Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Rabu, 26 Juni 2013

Bandung, Segalanya Berawal, episode ke-4




Bandung, segalanya berawal


Bandung, 1994, ketika segalanya berawal...
Waktu itu Bandung sedang berbunga, bukan karena selesai musim dingin atau berganti musim panas. Akan tetapi karena banyak hal yang ditawarkan kota sejuta warna ini.   Bermunculannya pusat-pusat perdagangan kelas internasional, tempat-tempat refreshing,  serta beraga tempat yangmenawarkan aneka ragam hiburan bagi tua dan muda tumbuh pesat saat itu. Istilah kata, Bandung sedang menjadi sorotan sekian banyak mata di negeri ini. Banyak dari mereka yang ingin berada di  dalamnya. Tak terkecuali Aldi. Anak dari keluarga sederhana itu   nekat ingin menggapai cita-cita di ‘kampung’ orang. Meski dengan bekal yang serba pas-pasan, Aldi terus menguatkan hati untuk bisa menjadi mahasiswa.  Lapisan masyarakat yang katanya intelek.
Namun dibalik beragam kebanggaan postif seperti itu, ternyata Bandung juga memiliki sisi negatif, dari banyaknya anak muda negeri    yang bergantung padanya. Sikap individual, materialis dan hedonis mulai menggejala dalam kehidupan mahasiswa. Beberapanya malah membuat mereka lupa dengan tujuan mereka datang ke kota ini. Kehidupan berkelompok dengan beragam atribut, membuat kota ini memiliki kelompok masyarakat yang terkotak-kotak. Beragam penyimpangan dan perbedaanpun membuat kota ini sarat dengan permasalahan yang multi kompleks. Dan beberapa persennya terjadi di kalangan  mahasiswa.
Latar belakang inilah yang mengawali kisah Aldi dan Rudi. Kisah persahabatan yang harus diuji dengan perbedaan yang mendasar diantara keduanya.

Meski katanya kota dingin, jika menjelang siang, Bandung panas sekali...

Seperti biasa, di siang yang terik ini Aldi baru saja menyelesaikan kuliahnya. Sisa uang yang tak seberapa membuatnya memilih berjalan kaki setelah sekali naik angkot. Aldi berniat menghemat uang bulanannya. Dari angkot yang sekali jalan itu, Aldi juga masih harus melanjutkan   sekitar satu kilo meter  lagi untuk mencapai tempat kostnya. Dan ini pasti melelahkan untuk kondsisi yang terik seperti  itu. Namun demi tekad dan obsesinya menyelesaikan study, hal itu tak seberapa untuk seorang Aldi.  


