Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Selasa, 27 April 2010

2. Muhammad El Faridz, Sang Politikus!



“Berita hari ini kami isi dengan jatuhnya sebuah maskapai penerbangan eksklusive yang lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta dua jam yang lalu. Rencananya pesawat tersebut akan menuju Bandara Changi, Singapura, sebelum melanjutkan penerbangan akhir ke Turki. Namun ketika melintasi langit Sumatera Selatan, pesawat yang hanya dimuati sejumlah penumpang eksklusive itu kehilangan kendali. Pesawat itu terhempas turbulency, di titik pertemuan dua arah mata angin. Yang menjadi pertanyaan besar adalah ; bagaimana mungkin pesawat yang telah dirancang khusus dengan tekhnologi modern itu bisa jatuh terhempas oleh turbulency biasa, sedangkan menurut catatan terbang pesawat itu, badai yang mencapai ratusan knot saja pernah mereka terjang. Keanehan juga terjadi terlihat dari semua penumpang yang hangus terbakar di dalam pesawat, menyisakan satu penumpang yang dinyatakan masih hidup. Tubuh hangus yang jantungnya dinyatakan masih berdenyut itu kini dalam keadaan koma telah dilarikan rumah sakit Palembang. Hingga berita ini diturunkan, polisi belum bisa memastikan tubuh yang selamat itu, karena hampir seluruh bagian tubuhnya hangus dan tak dikenali. Fenomena apakah yang tengah terjadi ini?”

Suara sayup-sayup itu masih terdengar di telingaku, meski seluruh tubuhku tak lagi mampu merasakan apapun. Bahkan hanya untuk menggerakan kelopak mataku saja aku tak lagi mampu. Semuanya terasa begitu gelap, hanya samar-samar suara pembawa berita dari salah satu stasiun televisi yang sengaja ditempatkan di ruangan berhawa sejuk ini.

Aku mencoba untuk menggerakan badanku sekali lagi, namun semakin ingin kugerakan semakin ngilu di seluruh persendian tulangku. Jantungku juga malah makin berdenyut tak karuan, entah apa yang tengah berlaku pada tubuh ini. Yang jelas aku memang tak lagi merasakan apapun, aku mati rasa! Aku tak bisa apa-apa… meski telinga ini masih mampu menangkap suara halus.

“Bagaimana dengan kondisi pasien ini Dok? Apa sudah mulai bisa dikenali,” Seseorang nampak berdiskusi tentang tubuh hitam legam tersebut.

“Entahlah Pak, yang jelas kondisi pasien ini sangat kritis. Hampir seluruh kulitnya hangus terbakar dan tak bisa dikenali, bahkan wajahnya saja nyaris tak berbentuk. Hanya saja dapat kami pastikan kalau pasien ini adalah laki-laki berusia sekitar lima puluhan…”

“Bagaimana dengan ciri-ciri yang lain, apakah ada yang bisa diidentifikasi, Dok?”

“Kami belum bisa berbuat banyak, karena sebagian daging dari tubuh yang terbakar itu sangat rentan dan melepuh. Kami tak sanggup kalau harus ada yang terlepas karena proses identifikasi…”

“Separah itu ya?”

“Benar Pak, bahkan hanya untuk membalikan badanpun untuk saat ini kami tak berani. Mengingat tingkat kebakaran pasien juga sangat berpengaruh terhadap denyut jantungnya yang sangat tidak stabil…”

“Baiklah Dok, kami dari pihak kepolisian sangat berharap kalau pasien ini mendapat penanganan yang tepat. Ini berkaitan dengan pesan dari klien kami yang masih berharap bahwa salah satu penumpang yang selamat itu adalah keluarganya…”

“Kalau boleh tahu siapa, Pak? Barangkali kami bisa menggunakannya untuk membantu kesadaran pasien…”

“Bapak Muhammad El Faridz,” jawab lelaki yang berintonasi seperti aparat hukum itu. “Dia orang penting negeri ini…”

“Maksud Bapak, Muhammad El Faridz yang politikus itu?”

“Betul, satu tahun belakangan ini beliau memang sangat terkenal di jagat politik negeri ini. Banyak hajat dan kepentingan yang bersumber dari kapasitasnya sebagai politikus kelas atas,” suara polisi itu makin berat, “oleh karena itu kami berharap Dokter bisa berjuang sekuat tenaga untuk kesembuhan pasien ini…”

“Akan kami perjuangkan semampu kami, Pak…”

“Baik, kalau begitu saya mohon diri. Saya akan melaporkan hasil temuan ini ke Markas Besar Kepolisian Negara, agar setelah ini akan ada pengamanan dan pengawalan ketat untuk rumah sakit ini…”

“Baik, Pak. Ohya, Pak, boleh saya bertanya sesuatu?”

“Tentu Dok, ada apa?”

“Apakah kemungkinan pesawat itu dibajak oleh teroris benar? Mengingat pemilik maskapai penerbangan ini adalah Negara yang banyak diincar oleh sekian banyak teroris….”

“Bisa jadi benar, tapi semuanya masih menjadi bahan penyelidikan pihak KNKT dan Badan Intelijen Negara. Dan saya harap, Dokter bisa merahasiakan semuanya ini kepada siapapun…”

“Baik, Pak…”

Setelah itu aku tak mendengar percakapan apapun, keadaan menjadi hening. Hanya suara beberapa mesin pencatat denyut jantung dan pergerakan saraf motorik dari samping tempat tidurku. Bunyinya yang beraturan seolah melantunkan melodi paling sedih dari yang pernah kudengar. Karena ada pergulatan hidup atau mati dari setiap not yang terdengar. Aku berharap kalau melodi yang paling menakutkan itu berubah menjadi kidung dzikir yang menyejukan jiwaku, seperti saat Ummi menidurkan aku, atau Abi yang menggendongku kala senja menerawang datang.

Ah, mungkinkah aku berharap semuanya berganti menjadi seperti itu, bila semasa hidup aku tak pernah sedikitpun memikirkannya. Dalam kesejahteraan hidupku, aku tak pernah melafadzkan dzikir sedetikpun di alur nafasku. Ahh, inikah ironi terperih dari apa yang akan kurasakan, inikah senandung terpahit yang akan kujalani? Ataukah prosesi sakaratul maut, bagi tubuh kotor dan penuh dusta ini? Andai semua itu benar, apakah aku masih boleh berharap kalau itu tak berlangsung lama ? Yaa Allah, mungkin ini kali pertama sejak tiga puluh tahun terakhir aku menyebut-Mu dengan segenap hatiku, bilakah ada kesempatan bagiku untuk berharap. Jika memang ini sakaratul maut yang pernah Kau sebut dalam kitab-Mu, semoga itu tak berlaku lama untuku….

Aku masih terus berandai-andai dengan harapan yang sangat kutahu tak layak bagiku. Ketika tiba-tiba sekelompok orang tiba-tiba masuk dan mengeluarkan suara yang gaduh penuh dengan kecemasan. Beberapa diantaranya malah terdengar seperti berlari-lari, entah apa yang mereka kerjakan yang jelas aku menangkap ada aura ketakutan dan kekhawatiran diantara mereka. Beberapa saat kemudian, aku juga merasakan dua buah benda panas yang ditempelkan di bagian dadaku. Sebuah sengatan yang cukup tinggi seolah menghempaskan tubuh gosongku. Hentakan dari sebuah aliran listrik itupula yang membuatku sesaat tertarik dari kondisi melayangku. Entah apa yang tengah berlaku…

“Alhamdulillah, denyut jantungnya kembali….”

“Bagus, jaga agar detaknya tetap stabil, Suster….”

“Baik dokter, “seru sebuah suara yang terdengar nyaring dan lembut.

“Coba periksa tekanan darahnya?”

“130 per 80 ….,” jawab suara wanita yang dipanggil Suster itu.

“Baik, terus jaga diangka itu Sus, pastikan penjagaan ketat untuk pasien ini…”

“Baik Dok,” jawab Suster tegas.

