Wilujeung Sumping

Assallamu allaikuum...
semoga rahmat dan berkah Allah tercurah untuk Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kita semua sebagai umatnya...

Kamis, 25 Maret 2010

5. Aku, Ruby dan Amanah Ibu…


CIREBON, 1983

Aku menatap burung-burung jalak yang masih berterbangan di pagi yang sudah mulai terang ini. Dari sekian banyak hewan yang tersisa, burung-burung jalak itulah yang masih dapat kulihat ketika berjalan melewati kebon pisang H. Nawa. Rute ini adalah jalan yang paling kuhapal menuju sekolahku di SD Kebon Melati II Cirebon. Letaknya di Jalan Muhamad Toha, orang-orang biasa menyebutnya Kampung Melati, mungkin karena dulunya di kampung ini banyak orang menanami bunga melati. Untuk kota yang masih tergolong agamis serta berlatar belakang tradisi yang kuat, banyak masyarakat Kota Cirebon saat itu yang memanfaatkan bunga melati dalam beberapa acara ritual keagamaan. Mungkin selain baunya yang khas, bunga melati juga sangat akrab dengan tradisi Jawa-Cerbon dalam setiap perhelatan. Baik acara Muludan, Sunatan, Pernikahan, Nuju bulanan, Nadranan[1] sampai Kliwonan yang memang rutin terjadi di setiap bulannya. Semua acara tersebut pastinya tidak akan terlepas dari kelengkapan bunga melati. Mungkin karena itulah berkebun bunga melati bisa jadi merupakan bisnis yang menjanjikan dan menguntungkan.

Salah satu rute yang kulewati selain kebun pisang kepok H. Nawa, ya kebun bunga melati tadi. Aku selalu melintasinya meski hanya sekedar menghirup aroma yang merebak di sekelilingnya. Mungkin karena itu pula belakangan aku suka sekali minum teh poci yang beraroma bunga melati, dan itu hingga berpuluh tahun kemudian. Sebenarnya bukan hanya sekedar itu yang menjadi alasanku untuk terus melintasinya setiap menuju ke sekolah, akan tetapi ada alasan lain yang setiap hari aku berharap menjumpainya. Yakni menemukan jantung-jantung pisang kepok yang sengaja dibuang untuk merangsang pertumbuhan buahnya. Bagi pemiliknya ini merupakan cara yang tepat dalam meningkatkan mutu buah, sehingga jantung yang sudah tak terpakai itu mereka potong dan di buang. Bagi kami itu adalah rezeki, karena jantung pisang kepok sangat enak untuk dijadikan sayur santen atau ditumis. Atau setidaknya laku untuk dijual pada Mbok Darmi dengan beberapa rupiah, lumayan khan! Dan lokasinya itu adalah kebun pisang H. Nawa setelah melewati kebun bunga melati di Kampung Sepakat itu.

Yang pasti karena alasanku itu, aku dan Ruby berangkat lebih pagi menuju sekolahku. Aku berharap menemukan jantung pisang kepok yang mungkin bisa kujual ke Mbok Darmi. Sebetulnya aku sering diingatkan Ibuku, kalau aku dilarang memungut jantung pisang di kebun orang. “Meskipun yang punya kebun tidak pernah marah atau mencari, tapi itu bukan hak kita, Cung….,” begitu pesan Ibuku. Namun bukan berarti aku sengaja ingin melanggar pesannya kalau ternyata di hari yang masih sepagi ini, aku berjalan ke kebun bunga melati itu. Akan tetapi aku ingin sekali membeli buku tulis letjes baru agar dapat mencatat pelajaran yang mulai banyak di kelas tiga ini. Dengan menemukan jantung-jantung pisang yang ‘tak bertuan’ itu, setidaknya aku bisa menukarnya dengan dua atau tiga buah buku letjes yang bersampul biru dongker itu.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri ketika langkahku persis melewati kebun melati yang bersebelahan dengan kebun pisang kepok H. Nawa. Hatiku terus berharap kalau benda yang paling dicari dan diperebutkan teman-teman sepermainanku itu dapat kutemukan pagi ini. Tiap jengkal tanah dan sudut kebun ini kuperhatikan lekat-lekat, biasanya pemilik kebun itu membuang jantung-jantung itu di sana. Namun meski hampir kuselusuri semua petak kebun yang berluas 2000 meter ini tetap saja tidak kutemui benda yang sangat kuharapkan.

Tapi aku tetap tak berputus asa, setidaknya jam masuk ke sekolah masih setengah jam lagi, aku masih memungkinkan ‘berburu’ jantung keberuntungan itu beberapa menit ke depan. Tiap sudut dan gundukan tanah yang kulewati kuperhatikan betul-betul, hingga pandanganku terpaut pada sebuah benda bulat lonjong berwarna merah marun gelap yang terselip diantara daun-daun pisang kering. Namun tepat ketika aku berniat menghampiri benda yang paling kuharapkan itu, tiba-tiba sebuah tangan dengan cekatan meraih dan membawa jantung pisang itu.

“Aha… aku duluan!!!” serunya separuh mengolok kekurangsigapanku.

“Yaa saya khan yang lihat dulu, Ros!” kataku agak kesal pada teman sepermainanku yang terkenal sedikit ‘preman’ itu.

“Tapi khan aku yang ngambil duluan, maaf yaa…”

Aku menatap tak senang pada lelaki kurus, ceking, dan berkuku hitam itu. Pandangannya seolah menyampaikan kalau ia pemenang dari kontes berebut jantung ini. Aku mencoba mendekat untuk melihat jantung pisang itu lebih jelas, namun detik itu juga Rossi menyembunyikan jantung pisang itu di balik badannya. “Eit, ini miliku, Rist! Kamu tidak bisa mengambilnya…”

“Wuiih, wedi nemen di jukut ya![2] kataku kesal, “aku cuma mau lihat tahu, jantung pisang kepok atau bukan.”