Meskipun di siang itu pula,    tekad dan obsesinya itu mulai diuji. Entah dari mana asalnya,   tiba-tiba saja sekelompok  orang berlarian dari kedua arah yang berlawanan. Beberapanya malah menunggangi motor dengan kecepatan tinggi! Aldi terjebak diantara keduanya,  ketika tawuran antar mereka terjadi. Aldi tak lagi bisa menghindari pukulan dan lemparan dari kedua kubu itu. Satu dua batu mendarat di kepala dan pelipisnya. Sesekali perut dan kakinya terkena tonjokan dan tendangan. Meski Aldi berjuang untuk bisa lepas dari tawuran seperti itu, namun jumlah mereka yang besar tak memungkinkan ia bergerak terlalu jauh.  
Darah mulai merembes dari kepala dan pelipisnya, pandangannyapun juga mulai berputar.   Sebuah teriakan keras mengarah padanya, bersamaan itu pula sebuah tangan mendorong lelaki itu   ke arah  samping. Aldi terjatuh ke aspal, yang kemudian disusul seorang yang mendorongnya tadi dengan luka tusuk di perutnya. Pisaunya masih terlihat nempel ketika jatuh,  dengan darah yang mengucur deras dai arah perutnya. Sesekali lelaki yang terjatuh itu mengerang untuk menahan sakit, pandanganyapun  sudah semakin gelap. Tak berapa lama, lelaki yang mencoba membantu menyelamatkan Aldi itupun jatuh tak sadarkan diri.
Itulah saat pertama kali Aldi mengenal sosok Rudi, mahasiswa Teknologi Mesin yang terkenal ganteng tapi penyendiri. Sikapnya yang agak tertutup membuat hampir seisi kampus tak begitu memperhatikannya. Karena hal itu pula Rudi dikenal sebagai pria aneh di kalangan mahasiswa.
 Beruntung pada insiden tawuran itu, Aldi hanya dijahit empat jahitan di kepala jadi dalam satu hari Aldi sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Akan tetapi berbeda  dengan Rudi, luka tusukan di bagian perutnya memerlukan perawatan yang lebih intensif. Beberapa hari ke depan daya tahan tubuh dan kesadarannya juga menurun drastis. Hal ini dikarenakan ada sebagian ususnya yang ikut robek mengalami infeksi  karena tusukan pisau yang ternyata telah berkarat . Dengan kondisi seperti itu, dokterpun tidak berani menjamin akan adanya   kesembuhan yang cepat, oleh karena itu mereka memutuskan untuk merawat Rudi lebih lama dan lebih intensif.
Beberapa utusan teman dan Senat datang untuk menjenguk mereka, khususnya Rudi yang masih dalam perawatan intensif.   Aldi yang merasa bersalah dengan semuanya ini memutuskan untuk terus menjaganya hingga beberapa hari ke depan. Oleh karena hal itu pula, ia belakangan jadi akrab dengan Tante Lien, mamanya Rudi. Banyak hal yang diceritakan perempuan paruh baya itu   pada Aldi, tentang apa dan bagaimana Rudi. Mungkin karena   itu pula yang membuat Aldi merasa makin bersalah dengan kondisi Rudi sekarang ini.
“Sebelumnya ia sangat periang Nak, namun entah sejak ia memutuskan untuk pergi dari Jakarta dan melanjutkan kuliah di Bandung, seperti ada sesuatu yang menghinggapinya. Ia jadi penyendiri dan jarang bergaul. Hari-harinya banyak di habiskan di rumah. Rudi hampir tak pernah keluar rumah meski di hari libur sekalipun bila tidak Tante yang mengajaknya...”
“Memang ada apa sebenarnya Tante?”
“Itu dia yang ngga pernah Tante tahu hingga sekarang, Nak. Yang Tante ingat dulu ia sangat aktif dengan beragam kegiatan sewaktu SMA. Namun sejak ia bermasalah dengan teman akrabnya ia jadi pemurung dan penyendiri seperti itu. Entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas pertengkaran mereka sangat hebat Tante lihat!”
“Memang mereka bertengkar di mana?”
“Di rumah Tante, kebetulan teman dekatnya itu memang sering menginap di rumah kami dulu. Tapi yah, mungkin karena usia muda mereka, mereka lebih banyak menurutkan emosi mereka. Hingga beberapa minggu berikutnya, Tante tidak melihat lagi mereka jalan besama. Namun setiap Tante mencoba untuk bertanya mengapa, Rudi selalu menghindar dan tak mau bercerita ada apa...”
“Mmm, mungkin belum saatnya saja Tante...”
“Mudah-mudahan begitu, Nak Al. Masalahnya hingga tiga tahun berlalu, Tante tetap tidak tahu ada apa. Kalau saja hal ini tak membuat ia menjadi pendiam seperti itu, pasti Tante juga ngga terlalu peduli. Namun ini khan....”
“Mudah-mudahan ada waktu untuk itu, Tante...”
“Yah, mudah-mudahan saja begitu,” wanita paruh baya itu seperti tak yakin dengan ucapannya terakhir.“Nak, Al pulang saja dulu. Biar tante yang jagain Rudi...” katanya kemudian, “dari pagi kamu sudah tungguin Rudi. Seharian ini  kamu juga ngga kuliah khan...”
“Ngga apa-apa Tante, saya akan menjaga Rudi sampai dia siuman...”
“Ngga usah Nak Al, biar kami saja,” Tante Lien tetap menyuruhku pergi, “kalau Nak Al mau nungguin Rudi, besok saja kesini lagi. Tapi sepulang kuliah yaa...”
Aldi tak bisa menolak apalagi Om Ratno, papanya Rudi ikut menganggukan kepala dan meminta agar ia   menuruti keinginan istrinya. Aldi tak bisa berkata apa-apa lagi, selain mengangguk dan melangkah pergi dari ruangan perawatan intensif ini.
“Terima kasih yaa, Nak...,” ucap Om Ratno pada Aldi sebelum akhinya menepuk pundaknya di ujung pintu ruangan ini.
“Saya permisi Om, assallamu allaikum...”
“Wa allaikum salam...”