Keadaan mendadak hening kembali, tinggal suara sayup yang makin lamat-lamat di telingaku. Suara yang halus itu seperti berbisik dan membicarakan kondisiku. Mereka sepertinya dua orang perawat yang bertugas menjaga setiap perkembangan denyut jantungku.

“Siapo sebenarnyo orang ini, Kak? Nampaknyo semuanyo sibuk nian menjaga, sampai-sampai dokter kepala turun sendiri…”[1]

“Entahlah Dek, yang jelas pasti orang besar dia ini…”

“Kalau ndak salah dengar, tadi pagi ada dari Kepolisian Pusat yang datang kemari untuk memeriksa, katanya orang ini adalah seorang politikus besar yang namanya sering muncul di tv, siapo yaa, oh iya, Muhammad El Faridz… benar itu Kak?”

“Aku ndak yakin, Dek. Yang jelas siapapun itu, tugas kita hanya memastikan orang ini mendapatkan perawatan terbaik dari apa yang bisa kita lakukan…”

“Benar itu Kak, sebagai perawat kita hanya menjalankan tugas sesuai standar keilmuan yang kita miliki. Tak peduli siapapun yang sedang terbaring itu, orang jahatkah, atau orang baikkah, tugas kita hanya satu menyelamatkan jiwanya semampu yang kita bisa…”

Suara percakapan itu kembali terhenti, berganti hening yang makin bergelayut menemaniku. Sementara mesin pencatat denyut jantung serta hembusan oksigen yang terus menempel diwajahku masih berjuang dengan tugas pokoknya. Inilah kondisi yang paling ironis dari seorang Muhammad El Faridz yang katanya politikus kondang dengan segudang kolega. Kondisi paling miris dari seorang anggota dewan yang terhormat yang siap mencalonkan diri menjadi Menteri atau mungkin Presiden negeri ini.

Betapa dulu tubuh gosong ini adalah orang yang memiliki strata sosial tertinggi di kelasnya, memiliki sekian banyak kekuasaan hingga ke tingkat paling tinggi negeri. Dan satu hal yang mungkin tak sempat diketahui sebagian orang adalah mendapatkan apapun yang aku mau di dunia ini. Dan itu harus! Bila ada yang mencoba menghalangi atau mengkritikku maka selalu aku masukan ke dalam musuh politikku. Dan kalau itu sampai terjadi maka aku tak segan menggembosi mereka dengan cara yang paling halus sekali. Dan efeknya, para lawan politikus baik dari kalangan politikus, birokrat atau masyarakat sekalipun akan mati langkah secara perlahan, hingga ujungnya aku menghabisi mereka hingga ke akar-akarnya. Ha ha ha… hebat khan aku!!!

Mengingat kapasitasku dulu aku jadi ingat bagaimana proses lobbying dari para birokrat yang munafik terhadapku. Dulu sebagian besar mereka menghujat dan berseberangan denganku, namun ketika datang hajat mereka yang berkaitan dengan kapasitasku, barulah mereka mulai melunak. Dan satu hal yang membuatku muak dan tertawa dengan tingkah polah mereka adalah ; berubah menjadi manis secara drastis! Karenanya apa salah kalau kemudian aku juga memanfaatkan kondisi itu untuk meraih keuntunganku. Mau tahu kejadiannya? Begini…

Waktu itu menjelang akhir anggaran, seperti biasanya setiap Departemen mulai merancang anggaran untuk tahun berikutnya. Bertepatan saat itu juga aku diangkat menjadi sekretaris PAL (Panitia Anggaran Legeslatif) [2]yang nota bene memiliki akses khusus pada penentuan rekomendasi terhadap disetujui atau tidaknya sebuah daftar usulan anggaran. Aku melirik tumpukan RKA [3] yang disampaikan beberapa Departemen jumlahnya hampir memenuhi meja kerjaku. Sebagai sekretaris PAL, tugasku memang agak banyak berkaitan dengan administrasi kepemerintahan. Beberapa Departemen yang merupakan mitra kerjaku kerap melakukan hearing[4] denganku. Ini bukan dalam konteks menjalurkan dan menajamkan program dan sasaran yang tengah mereka rancang untuk satu tahun anggaran ke depan, akan tetapi lebih jauh hanya demi deal-deal politik[5] yang menguntungkan satu sama lain. Mereka membutuhkan pengesahan dan persetujuan kami dalam perancangan anggaran kegiatan yang bersumber dari APBN, sedangkan aku sendiri seperti biasanya mengemban amanat partai yang memayungiku untuk bisa memberikan pemasukan bagi partai. Tak heran kalau pada akhirnya, aku harus memutar otak dalam hal mengkritisi apa yang mereka rancang. Aku harus mengerahkan kejelianku dalam mengkritisi beragam anggaran yang diusulkan eksekutif, sehingga bisa menjadi bahan koreksiku pada saat rapat hearing nanti. Ini penting karena dengan bahan-bahan kritik tersebut bisa menjadi senjataku dalam menekan para eksekutif pengusul dengan upeti atau setidaknya memasukan beberapa item yang menjadi aspirasiku sebagai anggota dewan.

Pernah sekali waktu aku menemukan besaran harga dan duplikasi pembiayaan dalam sebuah kegiatan. Modusnya bisa bermacam-macam, bisa karena kurangnya koordinasi antar Departemen sehingga mengakibatkan ada dua kegiatan yang dibiayai oleh 2 Departemen, atau memang ada pendanaan yang sengaja digelembungkan hingga beberapa ratus persen. Selain temuan-temuan di atas, aku sendiri sering menangkap kejelian dari rekan-rekanku yang menemukan adanya indikasi kegiatan yang tidak sesuai dengan Renstra[6] Departemen. Dan itu bagi kami merupakan senjata empuk untuk menggempur dan menaklukan para Departemen ’nakal’. Aku sendiri tak peduli dengan semuanya itu, yang ada di benakku, aku harus bisa mendapatkan celah untuk mendapatkan upeti atau menitipkan sejumlah kegiatan sebagai sebuah aspirasi. Dan yang terpenting, ada masukan untukku dan amanat partaiku. Sebagai partai yang besar dan berpengaruh, aku harus bisa menjaga kebesarannya sebagai partai yang kaya dan bermodal.

Sebuah lagu dari band masa kini teralun dari Blackberry-ku. Sebaris nomor tak kukenal terpampang di layar lebarnya. Malas-malasan kuangkat handphone yang baru kubeli tiga hari yang lalu itu. Kutempelkan lekat-lekat di telingaku untuk bisa mendengar si pemilik suara di ujung saluran sana.

”Assallamu ’allaikum, dengan Bapak El Faridz?”

”Ya, saya sendiri, dengan siapa ini ?”

“Saya Pak, Djusman Sumantri, Kepala Deputi Bagian Umum dan Kerumahtanggaan dari Departemen Transportasi Negara....”

“Oh iyaa, bagaimana Pak, ada yang bisa kami bantu?”

“Begini Pak, mengenai RKA yang sudah ada di meja Bapak, kalau bisa saya....”

“Yang itu, nanti saja Pak, Bapak bisa sampaikan hal itu pada ketua PAL kami, dalam hal ini saya tidak memiliki kewenangan banyak,” kataku memotong pembicaraan salah satu kepala Departemen tersebut. Aku tak mau dinilai ‘murah’, dengan langsung menanggapi setiap ‘pesanan’ birokrasi ini. Gayaku memang seperti itu, selain menunjukan kalau aku tak mudah di ’rayu’, aku juga punya kelas dalam hal ini. Yang datang dengan amplop tebal saja aku masih sempat menolaknya, apalagi hanya melalui handphone seperti ini. Nanti dulu!

“Tapi Pak, Bapak khan sebagai sekretaris PAL yang kami tahu sangat dekat dan menentukan nasib setiap RKA yang kami usulkan, jadi alangkah kurang sopannya kami bila tidak menghubungi bapak lebih dahulu dalam hal penentuan ‘deal’ ini, Pak...”

