan terlihat remang-remang karena masih dini hari. Dan kini ketika aku keluar dari Mesjidil Haram seusai sholat subuh dan dhuha, suasana begitu terang benderang. Penyakitku yang gampang terpesona oleh sesuatu yang baru pertama ku lihat, membuatku lupa pada jalan kembali. Yang kuingat hanyalah taman bermain dan arena parkir dari Distrik 48 yang entah lewat mana. Semua jalan rasanya sama bagiku. Bangunan-bangunan kotak, warna-warna krem yang memutih, serta kepadatan jamaah haji yang berjalan ke sana ke mari. Lalu kemana jalan menuju Bakhutmah?
”Masya Allah, rasanya aku tersesat ini...,” bathinku seraya terus melangkah dan berjalan dengan ihram yang sudah tak lagi rapi. Pandanganku terus bertaut pada bangunan pertokoan dan pedestrian yang dipadati pejalan kaki. ”Kemana arah pondokanku Yaa Allah...”
Sesekali aku mampir dan bertanya pada beberapa penjaga toko atau pejalan kaki. Namun dari sekian orang yang kutanya hanya menggeleng dan tak tahu, ketika kutunjukan gelang karet tanda pengenal maktabku.
”Disini memang tertera sektor 49 Bakhutmah, tapi sebelah mananya? Bakhutmah atau sektor 49 itu khan luas mas...,” seorang jamaah haji asal Jawa Tengah ikut bingung dengan pertanyaanku.
”Kalau si Mas-nya sendiri pulangnya kemana?” tanyaku lagi.
”Saya ke Mishfalah, Sektor 47, naik angkutan umum dari sini...” katanya dengan yakin. Rupanya ia gelombang II dan telah tinggal di Mekkah ini beberapa hari, sehingga sangat hapal dengan arah maktabnya. ”Memang tadi tidak berangkat sama-sama?”
”Tadinya sama-sama Mas, tapi pas thowaf dan umroh kami terpisah. Jadi masing-masing....” ucapku dengan lesu.
”Begini saja, saya juga pernah tersesat waktu pertama kali datang ke sini,” katanya kemudian, ”tapi saya menemukan seragam panitia pelaksana haji Indonesia. Mereka berpakaian putih berompi coklat, Tanya pada salah satu dari mereka saja, jangan pada orang lain. Hati-hati di sini Mas, banyak terjadi penipuan...”
”Astaghfirullah, di tanah suci begini ada penipuan?” aku terkejut.
”Yang suci khan tanahnya, manusianya sama saja, ada yang bagus ada juga yang jelek...” katanya lagi, ”maaf yaa, saya harus segera mengejar rombongan saya...”
”Oh, iya tidak apa-apa, silahkan...” kataku menyilahkan lelaki asal Jawa Tengah itu beranjak pergi. Tinggalah aku kembali berjalan menyusuri jalan yang mulai terik oleh matahari pagi. ”Yaa Allah, kemana lagi aku harus berjalan yaa...”
Al Haram street, Movenpict Hotel, Sheraton Mekkah, Al Rajhi Bank, terlewati sudah. Bangunan-bangunan itu sempat terlewati bus semalam. Terus sebelah mana Bakhutmahnya? Dengan lesu aku terus melanjutkan perjalananku mencari arah pulang, sementara rasa lelah dan lapar mulai menyergapku kini. Sesaat kualihkan pandanganku pada penjual buah yang terhampar di sepanjang trotoar jalan. Mereka bersahutan menawarkan dagangan mereka dengan bahasa Indonesia seadanya. Rupanya para pedagang di sini mulai beradaptasi dengan bahasa para jamaah haji Indonesia yang memang paling banyak di tiap tahunnya.
”Hajj... Hajj... ayo moora, moora... lima rial... lima rial...” seru mereka kepadaku.
Dengan ragu aku mendekati pedagang itu dan sejenak memilih apel yangsudah dikemas dalam plastik dan bertuliskan 1 Kg. Itu. Nampak segar dan ranum. Jika harganya lima rial, berarti sekitar Rp. 12.500,- Ini sangat murah dibandingkan di Indonesia yang mencapai Rp. 18.000,- atau Rp. 20.000,-
”Saya beli sekilo...” kataku.
”Satu kilo, lima rial,” jawabnya seraya meraih apel yang telah diplastikan itu.