Sore itu Aldipun kembali ke kostan, beberapa temannya sudah banyak yang menunggu untuk sekedar menengok dan menyampaikan kepedulian mereka. Salah satu yang paling akrab dari mereka adalah Emma, sahabat Aldi sejak mereka SMP. Dulu keluarganya tinggal di Cirebon, bertetangga  dengan keluarga Aldi, karenanya mereka lebih terlihat sebagai keluarga. Apalagi sejak SMP hingga masuk kuliah, mereka memilih tempat sekolah yang sama.
“Bagaimana keadaanmu Al?”
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja, Ma. Luka di kepalaku ngga terlalu parah, hanya empat jahitan. Yang kasihan Rudi, dia masih belum sadar, karena banyak mengeluarkan darah. Ususnya ada yang ikut robek karena tusukan pisau para preman itu...”
“Yah mungkin ini cobaan buatmu Al,” kata Emma kemudian, “tapi sebenarnya apa yang kamu lakukan di jalan itu, sampai harus terjebak tawuran preman seperti itu sih? Terus bagaimana juga ceritanya anak penyendiri itu bisa ada di situ, Al...”
“Aku sendiri tak tahu, Ma,” kata Aldi melanjutkan, “yang kutahu, aku sedang berjalan pulang sendiri ketika bentrokan antar preman itu terjadi. Namun entah dari mana awalnya, tiba-tiba Rudi datang dan menyelamatkanku dari pukulan orang-orang yang mengira aku musuh mereka...”
“Koq bisa begitu?”
“Iya, Rudi sampai harus mengorbankan motor dan tubuhnya untuk menyelamatkan aku Ma,” kata Aldi penuh haru, “ngga heran kalau orang sekampus akhirnya banyak yang simpati dan respek sama mahasiswa penyendiri itu...”
Emma nampak terdiam , entah apa yang difikirkannya. Yang jelas, ada ekspresi keseriusan dari apa yang baru saja ia dengar.
“Ohya, ini aku bawakan bubur ayam,” katanya kemudian, “nanti malam, anak-anak yang lain mau nengok kamu Al, mereka masih ada kegiatan sore ini...”
“Iya makasih ya Ma,” ucap Aldi seraya meraih rantang yang disodorkan Emma.
Malamnya, banyak rekan-rekan sekampus Aldi yang datang menengok. Demi mendengar adanya kecelakaan yang menimpa rekan mereka. Beberapa diantaranya malah datang dengan pasukan, menjaga kemungkinan adanya   tawuran lagi.
“Kamu masih beruntung Al, setidaknya peristiwa kacau seperti itu tak merenggut nyawamu,” ucap Rahmat yang terkenal jago karate, “aku yang sudah ban hitam juga kalau terjebak di situasi seperti itu entah bagaimana akhirnya...”
“Iya lho Al, gua juga ngga nyangka kalau Lo bisa selamat dari bentrokan para preman itu. Padahal menurut berita yang gua dengar, bentrokan itu sampai memakan korban jiwa lima orang lebih...,” Fredi ikut berkomentar dengan gaya cuekya.
“Dan untungnya ada pria aneh itu, yaa Al, “ Riko ikut menambahi, “kalau ngga ada dia mungkin juga ceritanya lain...”
“Namanya Rudi,” Aldi menambahi cepat, tak senang dengan sebutan ‘aneh’ pada orang yang telah menyelamatkannya.
“Ia, Rudi, ternyata baik juga yah dia...”
“Itu dia Ko, aku jadi ngerasa bersalah banget sama dia. Gara-gara mau menyelamatkanku dia harus kehilangan motornya dan masuk rumah sakit seperti sekarang ini...” kata Aldi sesal.
“Bagaimana dengan keluarganya Al?”
“Mereka ngga marah sama sekali. Biaya perobatanku juga malah mereka yang bayari, itu juga yang membuatku   makin merasa bersalah dengan semuanya ini...”
“Bukan Lo Al, tapi para preman itu...,” Riko memotong ucapan Aldi.
“Iya, andai aku bisa bertukar tempat...”
“Sudahlah Al, ini musibah siapapun tak ada yang bisa disalahkan,” Rahmat melanjutkan, “sudah malam nih, kelihatannya kami harus kembali.”
“Iya nih Al, aku ada tugas makalah yang harus dikumpul besok,” Riko ikut menambahi.
“Ok, terima kasih yaa sudah pada nengokin aku..”
“Sama-sama Al, cepat sembuh yaa...”
Tak laa kemudian mereka semua pulang! Tinggalah Aldi sendiri dikamar kost ini, dengan  fikiranya yang  terus jauh melayang ke sosok Rudi. Pria penyendiri yang berkorban sebegitu jauh untuknya.
“Apakah   Allah sengaja mengirimkan Rudi untuk menyelematkanku, ataukah memang Allah menggerakan hatinya untuk menjadi temanku,” Aldi masih berfikir sendiri.
Masih erat dalam ingatannya dulu saat kala pertama ia betemu dengan sosok penutup bernama Rudi itu. Ada keinginan untuk akrab atau sekedar berbincang singkat, namun dengan sikap diam Rudi membuatnya selalu mengurungkan nitanya. Kesan angkuh dan cuek Rudi memang terkadang membuat siapa saja jadi malas untuk bertegur sapa. Apalagi dengan predikat anak kalangan atas dengan segala macam atribut kemewahannya, membuat siapapun mengukur diri untuk bergaul dengannya. Tidak hanya yang laki-laki, sepertinya yang perempuan juga begitu. Bahkan Wawan, yang satu kelas dengan Rudi pernah menyampaikan pendapatnya kalau Rudi sosok lelaki yang aneh dan angkuh.
Namun   sejak sikap   berkorbannya pada Aldi,   ia jadi bahan pembicaraan di   kalangan mahasiswa kini. Tak heran   kalau     senat kemahasiswaan menjadikannya contoh, sebagai pribadi yang peduli pada sesama almamater dan berjiwa spirit the corp yang tinggi .    Dikarenakan hal itu pula banyak anggota senat mahasiswa yang bergantian menengok atau menjenguknya.
“Rudi, ternyata kamu tak seangkuh yang difikirkan banyak mahasiswa selama ini,” Aldi masih merasakan nyut-nyutan di kepalanya, rupanya proses berfikir seperti ini membuat luka di kepalanya makin terasa sakit. Dan tak beberapa lama, akhirnya Aldipun rebah  dan tertidur dengan rasa sakitnya...