“Saya hargai sikap Bapak, tapi maaf kalau bisa nanti saja dilanjutkan pada saat hearing, saya masih berkonsentrasi dan meneliti setiap item RKA dari Bapak-Bapak sekalian,” kalimatku sengaja ku ambangkan, aku ingin memancing sejauh mana eksekutif yang katanya seorang kepala bagian ini bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Betul Pak, maaf kalau telepon kami mengganggu Bapak dalam bekerja, kami hanya mencoba memastikan kalau salah satu item kami....,” laki-laki yang mengaku seorang Kepala Deputi Bagian itu mulai membuka sendiri masalahnya. Dan hal ini merupakan satu point kemenanganku, tinggal terus menggiringnya saja.

“Semua item RKA Bapak pada dasarnya kami setujui semua Pak, ngga perlu khawatir. Kami juga memahami apa yang menjadi amanat rakyat pada tugas pokok dan fungsi Bapak...,” aku masih menggantungkan kalimatku.

“Terima kasih, Pak...”

“Hanya saja, ada beberapa hal yang tentunya perlu kami luruskan, apabila memang kurang pas sasaran!” setelah kalimatku yang terakhir itu, suasana hening mewakili percakapan via handphone ini Entah apa yang menjadi fikiran lelaki di ujung handphone sana, yang jelas aku mulai tersenyum kecil. Setidaknya setelah ini akan ada ‘obyekan’ untukku.

Kejadian selanjutnya, mereka akan sering menghubungi aku baik via handphone maupun secara langsung. Satu hal yang sering aku lakukan bila pertemuan secara langsung adalah, bertemu di sebuah cottage terpencil yang jauh dari keramaian kota, seperti di Kepulauan Seribu atau Pulau-Pulau Eksotis di Pedalaman Ujung Kulon sana. Ini kulakukan karena menghindari berbagai penyadapan dan kecurigaan dari beberapa individu yang memang tak menyukaiku, baik lawan politiku atau juga aparat pemeriksa. Untuk yang terakhir sebetulnya aku sudah tak begitu takut lagi, dengan pengaruh dan kedekatanku dengan orang-orang penting negeri ini bagiku mereka hanya dagelan belaka. Toh pada prinsipnya mereka juga hanya bekerja dan mencari uang untuk kebutuhan mereka, jadiii yaa gitu deeh. Hari gini siapa sih yang menolak uang?

Aku masih sibuk dengan beragam kenangan yang membanggakan sekaligus menyedihkanku sebagai seorang politikus, ketika beberapa orang kembali datang kepadaku. Meski aku tak dapat melihat, namun rasanya aku tahu siapa mereka ini. Yaa dari langkah dan suara mereka, aku bisa memastikan kalau mereka dari pasukan khusus intelijen dan petinggi kepolisian negara.

“Ini salah satu penumpang yang masih dinyatakan selamat itu?”

“Siap benar Pak, menurut data para penumpang lelaki ini diindikasi seorang politikus yang tengah naik daun itu, namanya Muhammad El Faridz...”

“Hmm, kalau memang benar dia, analisa kami ini mungkin saja sabotase yang dilakukan lawan-lawan politiknya. Sekaligus sangat memungkinkan kalau pesawat ini telah dibajak lebih dulu oleh teroris...”

“Bagaimana hasil dari tim forensik dan KNKT sendiri Pak...”

“Belum banyak informasi yang didapat Pak, sementara ini baru sekedar meneliti penyebab teknis kerusakan pesawat...”

“Bagaimana black box yang ditemukan, apa sudah ada khabar?”

“Siap, belum Pak! Black box yang ditemukan kemarin dibawa langsung oleh negara pemilik pesawat mahal itu, dengan pertimbangan mereka telah memiliki teknologi membaca dengan cepat....”

“Oke, saya fikir observasi dan penelitian hari ini cukup, saya akan kembali ke Jakarta dan memantau kasus ini dari kalangan pejabat negara...”

“Baik Pak, kami akan teruskan pengawalan dan penjagaan di sini...”

Suara derap langkah merekapun terdengar mulai meninggalkan kembali ruangan yang katanya didesign super eksklusif khusus untuku itu. Tapi bagaimana rasanya aku tak tahu, yang jelas aku merasa melayang dari setiap hembusan nafasku. Dengan tubuh yang mati rasa dan mata yang tak mampu kubuka kelopaknya, membuat semua keekslusifan itu tak berguna untuku. Bila sudah seperti ini, aku baru merasakan pentingnya sehatku sebelum sakitku. Aku baru menyesali masa-masa lapangku dibandingkan masa sempitku seperti ini, karena semuanya terlewat tanpa ada yang menenangkan jiwaku...

“Saya tidak aneh, dengan ucapanmu...” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Dan yang membuatku tercengang adalah, aku dapat menggerakan kelopak mataku dan melihat lelaki yang berpakaian rapi di depanku.

“Sudah sembuhkah aku?” kataku kemudian seraya bangkit dari tidurku. Perlahan kuperhatikan pula kalau kulit tubuhku seolah kembali ke asalnya.

“Jiwamu tak pernah terluka meskipun kenyataannya kamu sudah sakit dan menderita lama,” seseorang yang berpakaian serba putih itu kembali berucap.

“Maksud anda, aku ini...”

“Ya kamu adalah jiwa dari laki-laki yang tengah terbaring dengan tubuh gosong itu. Ragamu yang dulu gagah dan sekarang gosong itu adalah amanah Allah yang baru saja kamu sia-siakan. Hingga di ujung usianya kamu tak sedikitpun memberikannya cahaya, malah membuatnya hitam legam tak bernyawa...”

“Mengapa anda berkata seperti itu? Siapa anda sebetulnya....”

“Kamu ngga tahu siapa aku?” aku menggeleng pada sosok lelaki yang wajahnya seperti akrab di memoriku itu, “pantas saja kalau selama tiga puluh tahun terakhir ini kamu berbuat seenaknya, kalau aku saja sudah tak kamu kenali...”

“Wa.. wa... wajahmu mirip denganku di masa muda dulu, tapi aku benar-benar ngga mengenalmu,” kataku makin bingung menatap apa yang ada di depanku.

“Sudahlah ngga penting kamu kenal aku atau tidak. Sekarang mari ulurkan tanganmu, aku akan sejenak mengajakmu jalan-jalan...”

“Jalan-jalan?”

“Iya, kamu khan sudah hampir sebulan tidur di ranjang sekarat itu,” katanya dengan intonasi agak meninggi, “kamu ngga ingin refreshing? Bukankah selama ini kegiatanmu terlalu padat, pasti butuh refreshing...”

“Aku mau tapii...”

“Sudah ulurkan saja tanganmu!”

Dengan ragu aku mengulurkan tanganku hingga menjabat tangan lelaki berpakaian putih itu erat. Tangannya sangat dingin menyentuh kulitku, meskipun tubuhnya terlihat begitu bersinar. Perlahan-lahan, ia menarik tanganku dan membawaku melayang terbang. Jauh dan jauh, hingga aku melihat tubuh lelaki gosong yang diam terbaring itu makin kecil. Terus melayang hingga seketika kabut putih menyelimuti kami...

“Kemana kamu akan membawaku?” tanyaku gemetar...

“Tenang saja, aku janji akan membawamu kembali!”

“Tapiii, aku meninggalkan tubuhku jauh...”

“Santai aja, ini juga menuju sosok tubuhmu,” katanya makin meyakinkan, “tapi di tiga puluh tahun yang lalu...”

“Tiga puluh tahun yang lalu?”

Lelaki yang menjabat erat tanganku itu tak lagi bersuara, ia hanya terus membawaku melayang dan terus melayang. Hingga di suatu kondisi dimana aku merasa kalau aku sudah berpijak pada dataran yang lembut dan nyaman di kakiku. Di atas awan! Dan dari sana, lelaki berpakaian putih ini menunjuk ke sebuah arah.

“Lihat itu....”

Aku menuruti arah telunjuk lelaki itu, hingga terpampang di hadapanku sebuah kampung kecil di pinggiran sebuah kota dengan kesibukan sekelompok masyarakatnya. Beberapa dari mereka nampak mengumandangkan tasbih, tahmid dan tahlil, sedangkan yang lainnya nampak terisak seraya memanggul keranda mayat. Itu seperti prosesi pemakaman salah satu anggota mereka. Di samping orang-orang yang tengah berkabung itu, nampak seorang pemuda dengan tiga orang adiknya yang jalan beriringan. Wajah mereka pucat dan seakan memendam kesedihan yang mendalam.