“Boleh saja, tapi tidak perlu dekat-dekat! Nanti jantung pisang ini bisa jatuh dan pecah berantakan, bisa-bisa tidak laku lagi.”

“Iya iya, takut amat sih!” kataku seraya melihat jantung pisang yang dipegang erat oleh Rossi, “mmm, besar sekali. Mau kau jual kemana?”

“Yaa biasa lah, Mbok Darmi. Dia pasti mau beli dengan harga dua ratus rupiah,” kata Rossi berspekulasi.

“Mm… tidak mungkin, paling juga laku seratus lima puluh,” kataku asal, “itu juga kalau kualitas jantung pisangnya masih bagus.”

“Ehh, ini masih utuh tahu, pasti baru tadi subuh atau semalam ditebangnya,” Rossi nampak tidak terima dengan ulasanku.

“Ya, tapi Mbok Darmi khan lebih tahu, belum tentu ia mau segitu!”

“Jadii, bagusnya dijual kesiapa?” tanya Rossi kemudian. Ia mulai termakan ucapanku.

“Bagaimana kalau kita jual ke Wak Kad?”

“Wak Kad pemilik warung soto? Tidak ah, aku tidak berani. Aku khan pernah dikejar-kejar dia gara-gara menumpahkan mangkuk dengkil[3]-nya. Yang lain saja!”

“Yang lainnya itu siapa, di kampung kita yang biasa jualan makanan khan cuma Wak Kad dan Mbok Darmi,” kataku serius.

“Bagaimana kalau ke Ibumu, Rist?”

Aku melotot ke arah Rossi, mana mungkin aku menjual jantung pisang temuan ini kepada Ibu. Ia bisa marah, kalau sampai tahu aku masih berburu jantung pisang kepok ini. “Tidak, tidak, jangan Ibuku…”

“Kalau bukan Ibumu, terus ke siapa lagi doong?”

“Kita jual ke Wak Kad saja!” kataku cepat.

“Yaa terserahlah, tapi kamu yang jualin yah…”

“Boleh aja, asal aku dapat bagian ya!” kataku melancarkan otak bisnisku, “yaa paling tidak aku bisa dapat dua buku letjes!”

“Dua buku letjes, yang satunya Rp. 50 itu?! Tidak! Enak aja, itu artinya di bagi dua dong, khan jantung pisang ini miliku, aku yang menemukannya,” Rossi berucap kesal.

“Yaa kalau begitu, sana jual saja sendiri!”

Rossi terdiam, dia ingin sekali menjual jantung pisang kepok temuan itu, akan tetapi ia juga tidak terlatih untuk berniaga seperti itu. Aku melirik ekspresi matanya yang berputar ke atas dan ke bawah, mungkin ia sedang berfikir dan mempertimbangkan semua ucapanku.

“Bagaimana?” tanyaku makin meyakinkan.

“Memang kalau dijual ke Wak Kad atau istrinya kira-kira laku berapa?”

“Yaa itu, paling juga laku Rp. 150,- “ kataku enteng, “tapi kalau aku yang bernegoisasi mudah-mudahan bisa Rp. 200,- deh…”

“Apa ya memang begitu,” katanya meragukan kecakapanku berdagang jantung pisang kepok.

“Coba saja jual sendiri, selain kamu juga tidak bisa tawar menawar, seingatku kamu juga masih punya hutang karena memecahkan mangkok sotonya khan? Jadi aku sangsi apa kamu bisa dapet sebesar itu, atau malah dianggap impas, he he he…,” ucapku setengah meledeknya.

“Yaa kalau begitu, terserah kamu saja Rist!” ucap Rossi sedikit kesal.

“Begitu doong, kita khan nemunya bareng-bareng, jadi hasilnya juga bareng-bareng. Itu baru namanya teman,” kataku seraya merangkul temanku yang sebenarnya agak ‘angker’ itu.

Setelah perdebatan singkat itu, aku dan Rossi memutuskan untuk menyimpan sementara jantung pisang temuan itu untuk dijual sepulang sekolah nanti. Kami biasa menitipkan ‘barang dagangan’ kami ke Mang Kus, penjaga sekolah kami yang terkenal baik dengan siapa saja.

“Harist!” suara tegas dan keras itu tertuju padaku. Wanita berperawakan tinggi langsing itu namanya Bu Marni, dia guru Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam sekaligus Wali Kelas kami. Guru di tempatku memang sedikit, sehingga mereka harus merangkap-rangkap jabatan dan tugas. Bu Marni sendiri sudah membimbing dan mengajarku sejak pertama kali masuk sekolah dasar. Kesabaran dan ketelatenanya telah membuat kami yang tidak bisa apa-apa jadi bisa menulis dan membaca. Setidaknya sebagian besar dari kami bisa meng-eja, mengenal dan menulis huruf setelah beberapa bulan di pegang beliau. Bila ingat semuanya itu, aku jadi sadar bahwa guru formal terbaik bagiku adalah mereka yang pertama kali mengenalkan kami pada kami baca dan tulis ; guru SD-ku.

Aku berjalan ragu-ragu ke depan kelas, sadar kalau ada tugas pekerjaan rumahku yang belum selesai. Beberapa temanku terlihat menarik mulut ke bawah mengekspresikan kalau mereka mengoloku. “Sa… saya, Bu.”

“Mana tugas PR-mu, Ibu tidak menemukannya di sini?” katanya seraya membolak-balik buku letjes yang sudah usang itu. “Seharusnya kamu menuliskan karanganmu ketika libur panjang kemarin khan?”