Aku menyerahkan selembar uang lima rial dan menerima apel dalam plastik tadi. Kemudian dengan ragu-ragu akupun menyerahkan kartu tanda pengenal penginapanku, aku berharap pedagang ini bisa memberiku petunjuk. Namun dengan perlahan lelaki berbaju ala Pakistan ini hanya menggeleng dan tak tahu.
”Are you know that place?” kataku yang tak bisa berbahasa Arab.
”Maafy...,” jawab lelaki tadi singkat seraya menggelengkan kepalanya.
”Yaa Allah, kemana lagi aku harus berjalan. Aku sudah ingin sekali istirahat,” keluhku dalam hati. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat pesan Bapak, bahwa tanah suci adalah tempat paling bagus untuk segala doa. Beristighfar dan bermunajat adalah amalan yang paling baik di sini.
”Astaghfirullah... jika ada salahku, ampuni aku yaa Rabb. Izinkan aku kembali ke penginapanku...” ucapku akhirnya. Baru selangkah aku berjalan, nampak di hadapanku seorang lelaki tua dengan baju jamaah haji Indonesia yang juga nampak kebingungan sepertiku. Dari raut mukanya, ia malah terlihat lebih mengenaskan dibandingkan apa yang kurasakan.
”Bapak tersesat juga?” tanyaku. Lelaki itu hanya mengangguk seraya menatap dengan bingung. Peci dan seragam hajinya nampak kucel dan tak rapi, entah sudah berapa lama ia di posisi seperti itu. ”Bapak sendiri, dimana penginapannya?”
”Saya lupa, yang saya tahu saya hanya di turunkan di pinggir jalan oleh supir taxi yang membawa kabur semua isi dompet saya,” katanya penuh iba.
”Astaghfirullah, Bapak dirampok?”
”Ia, semalam saya berniat thowaf sunah dengan teman-teman. Tetapi karena saya ke toilet sendirian, saya tertinggal mereka semua. Ingin pulang saya tak tahu jalan, jadi naik taxi. Ternyata supir taxi itu penjahat. Dia mengancam saya dengan pisau dan merampas dompet saya....”
”Masya Allah, benar seperti yang dikatakan si Mas tadi, ternyata yangsuci itu hanya tanahnya, manusianya sama saja. Masih ada yang kurang ajar seperti itu,” kataku dalam hati. ”Terus Bapak sekarang mau kemana?” tanyaku lagi.
”Entahlah, saya sudah tak pegang uang sama sekali, ” ucapnya lemas, ”uang rupiah dan rial saya diambil semua...”
Segera kuraih gelang karet yang melingkar di tangan kananya, kubaca sektor yang tertera di atasnya. Sektor 51, berarti Bapak ini berasal dari jamaah gelombang II. Entah mengapa aku tiba-tiba merasa memiliki kekuatan untuk membantu orang tua ini. ”Begini saja, saya juga sedang mencari jalan pulang. Kita cari sama-sama saja yaa...”
Lelaki tua ini mengangguk, usianya yang uzur serta kondisinya yang sudah tak berdaya seperti itu, tak lagi memberikan pilihan.
”Bapak sudah makan?”
Lelaki tua ini menggeleng, seraya menatap apel yang baru saja kubeli. ”Kalau begitu, mari makan apel ini dulu. Pasti Bapak sudah sangat lapar sekali...”
”Terima kasih Nak, Bapak sudah sangat lapar dari subuh tadi...” ucapnya seraya meraih buah apel yang kusodorkan. Kemudian tanpa menunggu tawaran berikutnya, ia langsung memakan apel merah segar itu.
”Yaa Allah, apalah artinya kesusahanku dibandingkan lelaki tua ini...,” gumanku dalam hati. Diam-diam aku merasa bersyukur, setidaknya tidak mengalami apa yang dialami lelaki tua ini. Beruntung di saat kami tengah menikmati apel merah ini, lewatlah kendaraan operasional dari penyelenggara haji Indonesia. Dengan segera aku melambaikan tangan agar mereka berhenti.
”Assallamu allaikum,” ucapku.
”Wa alaikum salam, ada apa Pak Haji? Tersesat yaa?” mereka langsung menduga apa yang tengah terjadi pada kami.
”Iya, tapi juga ada yang terkena musibah Pak...,” ucapku, ”Bapak ini baru saja menjadi korban penodongan oleh supir taxi...”
Dua lelaki yang berada di depanku ini tak langsung bereaksi, ia hanya menatap lelaki tua di sampingku dan kemudian menggeleng perlahan.