“Itu... itu aku dan adik-adiku?”

“Yah, itu kalian.”

“Jadi yang sedang di usung itu...”

“Abdurrahman Rahmat! Ayahmu...”

“Abi ? Abi...,” kataku tertahan. Membawaku seolah kembali di masa tiga puluh tahun yang lalu itu. Dan karena ucapanku itu pula, aku seolah melayang pada sosok di masa lalu itu. Sebagai Muhammad El Faridz, pemuda yatim piatu miskin, pedagang ikan mas di pinggiran kota santri, Pandeglang.

%%%%%%


[1] (dialek Palembang) Siapa sebenarnya orang ini Kak? Nampaknya semuanya sibuk sekali menjaga, sampai-sampai dokter kepala turun sendiri…

[2] Pantia yang dibentuk guna menelaah dan mengkaji secara materiil setiap usulan anggaran dari pihak eksekutif sebelum akhirnya ditetapkan sebagai keputusan bersama antara Eksekutif dan Legeslatih dalam sebuah penyusunan anggaran, baik belanja public maupun belanja aparatur dalam satu tahun anggaran.

[3] Rencana Kegiatan Anggaran, yakni semacam usulan beragam kegiatan yang dibiayai oleh APBN/APBD yang diajukan setiap mengakhiri tahun anggaran untuk persiapan tahun anggaran berikutnya.

[4] Proses dengar pendapat antara eksekutif dan legeslatif dalam pembahasan rencana anggaran

[5] Kesepakatan politik, bentuk kerja sama untuk saling menguntungkan dua atau lebih pihak yang melakukan

[6] Rencana Strategis, yakni rancangan program, kegiatan dan sasaran dari sebuah departemen dalam jangka lima tahun. Dengan adanya renstra otomatis pelaksanaan setiap tahun anggaran yang berjalan harus sesuai dengan panduan program atau kegiatan yang telah tercantum tersebut. Oleh karenanya, penentuan dan pembuatan renstra semestinya melalui proses yang panjang demi mengkerucutnya prediksi kebutuhan kegiatan di masa datang.

Minggu, 25 April 2010

1. Ironi di Ujung Hari




Suasana yang indah di taman yang penuh warna ini tiba-tiba meremang, berganti udara dingin yang bergerak sangat kencang menusuk persendian tulangku. Ini benar-benar tak kuharapkan, apalagi ketika aku memutuskan untuk sendiri dan meninggalkan apa yang aku punya. Perlahan-lahan rumah megah yang kubangga-banggakan selama tiga puluh tahun terakhir inipun mulai memudar dari pandangan. Begitu pula beragam kelengkapan kemewahan rumah megah ini mulai samar-samar terlihat, mobil-mobil kelas terbaik, gazebo yang didesign sangat unik , serta taman bergaya jepang dengan aneka tanaman hias mahalpun mulai memudar. Ini tak mungkin, mengapa semuanya mendadak jadi kabur dan tak jelas dimataku. Apakah yang terjadi dengan alam ini? Apakah alam ini tengah menghadapi masa tuanya, dengan kabut yang sangat tebal berterbangan? Apakah ini yang dinamakan hari akhir, ketika apa yang kita banggakan hanya seharga debu? Ataukah memang, sejatinya Sang Maha Pemilik tengah mengambil kembali apa yang telah Ia berikan pada setiap hamba-Nya….

Tidak, ini tidak mungkin, ini tidak mungkin. Sehari kemarin masih sering kudengar adzan dan ayat suci terlantun, ini tidak mungkin kiamat! Matahari juga seingatku belum terbit dari barat, ini bukan akhir zaman! Tidak mungkin, ini hanya gejala alam saja! Aku harus bisa pergi dan menyelamatkan semua harta bendaku, aku tak mau apa yang kubangun selama ini hilang begitu saja! Mana para pelayan dan pembantuku, kemana mereka semua? Brengsek!!! Mengapa saat seperti ini tak satupun yang hadir membantuku, Rahmat… yaa pelayan setiaku itu, mana dia? Biasanya ia paling setia dan paling sering menampakan mukanya dibandingkan yang lain…

“Rahmaaat… Rahmaaaattt!!!” teriakku membahana di sekeliling rumah mewah yang mulai meleleh menjadi debu ini, “dimana kamuuu? Rahmaaat, kemana kamu pergiii?!!”

Aku benar-benar tak bisa menerima semuanya ini, aku benar-benar kalut dan marah dengan apa yang tengah terjadi. Bingung, takut dan menyesal membuatku benar-benar merasa tak lagi memiliki akal. Segala yang kupegang dan kucoba untuk kuselamatkan berubah menjadi debu dan hilang tertiup angin. Gejala alam apakah seperti ini, fenomena alam apakah ini. Bukan kiamat khan? Bukan hari akhir khan…??!!

“Rahmaattt, dimana kamu, Bantu akuuu…!!!” teriakku kembali, entah mengapa dari puluhan pembantuku, dan ratusan orang yang kukenal, rasanya cuma nama itu yang bisa kusebut dan kupanggil. “Rahmaaaattt!!!!”

“Saya disini, Pak…”

“Rahmat, darimana saja kamu? Cepat, bantu aku mengemasi barang-barang berharga ini dari gejala alam sialan ini…”

“Maaf tidak bisa Pak!”

“Tidak bisa bagaimana? Kamu saya gaji besar tahu, mengapa tidak bisa membantuku?”

“Bukan itu, Pak…”

“Maksud kamu apa? Ini bukan kiamat khan? Ini bukan akhir dunia khan?” tanyaku masih kalut dan takut.

“Memang bukan Pak, ini bukan kiamat atau akhir zaman…”

“Lalu mengapa kamu tidak segera menolongku, bukankah kehidupanmu, kebutuhan keluargamu aku yang menanggungnya? Cepat bantu aku, bodoh!!!”

“Ini memang bukan kiamat Pak, tapi ini akhir dari zaman kehidupan Bapak!”

Aku melotot serius ke arah pembantu setiaku itu, jelas kalimatnya mengandung penghinaan dan pelecehan padaku. Aku masih sehat dan bugar, mana mungkin kalau ini adalah akhir kehidupanku…

“Batas kesombongan dan keangkuhan Bapak terhadap hidup telah mencapai batas akhir Pak. Ini saat dimana Bapak akan kembali pada ucapan sombong dan durhaka Bapak pada taqdir, dunia, hidup dan Tuhan!”

“Ngomong apa kamu, Mat? Cepat kemari Bantu aku, aku sudah mulai kaku tak mampu untuk bergerak…”

Namun Rahmat tak jua bergerak membantuku, ia hanya diam dan menatap lurus ke arahku yang mulai mengeras dan menjadi batu. Sementara kerongkonganku mulai tercekat dan lagi bisa untuk berucap. Suara yang kupaksakan keluar hanya berbuah lenguhan menahan sakit yang luar biasa, hingga semua dinding rumah megahku berhamburan menjadi debu ke tanah aku tak mampu berbuat apa-apa. Hingga pada puncaknya, sebuah kilat dengan cahaya terpendar terlihat jatuh tegak lurus ke arahku. Dengan hitungan beberapa detik kilatan cahaya itu jatuh tepat ke arahku dan melahirkan suara dentuman yang sangat menggelegar. Aku menjerit luar biasa hingga dunia di sekelilingku terasa ikut berguncang…

“Aaaaaaaaaaaaghkk!!!”

“Pak, Bapak…. Bangun Pak!” sebuah suara membarengi teriakanku.

Seketika aku terjaga dengan mata terbelalak, sementara keringat dingin bercucuran mewakili kegelisahan. Aku meraba seluruh tubuh memastikan apa yang telah terjadi. Pandanganku juga tajam berkeliling memastikan kalau semuanya ini hanya mimpi. Aku masih berada di kamar president suit dari hotel bintang lima, selimut dan kasur yang super empuk juga masih menjadi alas tidurku. Jadiii, semuanya memang hanya mimpi?