Aku diam tertunduk, tak berani menatap wajah Bu Marni yang terlihat galak kalau sedang marah. Tahi lalat di ujung dagunya juga seolah membesar jika ia marah.

“Seingat Ibu, kalian juga sudah ditambah dua hari sejak kalian masuk kembai ke kelas khan, tapi mana? Ibu tak melihat hasil karyamu di buku ini…”

“Ma… maaf, Bu,” kataku takut, ”saya sebetulnya sudah buat tapi…” Ingatanku melayang pada kejadian kemarin malam ketika aku merobek buku letjes yang berisi hasil karyaku, demi berbagi buku dengan adiku Ruby. Ia baru masuk tahun ini, Ibu memerintahkan aku untuk memberikan salah satu bukuku padanya. Yang menjadi masalah aku lupa dimana menyimpan satu lembar hasil karyaku itu.

“Tapi kenapa?” rupanya Bu Marni masih menunggu kelanjutan ucapanku, ”yang jelas Ibu tidak suka melihat anak malas yang cuma pandai membuat alasan belaka..”

“Saya….”

“Sudah sekarang, Ibu beri waktu kamu untuk menyelesaikan tugas mengarangmu sampai hari ini saja. Jadi istirahat nanti kamu tidak Ibu perkenankan untuk main, tapi kamu selesaikan tugas itu. Mengerti?”

“Mengerti Bu…”

“Baik sekarang kembali ke tempat dudukmu,” akupun kembali ke tempat duduku dengan rasa malu yang tak terkira di hatiku. “Ingat ini tidak saja berlaku hanya untuk Harist, tapi bagi siapa saja yang merasa belum menyelesaikan tugas mengarang dari Ibu, kalian hanya punya waktu untuk menyelesaikannya hingga hari ini. Mengerti?”

“Mengertiii…!!!”

“Baik, sekarang kita beralih ke pelajaran matematika. Iim, bagikan buku panduan matematika,” suara Bu Marni terdengar makin tegas. Aku tahu, ia pasti kecewa sekali kepadaku.

Menit berikutnya, kami sudah terhayut pada beragam hitungan perkalian dan pembagian ribuan yang merupakan materi awal kami belajar matematika di kelas tiga ini. Sesekali Bu Marni juga menyelipkan kuis hitungan di papan tulis, untuk merangsang kami berhitung dengan cepat. Perkalian dan pembagian dalam ribuan merupakan mata pelajaran kelas dua, sehingga di awal tahun kelas tiga ini kami hanya sekedar mengulang sesaat untuk materi hitungan yang lebih rumit dengan berbagai rumus.

Dua jam berlalu, bel istirahat yang terbuat dari potongan rel keretapun terdengar. Itu pertanda kami untuk istirahat dan sekedar merilekskan otak kami dengan bermain atau jajan di warung Bi Nas. Namun itu tak berlaku untuk kami yang mendapat tugas dari Bu Marni untuk dapat menyelesaikan karangan kami. Setidaknya ada delapan orang termasuk aku yang tidak diperkenankan untuk istirahat saat itu. Diantara delapan orang itu adalah Rossi dan Awuk yang memang langganan kena hukum guru. Kalau Rossi karena sikap bandelnya sedangkan Awuk karena ‘bolotnya’. Beberapa anak yang lain mungkin karena terlena dengan waktu liburan mereka yang sangat indah. Aku melihat hal itu pada si kembar Rina Runi yang selalu terlihat lebih dewasa dari anak perempuan seumurannya, atau Nengsih yang selalu bawa uang jajan ribuan ke sekolah. Pastinya mereka memang anak keluarga berada yang dimanja dengan segala kelebihan orang tuanya.

Jam istirahat belum lagi usai, ketika aku memulai karanganku pada paragraf ke tiga. Sesaat kutarik nafas dalam-dalam, entah mengapa di siang itu rasanya begitu banyak kata-kata bertaburan di kepalaku yang ingin kugoreskan di lembar buku tugas mengarang ini. Hingga paragraf ketiga selesai aku masih terus menyambungnya hingga paragraf ke empat. Beberapa kalimatnya malah membuatku sejenak terdiam dan membayangkan sosok yang paling banyak menginspirasiku; ibuku…

Tepat setelah dua puluh menit berlalu, jam istirahat pun usai. Kami yang mendapatkan tugas mengarangpun harus menyerahkan hasil pekerjaan kami, kecuali bagi yang belum. Mereka harus melanjutkan sepulang sekolah nanti.

“Baik, bagi yang sudah selesai silahkan dikumpulkan,” suara Bu Marni sedikit mengejutkan kami, “untuk yang belum, kalian bisa melanjutkan setelah bel pulang berbunyi.”

Setelah kami mengumpulkan hasil karangan kami, pelajaran selanjutnyapun dimulai, yakni pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang masih diajar oleh Bu Marni. Hari itu pokoknya Bu Marni seolah menjadi guru single fight bagi kami, atau lebih tepatnya ‘sehari bersama Bu Marni’.

“Jadi dengan demikian, jelaslah bagi kita apa yang dimaksud dengan mahluk hidup dan mahluk mati itu. Diantara mahluk hidup sendiri memiliki persamaan dan perbedaan. Nah, tugas kalian silahkan mencari bentuk perbedaan antara manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, sebagai sesama mahluk hidup. Siapa yang bisa selesai, bisa langsung pulang…,” katanya seperti biasa merangsang kami untuk terlibat dalam kuis ilmu pengetahuan ini.