******

Kamis, 20 Juni 2013



Tiga

Facebook  


Indonesia, saat ini...

Masih subuh sekali, ketika secara iseng lelaki yang masih bersarung itu membuka  beranda Facebook-nya. Sejak ikut situs pertemanan setahun yang lalu, ia memang agak sedikit kecanduan untuk terus berselancar di dunia maya. Entah bagaimana awalnya, yang jelas seperti makan atau minum yang tidak bisa ia tinggalkan. Sehari saja ia tak membuka statusnya atau status teman-teman maya-nya, rasanya seperti ada yang hilang. Oleh karena itulah, di hari yang masih temaram itu, ia telah duduk manis di depan laptopnya hanya sekedar membaca wall dan beranda Facebook. Tidak ada yang ditunggu saat itu, hanya saja setelah sholat subuh, tiba-tiba ia merasa kangen dengan beberapa teman  masa lalu yang kebetulan telah tergabung dalam list teman-temannya.
 Namun karena rasa kangen itulah, lelaki yang masih besarung   itu  menemukan sebuah pesan masuk inbox dari seseorang yang belum ter-add sebagai temanya.   Facebook memang terbuka untuk siapa saja dan pertemanan apa saja. Seperti pesan masuk yang  terdapat di wall profile-nya. Sejenak ia memperhatikan judul pesan, dan nama pengirim pesan tersebut. Tak ada foto yang terpampang di sana, membuat lelaki ini agak sedikit memutar ingatannya untuk coba mengenali nama si pengirim pesan. Beberapa saat tak jua ia ingat nama si pengirim pesan tersebut, akhirnya ia membuka juga isi dari pesan tersebut. Sebaris kalimatpun muncul dari pesan dengan judul ‘Apa kabar?’ itu.

....Assallamu ‘allaikum, saudaraku,
semoga selalu dalam  berkah dan lindungan-Nya...
Bagaimana kabarmu sekarang, lama kita ngga ketemu, mudah-mudahan kamu ngga lupa sama aku,
kalau kamu baca ini, tolong balas dan add aku jadi temanmu yaa...
Salam hangat selalu,
Rudi...
Wassallamuallaikum...