“Dimana ini, Mat?”

“Bapak masih di Hotel The Sulthan, Jakarta,” suara Rahmat tenang dan menenangkanku.

“Bukan di villa pulauku?”

“Ini di Jakarta Pak, Bapak masih ada agenda rapat di sini…”

“Tapi…. Tapi, rasanya…”

“Bapak terlalu lelah. Satu bulan terakhir ini memang sarat dengan agenda kerja, jadi Bapak kecapean dan bermimpi,” Rahmat masih mencoba menenangkanku.

“Yah, cuma mimpi yaa Mat….”

“Mimpi Pak, sebaiknya Bapak tidur lagi, masih terlalu pagi…”

“Yah, aku juga masih lemas, tapi aku tak mau tidur lagi. Aku tak mau mimpi menyeramkan itu datang lagi…”

“Kalau begitu Bapak rebahan saja, biar saja berjaga di kamar ini,” kata Rahmat seraya beranjak dan memastikan setiap sudut ruangan kamar hotel ini aman. Kesetiaannya memang membuatku selalu merasa aman menjalani hari-hariku, itu pula mengapa aku selalu jadi bergantung padanya. Meski sejujurnya kesetiannya itu terkadang justru membuatku muak. Muak karena menganggapnya sebagai manusia rendah yang mau diperintah hanya gara-gara aku mencukupi kebutuhannya.

Rahmat nampak berjaga disekeliling kamar hotel dengan kelas terbaik ini, pandangannya tajam berkeliling di setiap sudut. Ia seperti ingin memastikan kalau semuanya aman terkendali. Telah dua puluh tahun terakhir ini, memang cuma dia bawahanku yang terlihat sangat setia dan peduli padaku. Padahal ia sering kuperlakukan tak baik, atau kadang malah sering melecehkanya sebagai seorang abdi. Sering kali makian dan hujatan yang kusampaikan ketika ia melakukan kesalahan atau kecerobohan walau sedikit pun. Bagiku ia memang tak berhak menyampaikan keberatan sedikitpun atas perlakuan tak manusiawiku. Tak jarang ia juga aku maki hanya gara-gara lupa akan jadwal atau agenda kerja selama satu minggu.

Namun ia memang tipikal abdi yang sangat setia dan benar-benar tulus dengan jobs description[1]-nya, apapun yang kulakukan atau apapun yang kukatakan tak pernah satupun yang ditentangnya. Ia malah tak jarang hanya mengangguk atau tersenyum tanpa berkomentar atau mengeluh sedikitpun. Oleh karena itu, aku tetap peduli dan memperhatikan setiap kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.

Bukan hanya karena kesetiaannya, akan tetapi karena namanya memang sama dengan nama almarhum ayahku. Nama Rahmat memang memberi arti tersendiri bagiku, ada bayangan masa lalu yang senantiasa bersemayam di hatiku. Tentang pengorbanannya, keteladanannya dan juga amanahnya yang tak mampu kuemban dengan baik. Untuk alasan yang terakhir itulah, kadangkala aku jadi bingung dan labil. Bingung karena aku tak lagi bisa merasakan kebanggaan dengan apa yang kudapat kini. Labil, karena aku memang telah jauh dari sifat dan kepribadianku selama dua puluh terakhir ini. Aku tak mengenali lagi apa yang pernah melekat dalam jiwa dan kepribadianku.

Apa yang kulakukan sekarang sangat jauh dari nilai-nilai agama yang dulu sangat kupegang erat. Kini aku lebih sibuk dengan beragam aktifitas dunia yang bersifat hedonis, materialistis dan satu lagi yang sering terlontar oleh sekian banyak lawan politikku yakni, egois dan sadis! Sungguh, meskipun dalam sikap dan keseharianku aku tak peduli dengan anggapan semua orang, namun jauh dilubuk hatiku, aku sangat gelisah dengan semua predikat itu. Di lubuk hati yang terdalam itu, aku selalu berontak dan tak menerimai kenyataan ini. Aku juga tak ingin seperti apa yang kulakukan sekarang ini, tapi kemana kearifan dan kejujuran yang katanya tuntunan sikap teragung itu?

Sejak tiga puluh tahun terakhir ini, semua orang juga cenderung munafik! Tak ada lagi manusia yang kujumpai tulus dan jujur, apalagi memiliki kearifan, nonsense! Itu hanya retorika politik guna menarik perhatian massa, itu semua hanya lips service yang sebenarnya sudah sangat basi! Jadi apa salah kalau sebenarnya aku juga hanya memainkan peranku seperti layaknya kebanyakan para anggota dewan yang terhormat itu? Bukankah semua orang berhak dengan apa yang telah diraihnya? Bukankah sebenarnya semua orang juga bersaing untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan…

Perlu diketahui, untuk bisa seperti posisiku sekarang, aku telah berjuang lebih dari sepuluh tahun masa karir dan dua puluh pengorbanan bathin! Dilecehkan, dihina, direndahkan dan yang masih kurasakan hingga kini, diperlakukan seperti binatang! Kesengsaraan dan kepahitan hidup yang kurasakan bukanlah sesuatu yang mudah harus kulupakan, aku sudah menelan semuanya itu dengan diam. Meski kucoba untuk ikhlas dan bersabar, namun pada kenyataannya hatiku senantiasa berontak untuk segala ketakadilan yang kurasakan! Tiga puluh tahun sudah cukup bagiku untuk merubah semua kondisi ketaknyamanan ini menjadi sesuatu yang membanggakan dan membahagiakanku! Aku tak peduli lagi dengan pendapat orang lain, aku tak peduli lagi dengan lingkungan sekitarku, dan yang terakhir kurasakan sekarang… aku juga tak peduli lagi dengan Tuhan!

Bagaimana aku bisa tetap peduli dengan segala aturan dan perintah-Nya, kalau selama tiga puluh terakhir ini, Dia juga tak pernah memperdulikan aku! Bagaimana aku masih harus mengakui kekuasaan dan kebesaran-Nya kalau selama tiga puluh tahun ini, justru lebih banyak kesengsaraan dan penderitaan hidupku. Aku ditinggalkan kedua orang tuaku justru ketika begitu banyak harapan dan keinginan dalam hidupku, aku juga harus kehilangan ketiga adiku justru ketika aku mencoba untuk bersabar atas segala ujian dan cobaan-Nya! Jadi, untuk apa juga aku masih harus memikirkan kalau Tuhan itu ada dan maha memberi kasih sayang pada setiap hamba-Nya. Ah! Ngga penting

“Sarapan sudah siap, Pak. Bapak ingin sarapan di restaurant atau di kamar ini?” Rahmat mengejutkanku yang sedikit termangu menatap langit Jakarta dari jendela kamar yang terletak di lantai 18 ini.

“Ada menu apa Mat, aku agak mual pagi ini…,” jawabku sedikit tak acuh.

“Ada fried rice, omlet ala carte, bread sandwich, isit soup, chiken babycorn soup[2], dan beberapa masakan tradisional, Pak…,” Rahmat sangat cermat menganalisa medan. Ia memang sangat detil dalam menangkap instrument sekeliling. Meski ia bukan chef[3], ternyata mampu pula ia menghapal dan menyebut beragam makanan yang terhidang di meja sarapan hotel bintang lima ini.

“Apa saja masakan tradisionalnya, Mat?” aku masih tak acuh dengan kesetiaan ajudanku itu. Pandanganku masih focus pada mobil-mobil yang terlihat sibuk di jalanan Jakarta, meski baru mengawali pagi.

“Ada soto sulung, serabi bandung, dan bubur khas Cirebon, Pak…”

“Aku ingin mencoba bubur khas Cirebon, tolong pesankan! Aku ingin sarapan di kamar ini saja,” ucapku yang masih dalam kondisi tak acuh dengan kehadiran ajudan setiaku.

“Baik, Pak!” suara Rahmat terdengar lantang dan segera beranjak dari berdiri siap-nya.

“Tunggu, apa agenda kerjaku satu minggu ini?”