Setelah itu kamipun berusaha untuk menuliskan jawaban pada buku kami dengan cepat, karena upah dari jawaban yang benar akan bisa langsung pulang. Bu Marni sendiri, nampak tenggelam dengan beberapa tulisan yang kami selesaikan pada saat istirahat tadi. Sesaat aku perhatikan matanya serius menatap tulisan miliku, entah apa yang difikirkannya, yang jelas ia menatap serius ke arahku sekarang. Aku yang tak sempat menunduk sempat bertabrakan pandang dengannya, namun Bu Marni tak terlihat marah seperti tadi pagi. Ia malah tersenyum ke arahku.

Beberapa rekan kelasku berlarian menunjukan hasil jawaban mereka ke depan kelas untuk diperlihatkan pada Bu Marni. Beberapa mereka yang dianggap benar disilahkan untuk pulang, sedangkan yang masih ada kesalahan diharuskan memperbaiki terlebih dahulu. Namun meskipun jawabanku dianggap benar Bu Marni tidak langsung menyuruhku pulang. Ia menyuruhku untuk tetap duduk di bangkuku hingga yang lainnya lebih dulu keluar. Aku berfikir kalau ia masih marah padaku, makanya aku masih diharuskan menunggu.

“Harist…”

“Saya Bu,” kataku meragu dan takut.

“Kemari, ada yang ingin Ibu tanyakan sama kamu,” akupun berjalan ke arah meja kerja guru yang terkenal tegas itu, “ini kamu selesaikan di jam istirahat tadi?”

“I.. iya, Bu,” kataku masih takut dan bingung.

“Ruby yang baru masuk kelas satu itu, adikmu?”

“Iya Bu.”

“Ibu fikir kamu sengaja melupakan tugas rumahmu dan malas seperti anak-anak yang lain. Namun dengan apa yang kamu tulis ini, membuat Ibu bangga dengan kesederhanaanmu pada adikmu,” Bu Marni terdiam sesaat, matanya masih menatap serius ke arahku. Hanya saja terlihat sejuk ke arahku, bola matanya yang bening juga seakan bertambah bening dengan air mata yang menggenang di kelopaknya.

“Ibu berharap kamu bisa terus menjaga prestasimu, Nak. Karena dengan prestasimu itu, Ibu yakin kamu bisa membahagiakan ibumu dan terus menjaga amanahnya…”

“Iya Bu,” jawabku yang masih bingung dengan arah pembicaraan ini.

“Maaf kalau tadi pagi, Ibu memarahi kamu Rist,” katanya kemudian, “Ibu hanya ingin kamu tetap menjaga prestasimu, demi masa depanmu kelak. Ibu ingin dari kelas ini lahir anak-anak yang bukan saja pintar tapi juga bisa berbhakti dan membahagiakan kedua orang tuanya.”

“Iya, Bu…”

“Sekarang ambil tasmu, kamu boleh pulang sekarang,” kata Bu Marni seraya menempelkan ujung sapu tanganya di sudut kedua matanya.

“Baik, Bu,” kataku seraya mencium tangannya dan melangkah kembali ke tempat duduku untuk mengambil tasku. Kemudian akupun berpamitan untuk pulang. Sementara itu, Rossi dan adikku Ruby telah menungguku di Warung Mang Kus, penjaga sekolah kami. Kami memang harus melanjutkan rencana menjual jantung pisang kepok temuan kami.

“Kenapa lama sekali Rist, kamu dimarahi Bu Marni lagi?” aku menggeleng seraya tersenyum. “Terus kenapa kamu ditahan tidak boleh pulang?”

“Tidak ada apa-apa, Bu Marni cuma bertanya beberapa hal…”

“Apa itu?” Rossi seperti penasaran sekali dengan apa yang terjadi.

“Sudahlah, tidak perlu kita bahas lagi. Yang jelas Bu Marni tidak marah lagi padaku. Ayo kita ke warung Wak Kad, nanti jantung pisang ini keburu busuk,” kataku memutus percakapan ini.

Berikutnya, kamipun pergi ke arah warung Wak Kad sesuai dengan rencana kami. Sepanjang perjalanan fikiranku terus tertuju pada ucapan Bu Marni tentang tulisanku. Entah apa yang membuatnya berubah setelah ia membaca tulisan sepanjang empat alenea itu. Seingatku aku hanya menuliskan mengapa aku kehilangan lembar kertas karangan masa liburanku. Hanya saja aku menyelipkan kutipan pesan Ibuku pada karangan itu…

“Sebagai kakak, kamu harus bisa menjaga amanah Mimi, yakni menjaga dan merawat adikmu, Ruby. Karena kamu lebih dulu diberi kesempatan hidup oleh Gusti Allah, dan merasakan air susu terakhir dari Mimi sedangkan adikmu tidak. Jadi kalau hanya sebuah buku untuk adikmu, Mimi rasa tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu terima selama ini …”

Dalam tulisanku juga aku ceritakan kalau aku merobek lembar pertama dari buku tulis dan memberikanya pada Ruby. Keeseokan harinya akupun kehilangan lembar kertas tulisanku disebabkan lupa menaruh .

Aku tak tahu apa yang sebenarnya membuat hatiku merasa tenang sesaat, di siang yang panas itu. Yang jelas dengan kejadian itu aku jadi mengerti, kalau sesungguhnya Ibu tengah mengajarkan kami untuk bisa berbagi. Karena hanya kekuatan berbagi seperti itulah harta dan kekuatan kami satu-satunya. Terima kasih Bu, akan selalu kuingat pesan dan amanahmu dalam langkah hidupku…

******


[1] Nadranan = Pesta laut yang diadakan setahun sekali

[2] Wuih, takut sekali diambil ya?