Sesaat ia mengusap  wajahnya yang mulai bereekspresi bingung, mencoba mengingat kembali nama yang tertera pada pesan pendek yang diterimanya itu. Lama sekali ia mencoba memutar kembali memori di kepalanya, hingga beberapa saat.  Dan tak lama kemudian, ia mulai  terpaut pada sebuah ingatan masa lalu yang sebetulnya senantiasa ada di dalam titian hidupnya. Rudi Prasetyo, sahabat terbaik masa lalunya yang pernah begitu dekat dalam hidupnya lima belas tahun yang lalu. Yah, seorang kawan lama yang selalu  ia jaga di ruang hatinya. Setelah sekian lama mereka terpisah, rupanya  Allah berkenan mengembalikan kenangan  persahabatan diantara mereka....
“Apakah ia Rudi sahabatku dulu? Orang yang telah begitu berjasa dalam hidupku,” sesaat lelaki itu ragu. Dipijit keningnya yang mulai berkerut karena proses berfikir, “yah lima belas tahun yang lalu! Kalau memang dia Rudi Prasetyo, dimana ia sekarang. Infonya tak menyebutkan banyak hal, aku tak begitu yakin kalau pengirim pesan ini Rudi sahabatku...”
Lelaki yang berumur sekitar tiga puluh limaan ini mendadak menerawang, mencoba menautkan ingatan yang tak lagi jelas itu dengan info si pengirim pesan yang super irit itu. Tak ada foto profile, tidak ada foto diri, apalagi foto-foto album. Benar-benar sangat misterius dan membuatnya semakin ragu dengan apa yang ada dalam benaknya. Sempat terlintas di kepalanya, kalau Rudi yang ia baca ini memang teman di masa lalunya. Namun Rudi yang mana, ia punya puluhan bahkan ratusan teman dengan nama Rudi. Dari sekian teman yang bernama Rudi, hampir semuanya ia kenal dan tak semisterius seperti pengirim pesan itu. Ada status menikah di info wallnya, namun tak menemukan alamat, kontak person dan dengan siapa ia menikah. Benar-benar  membuatnya tak merasa akrab dengan si pengirim pesan.
Ada selintas di fikirannya, untuk mengabaikan isi pesan dan ajakan untuk menjadi teman. Namun, cuek dan jual mahal dalam pertemanan bukanlah sifatnya. Lelaki yang baru saja dikaruniai anak kedua ini terkenal supel dan pandai bergaul dengan siapa saja.   Ia memutuskan untuk menerima ajakan perteman dari si pengirim pesan ini.
Sambil mengetik kalimat untuk membalas dan menerima ajakan pertemananya, fikiran lelaki ini masih saja mencoba menemukan sesosok manusia dengan nama yang tertaut di pesan masuk itu. 

Wa allaikum salam...
Maaf ini dengan Rudi mana ya,   tak ada satupun  yang menjadi teman bersama kita. Apakah kita pernah kenal sebelumnya? Atau dari jalur mana anda mendapatkan nama akun saya? Terima kasih sekali, bila anda berkenan menjelaskan  semuanya ini. Untuk pertemanan yang lebih baik...

Lelaki itupun mulai meng-klik send untuk pesan yang baru saja ia tulis untuk membalas pesan yang baru saja ia baca. Sementara ajakan pertemanan yang telah ia klik di awal-awal menerima berita pemberintahuan, membuatnya memiliki akses untuk   terus mencari info lain-lain. Namun seperti kolom infonya, dinding, catatan, ataupun tautan videonya tak memberikan aktifitas apapun. Benar-benar pengguna facebook yang aneh, fikirnya.
“Paah...,” sebuah suara tiba-tiba mengejutkannya dari arah kamar.
“Iya mah, Papah di ruang kerja, ada apa?” jawabnya agak malas.
“Katanya ada meeting penting di kantor, koq belum mandi juga?” perempuan yang ternyata istrinya ini terdengar mengingatkan agenda kerja suaminya hari itu. 
“Iya sebentar lagi Mah, Papah selesaikan ini dulu...”
“Bikin apaan lagi sih, bukannya bahan untuk presntasi sudah Papah selesaikan malam tadi?” perempuan yang masih terlihat cantik di usianya yang kepala tiga ini mulai menyelidik ke dalam ruang kerja suaminya. Sementara sang suami tersenyum simpul mendapati isterinya masuk dan langsung melihat aktifitasnya...
“Eh Mamah....”
“Facebook terus Papah ini, awas nanti menyita seluruh waktu kerja Papah lho,” perempuan yang dipanggil Mamah ini tersenyum geli mendapati suaminya yang malu-malu menutupi layar laptop. Ia memang sudah maklum dengan hobi baru suaminya ini. Dulu ia  sering ditinggalkan karena   hobi memancingnya, jadi kalau dibandingkan dengan kegemaran barunya sekarang. Ini lebih ringan, selain jadi anteng di rumah, ia juga jadi  bisa melihat aktifitas suaminya tanpa harus bertanya banyak.
“Ini juga sudah di sign out, koq Mah...,” sang suami makin nyengir menutupi malunya. Ah, facebook memang membuai siapa saja akhir-akhir ini. Tak terkecuali seorang Aldi Bramanthya yang terkenal sangat alim dan arsitektur ulung dari sebuah perusahaan jasa konstruksi ternama di Jakarta. Harus menjadi pecandu status dan koment wall facebook.