“Hari ini ada rapat komisi yang membahas persetujuan pemugaran lahan hutan sebagai pusat perdagangan, dengan Departemen Hutan Rimba dan Pemerintah Daerah Kabupaten Hutan Mangrove Utara, Pak!” Rahmat terlihat sibuk dengan buku catatan kecil yang selalu dibawanya. Meski usianya mulai menginjak empat puluh, namun tak ubahnya seperti para purna praja yang baru lulus dari Kastrian STPDN. Masih sigap dan selalu siap dengan perintah atasan.

“Terus apa lagi?”

“Dua hari ke depan ada undangan jamuan makan malam dengan para Chief Executive dari PT. Angkasa Luar Biasa, berkaitan dengan pemastian izin penggalian tambang batu bara dan timah di pedalaman Papua. Untuk event ini , mereka ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas rekomendasi dan dukungan Bapak….”

“Tiga hari ke depannya?”

“Ada undangan Majelis Dzikir Ad-Dzikra, katanya ada dzikir dan doa bersama untuk keselamatan bangsa dan negara. Dalam kesempatan ini, panitia meminta kesediaan Bapak untuk memberikan sambutan guna melengkapi elemen birokrasi yang turut bergabung…”

“Yang itu di cancel saja, saya ada undangan by phone pembukaan spa di Bali Resort. Ngga enak kalau ngga datang, katanya mereka sudah menyiapkan acara khusus untuk kedatanganku…” ucapku serius. Aku memang agak risih dengan undangan seperti itu, bukan apa-apa, aku sudah bosan berpura-pura religius dan agamis! Lagipula aku juga sudah tak banyak hapal dengan ayat atau hadist yang bisa kusampaikan dalam sambutan. “Yang lainnya?”

“Agenda terakhir untuk minggu ini adalah rapat tertutup dengan para pimpinan partai Pak, untuk yang satu ini Bapak mendapat undangan khusus dari Dewan Pimpinan Pusat Partai Mari Membangun Lagi.”

Aku sedikit memiringkan kepalaku, menandakan kalau aku mencoba serius dengan agenda terakhir. Meski aku tak begitu suka dengan rapat yang bertele-tele dan hanya sibuk membahas pemenangan pemilu atau penggalangan dukungan, namun aku tak bisa mengelak untuk acara seperti ini. Setidaknya melalui parpol inilah aku bisa menjadi seperti sekarang, meski aku hanya middle leader[4] dari fungsionaris parpol ini.

“Baik jadwalkan dengan baik, waktu dan tempatnya untuk agenda yang terakhir. Jangan lupa siapkan beberapa ratus juta untuk donasi acara, aku tak ingin mereka menilaiku kurang bisa berterima kasih,” kataku sedikit menyeringai dengan tatapan sinis.

“Baik Pak, akan saya laksanakan,” kata Rahmat sigap, “kalau tidak ada perintah lagi, saya izin untuk memesan sarapan Bapak.”

“Ya sudah sana, jangan pakai lama. Perutku nanti makin mual…”

Lelaki berbadan tegap itu, sedikit membungkuk dan kemudian beranjak dari tempatnya berdiri. Aku sedikit melempar senyum pada lelaki yang telah mengabdi sejak ia bujangan itu. Meski aku sangat keras dan memandangnya tak lebih sebagai jongos, namun aku tetap peduli dan memperhatikannya. Seperti alasan di atas, namanya mengingatkan aku pada Abah!

Pintu kamar president suit ini kembali tertutup, ketika ajudan sekaligus bodyguardku itu menghilang dari pandanganku. Kamar yang luas dan sangat mewah inipun kembali sepi, hanya terdengar alunan musik santai penghantar pagi yang sejam lalu diputarkan oleh room boy. Ah, mengapa dengan semua kondisi yang lebih mewah dan super sempurna ini, tetap saja tak membuat puas hatiku. Selalu saja aku merasa kesepian dan gamang di kehidupanku. Selalu saja ada yang hilang di hatiku, dan merasa kalau hidup ini tak berpihak padaku.

Aku beranjak dari tidur malas-malasanku, sesekali kugaruk perutku yang terlihat makin membuncit. Dengan kehidupan glamour dan serba wah , aku memang tak lagi menggerakan otot-ototku untuk sekedar berolah raga, sehingga kondisi perutku makin tambur saja. Masih lekat dalam ingatanku, kalau masa mudaku dulu, katanya badanku sangat bagus. Ramping dan padat berisi, mungkin karena taqdir susahku, sehingga tubuh dan ototku terbiasa bergerak. Meski tak berolah raga sesungguhnya, namun dengan profesiku sebagai tukang jual ikan mas, membuatku setiap saat berolah raga.

Sejenak kutatap wajah tuaku di cermin, banyak lemak dan gelambir kulihat pula di sana. Itu wajah suksesku di usiaku yang menginjak lima puluhan ini. Pipiku terlihat tembem, dengan hidung dan kantung mata yang terlihat membesar. Alisku yang dulu rapih bagai semut hitam berbaris, kini menyisakan beberapa helai rambut putih, itupun tak jelas lagi letaknya. Rambutku juga sudah mulai tak kompak dengan semangat mudaku, sebagiannya telah berkhianat dengan meninggalkan kepalaku. Beberapa surainya memang masih berwarna hitam, namun sebagian besarnya justru telah memutih semua. Ha ha ha… tiga puluh tahun itu telah merubahku sedemikian rupa!

Tapi persetan dengan semuanya itu! Meski dengan penampakan seperti itu, aku masih terlihat gagah dengan stelan jas yang sering kupakai. Tangan dan kakiku juga masih diharapkan oleh sekian banyak orang, untuk sekedar mensukseskan hajat dan keinginan mereka. Siapa juga yang berani menandingiku sebagai warga negara kelas satu, kaya, terhormat dan pimpinan sebuah fraksi dari Dewan Perwakilan Rakyat negeri ini. Meski katanya ijazah S1, S2 atau S3-ku diragukan, toh analisa dan kebijakan politisku disukai banyak kalangan. Terutama para birokrat papan atas dan pengusaha kelas atas. Yaa memang siih, aku ngga begitu tertarik dengan kebijakan yang berbasis kerakyatan. Masalahnya, ngga ada untungnya juga terlalu berpihak pada mereka. Berbeda kalau aku berpihak pada golongan di atas, selain memberikan pengaruh dan perkuatan pada posisiku, sekali waktu aku juga bisa dapat bonus travel cheque, rumah mewah, atau mobil jenis terbaru dengan cc dan interior terbaik. Atau kalau sedang beruntung sekali, aku bisa memilih artis atau model cantik papan atas untuk sekedar menemani tidurku. Hi hi hi hi… meskipun kalau kupikir-pikir kacau juga ya! Orang yang katanya terhormat seperti aku, ternyata ngga bagus-bagus amat…

Ting Tong!

“Yak, masuk!” kataku agak kesal dengan bunyi bel kamar yang mengusik.

Room service, Pak! Ini bubur khas Cirebon pesanan Bapak…”

“Yak, terima kasih,” kataku seraya mengibaskan tanganku mengisyaratkan pelayan itu untuk segera pergi. Sementara mataku menatap lurus pada Rahmat yang mengiringi langkah lelaki berseragam hotel itu. Ia cepat tanggap, dikeluarkannya selembar lima puluhan ribu sebagai uang tip pelayan itu. Kontan saja pelayan berbadan ceking itu membungkuk dan melemparkan ekspresi terima kasih.

“Terima kasih, Pak!”

Aku tersenyum sinis menanggapi pemandangan di depanku. Dasar manusia rendah semua, baru selembar duit saja sudah sedemikian hormatnya. Aku segera menghampiri meja makan yang sarat dengan kelengkapan sarapan kini. Semangkuk bubur khas Cirebon, dan air putih langsung amblas ke dalam perutku. Meski katanya aku sudah menjadi orang kaya, selera makanku terkadang memang masih sangat kampungan. Aku masih menggemari air putih mineral, dan tak begitu suka dengan hidangan ala western sana. Mungkin karena lidahku selama lima puluh tahun terkahir ini memang terbiasa dengan masakan kampung, sehingga kurang begitu suka dengan selera modern. Dan satu hal yang membuatku, katanya tetap terlihat fit oleh dokter pribadiku, yakni kegemaranku selalu minum air putih.