[3] Dengkil = kikil, kulit kerbau atau sapi

Senin, 22 Maret 2010

4. Senandung Rindu Masa Kecilku


Suara riuh yang sedari tadi menggema di lorong gerbong ini, berubah senyap ketika matahari sore mulai menyapa kami dengan bias jingganya. Roda kereta yang sedari tadi bergerak menyelusuri rel di atas gedung-gedung tinggi Jakarta, kini mulai melambat untuk sekedar berhenti di sebuah stasiun. Namanya stasiun Jatinegara, maklum kereta api Tegal arum biasa berhenti sejenak guna menarik penumpang yang memang menunggu atau beli tiket dari sana. Di stasiun ini pula segala derap nafas ‘masyarakat kebanyakan’ terlihat jelas dan sangat berbeda jauh dibandingkan Stasiun Gambir yang cenderung parlente dan menengah ke atas.

‘Masyarakat kebanyakan’ tersebut berwujud para pedagang asongan, pengamen, pengemis dan penyapu lorong-lorong gerbong kereta. Merekalah yang sebenarnya memberi warna pada tiap perjalanan di gerbong kelas tiga ini. Tingkah laku dan karakter mereka menunjukan ekspresi sepenuhnya sebagai masyarakat Indonesia seutuhnya, jauh dari kemapanan dan hanya berharap pada keberuntungan hidup hari ini.

Beberapa orang wanita nampak tersenyum ke arahku seraya menjajakan makanan kecil ke arahku, kalimatnya sangat halus dan meyakinkan untuk semua penumpang di gerbong ini. Mungkin itu trik yang biasa mereka lakukan untuk membujuk kami para penumpang. Namun dengan kondisi yang serba sesak seperti di gerbong kelas ‘rakyat’ ini, aku yakin hampir semua penumpang yang ada lebih berharap untuk segera berlalu. Namun Allah memang membagikan semua rezekinya dengan adil, di kondisi yang panas dan gerah seperti itu, ada saja yang mau membeli. Satu, dua hingga beberapa orang setelahnya malah berebut ikut membeli. Entah apa yang apa yang ada di fikiran mereka, mungkin sekedar iseng, atau juga karena kereta ini ternyata agak lama berhenti.

Seseorang menawarkan kacang garing yang dibelinya dengan jumlah banyak ke padaku. Wajahnya terlihat serius menawarkan apa yang baru saja ia beli. Namun dengan halus aku menolaknya dengan alasan bahwa aku masih kenyang dengan makan siangku. Namun karena lelaki muda itu terus mendesakku, akupun akhirnya menyerah.

“Tenang aja, Bang. Ini tidak ada obat biusnya, koq…” katanya kemudian membuatku agak malu dengan persangkaan yang mungkin saja terlewat di fikiranku.

“Maaf, sebetulnya saya memang masih kenyang, Mas. Saya makan agak terlambat tadi,” kataku menutupi rasa sungkanku, “tapi baiklah terima kasih.”

“Buat iseng, Bang,” katanya lagi seraya nyengir ke arahku.

“Iya, terima kasih.”

Lelaki muda yang mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun denganku itu kemudian membagikan beberapa bungkus kacang yang masih ada di tangannya kepada beberapa orang lain yang ada di sekitarku. Ia terlihat begitu tulus dan besemangat untuk membagikan kacang garing yang memang ia beli dengan jumlah yang banyak. Beberapa diantaranya menolak dengan tatapan yang penuh curiga, sedangkan yang lainnya menyambut seraya tersenyum dan berterima kasih. Di zaman seperti ini, kebaikan seperti itu memang sangat langka aku jumpai, untuk ukuran para penumpang yang nota bene tidak saling mengenal. Jadi akan menjadi sesuatu yang wajar ketika beberapa diantara mereka malah menghadapinya dengan tatapan sinis. Memang kasus perampokan dengan modus pembiusan kerap terjadi akhir-akhir ini, dan sikap beberapa orang tersebut bagiku mungkin lebih pada sikap kehati-hatian. Sebenarnya aku juga seperti beberapa orang itu, hanya saja aku segera sadar bahwa orang sepertiku apa yang harus dikhawatirkan. Aku tak pernah membawa uang banyak, apalagi dengan penampilanku yang apa adanya, rasanya tidak mungkin kalau ada yang menganggap kalau aku orang kaya.

“Bagaimana, Bang, enak?” tanya lelaki itu setelah ia membagikan semua kacang garing yang dibelinya.

Aku hanya mengangguk tersenyum mewakili jawabanku. Lelaki itu membalasnya dengan senyum pula, “syukur kalau Abang suka,” katanya kemudian.

“Maaf, saya belum kenal anda, “ kataku mencoba menyambung akrab.

“Oh iya, saya Syarif, Syarif Hidayatullah,” katanya seraya menjabat tanganku.

“Saya el Harist,” sambungku, “mau pulang atau sedang ada tugas di Cirebon?”

“Saya mau mengunjungi famili, Bang El, kemarin saya di telephone mereka katanya ada yang ingin disampaikan tetang perkembangan usaha rotan saya.”

“Oh, Mas Syarif pengusaha rotan yah?”

Ia mengangguk singkat menyiratkan kebanggaannya, “bukan usaha saya sepenuhnya. Sebetulnya ini perusahaan keluarga saya, hanya saja sejak kematian kedua orang tua saya, usaha rotan ini diserahkan pada saya. Cuma itu karena saya sendiri sudah sibuk dengan galery saya di Jakarta, saya tidak bisa mengelola langsung perusahaan itu.”

“Terus Mas Syarif mempercayakan perusahaan itu pada family, Mas?” tanyaku sok tahu, karena terpancing obrolan yang serius.

“Bukan family dekat sebenarnya, mereka itu dulunya kerja pada keluarga saya dan sudah lama sekali. Jadi kami telah menganggapnya sebagai keluarga, setidaknya karena ketulusan dan kejujuran mereka pada kami selama ini.” Sesekali lelaki muda itu beringsut dari tempat duduknya yang sudah tak nyaman karena banyaknya penumpang yang berdiri.