”Ini yang kesekian kali terjadi Pak,” katanya kemudian, ”padahal kami sudah sering kali berpesan agar keman-mana jangan sendiri. Bapak ini pasti naik taxi sendiri yaa...?”
Lelaki tua di sampingku mengangguk lemas, ia menyadari kecerobohannya. Yang ia tahu, ia memang teresat dan berharap cepat sampai maktab dengan menggunakan taxi.
”Coba saya lihat tanda pengenal kalian,” ucap petugas haji itu lagi seraya melihat karet gelang kami berdua.” Kalau Bapak sektor 51 Ajiziziyah, nanti biar kami antar. Kalau Bapak Sektor 49 Bakhutmah...,” katanya padaku.
”Untuk sektor Bakhutmah, sudah sangat dekat,” katanya lagi,”Bapak tinggal putar arah kembali ke Al Rahji Bank, nanti ada pasar belok kiri lurus saja. Sampai ada rumah makan SI Doel, disitu sektor 49 Bakhutmah...”
”Oh, begitu,” kataku mencoba mengingat.
”Bagaimana bisa jalan sendiri?” tanya salah satu petugas itu lagi.
”Insya Allah,” kataku, ”kalau begitu saya langsung pulangsaja Pak....”
”Baik, hati-hati. Ingat jangan gampang percaya dengan orang asing, biasakan mencari kantor sektor atau petugas sektor seperti kami...”
”Baik Pak, terima kasih. Assallamu allaikum...”
”Wa allaikum salam...”
Tak sampai sepuluh menit. Aku telah sampai di pasar Bakhutmah yang merupakan awal sektor 49. Dari sana aku tinggal mengurutkan nomor rumahnya saja. Mulai 901 hingga 921, sedangkan aku tinggal di 918, jadi pastinya tak jauh dari tempatku berdiri kini.
”Mourar Hotel, ini khan tempatnya para jamaah Turkey dan China. Iya sebelahnya itu hotel tempatku, Jouhra Hotel...,” ucapku bersyukur. Dengan segera aku memasuki hotel yang jam tiga pagi tadi aku datangi. Di loby hotel aku bertemu beberapa jamaah asal Cirebon yang sudah bersantai sambil menikmati kopi susu dan sepotong roti. Mereka tersenyum dan memberi salam padaku, seolah menyampaikan kalau mereka telah dulu sampai dua jam yang lalu...
”Baru selesai thowaf umroh, Mas?” sapa mereka.
”Iya, permisi saya mau mandi dan bersih-bersih...,” kataku seraya berjalan menuju lift.
”Oh, iya ya Mas, silahkan...”
Dengan segera aku menaiki lift menuju lantai empat dimana kamar kelompoku tinggal. Dua menit kemudian aku sudah sampai di kamar, melkasanakan tahalul dan segera bersih-bersih. Alhamdulillah, usai sudah umroh pertamaku. Terima kasih yaa Rabb, Engkau perkenankan aku menikmati nikmat iman seperti ini.
******
[1] Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung dan kepada wajah-Nya yang mulia, dan kepada kekuasaan-Nya yang tidak berawal (qadim) dari godaan syetan yang terkutuk. Dengan nama Allah serta shalawat dan salam Rasulullah, yaa Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah untuku pintu-pintu rahmat-Mu… (HR. Muslim)
[2] Ya Allah, tambahkanlah kemulyaan, keagungan, kehormatan dan kemegahan pada Baitullah ini, dan tambahkanlah pula pada orang-orang yang memulyakan dan mengagungkannya diantara mereka yang berhaji atau yang berumrah padanya kemulyaan, keagungan, kehormatan dan kebaikan… (HR. Baihaqi)
[3] Idthiba’ adalah menyimpan kain ihram di bawah ketiak kanan sehingga bahu kanan terlihat.
[4] Ya Tuhan kami, limpahkanlah kebaikan kepada kami di dunia, dan kebaikan di akhirat, serta hindarkanlah kami dari siksa api neraka…. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
[5] Yaa Allah, berilah hamba-Mu ini ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas dan kesembuhan dari berbagai penyakit
[6] Sesungguhnya Shofa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah…
[7] Allah Maha besar, Allah Mahabesar, allah Mahabesar. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-NYa kerajaan dan pujian, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, yang telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya tanpa butuh bantuan (sendirian)….. (HR. Muslim, Ahmad dan An-Nasa’I )
[8] Ya Allah ampuni, rahmati dan ampuni dosa kami yang Engkau ketahui, sesungguhnya Engkau Maha Agung dan Maha Mulia…