“Pukul berapa sekarang, Mat?”

“Pukul tujuh kurang lima menit, Pak.”

“Acara hari ini jam berapa?”

“Setengah sembilan, Pak. Bapak masih ada waktu sekitar satu setengah jam, kalau Bapak ingin sekedar jogging atau fitness akan saya temani,” Rahmat begitu setia. Namun semakin ia tunjukan kesetiaan itu, sebenarnya semakin muak aku melihatnya. Karena itu memancingku untuk tak lagi hormat padanya…

“Temani aku ke swimming poll aja, rasanya enak duduk berjemur di udara pagi.”

“Baik Pak,” kata Rahmat seraya meraih kursi roda untuk mengantarku.

“Ngga pakai itu, aku ingin jalan. Tunjukan saja arahnya.”

“Baik, Pak. Silahkan,” Rahmat berjalan membarengi setengah langkah di belakangku. Ia memang menjaga betul adab keprotokoleran, sebagai sarjana public relation kapasitas yang satu itu memang tak perlu dipertanyakan lagi. Aku sangat percaya dan yakin untuk itu.

Beberapa jam terlewat sudah, kegiatan pembuka di pagi itupun usai sudah. Kini aku mulai berkonsentrasi pada rapat komisi yang memang lebih banyak mendengarkan arahanku. Beberapa anggota dewan yang lain memang sempat berdebat dan beradu argumen denganku, teori dan analisis mereka juga cenderung tajam dan penuh kosa kata yang brilliant. Namun asal tahu saja, jauh sebelum rapat komisi ini di mulai, kami sudah mendesign sebuah skenario yang cermat dan tepat. Sehingga keputusan yang diambil nanti, pada akhirnya hanya sebuah statement dengan bargaining position [5]yang sangat menguntungkan untuk semua yang hadir di mimbar rapat ini.

Intinya, rapat apapun bagi kami hanya sebuah drama politik yang harus kami mainkan dengan sempurna. Karena setiap individu telah siap dengan peran dan penokohan yang sempurna, rapat inipun akan terlihat sebagai tayangan yang real dan seperti ‘iya’. Semua pelakon akan sangat hati-hati dan professional dalam bermain, karena usai pementasan kami semua mendapat ‘angpao’ yang telah diset besarannya.

“Jadi begitu ya, untuk Departemen Hutan Rimba ngga perlu ragu untuk melanjutkan rekomendasi ini menjadi sebuah keputusan. Sedangkan untuk Pemda Hutan Mangrove Utara, sabar aja yaa… rekan-rekan kita dari Departemen akan segera mengeluarkan izinnya untuk pembangunan pusat perdagangan bertaraf international itu,” kataku dengan intonasi yang paling berwibawa.

“Terima kasih Bapak Ketua, kami sangat menghargai dukungan Bapak ini. Selaku Sekretaris Daerah, kami menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya dari Bapak Bupati kami pada Bapak selaku pimpinan Komisi…”

“Ahh, yang itu sudah menjadi tugas saya dan rekan-rekan, bukankah kita semua berkomitmen untuk membangun negeri ini? Jadi mengorbankan sedikit hutan untuk lahan perdagangan bertaraf internasional bukanlah hal yang negative. Sampaikan salam kami semua pada Bapak Bupatinya yaa…”

“Baik Pak, nanti kami sampaikan.”

Acara hari itupun usai, aku kembali ke peraduanku dengan pengawalan ajudan sekaligus bodyguardku, Rahmat. Ketika sampai di kamar, beberapa koperku nampak telah rapi terkemas. Siang ini aku memang harus segera terbang ke Phoenix Hotel Singapura, bersiap untuk menghadiri jamuan makan malam dengan Chief Executive PT. Angkasa Luar Biasa. Jamuan makan yang juga akan dihadiri beberapa pengusaha kelas kakap juga menteri dari sejumlah Departement Republik ini, akan menjadi ajang prestisius untuk anggota dewan seperti aku. Bukan tidak mungkin atas dukungan mereka pula, sekali waktu aku bisa dicalonkan sebagai Menteri atau kalau aku boleh berkhayal, yaa jadi Presiden juga boleh. Kenapa ngga, yang sudah-sudah juga begitu. Bahwa dukungan rakyat sejujurnya, yaa bukan dari kelas bawah itu, tapi dari para konglomerat yang mau mendanai iklan dan kampanyeku. Jadi kenapa tidak!

“Kita akan berangkat dengan penerbangan ke lima, Pak. Jadi masih ada satu jam sebelum pukul lima sore. Apa ada yang bisa saya lakukan sebelum take off ?”

“Tolong hubungi toko stationery[6], carikan beberapa paket perlengkapan sekolah untuk dikirim ke Pandeglang. Ada dua pesantren yang mengajukan bantuan pendidikan by phone tadi, “ kataku seketika. Entah mengapa minggu terkahir ini, aku kepikiran terus dua pondok pesantren tempat kelahiranku. Setidaknya meski dengan ujudku seperti ini, mereka tak pernah bosan mendoakan keselamatan dan kesuksesanku. Mereka adalah pondok pesantrennya KH. Mamad dan KH. Jamaksary yang masih begitu erat di hati ini. Meski keduanya telah wafat, namun aku tak bisa melupakan jasa yang telah mereka berikan padaku dan adik-adiku dulu.

“Oh iya, kirimkan juga dua paket perlengkapan sekolah untuk kedua anakmu, sampaikan salam saya pada mereka,” kataku sebelum akhirnya menyelinap ke kamar mandi untuk sejenak berendam dengan air hangat.

“Baik, Pak. Terima kasih,” ucap Rahmat seraya beranjak dari pintu kamar hotelku menuju kamar sebelahnya. Dia memang menginap tepat di samping kamar ini hingga bisa cepat bereaksi untuk apapun yang terjadi padaku.

Waktu mulai menunjukan pukul empat lebih, keadaan di sekitar hotel bintang lima inipun mulai menjingga menyambut senja. Mungkin tak lama lagi akan terdengar suara adzan sebagai pertanda masuk waktu maghrib. Meski kini aku jarang lagi membasahi wajah dan tubuh ini dengan air wudhu, setidaknya aku masih mau berhenti sesaat untuk mendengar alunannya. Banyak kisah dan kenangan yang tak bisa kulupa di hari menjelang maghrib ini. Beberapa waktu yang silam, selain aku harus kehilangan Faiz yang jatuh dari truk pengiriman kaso, Salam yang harus pergi menggapai cita – citanya ke Cairo, aku juga harus rela melepaskan Ucu dipangkuan sang Malaikat Izrail karena tak mampu lagi membelikannya obat. Kejadian terpahit dalam hidupku itu seakan tak bisa lekang dalam ingatanku. Kejadian yang membuatku kini benar-benar berubah dan tak lagi mengenal sosok Muhammad El Faridz yang dulu.

Aku benar-benar telah bermertamorfosis sebagai sosok mahluk yang berbeda dari apa yang telah kutiti sejak aku di lahirkan. Tak ada lagi salam dan istighfar dalam keseharianku, tak ada pula terenyuh hati dan mimpi menjadi seorang santri. Yang ada kini adalah kemurkaan dan sakit hatiku terhadap nasib hidupku. Terlalu banyak cobaan yang membuatku tak lagi mengenal akan adanya keadilan dan rahmat Tuhan, aku telah membuang jauh semuanya itu. Bagiku kini adalah bagaimana berjuang dalam hidupku dengan cara apapun yang bisa aku lakukan. Yang penting aku bisa menunjukan pada warga kampungku, aku bisa berbangga pada sekitarku, kalau aku bukan sekedar anak yatim piatu lagi. Aku bukan Muhammad El Faridz si tukang ikan lagi. Aku adalah seorang anggota dewan yang terhormat, warga masyarakat yang memiliki strata dan penghargaan yang tinggi.