“Memangnya Mas Syarif hidup sendiri?” tanyaku agak jauh.

“Ya sejak kematian kedua orang tua saya, saya sekarang sendiri Bang El. Saya anak tutinggal, dan kebetulan sejak lima tahun yang lalu saya juga sudah hidup mandiri di Jakarta. Dulu saya sering bentrok dengan ayah saya karena saya tidak mau melanjutkan usaha rotanya. Ini dikarenakan hoby saya melukis. Saya ingin bebas mengembangkan kapasitas dan kemapuan saya, sehingga selepas kuliah saya memutuskan untuk merantau dan menetap di Jakarta. Sepuluh tahun lebih saya memperjuangkan obsesi saya untuk menjadi pelukis, dan selama sepuluh tahun itu saya hidup di jalanan. Dari satu terminal ke terminal lain, hingga dari satu stasiun ke stasiun. Saya benar-benar hidup layaknya anak-anak jalanan. Beruntungnya, kehidupan jalanan yang saya alami ada dalam kesolidaritasan yang tinggi. Kami biasa saling membantu dengan hati dan ketulusan, itu membuat saya jadi lebih bisa menghargai hidup ini, Bang.

Sepuluh tahun hidup di jalanan membuat saya lebih dewasa Bang. Saya bisa mandiri dengan segala kemampuan yang saya miliki, saya bisa hidup cukup tanpa harus merepotkan kedua orang tua saya. Meski pada akhirnya saya sadar kalau semuanya itu tak begitu berarti….” Syarif nampak menghela nafas dan menghentikan cerita panjangnya.

Kutatap ekspresi wajahnya yang seolah memendam rasa sesal masa lalu, begitu juga tatap matanya yang menerawang jauh. Penampilan Syarif sebetulnya lebih menunjukan orang berada, oleh karenanya ada semacam tanya di hati; mengapa ia mau duduk dan bergabung di gerbong yang dihuni masyarakat ‘jelata’ seperti ini.

“Maaf, Mas Syarif ….?” Tanyaku seraya memegang bahunya.

“Eh, maaf, saya melamun ya…,” kata Syarif mengatasi keterkejutannya.

“Saya yang mau minta maaf Mas, saya terlalu banyak nanya,”kataku menyadari kesalahanku yang terlalu ingin tahu.

“Oh tidak, tidak apa-apa Bang El, saya senang ada teman ngobrol,” Syarif langsung menguasai keadaan membawaku untuk tidak terlalu merasa bersalah “biasanya tiga jam setengah perjalanan ke arah Cirebon sering membuat ngantuk dan membosankan, tapi dengan mengobrol seperti ini rasanya jadi tak membosankan.”

“Saya seperti melihat sesuatu yang mengambang dari kalimat Mas Syarif, apa ada yang salah, Mas?” lelaki muda itu berbalik mentatap serius ke arahku. Jelas sekali kalau kalimatku yang asal keluar itu membuatnya terkejut. Namun detik berikutnya lelaki muda itu mengangguk perlahan.

“Bang El benar, “ katanya kemudian, “saya memang selalu menanggung beban berat ketika harus mengenang masa lalu. Ini karena khilaf saya yang senantiasa menentang kehendak kedua orang tua saya. Mereka pergi untuk selamanya lima tahun yang lalu, ketika baru saya sadari betapa berartinya mereka dalam hidup saya.” Suara Syarif terdengar makin berat, aku menangkap beban sesal yang begitu besar dibathinnya.

“Lima tahun yang lalu itu masih begitu melekat di hati ini, Bang,” katanya kemudian, “saat saya harus merelakan kepergian kedua orang tua saya.” Lelaki di hadapanku itu sesaat memejamkan matanya, banyak kegamangan yang kutangkap dari ekspresinya itu. “Saya tidak hanya menyesali karena terlalu sering menentang keinginan mereka, akan tetapi juga karena saya merasa belum mampu memberikan apa-apa. Saya merasa belum mampu membalas apa yang telah mereka berikan selama ini. Mengingat semua itu, membuat saya merasa tak berarti apa-apa dalam hidup ini…”

“Beristighfarlah Mas, Allah maha tahu akan setiap lintasan taqdir hamba-Nya,” ucapku mencoba meringankan bebannya, “setidaknya kita tetap mengingat dan mengagungkan mereka seperti layaknya kita mengagungkan orang-orang alim yang berjuang di jalan Allah.”

“Saya mencoba untuk itu Bang El, namun setiap kali mencoba mengingat dan memohonkan ampunan untuk mereka, saat itu pula terlintas akan semua tingkah laku saya yang kurang bisa menghormati dan memulyakan mereka…”

“Tapi Mas Syarif,” kataku memotong ucapannya, “ bagaimanapun itu, apa yang terjadi di masa lalu adalah taqdir yang mesti kita terimai dengan ikhlas. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian…”

“Benar Bang El, sekarang saya jadi sadar, kalau apapun yang kita kejar, apapun yang kita capai pada akhirnya hanya sebatas pada taqdir umur yang telah dijatahkan dalam hidup kita,” Syarif terlihat mulai tenang, gemuruh di hatinya terlihat mereda. “Saya jadi sadar akan pentingnya menghargai hidup ini, tidak sekedar mengejar obsesi, dan membebaskan apa yang kita inginkan. Tetapi jauh dari semuanya itu, akan ada batas akhir yang harus saya pertanggungjawabkan tentang apa yang kita lakukan sekarang.”