*****

“Jadi semuanya sudah jelas yaa, kalau proyek ini merupakan ujung pangkal dari proyek-proyek selanjutnya?” Presiden Direktur yang berkenan hadir itu menyampaikan opsi terakhirnya.
“Jelas Pak!” jawab semua peserta rapat berbarengan.
“Baik, oleh karena itu, untuk pimpinan proyek kali ini saya percayakan pada Saudara Aldi Bramathya. Silahkan anda buat proposal dan rinci detail dari proyek kita ini, dan silahkan anda ekspose satu bulan nanti.”
“Baik Pak, saya akan membuat proposal itu, berikut maket dan perhitungan detil proyek secara lengkap,”
“Bagus, dengan demikian briefing staff pagi ini saya fikir cukup. Assallamu allaikum...” Presiden Direktur PT. Global Wiratama Persada meninggalkan ruangan rapat. Dibelakangnya para komisaris dan petinggi perusahan membarengi. Senyum mereka cerah, berkaitan dengan adanya tawaran proyek besar dari Pemerintah Provinsi Banten. Setidaknya tawaran perdana ini merupakan jalan pembuka bagi perusahaan mereka untuk bisa bekerja sama dengan pemerintah-pemerintah daerah lainnya secara leluasa.
“Selamat ya Al, semoga sukses!”
“Terima kasih, Pak!”
“Selamat Al,”
“Trima kasih-terima kasih!” Aldi menerima ucapan selamat dari beberapa rekan seprofesinya. Kepercayaan yang diterimanya pagi itu merupakan hal yang sudah diprediksikan selama ini. Berkat keberhasilannya pada lima proyek yang ia tangani di Kalimantan dan Sulawesi, membuatnya menjadi pimpro kembali di Provinsi Banten kali ini.
Senyum lebar terukir di wajahnya kini,  “semoga aku bisa mengemban amanah ini dengan baik, dan memberikan yang terbaik untuk isteri dan anak-anaku...,” bathin Aldi seraya menutup laptopnya. Fikirannya terus berputar untuk segera berproses dengan amanah yang baru saja ia dapat. Setidaknya bulan depan merupakan saat ia menunjukan kelayakkanya  sebagai pimpinan proyek. Berbagai arsip dan dokumen pelengkap  ia buka dan ia pelajari kembali penuh semangat.  Ia juga mempelajari  apa saja  yang membuat sekian proyeknya  berhasil. Namun dari antusias dan semangatnya itulah, tiba-tiba tanganya beradu pada sebentuk benda usang. Sepertinya  amplop coklat tua yang pernah ia simpan lama di meja kerjanya. Itu property usang ketika baru menginjakan kaki di perusahaan jasa konstruksi ini.
Perlahan Aldi membuka bungkus coklat yang sudah mulai melapuk itu. Melihat-lihat dan mencoba mengenali beberapa benda yang ada di dalamnya. Beberapa daftar riwayat hidup, copy ijazah, hingga tumpukan buku-buku catatan. Namun dari beberapa buku catatan itu, ada yang begitu serius menyedot pemikirannya. Catatan kecil yang sudah usang dengan tera-an tahun belasan tahun lalu, terukir pula pemilik buku usang itu di halaman depannya.
“Rudi... Rudi Prasetyo, dimana kamu sekarang, Kawan?”


******