Sejenak kurebahkan tubuh tambunku di kursi massage yang katanya bernilai dua puluh lima juta ini, ada kepenatan yang coba kulepaskan dari gerakan elektriknya. Beragam keluh dan kesah yang kurasa dari rutinitas hidupku, coba aku hempaskan sejalan alunan asap rokok dari mulutku. Ditemani alunan musik klasik dari Barat sana, akupun mulai menghitung dan merancang kemungkinan-kemungkinan yang akan aku lakukan pada acara makan malam yang katanya akan dimulai tepat pukul 20.00. Sesekali kulirik arloji yang melingkar di tanganku, aku ingin memastikan untuk tidak terlambat turun dari hotel mewah ini. Setidaknya Rahmat memang telah merancang keberangkatanku ke Singapura pukul lima sore ini.

Dua jam berlalu, kini aku tengah duduk santai di sebuah maskapai penerbangan mahal dalam perjalanan menuju Bandara Changi, Singapura. Meski kepalaku tak berhenti berdenyut, dan otaku terus berputar, aku mencoba untuk tetap rileks. Setidaknya kabin dengan klas super eksekutif ini, memang memberikan kenyamanan untuk itu. Aku tak mau terlihat kampungan diantara para bule dan orang-orang kaya dari negeriku, karena kabin mahal ini memang hanya diisi beberapa orang saja. Meski sejenak kami saling tegur dan senyum, namun jauh di hati kami masing-masing memandang sinis. Ada semacam pertanyaan, darimana kami semua mendapatkan uang untuk tiket di kelas mahal ini? Mau apa jauh-jauh ke Singapura? Mau shopping, bisnis atau tengah melarikan diri karena tengah di usut KPK? Aah.. aku koq jadi terbawa paranoid seperti itu yah!

Kutarik bagasi samping tempat duduku yang terbuat dari bahan yang halus dan super empuk, beberapa majalah kelas dunia terpampang di sana. Beberapanya malah memerkan sosok selebritis dunia dengan pose-pose syurr. Ah… perjalanan ini bagai di kamar suit president saja, manakala segala makanan dan minuman berkelas ditawarkan para pramugari cantik dan berpakaian seksi. Mungkin ini merupakan tambahan dari standar pelayanan terbaik dari maskapai penerbangan yang dikenal mahal ini.

Sesaat ingatanku terpaut pada beberapa puluh tahun yang lalu, ketika aku kecil dan berangan-angan untuk bisa naik pesawat terbang yang sering melintas di atas rumah kami. Begitu inginnya aku, sampai-sampai Abah membuatkan aku ayunan dari kayu berbentuk pesawat yang kedua ujung nya diikatkan pada pohon besar di halaman belakang rumah kami. Itu saat terindah bagiku, ketika aku merasa telah naik pesawat terbang sungguhan dengan ayunan seperti itu.

Excuse me sir, anything to drink?[7]” sebuah suara halus membuyarkan lamunanku.

Oh, sure, just mineral water please[8],” jawabku dengan sedikit tersenyum pada pramugari berparas mirip Aura Kasih itu. “Thank you!

You’re welcome…,” sambutnya seraya berlalu dengan nampan peraknya. Sementara mata tuaku yang masih juga nakal nampak membingkai pemandangan tak halal dari bagian belakang perempuan cantik itu.

Perjalanan yang katanya memakan waktu satu jam dua puluh menit itu, seakan menawarkan kehidupan yang sangat nyaman bagiku. Really pleasure, and very execellent, he he he…

Aku memicingkan mataku ketika tiba-tiba pesawat ini terasa berguncang. Kalau tidak salah rute Jakarta – Singapura memang melintasi langit Sumatera Selatan yang katanya titik pertemuan dua arah mata angin. Oleh karenanya menimbulkan sedikit turbulency pada badan pesawat, jadi tak heran kalau pesawat ini terasa berguncang meski sedikit. Hanya saja yang menjadi pemikiran sesaatku, bukankah pesawat ini dirancang sangat elegan dan tahan dengan beragam turbulency sedang? Tapi mengapa maskapai yang bertiket sangat mahal ini, tak jauh beda dengan maskapai penerbangan biasa. Ah, pasti ada yang tak beres ini.

Kecemasan mendadak hadir di hatiku, ingatanku juga mendadak melayang pada mimpi yang sangat mengejutkanku semalam. Mimpi yang membuatku menjerit dan Rahmat datang tergopoh-gopoh ke kamarku. Apakah itu pertanda untuk kejadian ini? Aku terus bingung dan merasa khawatir ketika pesawat ini terasa makin berguncang keras. Bahkan suara operator pesawat yang menyuarakan agar kami mengencangkan seat belt serta memakai masker oksigen, tak lagi jelas kudengar. Apakah pesawat ini tengah bermasalah? Apakah ini perjalanan terakhirku sebagai manusia terhormat? Apakah Allah akan memberikan murka-Nya padaku yang selama ini tak lagi mengingat-Nya…

Keringat dingin bercucuran di keningku, akupun tak peduli lagi ketika dengan tergesa-gesanya Rahmat meraih seat belt dan melingkarkan ke perutku yang buncit. Yang ada di fikiranku sekarang hanya galau, resah, takut dan menyesal yang bercampur aduk. Inikah saat terakhir itu…

Suara pesawat bergemuruh berbarengan guncangan yang makin tak terkendali. Suara jerit ketakutan juga mulai terdengar, diantara suara operator dan pramugari yang mencoba menangkan kami. Namun beberapa detik ke depan, kondisi tak nyaman itu malah makin menjadi. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan saat itu, hanya diam seraya bersiap menerima kenyataan kalau hari ini adalah terakhir kami menikmati indahnya dunia. Hingga guncangan yang makin besar itu, menghempaskan beberapa bagian badan pesawat ini. Suara gemuruh itupun bercampur ledakan-ledakan kecil yang makin mencemaskan kami. Tak ada lagi akal waras kami yang tengah menanti datangnya ajal, hanya isak dan nafas yang tersengal menyesali hari ini. Menyesali untuk gaya hidup dan perjalanan yang tak barokah ini, menyesali kalau niat pergi hari ini bukan untuk tujuan yang baik, dan menyesali kalau hari ini bukanlah pelengkap dari ikhtiar amal shaleh.

Aah, mengapa pemikiran itu begitu erat di hatiku kini? Inikah wujud penyesalan sebenarnya, ketika suul khatimah nampak segera menjemput. Masihkah ada kesempatan dan waktu kami untuk bertobat, Yaa Allah. Masihkan ada kasih-Mu untuku sejenak membenahi pengingkaranku terhadap-Mu…

“Yaa Allah, ampuni hamba-Mu ini,” hanya lafadz itu yang sempat terucap ketika tiba-tiba pesawat ini meluncur jatuh ke bumi dan menyisakan bunyi detuman yang maha dahsyat. Menciptakan sebuah ironi di ujung hari, dan sesal yang tak pernah lekang di hati. Hingga gelap mewakili sekelilingku kini…


[1] Rincian tugas

[2] Jenis sarapan yang sering ditemukan di hotel-hotel ; nasi goreng, telur dadar gaya western dengan isi beragam sayur atau daging, roti isi selai sayur dan daging, sop yang terbuat dari sirip ikan hiu, soup jagung muda, pada suatu kesempatan jenis sop ini sering juga dijadikan apettizer atau makanan pembuka.

[3] Ahli masak

[4] Pimpinan menengah, posisi dimana seseorang telah mendapatkan kekuasaan memimpin dalam sebuah organisasi namun masih dibawah komando pimpinan yang lebih atasnya.

[5] Posisi tawar, yakni kondisi dimana kebijakan yang diambil lebih karena dasar pembagian keuntungan dari beberapa pihak yang terkait atau terlibat. Kebijakan yang ditentukan berdasarkan kondisi ini biasanya lebh merupakan kesepakatan politik dari beberapa kepentingan saja, sehingga kurang berpihak pada kepentingan rakyat banyak.

[6][6] Alat – alat tulis

[7][7] Permisi tuan, mau minum apa?

[8] Oh tentu, air mineral saja …