Aku memperhatikan serius lelaki muda ini, banyak tutur katanya yang menyiratkan kalau ia tengah berevolusi dan mengalami perubahan dalam hidupnya. “Setidaknya karena itulah, Mas, agama mengajarkan kita untuk tidak terlalu berlebih dalam mengerjakan atau melakukan sesuatu.”

“Betul Bang, itulah yang terjadi pada saya sekarang. Ketika Allah benar-benar telah memudahkan saya untuk mencari rezeki dari profesi saya , saya masih merasa ada yang kurang dalam hidup saya.”

“Kurang bagaimana, Mas?” tanyaku sedikit bingung,”apa Mas Syarif bingung mau berinvestasi?”

“Bukan, bukan karena itu,” sanggahnya cepat, “saya tak pernah berfikir kurang seperti itu…”

“Maksud, mas Syarif?”

“Hasil dari galery lukis yang saya pimpin dan usaha peninggalan orang tua saya sudah sangat berlebih, Bang. Saya hanya merasa bahwa semuanya itu tak memberikan ketenangan dalam hidup saya, saya selalu merasa bahwa semuanya tak berguna sama sekali. Apalagi bila saya ingat apa yang saya capai ini tak dirasakan sama sekali oleh kedua orang tua saya. …”

Subhanallah, pemuda ini begitu dalam terjebak pada rasa bersalah seperti itu. Aku memijit keningku mencoba menyelami ucapan lelaki yang duduk di sampingku ini.

“Semakin saya menyadari kesalahan saya, semakin tak berharga apa yang saya terima ini Bang…”

“Maaf, Mas, menurut saya Mas Syarif agak keliru…,” kataku mencoba meluruskan, “apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kita pada intinya merupakan ujian, Mas. Baik itu kesusahan ataupun kesenangan, karena pada akhirnya semua itu akan dimintai pertanggungjawabanya. Jadi menurut saya Allah telah mendesign semuanya itu dikarenakan memang Mas Syarif layak mendapatkan semuanya itu…” kataku akhirnya.

“Bang El benar, karenanya saya selalu mencoba menjalani apa yang dititipkan Allah ini dengan tidak berlebih. Saya ingin belajar berbagi dengan siapa saja, agar apa yang telah dititipkan Allah ini tidak malah membuat saya menjadi lupa dengan segala beban sesal dan salah saya …”

Sejenak aku terdiam, ucapan Syarif seolah membawaku pada kisah keteladanan seorang hamba Allah pada zaman Nabi Dawud, yang karena rasa bersalahnya sehingga ia harus beribadah mohon ampun hingga 700 tahun. Peristiwanya bermula ketika lelaki itu melintasi dataran tinggi dan sang Ibu berada di bawahnya, debu-debunya berhamburan di atas ibunya. Setelah kejadian itu si anak melarikan diri, karena takut akan kemarahan sang ibu. Kemudian ia mengasingkan diri dan beribadah siang malam tanpa makan dan minum.

Bila dibandingkan dengan kisah tadi, aku jadi bisa memahami kegalauan dan rasa penyesalan Syarif. Aku jadi ngilu! Hatiku merasa perih, jika kuingat bahwa akupun belum bisa memberikan banyak hal pada almarhumah ibu. Aah, Mimi… andai waktu dapat kuputar ulang.

“Bila ingat mereka, saya selalu berusaha untuk menawarkan beban bersalah ini dengan beramal dan bersodakoh pada siapa saja atas nama kedua orang tua saya, Bang …”

“Insya Allah, niat sebagus itu akan diridhoi Allah, Mas.”

Percakapan kami terhenti sejenak ketika seorang kondektur bersama seorang polisi khusus kereta api datang untuk memeriksa karcis kami. Pandangan mereka berusaha ramah pada kami, mungkin mereka ingin menunjukan bahwa standar pelayanan prima di maskapai BUMN ini. Memang beberapa kasus kecelakaan sempat mencoreng kualitas dan profesionalitas mereka dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Akan tetapi dengan manajemen road map to zerro accident[1], seingatku mereka mulai memperbaiki citra dan standar pelayanan mereka.

“Bisa lihat tiketnya, Pak?” sapa mereka kepada kami yang beruntung masih mendapatkan tempat duduk meski di ujung gerbong ini.

Segera aku dan beberapa penumpang yang lain menyerahkan tiket yang didapat dari susah payah itu. Petugas yang didampingi polisi itupun segera memeriksa tanggal dan jumlah ‘passenger’ yang tertera di tiket kami. Sejenak mereka terlihat serius pada lembar tiket yang kami sodorkan. “Terima kasih,” katanya kemudian seraya berlalu untuk memeriksa tiket di gerbong yang lain.

“Sudah sampai mana kita ya, Pak?” tanyaku pada lelaki yang duduk di depanku, sementara Syarif pergi ke kamar kecil. Dia lelaki tua dengan shal tebal di lehernya, mungkin untuk mencegah masuk angin.

“Kelihatanya baru sampai Keranji, Dek. Adek mau turun di mana?” tanyanya menyambung percakapan. Sejak berangkat dari Stasiun Jatinegara tadi ia memang menyimak percakapanku dengan Syarif namun ia tak ikut menyambung dan sebatas tersenyum ke arah kami.

“Saya , mau turun di Cirebon Pak, maklum sudah lama tak naik kereta api, jadi rasanya lama sekali,” kataku malu-malu.

“Lha Bapak yang sering pulang pergi Jakarta-Indramayu juga masih seperti itu, Nak. Mungkin karena Bapak sudah tua yah….” Katanya seraya menyungging senyum dari pipinya yang memang sudah keriput.

“Bapak bisa aja,” kataku membalas.

“Yang tadi itu teman Adek ya?” tanyanya kepadaku yang masih disebutnya dengan panggilan ‘Adek’ itu.

“Baru kenal di stasiun Jatinegara tadi, memang kenapa Pak?” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa, Dek. Cuma Bapak lihat kalian akrab sekali ngobrolnya,” katanya lagi seraya merapihkan shal di lehernya.

“Iya, saya juga tidak tahu. Mungkin karena ia juga tak segan bercerita banyak hal pada saya, Pak,” lanjutku, “sehingga kami bisa membangun percakapan yang akrab.”

Aku sebenarnya bisa menangkap arah pembicaraan ini, kebanyakan yang sering berpergian dengan fasilitas umum di Jakarta memang seperti itu. Cenderung curiga dan waspada pada orang asing, setidaknya ini memang wujud kehati-hatian demi menjaga hal-hal yang tak bisa duga. Namun entah mengapa ucapan Syarif seakan menariku untuk terus membangun percakapan lebih jauh. Entah karena pokok bahasan kami tentang orang tua yang kuakui sangat menarik perhatianku, atau memang karena sikapnya yang mudah ramah pada siapa saja. Ia juga ringan tangan untuk berbagi, beberapa orang yang berdiri dan duduk di lantai gerbong ini juga bisa makan kacang garing gratis karenanya.

Aku masih sibuk berfikir ketika Syarif memohon izin padaku untuk memberinya sedikit tempat duduk. Jatah tempat duduk kami memang sore itu diduduki oleh tiga orang. Ini idenya karena seorang lelaki kurus yang tak kebagian tiket yang bertempat duduk. Mungkin karena badannya yang kurus itu kami jadi masih bisa duduk bertiga.

“Di wc ngantri sekali,” katanya kemudian, “rupanya banyak yang keseringan minum di cuaca panas begini.”

“Oh iya ya?” kataku kemudian “memang menurut kesehatan juga tidak bagus menahan buang air kecil, Mas.”

Menit berikutnya, angin segar sore yang menerobos lewat jendela kereta api ini mulai membuai kami. Beberapa orang dari kami juga nampaknya sudah mulai masuk dalam dekapan mimpi, tak terkecuali dua orang yang duduk di samping kanan kiriku, Syarief dan seorang lelaki paruh baya. Sementara mataku rasanya tak jua bisa kupejamkan. Entah karena fikiranku yang masih tertuju pada khabar keluargaku, atau inti percakapanku dengan Syarief yang sedemikian terekam di hatiku. Tentang kemulyaan orang tua, dan beramal pada siapa saja atas nama mereka. Kalau pada orang lain saja kita punya kewajiban sebagai sesama muslim, apalagi pada keluarga dan saudara kita. Alangkah percumanya Allah menitipkan semua anugerah-Nya pada kita, bila kita tidak mampu berbagi dengan sesama kita. Aku jadi ingat ustadz Faisal yang sering menyampaikan pesan dasarnya tentang pondasi sikap sesama muslim, yakni ‘seseorang belum dikatakan beriman bila ia belum mampu mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri…’[2]

Ah, nasehat seperti itu membuatku makin tak menentu, menyadari akan kealfaan hatiku selama ini. Ketika sekian banyak kesibukan dan rutinitas hidupku menyita waktuku untuk memperhatikan saudara-saudaraku empat tahun belakangan ini. Seingatku, masih ada beban keluargaku yang belum tuntas hingga dering handphone dari Om Budi yang kuterima tiga hari yang lalu. Yah, dialah Ruby, adik bungsuku yang masih dalam masa halusinasinya.

Allah seakan sengaja mengirimkan Syarief kepadaku, untuk memahami kelalaianku sebagai bagian dari Ruby. Saudara kandungku, yang tengah meniti ujian taqdir Allah dalam hidupnya. Sejak kepulangannya dari Aceh serta menghilangnya istri dan kedua anaknya, kondisi adiku memang sangat jauh terpuruk. Halusinasinya tentang sadisnya perang, pembantaian, dan pembunuhan membuatnya sangat takut menghadapi siapa saja. Dalam kurun waktu empat tahun itu, yang kudengar ia tak lagi aktif di kesatuan. Ruby lebih banyak beristirahat di rumah dan dirawat oleh kakak-kakaku secara bergantian. Ada rasa bersalah di hati ini, ketika kuingat selama empat tahun itu, aku memang tak dapat merawatnya seperti kakak-kakaku. Karena tempat tinggalku yang jauh, aku hanya dapat membantu dengan berkirim uang sekali-kali untuk membantu membeli obat rujukan dokternya.

“Yaa Allah, apakah karena semuanya itu, Engkau batalkan keberangkatanku menjadi tamu-Mu. Apakah karena masih ada hak adikku yang belum aku tunaikan sebagai kakaknya, “ bathinku seraya menghela nafas.

Geletar hati seperti itu membuatku makin jauh menerawang, ke barisan pohon-pohon yang nampak berlarian meninggalkan kereta ini. Sesekali ingatanku juga terpaut pada rombongan asongan dan pengamen cilik di beberapa stasiun yang kami singgahi. Sebetulnya aku melihat ada sosok masa laluku di sana, masa dimana aku dan Ruby menggaris taqdir untuk tetap bisa bersekolah. Saat keterbatasan keluarga kami merupakan kendala terbesar bagiku dan Ruby untuk tetap bisa bersekolah dan merasakan indahnya dunia belajar.

Ah, ingatan seperti itu seolah mendendangkan senandung rindu masa kecilku. Ketika garisan nasib membawaku dan Ruby untuk menjadi bagian dari komunitas kereta di kota kecilku. Menjadi asongan kecil demi merenda masa depan kami yang lebih baik.

******


[1] Manajemen PT Kereta Api dalam meminimalkan kecelakaan yang terjadi

[2] Hadist diriwayatkan Buchari Muslim